Minggu, 29 Maret 2015

Flashfiction - Passion





“Kerja! Kerja! Kerja!” teriak atasanku tepat di daun telingaku.

Suaranya yang menggelegar itu langsung menyadarkanku dari lamunan yang menguasai sejak beberapa menit yang lalu. Aku memang belum terbiasa kerja di sini. Banyak hal yang tidak kumengerti, namun aku terlalu pengecut untuk bertanya. Jangan-jangan, aku malah akan dipecat jika terlalu banyak melontarkan pertanyaan tak penting.

Aku melanjutkan pekerjaanku menggambar denah bangunan. Pekerjaan ini cukup sulit. Aku memang mendapat data cukup lengkap untuk membuat denah yang bagus dan mudah dimengerti, tetapi untuk menggambarnya hingga sempurna membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Udah sampe mana?” tanya teman sejawatku, Duta.

“Belum ada setengah jalan,” kataku seraya mendesah.

Duta menepuk bahuku dan tersenyum. “Tenang aja, deh. Kerjanya nggak usah buru-buru. Santai aja nggak masalah, kok. Tapi jangan sampe bengong kayak tadi. Biar kerjanya santai, tapi harus tetep serius,” nasehatnya.

Aku mengangguk meski dalam benakku masih penuh keraguan. Duta sih enak, dia sudah bekerja selama bertahun-tahun. Sementara aku baru masuk awal tahun ini. Kemungkinan besar dia memang sudah terbiasa dan mampu melakukan pekerjaannya dalam waktu singkat. Sementara aku ini hanya anggota baru yang masih hijau.

Tetapi, sejujurnya yang membuatku ragu bukan hal itu. Duta mungkin memang telah menemukan passionnya dalam pekerjaan ini. Sementara aku? Aku hanya melakukan pekerjaan ini karena terpaksa. Mencari pekerjaan di kota besar memang bukan hal yang mudah, kuakui itu. Sayangnya, aku sama sekali tidak merasakan perasaan menggebu-gebu saat mengerjakan tugasku. Aku hanya menjalaninya sekedar rutinitas belaka, tanpa hati. Mungkin itu juga yang membuat pekerjaanku tidak maksimal dan tidak pernah membuat atasanku terkesan.

“Lo mikirin apa, sih?” tanya Duta yang sepertinya menyadari awan mendung di wajahku.

Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue lagi bingung aja,” kataku.

“Bingung kenapa? Susah? Perlu gue bantu?” tawarnya.

Lagi-lagi aku menggeleng. “Bukan itu....”

Tanpa mengeluarkan pertanyaan lagi, Duta menunggu jawabanku.

“Rasanya, gue sama sekali nggak semangat ngerjain semua ini....” akuku.

Duta tersenyum. Lalu, ia terkekeh pelan. “Dulu gue juga ngerasa hal yang sama.”

“Masa?” tanyaku kaget.

Duta mengangguk. “Selama setahun pertama, gue menjalani pekerjaan ini sebagai rutinitas. Tapi, coba lo pikir-pikir lagi. Kerjaan kita ini penting banget untuk kelancaran kerjaan temen-temen kita yang lain. Begitu denah yang kita buat selesai, yang lain bisa mulai membuat rencana yang tepat untuk meletakkan semua barang di tempat yang tepat pula. Kalau barangnya ada di tempat yang pas, pasti fungsinya bisa maksimal. Nah, sepenting itulah tugas kita, man!” jelasnya seraya menepuk-nepuk pundakku lagi.

“Tugas kita ini tugas paling penting dari seluruh bagian. Jadi seharusnya lo bangga!” Duta pun tersenyum lebar.

Ia menyenggol bahuku dan aku tahu itu kode agar aku tersenyum. Aku pun tersenyum. Setelah itu, Duta meninggalkanku sendiri dengan gambar denah yang masih setengah jadi.

Sejujurnya, aku ingin memberikannya senyum terbaik saat ia memberikan wejangan tadi. Sayangnya, hanya senyum kecut yang bisa kuberikan padanya. Sebab, sampai kapanpun aku tidak akan pernah bangga menjadi bagian dari komplotan perampok profesional seperti ini.

END

Sabtu, 21 Maret 2015

Situ Miskin? Sini Tak Tempel Stiker di Jidat Situ!

Demi memenuhi tantangan Give Away dari Ruru, maka postingan blog ini ada. Kayaknya ini bakal jadi kelanjutan random pic random thought yang sebelumnya--yang isinya apa banget itu lho :))


Sejujurnya, yang pertama kali terpikirkan di otak gue adalah.... kenapa Ruru ngambil gambar ini untuk give away? Kenapa harus gas? Kenapa nggak magic jar? Kenapa nggak kompor? Kenapa nggak bed cover?

Ah. Mungkin dia memang lagi mikirin harga gas yang kian melambung tinggi. Tapi, kalau harga yang naik, sih, BBM juga naik, listrik juga naik, semua harga naik deh kayaknya.

Jadi apa, dong?

Ru, lo nggak berharap hadiah pernikahan lo tabung gas 3 kilo, kan? seketika dicoret dari daftar pemenang give away

Di samping semua itu, setelah lihat gambar tabung gas 3 kilo itu, entah kenapa gue kepikiran sesuatu yang random. Dulu, waktu keluarga gue mulai beralih dari kompor minyak ke kompor gas, gue heran. Soalnya nyokap lebih milih blue gas yang ukuran tanggung (kalo nggak salah, 5 kg) daripada si kecil ini. Padahal, kebanyakan orang pakenya yang ukuran 3 kg.

Sejujurnya, gue juga berharap nyokap akan beli si kecil di atas itu. Bukan, bukan karena harganya lebih murah, soalnya gue dulu nggak peka sama urusan duit. Tapi karena warnanya IJO. Gue lebih suka warna ijo ketimbang biru. YA TERUS KENAPAAAAAAA??

Bercanda mulu lo, Na. Kayak lucu aja.

Okeh, gue serius! Gue rasa Ruru memilih gambar ini karena di tabung gas itu ada tulisan "hanya untuk masyarakat miskin".

Emangnya kenapa sih sampe harus ada tulisan begitu? Apa orang Indonesia segitu payahnya untuk menilai, dirinya/keluarganya miskin atau nggak?

Gue rasa sih bukan itu.

Banyak orang Indonesia yang tau kalau dirinya mampu membeli blue gas, tetapi lebih memilih membeli gas bersubsidi ini. Salah satu alasannya, mungkin karena emang pada dasarnya pelit aja. Untuk hal-hal pokok macam gas atau sembako, pasti milihnya yang paling murah. Sementara kalau untuk gaya, rela deh ngeluarin berapa aja. Oke, mungkin salah kalau gue bilang orang-orang macam begini itu pelit. Mungkin mereka hanya sulit untuk menentukan prioritas.

Sementara itu, nggak jarang juga lho orang/keluarga yang sebenarnya miskin tetapi lebih memilih untuk membeli blue gas ketimbang gas bersubsidi. Kenapa? Mungkin mereka setipe sama nyokap gue. Mereka lebih memikirkan keselamatan keluarga karena memakai gas di rumah. Masih inget kan berapa banyak rumah yang kebakaran gara-gara ledakan gas ini? Di banding si kecil, blue gas memang lebih aman karena tingkat kebocorannya lebih rendah.

Alasan lain orang-orang yang memilih gas bersubsidi mungkin memang karena mereka miskin dan tidak mampu membeli blue gas. Atau, para pedagang kecil yang tidak mungkin membawa-bawa tabung gas berukuran besar di dalam gerobaknya. Atau, mereka sama kayak gue, suka warna IJO.

Terus, gimana dong solusinya supaya segala sesuatu yang bersubsidi emang hanya dinikmati oleh rakyat yang benar-benar memerlukan? Mungkin untuk orang-orang yang gayanya parlente tapi masih beli gas 3 kg, perlu dikasih stiker bertuliskan "masyarakat miskin" di jidatnya. Sama kayak bapak-bapak yang naik mercedes tapi masih ngantri premium, kasih stiker "masyarakat miskin" di kaca belakang mobilnya, di samping stiker dunia fantasi, taman safari, snow bay, dll.

Solusinya, ya pemerintah harus bergerak ke bawah dong. Duh, pemerintah lagi.... Males deh gue harus bawa-bawa pemerintah segala. Bisanya merintah doang, nggak ngasih teladan yang baik supaya diikutin rakyatnya.

Jadi, gimana nih solusi yang paling tepat?

Yaaa.... gue nggak tauuuu. Kalau gue tau solusi yang oke, pasti gue udah jadi presiden.

Eh. Nggak juga, sih. Jadi presiden sekarang cuma butuh pencitraan, kok.

3 Hal Utama yang Dibutuhkan Penulis

Baiklah, gue akan membahas hal-hal apa saja yang sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang penulis. Penulis profesional loh, ya. Maksudnya, penulis yang ingin karyanya diterbitkan dan dibaca sama orang banyak.

Gue tau, pasti pada mikir, "Emangnya lo tau apa?"

Iya, gue belon nelorin satu novel pun! PUAS!

Soalnya gue emang kurang satu unsur yang susah banget untuk dicapai. Tulisan ini emang cocoknya ditulis sama penulis-penulis yang udah beken, udah nelorin banyak karya, udah terjun langsung ke dunia perbukuan dan penerbitan. Dibanding mereka, gue ini apa, sih? Gue cuma remahan roti, yang kalo dimakan pun nggak akan berasa.

Ini gue ngomong apa, sih.

Sudahlah. Walaupun gue masih hijau gini, boleh dong gue ngebahas ginian supaya bisa memacu diri gue sendiri juga.

Mari kita mulai sajaaah!!


1. KEBERANIAN

Penulis butuh banget yang namanya keberanian. Gue udah tau ini sejak lama. Tapi rasanya baru ketampar lagi sejak tantangan pertama OWOP (One Week One Paper) yang pertama. Tantangannya adalah, menulis surat dari hatimu. Demi apa pun. Gue yang super nggak romantis ini disuruh nulis SURAT CINTA!?

SURAT CINTA!! GUYS!! PLEASE!!

Gue nulis puisi aja gagal!!

Tapi jujur aja, yang ngasih tantangan emang pinter banget. Karena judulnya "Sepucuk Surat Hatimu", sebagian besar peserta jadi curcol. TERMASUK GUE!!

Gue bisa aja nulis surat untuk kucing gue, untuk adek gue, untuk buku-buku yang ada di perpustakaan kecil gue, bahkan untuk Indonesiaku tercinta. Tapi bukan itu yang ada di hati gue saat itu (bukan berarti gue gak cinta juga, sih). Jadi, seberapapun gue berusaha menulis surat cinta palsu itu, nggak akan bisa. Terpaksalah gue mengeluarkan apa yang bener-bener pengin gue ungkapkan.

Meski begitu, tetep aja surat gue alay, nggak ada romantis-romantisnya, dan jadinya malah kayak lawakan. Gue, Ruru, Zu, yang termasuk kelompok curhat massal, menjadikan surat cinta itu sebagai bahan olok-olok di grup pribadi. Tiap gue ngomong sesuatu, surat cinta jahanam itu di copas lagi ke grup. Kan jahat.....

Akuh gak lagi-lagi mau liat surat alay itu, tolooong!

Tapi berkat tantangan itu, gue sadar. Untuk jadi penulis memang butuh keberanian. Bukan keberanian biasa, tapi keberanian besar. Sebab, mau nggak mau, lo harus membagi perasaan pribadi lo untuk orang lain melalui tulisan. Di luar tulisan lo akan berbentuk fiksi atau non-fiksi, sedikit atau banyak pasti lo menuangkan pemikiran, perasaan, atau pengalaman pribadi. Dan itu nggak gampang. Percaya deh.

Banyak penulis hebat di luar sana menulis untuk menyembuhkan luka hati. Mereka menjadikan tulisan sebagai media untuk membagi lukanya pada dunia. Bayangkan proses menulisnya semenyakitkan apa. Selesai menulis pun, orang-orang akan membahas, bahkan bertanya langsung. Berkali-kali.

Tapi itulah yang membuat si penulis sembuh dan terbebas dari luka hatinya. Paling nggak, setelah melampiaskan lewat tulisan, beban mereka berkurang. Mereka bisa ikhlas dengan cobaan yang mereka hadapi.

Gue pun berharap bisa menjadi penulis seperti itu. Gue percaya kalau gue juga punya keberanian besar untuk menulis. Surat cinta itu buktinya!! Haha! Kalo itu aja bisa gue tulis, berarti apa pun bisa gue tulis juga!! Hahahahaha!!

2. OTAK

Iyah, untuk kamu-kamu yang mau jadi penulis di luar sanah, kamu butuh yang namanya OTAK! Bukan otak-otak! Itu makanan! Tapi, otak yang mampu berpikir logis, dan memiliki kemampuan untuk terus belajar.

Logika sangat dibutuhkan untuk seorang penulis, bahkan penulis fiksi-fantasi sekalipun. Bayangkan kalau cerita fantasi yang kalian baca alurnya nggak jelas, karakternya susah dibayangkan, dunianya tak terlukiskan, pasti malesin banget. Fantasi sekalipun, butuh logika untuk bisa masuk ke hati pembaca. Dari semua fantasi yang pernah gue baca, belum ada yang bisa ngalahin logikanya JK ROWLING dengan Harry Potter-nya.

Selain logika, penulis juga butuh otak yang mampu belajar menyadari kesalahan penulisannya dan memperbaikinya.

Nggak ada penulis yang langsung bagus dari awal. Mereka pasti punya jalan dan sejarah masing-masing hingga bisa jadi penulis hebat. Entah semasa kecil memang doyan nulis, mengikuti kelas penulisan, atau apapun.

Tulisan-tulisan gue pun awalnya PARAH BANGET! Meskipun gue nggak bisa bilang kalau tulisan gue sekarang udah bagus, seenggaknya gue pede untuk bilang kalau tulisan gue yang sekarang jauh lebih baik daripada dulu. Rasanya, kalau baca tulisan-tulisan gue jaman SMP dulu, pengin banting bukunya deh. Hahahahaha. ANCUR BANGET SOALNYA!! Iya mana ada sih kucing kawin ama anjing? Yang ada, berantem mereka.

Yang akhir-akhir ini dibahas gue sama Ruru adalah penulis-penulis yang struktur bahasa Indonesianya kacaw! KACAW! (PAKE W!)

Men, plis atuh lah. Kita-kita ini kan orang Indonesia. Kalian boleh belajar banyak bahasa asing. Gue pun belajar banyak bahasa, tapi gue nggak melupakan bahasa Indonesia. Kalau kalian nggak paham sama struktur bahasa Indonesia, gimana mau paham struktur bahasa lainnya?

Harusnya, sudah menjadi pengetahuan umum penulis kalau satu kalimat harus mengandung sedikitnya subyek dan predikat. Untuk kata yang jadi kalimat, sih, emang wajar ada di novel atau komik. Tapi jangan pernah, JANGAN PERNAH, menjadikan satu frasa sebagai satu kalimat. Bacanya nggak enak banget, sumpah.

Kalau mau tau lebih detil soal struktur bahasa Indonesia, kemari aja. Udah dijelasin sama Ruru, dan gue males ngetik ulang :D *ditabok*

Oh iya, selain untuk dua hal di atas, penulis juga butuh otak yang bisa mengolah ide cerita menjadi sesuatu yang layak baca. Nyari ide, susah? Itu mah mitos, guys! Ide ada di mana-mana! Tinggal gimana ngolahnya aja.

3. KOMITMEN

Nah, kalau udah punya dua hal di atas, yang dibutuhkan terakhir adalah.... KOMITMEN!

Hahahahaha, mungkin inilah yang belum gue punya. Komitmen dalam menulis gue masih terbilang err.... rendah. Gue nggak punya jadwal nulis. Gue nggak punya target mingguan, atau malah, harian. Gue menulis sesuka-sukanya gue. Gue juga nggak punya target harus nyelesein ide cerita yang mana dulu. Akhirnya, semua cerita jalan bersamaan dan malah bikin gue bingung karena nggak ada yang selesai.

Gue emang berniat untuk ngerubah penyakit yang satu ini. Rasa males gue masih suka menguasai tiba-tiba. Sekarang sih, gue udah bikin jadwal nulis pribadi. Tapi nepatin jadwal itulah yang butuh perjuangan keras.

Percaya deh, kalau kalian emang komitmen sama tulisan, nulis novel bukan sesuatu yang mustahil

MARI MENULIS!!!

Selasa, 17 Maret 2015

Leo & Alfa - Chapter 5 Amal Gula


Siang itu, Leo dan Alfa sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah mereka. Ini merupakan hal yang rutin mereka lakukan setiap hari karena mereka memang bertetangga, rumah mereka juga bersebelahan. Lebih tepat lagi jika disebut satu rumah besar yang dibagi dua, sih. Sebab orang tua mereka yang bersahabat cukup dekat, memutuskan untuk membeli satu rumah dan membelahnya menjadi dua supaya hemat.

Rumah mereka berdua juga berada tidak terlalu jauh dari sekolah. Mereka hanya perlu berjalan kurang lebih 20 menit untuk tiba di rumah. 15 menit kalau berjalan cepat, dan 10 menit kalau lari dikejar anjing.

Siang ini matahari sangat terik. Topi merah-putih yang dipakai kedua bocah itu tidak mampu menghalau panas matahari sepenuhnya. Leo berusaha mengibas-ngibaskan bola yang ia bawa, berharap akan ada angin yang membelai tubuhnya. Sayang sekali ia belum belajar fisika kuantum tentang benda dengan bidang seperti apa saja yang akan menghasilkan angin. Sebenarnya Alfa menyadari tingkah aneh Leo, namun tenaganya terserap panas matahari hingga terlalu malas untuk menjelaskan teori fisika pada Leo.

"Beli minum, yuk," usul Alfa. Usulan singkat dan padat yang menghentikan tindakan Leo mengibas-ngibaskan bola.

"Hayuk!" sambut Leo antusias.

Mereka berdua segera mencari penjual minum terdekat, mendeteksi apakah penjual minuman tersebut menjual minuman dingin, lalu lari menghampiri sang penjual. Ibu-ibu paruh baya yang menjajakan minuman dingin di jalan itu menaruh minuman-minuman bermerk di box plastik besar berisi bongkahan-bongkahan es batu. Sementara di meja kecil di hadapannya, ada seteko besar air es, dan bermacam sirop dengan berbagai warna yang menarik.

"Mau beli teh gelas botol, tapi uangnya nggak cukup...."

"Leo, please. Nggak usah bahas teh lagi. Aku nggak suka sama nggak kekonsistenan kamu," ujar Alfa keki.

"Apa siiih?" Leo hanya bisa memandang Alfa bingung sambil garuk-garuk punggung. Di saat panas terik begini, biang keringatnya mulai menyerang.

"Kita beli sirop aja, yuk," ajak Alfa.

"Ih, sirop kan pake pewarna sama pemanis buatan," kata Leo tak suka.

Alfa tampak berpikir sebentar. Bukan berpikir tentang siropnya, ia hanya penasaran kenapa Leo bisa mengutarakan fakta sedemikian pintar. Tumben sekali.

"Kemarin mama nonton siaran investigasi di TV," lanjut Leo yang membuat Alfa mengangguk paham.

"Jangan-jangan siropnya pake borax dan formalin juga, iih...."

"TAHU KALI PAKE GITUAN MAH!" Dasar Leo, mengambil informasi yang benar dari TV saja tidak becus, pikir Alfa.

Lalu Alfa pun bertanya kepada ibu-ibu penjual minuman itu, "Ibu, apa ibu jual minuman selain minuman bermerk yang sepertinya saat ini kami tidak mampu beli dan sirop yang kelihatannya terlalu banyak pakai perwarna itu?"

"Hah?" si Ibu bingung. Di sisi lain, si Ibu penjual juga kesal. Bocah di hadapannya ini tampangnya manis, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya ngeselin.

"Es teh, mau?" kata si Ibu yang mencoba menahan emosinya.

"Bukan teh gelas botol atau teh botol kotak, kan, Bu?" tanya Alfa sekali lagi.

"Hah?" Lagi-lagi si Ibu bingung. Mimpi apa dia sampai ketemu pembeli aneh begini.

"Kalau bukan, boleh deh itu aja. Harganya berapa?"

"5000."

"Ih, kok mahal!" seru Alfa spontan.

"Iya, harga gula lagi naik, dek."

"Kenapa malah lebih murah teh bermerk?" Alfa masih saja bertanya.

Sementara itu, Leo hanya memperhatikan percakapan tersebut sambil kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mengikuti arah pembicaraan.

"Itu pake pemanis buatan," kata si Ibu.

"O...ooh....gitu. Oke, kalau tehnya nggak pakai gula, berapa?"

"4000."

"Lah, masih mahal, ya? Katanya nggak bermerk?"

"Daun tehnya kualitas super, saya yang metik sendiri. Kebetulan belum saya kasih nama. Adek ini jadi mau beli apa nggak?" Kesabaran si Ibu pun mulai menipis.

"Jadi, bu! Jadi!"

Si Ibu penjual minuman pun membuatkan pesanan Alfa. Namun saat ia hendak memasukkan gula ke dalam minuman itu, Alfa berteriak. "Eeeeh! Nggak usah pake gula, Bu! Mahal!"

Ya ampun, tambah gula cuma tambah 1000 aja, pikir si Ibu. Tapi si Ibu penjual tetap legowo. Mungkin saja bocah SD yang menyebalkan ini memang tidak punya cukup uang untuk membayar teh dengan gula. Setelah selesai, si Ibu pun menyerahkan minuman itu pada Alfa.

"Terima kasih. Ini uangnya, ya, Bu!" Alfa mengeluarkan selembar 5000-an dari kantongnya dan menyerahkannya pada si Ibu yang terbengong-bengong saat menerimanya.

Lalu dengan penuh senyum, Alfa berkata, "Ambil aja kembaliannya."

***

"Alfaaa..... kamu ngapain, sih!?" Leo gusar.

"Apanya?"

"Itu tadiii! Ngapain kamu pake bilang nggak usah pake gula segala? Padahal ada uangnya gitu! Kamu cuma mau sok-sokan ngomong kayak di sinetron-sinetron, ya!?" cerca Leo yang kemudian menirukan gaya Alfa saat bilang 'ambil aja kembaliannya' sambil memonyong-monyongkan bibir.

"Ck ck ck. Leo....Leo.....kamu nggak inget apa kata guru ngaji kita kemarin?"

"Hah?"

"Walaupun masih muda, kita harus beramal Leo, BER-A-MAL! Ibu-ibu penjual minuman itu udah susah-susah jualan minuman di tengah panas terik. Amal 1000 apa salahnya?" kata Alfa seraya meninggalkan Leo di belakang.

Leo tidak paham. Leo BENAR-BENAR tidak paham. Apa faedahnya beramal setelah membuat emosi seorang ibu-ibu tua yang malang? Cuma 1000, lagi.

END

Seri Leo & Alfa
Chapter 1 Bola Magnet
Chapter 2 Teh Gelas Botol Kotak
Chapter 3 Sushi Palembang
Chapter 4 Empat Akar Dua

Senin, 16 Maret 2015

Random Pic Random Thought: Black and White Dot (?)


Gue baru saja bergabung dalam komunitas OWOP (One Week One Paper) demi menjaga kekonsistenan gue untuk menulis. Nulis apa? APA AJA!

Jadi, dengan segala kreativitas yang gue miliki, gue membuat tema baru untuk blog gue. Gue akan secara random memilih gambar dari google untuk gue analisis. Maungkin bagi kalian, tulisan gue ini nggak penting dan apa banget. Tapi, siapa sih yang bener-bener ngerti pikiran seorang seniman? *kibas jilbab*

Setelah gue search 'random pic' di google images, gambar inilah yang pertama kali muncul.


Gambar apakah ini?

YAK! Tepat sekali! Ini adalah gambar TV saat sedang tidak ada siaran. Tapi itu dulu, saat channel TV kita kehabisan ide menyangkan film apa di atas jam 12. Sekarang sih hampir semua channel siaran 24 jam. Idenya bisa dari mana-mana. Bikin uji nyali bisa, setel video clip random bisa, kasih film hollywood jaman jadul yang biaya copyrightnya nggak mahal-mahal banget juga bisa. Kalo Program TVnya lagi menghemat budget, tinggal suruh satu cewek muncul di layar, sambil kasih kuis-kuis nggak jelas juga oke. Jangan lupa kasih baju minim biar yang nonton salah fokus dan gak bisa jawab pertanyaannya, jadi nggak balik rugi.

Intinya, gambar yang sering disebut 'kumpulan semut' ini sudah tidak berlaku lagi jika disebut 'Program TV tanpa siaran'.

Nah, sekarang, apa nama yang benar-benar tepat untuk gambar ini? Apakah titik hitam di atas background putih? Atau sebaliknya? (Ini kok kayak kuis 'zebra itu belang putih atau hitam, hayoooo?')

Jawaban yang benar adalaaah.....
INI GAMBAR BAPAK-BAPAK KUMISAN LAGI KESEL!

Kalo gak percaya, mari kita zoom-out gambarnya......

Inilah hasilnya.....


Kalau berpikir out of the box, maka akan didapat hasil yang mengejutkan. Itulah inti postingan ini.

Yaudah, itu aja.

Selasa, 10 Maret 2015

Perjuangan Penuh Darah dan Airmata ke IBF

Judulnya lebay banget....

Ah biar sajalah. Toh waktu ke IBF (Islamic Book Fair) Minggu kemaren, emang perjuangannya nggak tanggung-tanggung. Sehari sebelumnya, temen-temen yang rencananya pada mau ikutan IBF hari terakhir ini mendadak batal semua. Lalu gue pergi sama siapaaa? Kalo sendiri, sapa yang bakal potoin gue sama Surayah & Kak Toto?? (jadi tujuan utamanya itu??)

Dengan mendadaknya Ruru bilang, "Talk Show Dilan 2 gak jadi, katanya bukunya belum beres."

HAAAAAHHHH???

PADAHAL GUE SENGAJA DATENG KE IBF HARI TERAKHIR DEMI DILAN 2! TERUS GAK JADI??

Tau gitu pan eike dateng aja hari-hari sebelumnya biar milih bukunya tenang karna gak penuh.

Tapi.... yasudahlah, masih ada talk shownya Kak Toto (komikus strip Nusantaranger & Ke Surga Lewat Mana, ya?). Akhirnya gue pun bela-belain dateng meski pagi itu hujan deras mengguyur Jakarta kitah tercintah. Sialnya, gue lupa bawa sandal jepit dan cuma pake sepatu. Alhasil, basah kuyup lah itu sepatu meskipun yang lain gak basah karna gue pake jas hujan.

Untungnya, Ruru mau ikut meski gue harus jemput dia dulu di rumahnya. Ya ampun, gapapa deh, rela gue. Dia kan tuan putri yang lagi dipingit karena bentar lagi mau naik ke pelaminan. Sumpah ya, bikin iri aja lo, Ru!

Berhubung sepatu gue basah, akhirnya gue pinjem sendal. Ajaibnya, makhluk yang satu ini gak punya sendal jepit!! Halloooooooo!! Dan berhubung sepatu sendalnya dia gak ada yang muat di kaki gue, akhirnya terpaksa minjem wedges emaknya.

Berhubung gue adalah makhluk yang gak pernah pake sepatu/sendal hak tinggi meski cuma beberapa senti, belum juga keluar pager rumahnya, gue udah kecengklak dengan sukses. Ini belum naik motor loh padahal. Tapi yasudahlah, saya akan bertahan! Demi IBF! Lalalalala~

Gak sangka jalanan arah Senayan MUACET BANGET!! Akhirnya gue pun sampe juga ke istora setelah berjuang menembus kemacetan yang entah apa. Masuk ke daerah GBK, banyak motor yang parkir di luar. Kami langsung berasumsi ada acara besar lain di GBK sana.

"Na, apa nggak kita parkir di luar aja? Nanti di dalem nggak dapet tempat...." kata Ruru.

"Tenang Ru, parkir bookfair itu GAK MUNGKIN PENUH," kata gue sotoy.

Iyah, soalnya waktu itu gue juga pernah ke bookfair yang acaranya barengan sama konser-entah-apa sama jakcloth yang pengunjungnya astagfirullah gak bisa diitung meski pake kalkulator. Dan meski masuk ke istoranya susah-pake-banget, tetep aja parkir di dalem masih lumayan lega. Soalnya abang tukang parkirnya ngelarang orang yang bukan ke bookfair parkir di Istora.

Tapi ternyatah sodara sodaraaaaaaa..............

PARKIR DALEM ISTORA PENUH!

Huhuhuhuhuhu.......

Sampe si abang parkirnya ngeluasin tempat parkir yang udah ada pake bates tali rafia. Untungnya sih, gue masih dapet tempat.

Seumur hidup, baru kali ini gue ke bookfair dengan pengunjung sebanyak ini. Jangankan untuk liat-liat buku, jalan masuk ke dalemnya aja antri, kayak orang rebutan sembako.

Yaudah deh, akhirnya kami mengenyampingkan dulu niat hunting buku dan langsung ke tempat talk shownya Kak Toto yang TELAT SATU SETENGAH JAM!

Baiklah..... setelah menunggu sekian lama, akhirnya Kak Toto dan Kak Harlis (Komikus CengHar) dateng juga. Lalu MC-nya memberikan pengumuman yang sungguh sangat jeger sekali, "untuk yang mau beli komiknya, silakan datang ke booth Mizan yang ada di dalam....."

JADI KOMIKNYA NGGAK DIJUAL PAS TALK SHOW?? SUBHANALLAH......

Lalu gue pun bimbang. Kalo gak punya komiknya, ntar pas talk shownya selese, gue gak bisa minta tanda tangan. Tapi kalo beli dulu....... BERARTI GUE HARUS MENEROBOS LAUTAN MANUSIA DULU SEBELUM NYAMPE BOOTH-NYA.

Akhirnya kami pun memutuskan untuk ke booth mizan dan beli komiknya dulu. Tapi betapa sialnya, di dua booth mizan yang kami datengin (dengan-amat-susah-payah), kami tetep nggak nemu komiknyah. Soalnya buku-bukunya udah campur aduk, berantakan, dan berserakan di mana-mana. Ujung-ujungnya malah beli buku lain yang emang pengin dibeli, mumpung udah di booth itu.

Setelah balik lagi ke acara talk show (yang untungnya belum selese) dengan tangan kosong, akhirnya cuma denger penutupannya doang. Lah.....

Selesai itu gue langsung nyamperin Kak Toto dan ngadu soal komiknya yang SUSAH BANGET ditemuin. Hahahahaha. Yaudah deh, berhubung belum ada komiknya, akhirnya poto ama Kak Toto pake banner talk show :p

Setelah itu, barulah kami hunting beneran, sekali lagi menerobos lautan manusia bau keringat. Mana di dalem itu gerah banget lagi. Gue pun membuka list titipan buku. Susah ye, ini temen-temen yang kaga jadi dateng malah pada nitip. Tapi gue udah siap sama tas ransel gede tanpa isi, sih.

Untuk menghindari kalap berlebihan, di bookfair kali ini gue membudgeti (membudgeti itu bahasa mana, sih?) diri sendiri dengan nominal tertentu. Tiap beli buku, diitung diskonnya berapa, lalu dijumlah, biar gak kelewatan xDD

Gue ke booth Mizan untuk yang ketiga kalinya. Dan saat itu, ketemulah gue dengan komik yang gue cari aka "Ke Surga Lewat Mana, ya?". LAH INI KOK ADAAAAA..... TADI KAGA ADAAAAA.....

Abis beli itu, langsung watsapp Kak Toto, kali orangnya masih di bookfair. Jadi minta ttd dulu gituh. Etapi sayang, dia langsung balik katanya orz

Kak Oki nitip komik, Zu nitip Sirah Nabawiyah (tapi telat), tapi diantara itu, titipan yang paling berat adalah punya setsuuu...... karna doi nitip TAFSIR. AHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA (sebelum ke IBF pun gue udah mikir ntar itu bawanya pegimana.....)

Tapi (untungnya) tafsir yang dia mau nggak ada. Mungkin karna udah hari terakhir, jadi udah abis. Gue juga pengin punya Tafsir Al Qur'an. Tapi duitnyah........ Boleh gak ya kalo nikah, mas kawinnya minta Tafsir Al-Qur'an? (sama KBBI sekalian kalo bisa xDD) ntar aja mikirnya kali, calonnya dulu dicari.


Iyeh udah ah. Akhirnya pulang dari IBF abis maghrib dengan kaki pincang karna seharian jalan pake wedges. Belanjaannya nggak banyak, karna......yah emang lagi minim budget banget, sih. Tahun ini masih ada dua book fair lagi....... (antara senang dan sedih liat isi dompet x'D)