Selasa, 05 Desember 2017

My Other Family

Waktu itu pernah janji mau ngebahas ini, tapi lupa terus. Baru kepikiran beberapa hari yang lalu pas iseng lihat-lihat folder foto.

6 tahun yang lalu, gue punya keluarga lain di Jepang. Gue ketemu mereka sewaktu jadi salah satu peserta program JENESYS dari Japan Fondation. JF menyediakan keluarga home stay di Jepang dengan mencocokkan keluarga yang gue inginkan dan anak asuh yang keluarga itu inginkan. Gue sebenernya nggak banyak ngasih syarat. Kalau nggak salah inget, yang paling penting itu "nggak pelihara anjing di rumah". Selain karena takut kena liurnya, gue emang takut anjing, sih. Berasa bakal digigit terus kalau liat.

Dan dengan syarat singkat yang gue tulis itu, dipertemukanlah gue dengan keluarga Matano. Yang menjemput gue di asrama adalah okaasan (Youko), anak laki-lakinya (Ryuuto), dan neneknya Ryuuto yang gue panggil obaasan (sampe sekarang gue nggak tau namanya karena kayaknya nggak sopan aja gitu mau nanya). Bersama temen gue dari Vietnam, Chii, kita berlima jalan-jalan ke Wakayama. Di sana pemandangannya indah banget. Bahkan kalau dipikir-pikir, Wakayama adalah tempat yang bikin gue pengin balik lagi dan lagi ke sana. Padahal nggak terlalu beken dan nggak ada tempat wisata yang wah banget di sana. Pertama kali ke Wakayama, gue banyak ngobrol sama okaasan. Karena saat itu bahasa Jepangnya chii nggak bagus-bagus banget, dan dia nggak ngerti bahasa Inggris, jadi gue semacam jadi penerjemahnya Chii juga.

Setelah dari Wakayama, kami pun pulang ke rumah okaasan. Dan di sana, ketemu sama otousan yang sehat dan sangat ceria. Gue suka banget selera humornya otousan. Saat itu, Ryuu masih kecil banget dan masih malu-malu untuk diajak ngomong. Jadi, gue nggak inget banyak apa yang gue obrolin sama Ryuuchan.

Sebenernya saat itu nggak bisa dibilang homestay juga, sih. Karena gue dan Chii nggak nginep di rumah mereka. Kami berdua langsung diantar pulang ke asrama malamnya.

Kami ketemu lagi sama keluarga Matano sewaktu acara perpisahan yang diadain di JF Kansai. Awalnya sih ngomongin pembelajaran di JF. Tapi begitu obrolan masuk ke arah komunikasi setelah perpisahan itu, gue nangis. Rasanya nggak pengin pisah. Masalahnya gue merasa nge-klik banget sama okaasan. Dan Okaasan bukan kayak kebanyakan orang Jepang yang terlalu menjaga batasan sama orang baru. Mungkin karena dia orang Oosaka. Okaasan dan keluarganya sangat blak-blakan kalau ngomong. Jadi gue bisa ngomong banyak hal, bahkan menyangkut kepercayaan mereka dan gaya hidup orang Jepang. Bareng mereka juga gue belajar untuk menjelaskan kepercayaan gue dan makna dari pakaian yang gue pake dengan bahasa Jepang. Nggak gampang memang. But I did it :)
Waktu perpisahan di JF Kansai. Ryuuchan masih bocah xD

Perpisahan itu terasa berat buat gue. Tapi jadi nggak terlalu terasa menyedihkan karena okaasan ternyata suka surat-suratan juga. Jadi begitu balik ke Indonesia, gue sering berkirim surat, kartu pos dan hadiah-hadiah ke okaasan. Sewaktu ngasih kabar soal nyokap gue yang dipanggil Allah, okaasan ngirimin gue surat berlembar-lembar untuk ngasih semangat dan penghiburan. Bener-bener berasa punya ibu satu lagi :')

Saat itu, sebenernya gue punya kontak LINE okaasan. Tapi entahlah, kami berdua lebih suka surat-suratan. Karena menanti suratnya membuat gue seneng. Nulis balasan surat juga membuat gue seneng karena bisa belajar gimana mengungkapkan banyak hal yang ingin diceritakan ke dalam beberapa lembar kertas.

Nggak lama setelah itu, okaasan ngasih kabar lewat surat kalau otousan divonis kanker. Gue shock banget waktu itu. Gantian gue yang nulis surat untuk menenangkan dan menghibur okaasan. Tapi sejujurnya gue nggak tau harus nulis apa. Karena gue sama shocknya dan sama sedihnya. Waktu itu, gue bertekad untuk balik ke sana dan ketemu otousan selagi masih sempet.

Sampai akhirnya gue berkesempatan untuk ke sana lagi dua tahun lalu. Walaupun ada macem-macem, ketemu otousan adalah prioritas gue. Dan kali ini, gue beneran home stay di sana. Sebelum gue ke sana, okaasan nanya apa-apa aja yang gue butuhkan, dan makanan apa yang bisa atau nggak bisa gue makan. Dan gue nggak nyangka demi gue, okaasan bela-belain beli futon baru :') Dan supaya gue nyaman untuk shalat dan lain-lain, gue dikasih satu kamar sendiri. Di kamar otousan. Waktu itu gue merasa nggak enak banget karena berasa ngusir otousan dari kamarnya (di satu sisi juga bingung kenapa otousan punya kamar sendiri, nggak bareng okaasan atau ryuuchan x'D). Tapi abis itu okaasan bilang kalau otousan emang nggak bisa tidur bareng orang lain, dan biasanya juga tidur di rumah obaasan. Jadi nggak masalah.

Begitu gue dateng ke sana, gue dijemput okaasan di stasiun, dan disambut Ryuuchan di rumah. Dan kalimat pertama yang diucapkan Ryuuchan adalah "selamat pagi. Apa kabar?" sambil liat catatan di kertas. AAAA~ RYUUCHAN CHOUKAWAII!!! *peluk*

Abis itu gue dimasakin makanan yang serba sayur dan seafood. Gue nggak ikut bantu masak karena takut malah bikin berantakan. Tapi karena ngeliat gue yang pengin bantu, akhirnya dikasih sayur-sayuran yang harus dipotong-potong. Sementara itu Ryuu di pojokan main game terus. Dia berubah jadi gamer :v Abis itu gue ikutan main juga, sih.
Jangan main mulu, Dek... :p

Nggak lama selesai makan, otousan pulang dari kerjaannya. Gue pun penasaran dan bertanya-tanya kenapa otousan masih kerja. Dan otousan bilang dia udah baikan setelah beberapa kali perawatan dan kemo. Dan dia nggak bisa menahan diri terus di rumah, mending kerja. Tipikal orang Jepang sekaleh.... Gue bawain oleh-oleh baju batik dari Indonesia, tapi sayangnya nggak muat sama otousan. Padahal itu udah ukuran paling gede. Hiks.
Otousan kembali sehat abis kemo

Malamnya, setelah semua tidur, gue dan okaasan ngobrol. Mencoba mengejar kabar-kabar yang terlewat selama 4 tahun nggak ketemu. Dan itu sampe jam 2 nggak tidur akhirnya. Hehe. Banyak banget yang diobrolin sama okaasan waktu itu. Ada banyak hal-hal pribadi yang kita omongin, yang sekali lagi gue nggak nyangka bisa ngobrolin itu sama orang Jepang. Dan itu--sekali lagi--membuat gue sadar kalau okaasan beda sama orang Jepang kebanyakan. Dia nggak ragu-ragu untuk membagi rahasia dan hal-hal pribadinya sama gue. Dan di akhir percakapan, dia pun bilang kalau nyaman ngomong sama gue karena gue orang yang terbuka dan nggak masalah melakukan deep conversation--sesuatu yang sulit dia dapat kalau ngobrol sama orang Jepang lainnya.

Pertemuan itu membuat gue sedikit tenang karena otousan udah membaik. Setelah pulang ke Indonesia, gue sulit untuk surat-suratan karena bener-bener lagi nomaden dan susah ngasih satu alamat yang pasti. Jadilah komunikasi lewat LINE. Sayangnya, tahun ini hampir nggak pernah komunikasi karena guenya sibuk banget, dan okaasan juga jarang nongol di facebook. Sampai akhirnya begitu gue inget dan mau menghubungi lagi via LINE, okaasan posting foto-foto baru di facebook. Dan gue pun mendapat kabar kalau otousan udah nggak ada sejak beberapa bulan yang lalu.... :'(

Okaasan emang sengaja nggak ngasih kabar ke siapa-siapa soal itu sampai akhirnya siap. Okaasan dan ryuuchan pun sempet liburan ke Paris untuk menghibur diri. Sekarang, komunikasi sama okaasan jalan lagi kayak biasa. Dan banyak hal-hal yang mau gue omongin dan belum sempet cerita. Begitu okaasan tau gue lanjut S2 untuk jadi dosen, malah ditawarin untuk kerja di sana karena pasti banyak lowongan untuk orang kayak gue.

Duh, sekangen-kangennya sama okaasan, tetep aja males buat kerja di Jepang mah. Ntar yah kaasan, kapan-kapan ajah akoh main ke sana lagi, ketemu Ryuuchan yang udah gede dan ngganteng :v

Selasa, 28 November 2017

Tokoh Antagonis dalam Cerita



"It's a chimera that talks like a human." —Shou Tucker (Fullmetal Alchemist)
"Get in the fucking robot" —Gendo Ikari (Neon Genesis Evangelion)

Dua quote fenomenal yang membuat dua makhluk di atas menjadi tokoh antagonis di antara antagonis lain di dunia animanga. Siapa sih yang nggak inget adegan Ikari dipaksa bapaknya masuk Eva meski dia udah pasang tampang melas kalau dia nggak tau apa-apa soal Eva?

Siapa yang tega sama Ikari yang punya muka super melas begini? Bapaknya sendiri!
Atau, siapa sih yang nggak inget kejadian anak perempuan bernama Nina yang tiba-tiba menghilang dan tiba-tiba bapaknya muncul memperkenalkan hasil eksperimennya yang baru, chimera yang bisa berbicara seperti manusia?

Siapapun yang ngikutin dua anime itu, pasti nggak tahan pengin nampol dua bapak nggak tau diri yang super tega sama anaknya sendiri. Kekesalan pada mereka berdua bahkan ngalahin tokoh antagonis yang lebih utama macam angel, lust, envy, dll.

Nina yang lucu, dijadiin eksperimen sama ayahnya sendiri yang terobsesi membuat chimera hingga akhirnya mentransmutasikan Nina dengan anjingnya.
Tokoh antagonis yang bikin Edward sampe sekesel ini
Bahkan kalau baca atau nonton ulang bagian ini, gue pasti nggak bisa nggak mewek. JAHAT BANGET BAPAKNYA!!
Barusan itu contoh karakter antagonis yang antagonis banget (apa sih ini bahasanya...). Ada juga tokoh antagonis yang sedikit konyol, tapi gue yakin nggak ada yang bakal jadiin dia karakter favorit.

Gambarnya kecil aja. Soalnya kalo liat dia, bawaannya kessel
Ada juga tokoh antagonis yang saking antagonisnya menjadi representasi satu sifat buruk manusia, 'munafik'. 

Yang langganan baca webtoon pasti tau tokoh yang melambangkan karakter 'munafik' ini xD
Kenapa mendadak gue ngebahas tokoh-tokoh antagonis dalam cerita? 

Soalnya, meskipun di satu sisi adanya tokoh-tokoh ini bikin gue pengin garuk tembok saking sebelnya, tapi juga membuat gue kagum sama pengarangnya yang mampu menggambarkan tokoh antagonis dengan baik. Pengarangnya bisa membuat pembaca/penonton ikutan benci sama tokoh antagonis itu, yang otomatis pembaca/penonton bisa merasakan kesedihan atau kesulitan tokoh protagonisnya. Artinya, pengarangnya berhasil membangun peran tokoh masing-masing dengan baik.

Yang lebih jago lagi sebenernya, saat pengarangnya bisa membuat pembaca/penonton berempati pada tokoh antagonisnya setelah dibuat sebel sama kelakuannya.

Pitou (tengah) adalah tokoh antagonis yang akhirnya menjadi nggak antagonis-antagonis amat begitu nyawanya di dalam genggaman Gon, tapi dia tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Komugi. Youpi (kanan) juga nggak terkesan antagonis-antagonis amat karena prinsipnya yang kuat. Kalau Pouf (kiri) sih lain urusan. Tenggelemin aja ke laut.
Meski berkali-kali berkhianat, entah kenapa Luke tetep populer dan membuatnya nggak antagonis-antagonis amat. Gue juga suka, sih.
Membuat pembaca/penonton mengerti mengapa tokoh antagonis melakukan tindakan jahat itu nggak gampang. Alasan si tokoh antagonis harus kuat dan menarik simpati orang untuk memaklumi apa yang dia lakukan. 

Nah, bikin tokoh antagonis yang JAHAT BANGET tanpa alasan aja gue nggak bisa. Apalagi bikin yang macamnya Luke Castellan gitu. 

Gue paham kalau kehadiran tokoh antagonis itu penting banget untuk membangun cerita yang utuh dan menarik. Tapi gue selalu nggak kepikiran mau bikin tokoh antagonis macam apa. Kalau kata penulis kawakan, sih, pikirin aja karakter orang paling menyebalkan dalam kehidupan nyata sebagai gambaran tokoh antagonis. Tapi, tetep aja nggak bisaaa... Masalahnya gue kebanyakan melupakan tindakan-tindakan ngeselin yang orang lain lakukan ke gue. Pada dasarnya gue gampang lupa, sih. Jadi nggak banyak kejadian masa lalu yang gue inget secara detil. Untuk itulah gue nulis diari. Tapi yang gue tulis ya kejadian-kejadian yang menyenangkan aja. Yang ngeselin ngapain ditulis? Diinget-inget aja males. Nah, karena nggak ada sesuatu yang mengingatkan gue sama kejadian itu, ya gue nggak inget. 

Dulu, gue pernah sekali deactive twitter gara-gara kejadian yang benar-benar menyebalkan, diawali dari seseorang yang benar-benar menyebalkan. Tapi karena nggak gue tulis, gue bener-bener lupa ada kejadian apa waktu itu. Soal deactive-nya pun gue baru inget setelah dapet notifikasi di email. 

Jadilah gue sulit menjadikan orang di kehidupan nyata sebagai role model untuk tokoh antagonis. Paling mencoba menggabungkan tokoh-tokoh antagonis dalam cerita yang ditulis orang lain. Tapi itupun masih payah banget. Untunglah genre yang gue tulis komedi. Jadi gue bisa bikin tokoh antagonis yang sebenernya muncul hanya karena salah paham atau kebodohan si tokohnya sendiri. Dan aslinya gue nggak sebel-sebel banget sama tokoh macam begitu, karena cuma jadi sasaran lawakan aja. 

Sampai sekarang gue belum menemukan formula yang pas untuk membuat tokoh yang punya potensi dibenciiii banget sama pembaca. Yang tau caranya, ajarin doooong....

Rabu, 22 November 2017

[Movie Review] Marlina - Si Pembunuh dalam Empat Babak


Jenis Film : Thriller
Produser : Rama Adi, Fauzan Zidni
Sutradara : Mouly Surya
Penulis : Rama Adi
Produksi : Cinesurya Production


Sinopsis:
Suatu hari di sebuah padang sabana Sumba, Indonesia, sekawanan tujuh perampok mendatangi rumah seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy). Mereka mengancam nyawa, harta dan juga kehormatan Marlina dihadapan suaminya yang sudah berbentuk mumi duduk di pojok ruangan. Keesokan harinya dalam sebuah perjalanan demi mencari keadilan dan penebusan, Marlina membawa kepala dari bos perampok, Markus (Egi Fedly), yang ia penggal tadi malam. Marlina kemudian bertemu Novi (Dea Panendra), yang menunggu kelahiran bayinya, dan Franz (Yoga Pratama), yang menginginkan kepala Markus kembali. Markus yang tak berkepala juga berjalan menguntit Marlina.

WARNING: SOFT SPOILER


Kamis, 02 November 2017

[Review] How I Met Your Mother - Season 1


 Gue baru aja mulai nonton 'How I Met Your Mother' setelah direkomen sama Sarah. Berhubung emang banyak yang bilang lucu, dan gue juga udah dapet filmnya dari season 1 sampai yang terakhir, yaudah gue coba nonton.

Dan iya, emang lucu :))



Inti ceritanya sederhana, sih. Cuma kisah Ted, pria beranak dua yang cerita ke anaknya gimana pertama kali dia ketemu ibu mereka. Walaupun Ted yang udah punya dua anak itu cuma jadi narator, dan cerita sebenarnya adalah Ted di masa muda, yang masih struggle dalam mencari cinta, karena dia jomblo abadi.

Tokoh dalam season 1 (yang baru gue tonton sampai episode 17) ada lima. Ted, Marshall (teman sekamar Ted), Lily (tunangan Marshall), Barney (orang aneh yang tadinya nggak mau dianggap temen sama tiga orang itu), dan Robin (cewek yang ditaksir Ted pertama kali, tapi akhirnya jadi temen karena entah kenapa hubungan mereka nggak lancar walaupun kelihatannya saling tertarik).

Setelah nonton beberapa episode, pertanyaan yang selalu membayangi gue adalah "Kapan Ted ketemu sama cewek yang akan jadi istrinya nanti?"

Kenapa? Soalnya gue nonton ini setelah dapet serinya sampai season 9. Kalau ini seri belum selesai, jangan-jangan sampai season 9 pun Ted belum ketemu sama calon istrinya (0_0)

Gue nggak akan bertanya-tanya gitu kalau gue nontonnya pas seri ini baru muncul season 1.

Anyhow, ceritanya emang ringan, dan lucu. Karena Barney yang aneh, Marshall dan Lily yang nggak pernah putus meski udah 9 tahun pacaran karena bener-bener cocok, dan terutama karena karakter Ted yang selalu kebanyakan mikir. Sampai-sampai nama dia jadi verba sendiri.

"Just don't ted it!"

yang artinya, "Just don't think it too much!" xDD

Meskipun lucu, sebenernya gue agak kurang bisa mengikuti karena pada dasarnya ini romens. Dan gue emang nggak terlalu ngerti soal gituan. Gue nggak paham kenapa hubungan Ted dan Robin nggak berjalan lancar padahal mereka jelas-jelas tertarik satu sama lain. Robin bilang nggak bisa mengikuti kemauan Ted yang berharap mereka menjalin hubungan serius sampai ke jenjang pernikahan karena dia takut terikat. Ted ngalah dan mencoba move-on walaupun sulit. Begitu akhirnya Ted tertarik dan menjalin hubungan sama cewek lain, Robinnya nggak suka. Begitu Ted sadar perasaan Robin, dia mencoba menghentikan hubungannya sama Victoria dan berpaling lagi ke Robin. Karena sejak awal dia tertariknya sama Robin. Lalu masalah pun muncul, dan hubungan mereka jadi canggung. Oke, gue baru nonton sampe situ, jadi nggak tahu kelanjutannya gimana.

Tapi maksud gue...

Masalah-masalah itu nggak akan terjadi kalau masing-masing dari mereka tahu apa keinginan mereka sendiri. Kalau mereka sudah memutuskan keinginan sendiri, ya nggak boleh menyesal kalau ternyata keinginan itu salah dong.

Walaupun Barney itu aneh, tapi seenggaknya dia tau dengan jelas apa yang dia mau, dan dia nggak pernah menyesali keputusannya.

Kalau suka bilang aja suka. Kalau nggak, yaudah nggak. Kalau awalnya bilang nggak bisa menjalin hubungan sama seseorang karena prinsip sendiri, ya nggak usah menyesal kalau akhirnya orang itu akhirnya sama orang yang lain lagi.

Yah, pada akhirnya gue bilang gitu cuma berdasarkan penilaian pribadi gue. Hahahaha. Gue sadar kok kalau masalah perasaan itu rumit. Kadang apa yang kita pikirkan emang nggak sesuai sama apa yang kita rasakan. TAPI YA DISESUAIKAN, DOOONG! (lalu disambit)

Gue ngerti kok kalo gue sering dibilang jahat karena langsung mengeluarkan apa yang gue rasakan atau pikirkan tanpa saringan. Tapi seenggaknya gue nggak akan bersuara yang nggak sesuai sama pemikiran atau perasaan gue sendiri. Sekarang sih saringannya, kalau kira-kira perkataan gue bakal nyakitin orang, ya gue diem aja dan mencoba menahan diri sebisa mungkin (tambahin senyum kalo perlu) ini masih belajar sih sampe sekarang. Tapi gue nggak akan ngomong sesuatu yang bertentangan hanya untuk menghibur orang lain :)

Makanya, karena pemikiran yang begitulah, gue suka kesel kalau nonton film atau baca buku yang terlalu fokus sama perasaan. Dalam hati begini, tapi ngomongnya begitu, lalu jadilah kesalahpahaman dan akhirnya jadi masalah besar. Kesaaaaaalll...

Apalagi, kalau ada tokoh/karakter yang nanya "perasaan lo gimana?" terus dijawab dengan sesuatu yang benar-benar klise. "Nggak tau..."

Meeen, itu kan perasaan lo sendiri. Masa nggak tauuuu? Lo aja nggak tau, gimana orang laiiinnn??

Ini gue nge-rambling banget, asli. Bukannya belajar buat kuis besok, malah asyik nge-blog xD

Yah, intinya itu, sih. Entahlah ini gue lanjut nonton atau nggak. Karena episode yang gue tonton terakhir agak mellow gimana gitu, dan agak sulit meningkatkan mood lagi. Lagipula, gimanapun juga Ted nggak akan berakhir sama Robin karena anak-anaknya Ted di masa depan manggilnya "Aunt Robin", yang menunjukkan dengan jelas kalau Robin bukan ibu mereka.

Kalau sekadar nyari lucunya sih, mungkin gue bakal lanjut nonton juga. Ted lucu, sih :v Bocah banget.

Ted, tipikal karakter utama yang normal, tapi terlihat aneh karena orang-orang sekelilingnya jauh lebih aneh.

Senin, 30 Oktober 2017

[Movie Review] Happy Death Day

PREPARE YOURSELF FOR TWIST!


Yah, seenggaknya yang bisa gue spoiler hanya sebatas itu karena film ini masih terbilang baru walaupun kayaknya nggak terlalu beken karena cuma bertahan seminggu di bioskop. Harusnya sih sekarang masih ada, tapi cuma di beberapa bioskop yang posisinya jauh banget dari tempat gue. Itu juga nggak bakal lama karena bakal diserobot Thor-Ragnarok yang baru keluar dan pasti akan memakan beberapa studio sekaligus selama beberapa minggu.

Gue pun batal nonton ini di bioskop karena pas mau nonton ternyata udah nggak ada di Depok. Udah susah-susah ngejar ke Pondok Labu pun akhirnya gagal juga karena telat dan antrian panjang banget. Nonton thriller itu nggak boleh telat barang 5 menit, men. Bisa aja semua jawaban ada di awal cerita yang justru nggak terlalu diperhatiin.

Tapi bersyukurlah karena teknologi yang super canggih, ternyata di web langganan udah ada streamingnya, meski pake subtitle mandarin :'D Gapapa, gue udah cukup terlatih dengan buku teks bahasa Inggris tiap kuliah yang lumayan bikin otak kering, kok. Akhirnya gue nonton itu tanpa subtitle saking penasarannya. Hahaha.

Dan ceritanya lebih bagus dari yang gue bayangkan. Hohoho. GUE PUAS BANGET NONTONNYAAA....

Padahal trailernya aja udah bagus, dan bikin gue penasaran banget pengin nonton. Kalau trailernya kece kan ekspektasi jadi tinggi banget. Dan biasanya justru mengecewakan karena ekspektasi yang ketinggian. Tapi ini PAS banget.


Sinopsis:
Tree Gelbman is a blissfully self-centered collegian who wakes up on her birthday in the bed of a student named Carter. As the morning goes on, Tree gets the eerie feeling that she's experienced the events of this day before. When a masked killer suddenly takes her life in a brutal attack, she once again magically wakes up in Carter's dorm room unharmed. Now, the frightened young woman must relive the same day over and over until she figures out who murdered her.

Intinya, film ini bercerita soal time paradox yang dialami Tree. Macemnya time paradox di film 'miss peregrine's home for peculiar children' yang mengulang hari yang sama terus menerus sampai hari di mana rumah mereka dibom menjadi suatu rutinitas.

Sejujurnya, ada beberapa adegan pembunuhannya yang membuat gue bertanya-tanya kenapa bisa jadi kayak gitu. Gimana caranya si pembunuh bisa--

Oke, itu urusan lain. Daripada gue spoiler.

Tapi yang paling gue suka dari film ini adalah proses perubahan yang dialami Tree. Seenggaknya, ini bukan sekadar film bunuh-bunuhan doang. Di dalamnya tetep ada moral cerita yang bisa diambil, dan itu adalah inti ceritanya. Oke, twistnya juga, sih :p

Pembunuh di film ini mirip yang ada di scream, ada di mana-mana :v Tapi kalau scream itu hampir nggak ada moral yang bisa diambil. Isinya banyakan bunuh-bunuhan dan topeng pembunuhnya yang terlihat lucu. Satu-satunya alasan nonton scream adalah untuk nebak siapa pembunuhnya. Walaupun, nggak dikasih klu juga, sih. Jadi agak percuma. Semacam tebak-tebak buah manggis aja jadinya.




Topeng yang dipakai pembunuh di dua film ini sama-sama lucu, sih :v

Apa supaya nggak mainstream? Kalau topeng pembunuhnya juga serem, nggak seru, gitu?

Kamis, 26 Oktober 2017

CEO dan Fantasi

Akhirnya gue sadar kenapa ada fenomena 'CEO' di wattpad. Ceritanya, setelah menganalisis cukup lama dalam otak, gue berhasil memecahkan misteri tersebut. Halah.

Rupanya, perkiraan gue soal pengaruh 'Fifty Shades of Grey' pada fenomena merebaknya tokoh CEO dalam cerita-cerita wattpad itu nggak sepenuhnya bener. Soalnya kayaknya nggak semua yang nulis soal CEO itu pernah baca FSOG. Yah, gue juga pernah baca reviewnya doang sih. Itu ada udah bikin ngakak nggak ketulungan. Gue harus tanya lagi sama Ruru link reviewnya, soalnya gue mau baca lagi #heh

Sebenernya ini nggak terbatas sama karakter CEO aja, sih. Tapi karakter cowok super kaya tanpa masalah finansial, wajah tampan tanpa kegalauan mau oplas apa nggak, dan status tinggi yang tak tergoyahkan. Masalah mereka cuma satu. Cinta.

UHUK.

Dari hasil analisis gue, penulis membuat karakter yang seperti itu karena mereka hanya ingin fokus ke masalah cintanya aja. Kenapa? Karena buat mereka itu yang menarik. Apa serunya sih bikin cerita tentang seseorang yang punya masalah finansial dan berusaha keras untuk mengatasi itu? Tiap hari juga hidup gue berhubungan sama masalah finansial! Bosen!

Kenapa bikin tokoh yang ganteng? Karena di sekelilingnya kekurangan orang ganteng. Dan walaupun hanya dalam cerita, seenggaknya ada pengalaman dikelilingi sama orang-orang ganteng gitu.

Kenapa bikin tokoh yang statusnya tinggi? Boss, presdir, CEO, anak presiden, keturunan raja, anak donatur terbesar di sekolah, anak konglomerat, you name it. Ye kan di kehidupan nyata statusnya bawahan terus. Sesekali lah ngerasain jadi orang yang statusnya tinggi walaupun yang ngerasain hanya karakter dalam cerita yang kita tulis sendiri.

Karena semua yang dibentuk dalam cerita adalah impian si penulis. Impian itu sendiri bisa berupa harapan, penyampaian pesan, hasrat terpendam, dan terkadang.... pelarian dari kehidupan yang tidak sesuai imajinasi lah, curcol.

Tiap orang pasti menulis untuk tujuan tertentu, dan itu nggak salah. Gue sendiri juga menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai pelarian dari kehidupan nyata. Hanya mungkin, arahnya jauh dari kehidupan sosialita yang glamor dan jauh dari masalah-masalah manusia kelas menengah ke bawah.

Pelarian gue adalah sesuatu yang jauh banget dari dunia manusia. Karena di dunia nyata setiap hari berhubungan dengan manusia, begitu masuk ke dunia cerita, gue mau bersentuhan dengan sesuatu yang nggak ada di dunia nyata. Mungkin, itulah alasan kenapa gue suka banget cerita fantasi.

Legolas - Lord of the Ring

Legolas adalah elf paling tampan yang pernah ada. Walaupun, pada dasarnya semua elf itu tampan. Termasuk prince dari cerita 1/2 prince.

Prince - 1/2 Prince

Bukan hanya yang tampan, tapi gue juga suka ngeliat monster yang keren-keren.


Tapi kalau awakened being-nya Jane sih lain cerita. Dia adalah monster paling cantik yang pernah gue tau. Walaupun semua awakened being di Claymore itu keren-keren banget, sih. Hiks.

Awakened Jane - Claymore
Awakened Claire - Calymore
Awakened being - Claymore

Selain cerita fantasi berisi makhluk-makhluk fantasi, cerita distopia juga jadi salah satu favorit gue, sih. Kata distopia sendiri merupakan lawan kata dari utopia atau dunia ideal yang diimpikan. Dalam cerita distopia, biasanya dunia berubah menjadi sesuatu yang benar-benar jauh dari bayangan dan sama sekali tidak diimpikan. Biasanya juga, cenderung menciptakan dunia yang ideal dengan dehumanisasi atau menghilangkan rasa kemanusiaan. Contohnya: Hunger Games, Divergent, The Maze Runner, Minority Report, Battle Royale, dsb.

Suka cerita distopia bukan berarti gue memimpikan dunia yang begitu, sih. Tapi justru sebaliknya. Karena baca/nonton cerita begitu membuat gue berpikir kalau masalah-masalah di dunia nyata nggak ada apa-apanya.

Tapi meski gue suka banget cerita fantasi, gue tetep nggak bisa nulis fantasi. Otak gue nggak nyampe. Karena untuk bikin cerita fantasi, otak kita harus membentuk dunia baru yang beda banget sama dunia yang ada sekarang. Semakin detil, semakin bagus. Dan itu membutuhkan kapasitas otak yang sangat-sangat besar. Penderita short memory syndrom macam gue bisa apa?

Yak. Analisis tidak penting gue cukup sampai di sini.

Rabu, 25 Oktober 2017

[Movie Review] Exposed

Bakat Keanu Reeves sia-sia dalam film ini.

Penginnya sih review gitu doang. Wahahaha. Perasaan gue setelah nonton film ini mirip kayak setelah gue nonton film LUCY. Gue merasa rugi. Buang-buang waktu 2 jam nonton ginian. Tau gitu gue bobo lebih cepet aja.

Padahal tadinya gue mau cari hiburan karena tumben-tumbenan besok masuk kuliah siang doang, dan nggak ada tugas. Kayaknya baru kali ini masuk kuliah bebas tugas kecuali pas pertemuan pertama :v Ya Allah, hidup ini berat....


Biar dikata poster filmnya penuh sama Keanu Reeves doang, peran dia dalam film ini udah kayak pemeran pembantu yang sebenernya nggak perlu ada juga nggak apa-apa.

"Film barat berjudul “Exposed” ini merupakan film yang bercerita mengenai sebuah misteri pembunuhan. Seorang detektif bernama Scott Galban (Keanu Reeves) mencari sebuah kebenaran di balik misteri pembunuhan rekannya. Di sisi lain, seorang wanita muda Latin bernama Isabel de la Cruz (Ana de Armas) yang mengalami sebuah kejadian aneh dan mengatakan bahwa telah melihat sebuah keajaiban."

Film ini alurnya sungguh gak jelas, dan pada akhirnya nggak menjelaskan apa-apa. Padahal, sebenernya punya potensi jadi bagus juga.

Intinya, Scott yang berusaha mengungkap misteri di balik terbunuhnya si partner, ternyata nggak bisa menemukan petunjuk apapun selain foto-foto beberapa orang negro yang dia ambil sebelum kematiannya. Yah, sebenernya foto itu juga bukan dia yang nemu, sih. Kan kameranya jelas ada sama korban, tinggal cetak doang, langsung ketauan.

Setelah itu dia nyari tau siapa orang-orang negro itu dan nyari tau apa hubungannya sama Cullen, partnernya yang dibunuh. Hasilnya nihil. Sampe akhirnya dia dikasih tau atasannya kalau orang negro yang di foto adalah 'korban sodomi'nya Cullen selama di penjara. Dan kalau kasus itu diterusin, uang pensiunnya Cullen bakal hangus, dan istrinya nggak dapet apa-apa.

Di sisi lain, korbannya Cullen yang namanya Rocky itu adalah ipar dari Isabela, perempuan yang belakangan ngeliat hal-hal aneh dan sulit dijelaskan dengan logika kayak waktu dia ngeliat orang yang jalan melayang, ngeliat perempuan pake gaun merah tapi wajah sama rambutnya putih semua, macam alien. Dia juga mendadak bilang hamil, padahal suaminya lagi tugas di Irak. Dia menganggap itu sebagai keajaiban dari Tuhannya.

Pada akhirnya, dijelasin kalau ternyata semua itu bayangan Isabela aja. Dari endingnya, sutradara sepertinya mau ngasih penjelasan kalau Isabela itu kena gangguan jiwa dan ngeliat hal-hal yang nggak masuk akal, termasuk berteman sama satu anak yang ternyata dirinya sendiri waktu kecil yang menerima pelecehan seksual dari ayahnya sendiri.

Hubungan Isabela sama kasus terbunuhnya Cullen? Ternyata dia yang ngebunuh Cullen karena sempet diperkosa di stasiun kereta. Tapi berhubung Isabela ada gangguan jiwa, ingatan itu hilang dari otaknya dan justru keganti sama ingatan-ingatan yang nggak masuk akal. Termasuk kehamilan yang dia anggap keajaiban. Meski begitu, nggak dijelasin apakah orang lain tau soal gangguan jiwa yang diderita Isabela ini, dan bagaimana dia bisa jadi kunci semua misteri ini.

Pada akhirnya Scott (Keanu) nggak ngapa-ngapain. Nemu sesuatu yang baru juga nggak. Semuanya dibuka sendiri sama atasannya. Nuraninya emang nggak pengin kasus itu ditutup gitu aja. Tapi pada akhirnya dia nggak ngapa-ngapain dan nggak melakukan sesuatu yang berarti.

Ada adegan-adegan lain kayak hubungan Scott sama anaknya yang tinggal jauh dari dia, hubungan Isabela sama suaminya, hubungan mantan istrinya Cullen sama Scott, yang menurut gue nggak ada esensinya sama sekali untuk kepentingan cerita. Udah gitu, selain misteri pembunuhan Cullen, ada juga 3 orang lain yang terbunuh setelahnya, dan sampe akhir juga nggak ada penjelasan soal itu. Kayak cuma pengin ngasih bumbu drama aja, gitu.

Gue yang tadinya mau nonton thriller yang agak mikir gitu biar otak seger, malah jadi kessel. Film ini sia-sia banget :'D

Tau gitu gue baca komik aja....

Jumat, 06 Oktober 2017

Menganalisis Pemikiran Manusia

Mempelajari manusia sebagai makhluk sosial itu sulit, ya?

Seenggaknya itulah yang gue sadari begitu masuk mata kuliah 'teori kebudayaan' yang sebenernya nggak mau diambil, tapi wajib untuk semua peminatan--gimana dong?

Padahal gue seneng-seneng aja masuk mata kuliah yang lain, walau rumit. Tapi begitu masuk kuliah teori budaya, gue selalu duduk paling belakang, mencoba mendengarkan dosen sambil manggut-manggut antara pura-pura ngerti atau karena ngantuk.

Isi pelajarannya selalu kasus sosial, dan analisis kenapa bisa jadi kayak gitu.

Misalnya aja cerita soal buku 'Pengakuan Pariyem' yang katanya terkenal di kalangan budayawan karena kental dengan budaya Jawa yang agak kontroversial.


Secara singkat, Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang bekerja untuk keluarga konglomerat berdarah biru yang memiliki anak laki-laki bernama Raden Bagus. Kisah cinta terjalin antara Raden Bagus dan Pariyem hingga Pariyem hamil. Mengetahui kehamilan Pariyem, ayah Raden Bagus marah. Lalu kira-kira apa yang dilakukan ayah Raden Bagus? Atau bagaimana Pariyem akhirnya bersikap?

Nah, analisisnya di situ. Apa yang dilakukan mereka berdua sebagai orang Jawa?

Ada yang jawab Pariyem dibuang. Ada yang bilang mereka seharusnya bermusyawarah untuk mufakat. Ada mahasiswi dari China yang bilang kalau ayahnya memberikan uang banyak pada Pariyem dan memintanya meninggalkan Raden Bagus. Ini sinetron banget, deh :v

Ternyata, jauh dari jawaban mahasiswa, masalah Pariyem terselesaikan dengan damai. Pariyem pergi meninggalkan keluarga Raden Bagus dan pulang kampung. Keluarga Raden Bagus nggak jadi kehilangan muka. Pariyem sendiri merasa senang karena mengandung anak dari seorang yang terpandang dan tidak menuntut macam-macam. Istilahnya, sadar diri.

Dan kisah ini jadi kontroversi karena sebagian nggak terima kalau sifat yang terlalu nrimo itu digambarkan sebagai budaya Jawa.

Lalu, mulailah belajar bagaimana kasus ini dipandang dari sudut psikologis dan budaya. Nah, di sini gue mulai agak lost. Terutama begitu kasus-kasus sosial yang ada di sekitar kita dipolakan.

Soalnya, menurut logika gue, kejadian-kejadian itu sama sekali nggak berpola. Bahkan kalau mau dibuat polanya, tiap kasus sosial pasti beda. Cakupannya terlalu luas untuk dibuat pola. Terlalu banyak faktor yang bisa menyebabkan satu kejadian terjadi.

Emang sih teorinya "tidak setiap kasus sosial terjadi karena budaya, tetapi setiap kasus sosial dapat dianalisis dengan pendekatan budaya."

But I'm still lost.

Kasus-kasus sosial emang menarik. Tapi gue hanya sekadar penikmat. Gue menikmati contoh-contoh kejadian berdasarkan pengaruh budaya sebagai cerita. Semisal ceritanya Pariyem, ya gue akan menikmati layaknya novel. Meskipun, mungkin gue nggak akan terlalu tertarik karena terlalu vulgar dan cerita yang termasuk open ending (kayak kebanyakan novel Jepang :v). Yah, mau gimana lagi, ini kan kisah nyata yang dituturkan lagi.

Atau misalnya ketika orang asing yang ada di Indonesia bingung kenapa tiap kali orang Indonesia memberikan sesuatu pakai tangan kiri, pasti minta maaf.

Paling komentar gue cuma, "oh iya, menarik. Lucu juga ya..."

Udah.

Nah, untuk menganalisis kasus-kasus sosial kayak gitu, gue sama sekali nggak tertarik. Karena ini jatuhnya sama kayak interpretasi puisi. There's neither right nor wrong. Analisis semacam ini akan jadi sesuatu yang sifatnya sangat subjektif. Untuk baca hasil analisis orang sih oke, tapi kalau gue yang diminta analisis, nggak, deh. Apalagi, sesuatu yang berhubungan dengan pemikiran manusia itu bener-bener sulit ditebak. Orang yang sangat-sangat tidak peka macam gue bisa apa? :v

Gue pikir, belajar budaya itu mengenali berbagai budaya yang berbeda dari berbagai wilayah aja. Kalau sebatas itu, pasti gue bisa menikmati. Gue nggak menyangka akan belajar teori-teori dasar yang melahirkan budaya itu sendiri.

Kalau menganalisa struktur bahasa, gue paham dan cukup bisa mengikuti kecuali fonologi. Soalnya, walaupun para linguis sering beda pendapat, setidaknya ada aturan-aturan dasar yang membatasi suatu analisis itu salah atau benar. Intinya, ada rumus yang pasti.

Misalnya gue diminta menganalisi dari mana kata "pemelajar" berasal. Kalau gue jawab asalnya dari kata "belajar",  gue pasti salah. Karena perubahan kata dari "belajar" adalah "pelajar". Sementara kata "pemelajar" muncul karena ada kata "mempelajari", sehingga orang yang mempelajari disebut "pemelajar", bukan "pelajar".

Nah, logika gue masuknya ke hal-hal yang kayak gitu. Kalau masuk analisis dengan pendekatan budaya, logika gue nggak akan kepake. Sehingga udah pasti gue bakal kesasar.

Intinya, gue lebih paham dengan sesuatu yang bisa dijelaskan secara pasti. Tapi, otak gue nggak nyampe kalau belajar ilmu pasti beneran macam sains, fisika, dan kawan-kawannya. Jadi, gue pilih yang agak fleksibel sedikit meskipun tetap pakai ilmu pasti, dan berbentuk kata-kata yang justru bisa gue visualisasikan dengan baik ketimbang angka.

Walaupun gue masuk peminatan linguistik deskriptif/murni, tapi temen gue banyakan dari peminatan bahasa dan budaya. Dan dua peminatan ini selalu ketemu di dua mata kuliah karena materinya berhubungan satu sama lain. Kami ketemu di kelas teori budaya dan semantik (ilmu yang mempelajari tentang makna). Jadi, begitu masuk kelas teori budaya, gue nggak paham. Dan begitu mereka masuk kelas semantik, gantian mereka yang nggak paham. Saling melengkapi, akakaka.

Yah intinya gitu, deh. Pada dasarnya dari dulu gue nggak jago menganalisis 'pemikiran manusia'.

Senin, 02 Oktober 2017

"This is Where I Belong"

Kira-kira sebulan udah gue jadi mahasiswa linguistik murni. Biasanya sih gue suka cerita pengalaman yang terbilang baru kayak gini. Tapi ini udah sebulan gue nggak nge-post apa-apa di sini.

SAKING SIBUKNYA.

Ini aja baru masuk sebulan, tau-tau minggu depan udah UTS aja. Apa-apaan...
Antara mau nangis sedih atau ketawa stress. Tapi yasudahlah, ini kan jalan yang gue pilih sendiri.

Awal-awal masuk, gue seneng banget. Karena ngomongin bahasa sama temen-temen sekelas itu nyambung banget. Lebih lagi, banyak temen-temen yang kerjanya udah berhubungan langsung dengan linguistik. Asyik banget! Tapi begitu ketemu dosen-dosennya, gue merasa ilmu gue jauuuuuuuuh banget.

Ini dosen-dosennya warbyasah! Padahal untuk semester pertama ini gue cuma ada empat mata kuliah. Tapi ternyata tiap mata kuliah dosennya minimal dua, maksimal empat. Jadi walaupun mata kuliahnya terlihat sedikit, tapi isinya padat, dan dosennya banyak.

Masalah yang paling utama adalah, TIAP DOSEN MINTA PAPER.

Oke, nggak semuanya, sih. Ada yang minta bentuknya kayak makalah dan presentasi, tapi nggak sedikit juga yang minta bentuknya berupa paper penelitian. Padahal dulu waktu lulus kuliah, gue sama sekali nggak berniat untuk lanjut kuliah karena waktu bikin skripsi aja susah banget. Lah ini sekarang diminta bikin paper penelitian yang isinya mirip-mirip kayak penelitian skripsi. Padahal baru semester satu.

Jadi, kalau harus gue gambarkan gimana rasanya jadi mahasiswa S2 itu, singkatnya begini:

skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-tesis.

Selesai.

Udah mau muntah belum?

Gue sih udah.

Apalagi, buku acuan yang dipakai rata-rata bahasa Inggris semua. Sementara bahasa Inggris gue itu pasif. Paling bisa paham kalau baca novel young adult macam Percy Jackson atau trilogi Maze Runner, yah sama novel-novel teenlit gitu, deh. Baca novelnya Stephen King yang Inggris? Belum kuat. Baca yang bahasa Indonesianya aja gue harus konsentrasi penuh.

Jadi begitu diminta ngerjain tugas dengan acuan buku-buku bantal itu, gue harus bolak-balik buku kamus. Seringkali, udah ngerti artinya pun, gue tetep nggak paham maksudnya apa. Harus dibaca berkali-kali dan nyari acuan dari buku lain baru gue bisa paham.

Tapi semua kesulitan ini cuma berdasarkan cara pandang aja, sih. Kalau diceritain kayak gitu emang kayaknya bikin eneg.... banget. Sebaliknya, sejauh ini gue merasa nyaman ngejalaninnya. Soalnya walaupun butuh usaha dan energi lebih untuk memahami buku-buku itu, gue bahagia begitu akhirnya paham isi bukunya. Semua ilmu yang pengin gue cari tahu ada di situ.

Gue bersyukur awal-awal masuk kuliah masih bisa pindah peminatan dari penerjemahan jadi linguistik murni. Soalnya ilmu yang mau gue cari emang dari awal ada di linguistik murni. Gue penasaran sama dasar segala bahasa, baik dari sisi semantiknya (makna), sintaksisnya (urutan kata), morfologisnya (pembentukan kata), dsb.

Nggak heran contoh yang dikasih bener-bener dari beragam bahasa. Sejauh ini, contoh yang pernah dibahas ada dari bahasa latin, aztec, finlandia, swahili, kongo, kujamaat joola (entah bahasa lucu ini asalnya dari mana xD), sampai bahasa eskimo. Yah, walaupun memang agak sulit dimengerti kalau contohnya dari bahasa-bahasa aneh itu, tapi gue sih seneng-seneng aja. Bahkan sebelum ganti HP, di galeri musik HP gue yang lama itu isinya lagu dari berbagai macam bahasa. Gue koleksi karena pengin tau aja bahasa-bahasa lain. Kalau nggak salah selain indonesia, inggris dan jepang, ada lagu korea, mandarin, thailand, rusia, finlandia, swedia, rumania, dll.

Kerjaan gue dan temen-temen yang lain selesai kuliah itu, ngebahas lagi kuliah hari itu. Sering banget jadinya malah kayak kuliah lagi antar kita-kita sendiri, walaupun sekadar menyamakan persepsi aja. Soalnya beda dari S1 yang rata-rata kuliah untuk nyari kerja nantinya, kuliah S2 itu tujuannya untuk jadi ahli di bidangnya masing-masing. Jadi ilmu yang digali lebih dalam.

Jadi inget waktu kelas selesai dan makan bareng-bareng di kantin, malah ngebahas perbedaan 'makan' dan 'memakan'. Semuanya ngasih argumen sampai akhirnya pada paham bedanya. Masalahnya, dalam kuliah semantik dibahas kalau sebenarnya istilah sinonim itu rancu, karena nggak ada dua kata di dunia ini yang sama persis dan bisa menggantikan satu sama lain apapun situasi dan kondisinya.

Walaupun sebelumnya kita menganggap kata 'menaruh' dan 'meletakkan' itu sama, ternyata setelah ilmunya nambah, dua kata itu nggak bisa lagi dibilang sinonim satu sama lain.

Kalimat "Barang itu terletak di atas meja", nggak bisa diganti jadi "Barang itu tertaruh di atas meja". Sebaliknya, kalimat "Tolong taruh tasnya di sana" juga nggak bisa diganti jadi "Tolong letak tasnya di sana."

Situasi dan kondisi pemakaian dua kata itu beda, begitu juga imbuhan yang biasa dipakai. Jadi nggak bisa dibilang itu dua kata yang sama.

Kalau sama anak linguistik lain, ngebahas begituan aja jadinya semacam 'hottest topic today'. Seru banget!

Padahal mungkin kalau dilihat sama yang lain, yang kami bahas itu APA BANGET. Nggak penting. Begituan aja dibahas. Kalau udah dipake dalam percakapan, yang mana aja juga bisa, asal sama-sama ngerti.

Makanya yang begituan emang asyiknya dibahas sama orang-orang yang peduli sama bahasa, apapun itu. Dan untunglah di sini nggak ada yang merasa salah jurusan atau apa. Jadi sebagian besar minat ngebahas ginian tiap hari.

Yah, walaupun kebanyakan dari mereka minat banget sama karya sastra dan gue nggak, sih. Gue lebih minat sama bahasa populer atau yang dipakai sehari-hari, bukan bahasa kiasan yang terlalu indah macam puisi.

Walaupun anak linguistik, gue tetep nggak paham sama yang namanya puisi. Hahah! *lalu diguyur*

Ngomong-ngomong, judul di atas itu kalimat salah satu temen gue yang merasakan hal yang sama kayak gue waktu masuk linguistik. Hoho.

Minggu, 03 September 2017

[Fanfiction] EPILOG BAD GENIUS




Dedicated to Bank. Because he deserved a good ending....

….dan nama panggilan yang lebih normal.



KEMBALI KE AWAL

Di hadapan Lynn kini terpampang toko laundry “Mister Bank” yang sebelumnya sama sekali tidak bisa dikenali. Toko laundry tersebut berubah drastis sejak beberapa minggu yang lalu. Dari yang tadinya sangat sederhana dan cenderung kumuh, kini terlihat modern dan bersih. Lynn hanya pernah mengunjungi tempat ini sekali, saat Bank—pemiliknya—memintanya datang kemari untuk menawarkan kerjasama yang akhirnya terpaksa ia tolak.

Ia tak menduga harus datang kembali ke sini setelah kejadian itu.

Minggu, 20 Agustus 2017

Lagi-lagi soal IDEALISME

Apa kalian akan mengikis idealisme demi sesuatu yang bersifat materiil?

Jawaban gue:
NGGAK

Wiih.... Berat nih bahasannya. Dan sejujurnya gue udah pernah bahas soal ini di sini. Tapi postingan sebelumnya lebih membahas soal keidealisme-an gue yang bisa bertahan sampai sekarang karena gue hampir nggak pernah mengalami kejadian yang memaksa gue untuk mengesampingkan prinsip-prinsip yang gue pegang. 

Nah, belum lama ini gue baru mengalami kejadian yang mengusik hati gue sebagai seorang idealis. Dan masalahnya cukup pelik sampe bikin gue pening beneran. 

Masalahnya ada dalam skala yang cukup besar. Tapi supaya lebih gampang dimengerti, gue akan pakai perumpamaan yang lain. 

Seorang bos penjual permen meminta gue memasarkan permennya. Bos bilang permennya enak, manis, dan gak seperti permen lain yang bikin gigi bolong, permen ini menyehatkan karena gulanya diganti pemanis yang jumlahnya lebih sedikit. 

Gue bilang, "masa ada permen kayak gitu? Iya sih pemanis emang dipake sedikit udah cukup, tapi bukannya malah lebih bahaya daripada gula?"

Bos yang sangat percaya diri dengan 'ide' permen barunya tersebut membantah, "tapi kan cuma sedikit. Lagipula anak-anak kan cari manisnya doang."

Gue pun membantah lebih lanjut. "Tapi kan bos bilang di iklan 'menyehatkan'. Yakin 'menyehatkan' kalau pakai pemanis buatan? Penelitiannya nggak gitu, tuh."

Lalu perdebatan berlanjut. Bos bilang, "gini ya saya kasih tahu, itu namanya bahasa marketing. Lihat di iklan-iklan, semua begitu. Kamu cuma perlu menjual permennya."

Gue mencoba menahan diri dari bahasan itu dan mengalihkan ke masalah lain. "Oke, kalo gitu permennya mana? Biar saya coba, sekalian ditunjukin ke calon pembeli. Oh iya, ngomong-ngomong BPOM-nya udah diurus? Label halalnya gimana?"

Bos menggeleng. "Ya nanti, permennya belum diproduksi. Intinya nanti bakal jadi permen yang kayak gitu. BPOM pasti diurus lah pokoknya. Label halal juga, intinya pasti halal. Jadi nggak masalah. Kamu sebarin aja infonya dulu, nanti begitu jadi, baru orang-orang bisa beli...."

Gue pun melongo. "Belum jadi? Terus promosi duluan? Terus kalau ternyata nggak jadi, gimana?"

"Ya dijadiin. Harus jadi. Perkiraan saya sih pasti bisa, kok," lanjut si bos dengan percaya diri setinggi langit. Kemudian disambung dengan kalimat yang hampir membuat gue mau berguling di lantai sampai jadi lemper, "pokoknya kamu yang buat resep sama cari bahannya ya. Besok harus jadi."

Gue menahan diri tereak di kupingnya pake toa dan menjawab, "tapi.... saya kan bisanya bikin kue. Resepnya beda dong, bos. Kalo mau saya yang buat, ya saya harus belajar dulu. Dan butuh waktu...."

"Masa, sih? Yang praktis aja. Kan sama-sama makanan manis. Bahan kue tinggal diganti bahan buat permen. Cari aja di google juga paling ada."

Perumpamaan gue hentikan sampai sini karena bagaimanapun juga logika si bos nggak nyambung sama logika gue.

Si bos kemudian cerita banyak pengalaman dia yang intinya gue nggak bisa terlalu idealis dalam segala hal. Cara berpikir gue nggak praktis. Maunya dia, orang bisa sampai puncak nggak mesti manjat pelan-pelan, tapi bisa aja pakai helikopter, atau malah naik awan kintoun. Sementara gue kekeuh pada prinsip gue kalau seseorang mau ke puncak harus selangkah demi selangkah, tingkat demi tingkat, dan itu butuh waktu. Tapi di sela waktu itu, manusia bisa belajar mengatasi masalah dari yang paling ringan sampai yang berat. Sehingga begitu sampai puncak, dia nggak gampang jatuh dan bisa bertahan dalam keadaan sesulit apa pun.

Prinsip kami jelas bertentangan. Apalagi soal membohongi pembeli meski dengan cara halus. Haduh, mau dikasih bonus berapa juga, gue mending nggak nawarin sesuatu yang bahkan gue sendiri nggak tahu wujudnya, apalagi kualitasnya.
 
Ada satu cerita si bos yang gue inget banget, dan membuat gue bener-bener pengin ngebantah moral cerita itu dari awal sampai akhir. Alkisah ada seorang pengusaha, sebut saja si A, yang membuat supermarket besar di daerahnya. Barang-barang di supermarket itu murah, apalagi sayur-sayurannya. Tapi, pada akhirnya supermarket itu bangkrut karena istri dan anaknya nggak pernah belanja di sana, dan justru belanja di warung-warung kecil tetangga. Gara-gara itu tetangga-tetangga pun nggak ada yang mau belanja di supermarket itu karena istri dan anaknya si A aja belanjanya di luar. Gimana orang mau belanja di tempatnya?
 
Kesimpulan yang diambil si bos adalah, bahwa tiap pegawai yang ada di satu tempat usaha/kerja harus bangga dengan tempat kerja/usahanya, sehingga orang lain percaya. Singkat kata, semua yang kerja di tempatnya dia harus jadi marketing dan nawarin permen dengan target tertentu, meskipun tiap orang udah punya job desk yang lain.
 
Ih, itu kalau meja rapat nggak gede, rasanya pengin gue tebalikin (ノ°Д°)ノ︵ |__| 
 
Kalau anak-istri si A nggak mau belanja di supermarketnya, ya dicari penyebabnya atuuh. Ditanya duluuuu!!
"Adinda dan anakku sayang, kenapa sih kalian nggak belanja ke supermarket papa aja?"

Gituuuu!!

Kalau alasannya supaya warung-warung kecil tetangga tumbuh juga kan berarti tujuannya muliaaaa! Biarin ajah! Justru supermarket itu yang nggak seharusnya ada. 

Kalau alasannya karena supermarketnya kotor dan kurang higienis, ya DIBERSIHIIINN!! (ノ°Д°)ノ︵ |__|

Cari inti masalahnya dulu. Bukan malah maksa semua orang mendukung bisnis dia meskipun udah jelas ada yang salah di dalamnya.

Sejak postingan empat tahun lalu itu, baru kali ini gue berhadapan dengan masalah yang mengusik prinsip-prinsip gue selama ini. 

Dan dengan tegas gue akhirnya menolak segala kesepakatan kalau terus begini.

"Dah bos, saya mah gak gila jabatan, apalagi iming-iming gaji gede. Semuanya nggak ngaruh kalau baru bisa didapat dengan mengenyampingkan prinsip dan idealisme yang selama ini saya pegang."

Kalau harus kesulitan dari segi materiil, itu masih lebih baik daripada melakukan sesuatu yang emang gue yakini itu salah :( Rejeki kan bukan manusia yang ngatur....

Gue nulis blog kali ini dengan harapan kerjasama kami beneran batal dalam waktu dekat. Doakan yah. 

Kayaknya sih batal karena si bos baru tau sekarang kalo gue bukan bocah penurut dan cenderung ngebantah mulu kalo dia mulai ngomong. Ya bos juga siiiih..... Logikanya aneh.....

Jadi, kalau kalian gimana? Apa tetap akan mempertahankan prinsip meski hanya hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh orang-orang kebanyakan? Atau lebih realistis dengan mencoba sedikit mengikis idealisme yang pernah kalian bangun?

Rabu, 05 Juli 2017

Review Film - World War Z

Parodi film dalam 5 menit.
Warning: Spoiler sampe akhir film. 


IMDb Rate: 7.0
Director: Marc Forster
Writers: Matthew Michael Carnahan (screenplay), Drew Goddard (screenplay)
Stars: Brad Pitt, Mireille Enos, Daniella Kertesz

Dunia diserang virus mematikan yang membuat orang berubah jadi zombie dalam 12 detik setelah terkena gigitan orang yang sudah terinfeksi.

Terry: Ssst.... Kita nggak nyebut mereka zombie, kita nyebutnya 'ZEKE'.

PENONTON: Kenapa gituh? Gejalanya sama aja, kan? Apalagi mereka juga peka sama suara.

Terry: Biar antimainstream.

PENONTON: ....

___

Minggu, 25 Juni 2017

Yang Tersisa dari Ramadan Tahun Ini...

Sebelum mulai nulis, mau ngucapin...


Selamat hari raya Idul Fitri untuk semua saudara muslim yang merayakan. Semoga amal ibadahnya selama bulan Ramadan diterima oleh Allah, dan semoga dosa-dosa kita sebelumnya pun ikut dihapuskan. Aamiin.

Ramadan kali ini memberi warna yang bener-bener berbeda dalam hidup gue. Banyak hal yang bikin gue berpikir kayak gitu. Karena beda dari Ramadan tahun-tahun sebelumnya, Ramadan tahun ini banyak banget kejadian yang cukup berpengaruh dalam hidup gue. Banyak juga hal yang bisa gue ambil pelajaran untuk jadi pribadi yang lebih baik. Dan gue berharap kalian juga mendapat pelajaran-pelajaran berharga selama Ramadan ini.

Hal pertama yang jadi pembelajaran adalah saat mbah di kampung berpulang di usianya yang udah cukup renta, 92 tahun, dua hari menjelang bulan Ramadan. Selain itu juga gue dapet beberapa kabar duka dari orang-orang terdekat karena kerabatnya berpulang di bulan Ramadan. Tolong kirim Al-Fatihah, semoga almarhum husnul khatimah dan diterima amal ibadahnya oleh Allah SWT.

Tiap melihat kematian, kita diingatkan kalau hidup di dunia ini bener-bener cuma sementara. Cuma tempat singgah. Cuma stasiun transit doang. Nggak beda sama transit lima jam di bandara Kuala Lumpur pas mau ke Osaka karena nggak ada pesawat yang langsung cus ke Osaka dari Jakarta. Seenak-enaknya bandara, tetep aja cuma sebentar. Nggak ada artinya sama tujuan akhir. Sama kayak dunia dan akhirat.

Sejujurnya gue udah merenungi ini dalam-dalam sejak nyokap nggak ada. Tapi seolah diingetin lagi aja, gitu. Toh umur nggak ada yang tahu. Buktinya nyokap gue dipanggil lebih dulu meski umurnya baru setengah umur mbah gue. Sejak saat itu gue sering banget mikir seandainya gue nggak bisa hidup sampai besok, gimana? Siapkah gue?

Pertanyaan yang bener-bener sulit untuk dijawab.

Tapi ini nyata, dan deket banget. Saking seringnya gue berpikir kayak gitu, gue nggak ngasih pattern code lagi buat HP gue. Jaga-jaga seandainya gue kenapa-napa di jalan, terus orang yang nemuin gue harus nyari kontak keluarga gue lewat HP. Gue juga berpikir untuk naro alamat/kontak yang bisa dihubungi dalem dompet, dengan alasan yang sama--meskipun gue lupa mulu buat nulisnya, sih :p

Intinya, hampir nggak pernah mikir kalau kematian itu sesuatu yang 'jauh' lagi.

Sebelum ini, temen gue yang baru aja ditinggal ibunya sempet nanya lewat whatsapp. Intinya nanya gimana supaya nggak sedih dan nangis mulu karena inget ibunya.

Jujur, gue nggak bisa jawab.

Karena emang itu pertanyaan yang nggak ada jawabannya. Gue pun sampe sekarang kalo inget, ya tetep aja mewek. Itu nggak bisa dihindari. Sedih itu wajar, kok. Yang nggak boleh itu meratap. Mempertanyakan takdir Allah. Karena suratan takdirnya udah begitu, ya kita harus terima, suka nggak suka.

Gue pun dulu sempet 'kacau'. Karena kehidupan yang tadinya bisa dibilang normal walau banyak masalah, tiba-tiba berubah drastis. Dari yang tadinya selalu ada bau masakan mama di dapur, tiba-tiba kosong. Dari yang tadinya selalu ada omelan-omelan karena rumah berantakan, tiba-tiba hening. Dari yang tadinya ada dua orang yang harus dicium tangannya pas berangkat/pulang kuliah, tiba-tiba berkurang satu. Bisa dibilang, dari yang tadinya terbiasa, tiba-tiba semuanya berubah asing. Berasa jalanin kehidupan dari nol lagi. Nggak, bukan nol, tapi minus. Karena banyak hal yang tiba-tiba berasa kosong banget. Dan untuk ngelewatin itu semua nggak gampang. Jadi ngerasa sedih karena kehilangan ibu itu wajar. Wajar banget, malah. Karena bisa dibilang, ibu itu segalanya dalam hidup kita di dunia. Hampir semua kepentingan seorang anak itu berpusat di ibunya. Kalau pusat itu mendadak hilang, anak mana yang nggak bingung?

Gue lupa kapan tepatnya gue membaik. Yang jelas, tiap gue kangen banget, gue selalu mimpiin beliau. Dan di tiap mimpi gue, kehidupan berjalan normal kayak dulu. Gue dalam mimpi udah kerja kayak sekarang, mengalami kejadian-kejadian kayak sekarang, tapi di situ ada mama. Dan semuanya berjalan normal. Gue bisa cerita soal kehidupan gue kayak dulu, lalu beliau ngasih saran atau wejangan, kadang ngomel juga. Berasa dunia paralel di mana nyokap masih ada dan nggak pergi ke mana-mana.

Awalnya, tiap mimpi begitu gue bahagia banget. Tapi begitu bangun, sedihnya berkali-kali lipat karena di kehidupan nyata nggak begitu. Tapi pada akhirnya gue menikmati mimpi-mimpi itu, sih. Walaupun di kehidupan nyata keluarga gue nggak lengkap lagi, seenggaknya dalam mimpi gue masih bisa ngerasain keluarga lengkap kayak orang-orang kebanyakan.

Lagipula gue yakin setelah kehidupan di dunia selesai, gue masih bisa ketemu di akhirat nanti. InsyaAllah.

Keyakinan itu yang bikin sekarang nggak terlalu sedih lagi. Yah, kadang-kadang doang sih suka kebawa perasaan.

Selain soal itu, ada beberapa orang yang bikin gue belajar banyak di bulan Ramadan ini. Ada beberapa anak SMA yang gue kenal dan menjalani kehidupan SMA-nya dengan bebas. Jangankan pakai hijab, pacaran iya, ngomong kasar sering, dan sederet kelakukan yang membuat gue tanpa sadar membandingkan dengan diri gue sendiri waktu SMA. Tentu saja gue secara otomatis berpikir kalau gue waktu SMA 'nggak gitu-gitu amat', dan tanpa sadar MENEMPATKAN DIRI GUE DI ATAS MEREKA. Dengan kata lain, gue merasa lebih baik dari mereka.

Tapi setelah berinteraksi lebih jauh, gue bisa lebih berkaca dan introspeksi diri. Sisi negatif yang gue lihat dan nilai sebelumnya cuma sebagian kecil hidup mereka yang gue tau. Gue nggak tau selain itu. Begitu gue tau mereka rajin tarawih bahkan beberapa kali ikut itikaf di masjid di sepuluh hari terakhir Ramadan, gue berubah pikiran. Apalagi waktu ngobrolin soal isi kajian waktu itikaf. Secara penampilan, mungkin mereka belum sempurna. Tapi dari omongannya, gue menangkap ketulusan mereka sebagai muslim. Lagipula, gue nggak tau jalan hidup mereka nanti. Siapa tau mendadak mereka dapet hidayah yang lebih kuat dan berubah jauh melebihi apa yang gue bayangkan.

Mereka cuma contoh orang-orang yang memberi gue pelajaran berharga bulan Ramadan ini. Masih ada banyak orang yang membuat gue belajar lebih banyak lagi. Semoga pelajaran ini nggak berhenti di bulan Ramadan doang. Semoga pelajaran ini bener-bener meresap sampai bulan-bulan setelahnya nanti dan membuat gue jadi pribadi yang lebih baik lagi.

Ramadan kali ini juga membuat gue berpikir kalau ilmu gue masih cetek banget, masih terlalu dangkal. Masih banyak hal yang belum gue tau sebagai seorang muslim. Kalau nggak mulai serius belajar sekarang, gue nggak tau apa ilmu dan amalan gue cukup untuk membawa gue ke surga?

Belum lama ini, di linimasa facebook sempet viral tulisan "Ramadan, aku pura-pura rindu" . Kayaknya gue juga sempet nge-share itu sebelum masuk bulan Ramadan. Tapi setelah melalui bulan Ramadan tahun ini, gue merasa bakal bener-bener rindu bulan Ramadan. Masih sebelas bulan lagi.... Semoga masih ada umur untuk dipertemukan ramadan-ramadan selanjutnya.

Oh iya, selain pelajaran-pelajaran berharga, selama bulan Ramadan ini gue juga dapet pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Gue bisa ngerasain puasa di kampung, ngerasain bikin makanan buka puasa bareng orang-orang sekampung (literally sekampung. Oke, se-RT mungkin). Bisa ikutan bukber bareng temen-temen yang udah jarang banget ketemu. Bisa juga ngerasain puasa di negeri jiran bareng temen-temen. Terharu banget bisa ngunjungin beberapa masjid di sana, dan ngerasain buka puasa bersama super besar di salah satu jalan protokol di Malaysia. Itu asyik banget! Setelah ini gue bakal tulis report lengkapnya. Semoga inget #plaak

Udah ya, segitu aja dulu. Semoga lebaran kalian menyenangkan ya temans :)
Dan semoga hidangan opornya sesuai apa yang sudah dibayangkan :9 (aduh beneran udah ngebayangin rasa kuah opor di lidah nih....D:)

Baru bisa makan ini beberapa jam lagi. Liatin fotonya dulu, deh.... #malahbikinngiler

Senin, 22 Mei 2017

JADI MAHASISWA ITU NGGAK GAMPANG, JENDRAL!

Udah nulis panjaaaang banget terus tau-tau ilang itu bete-nya berkubik-kubik. Mana kemarin nulis blognya pake hape pula. FYI, keyboard hape gue masih yang sembilan tombol, bukan qwerty. Gak usah ditanya kenapa gue nggak pake yang qwerty.

Padahal ini juga seharusnya nulis tiga hari yang lalu, sesaat setelah kejadian. Apa daya hari itu badan gue remuk dan tepar parah. Yang gue inginkan saat itu cuma kasur, bantal, dan guling. Dua hari pun setelahnya pun jadwal gue penuh banget, jadi nggak bisa menjamah laptop, apalagi nengokin blog. Udah kerja keras gini tapi gaji gue kok segitu-segitu aja, yak? -_-;

Inti postingan gue kali ini adalah soal perjuangan menjadi mahasiswa lagi. Gue tau sih untuk dapet status mahasiswa, apalagi di PTN yang bagus itu emang nggak gampang. TAPI GUE NGGAK NYANGKA SESULIT INI. Entah emang gue lagi diuji, tahan banting atau nggak, atau emang gue banyak dosa makanya dikasih bermacam-macam cobaan.

Ada beberapa hal yang sejujurnya bikin gue hampir putus asa untuk ngambil S2. Dan hal-hal ini udah mulai sejak waktu pendaftaran.


1. GALAU NENTUIN JURUSAN 

Kalau berdasarkan tesis yang niatnya mau gue ajuin sih, harusnya gue masuk linguistik murni, ngubek-ngubek segala macam teori bahasa dari berbagai aspek. Sayangnya, pas banget tahun ini KELAS LINGUISTIK MURNI GAK DIBUKA. Ngapa seeeeh?

Lalu salah satu senior gue menyarankan gue untuk masuk linguistik pengajaran bahasa. Gue juga berpikir ini masih nyambung banget sama apa yang pengin gue jalanin. Masalahnyaaa.... gue jadi urung masuk jurusan itu setelah denger pengalaman-pengalaman senior yang masuk situ.

Akhirnya, gue pun memantapkan diri untuk masuk linguistik terjemahan karena itu yang paling mendekati.

Tapi meski akhirnya udah menetapkan jurusan, gue selalu gagal daftar karena...

2. PASFOTO GUE SELALU DITOLAK

Gue nggak ngerti apa masalahnya, tapi udah berkali-kali upload pasfoto (beda-beda) ke webnya dan jawabannya selalu sama. "KAMI TIDAK DAPAT MENDETEKSI WAJAH PADA FOTO ANDA, SILAKAN UNGGAH FOTO LAIN".

Muka gue nggak kedeteksi sebagai manusia, men. JADI SELAMA INI GUE MAKHLUK APAAAAA? (T________T ;)!!

Setelah gagal berkali-kali, gue pun memutuskan untuk foto lagi. Masalahnya, itu juga pas gue sibuk-sibuknya dan bener-bener nggak sempet buat foto dan daftar ujian. Sampai akhirnya udah H-1. Foto terbaru gue akhirnya keterima juga sama sistem web-nya. Gue harus sujud syukur karena akhirnya muka gue terdeteksi sebagai manusia setelah sekian lama.

Tapi masalah nggak berhenti sampe situ. Berhubung udah hari terakhir pendaftaran, otomatis gue harus bayar ujian hari itu juga.

3. TAPI KARTU ATM GUE KAGAK BISA BUAT BAYAAAAARR!!

Sampe titik ini rasanya gue udah mulai stress. Bisa-bisanya dari segitu banyak cara pembayaran, ATM gue yang ngakunya dari bank terbesar se-Indonesia malah nggak termasuk. Dan bayar lewat bank jelas nggak masuk itungan karena hari itu gue ngajar full dari pagi sampe jam 9 malem.

Akhirnya gue kalang-kabut nanyain temen-temen yang punya ATM sesuai syarat yang ada di web. Alhamdulillah sekitar jam 9 malem (3 jam sebelum deadline) biaya tes udah terbayar atas nama gue. Meskipun untuk itu gue harus mengorbankan waktu les untuk bolak-balik chat temen gue. Untung murid gue santai. Jadi gue minta maaf karena ganggu waktu les dan gak sampe berujung masalah.

_____

Masalah pendaftaran pun akhirnya beres dan gue bisa sedikit bernapas lega. Sisanya tinggal belajar buat ujian masuk dan berharap yang terbaik.

GUE KIRA SIH BEGITU.....

Dua minggu berikutnya yang gue pikir bisa dimaksimalkan buat belajar, ternyata sia-sia. Jangankan belajar, buat makan teratur aja gue harus pinter-pinter bagi waktu. Pada akhirnya gue minta libur dua hari sebelum tes dan belajar dua harian itu aja. Yah, lumayan lah bisa ngerjain satu soal TO untuk ujian TPA-nya. FYI, TPA itu bukan Taman Pendidikan AlQur'an, apalagi Tempat Pembuangan Akhir. TPA ini maksudnya Tes Potensi Akademik. Macam tes psikotes atau tes IQ gitu, lah.

Menjelang ujian, gue nggak terlalu khawatir sama tes bahasa Inggrisnya. Karena belum lama gue udah tes TOEFL dan ternyata hasilnya lebih bagus dari dugaan gue. Dan sebagian besar materi pelajaran masih nempel di otak, jadi bisalah buat amunisi.

Tadinya, gue juga nggak terlalu khawatir sama TPA-nya. Berhubung gue juga sering iseng-iseng ikut tes IQ di internet dan aplikasi android. Soalnya emang setipe dan gue suka ngerjain soal kayak gitu. Mungkin pas TPA beneran, gue bisa menikmati ngerjain soalnya karena kayak main....

(lagi-lagi) GUE KIRA SIH BEGITU.....

Pas dihadapkan sama soal TPA aslinya, gue mulai teriak-teriak panik dalam hati. Soal bahasanya emang lumayan, tapi begitu ke soal aritmatika.... KOK SOALNYA SUSAAAAAAHHH??

Niatnya gak mau sampai terpaku sama soal yang susah supaya nggak kehabisan waktu, ternyata pas balik ke halaman selanjutnya, soalnya sama susahnya. Jadi meski gue tau itu ngerjain satu soal butuh sekitar 3-4 menit, gue kerjain juga. Pada akhirnya, gue cuma bisa ngerjain 60% aja. ITU PUN AKHIRNYA GUE SADAR KALO ADA SATU HALAMAN YANG KELEWAT. MANA HALAMAN YANG KELEWAT ITU TERNYATA SOAL YANG GAMPANG DAN BISA SELESAI SATU MENIT SATU SOALLLL!!!

Ya Allah... ujian apalagi iniiii....

Untungnya, soal logika bisa gue kerjain semua tanpa hambatan berarti...

SAMPAI GUE KETEMU SOAL CERITA DI AKHIR HALAMAN....

Gue nggak paham ini soal untuk menguji calon mahasiswa S2 atau untuk ujian jadi detektif. Masalahnya biar soal itu gue baca berkali-kali pun, gue tetep gak pahaaaamm....

Soalnya kira-kira begini:

Delapan orang, A-H duduk melingkar dan saling berhadapan. B duduk di antara C dan F. Suaminya H duduk selang dua bangku di samping kanan B. G dan F bersaudara. Putri G duduk di samping kiri E. (daaaann seterusnya....)

Pertanyaan: Bagaimanakah posisi duduk A terhadap posisi duduk mertua-nya?

MANA GUE TAUUUUKKK!!! DARI TADI SI A KAGAK DISEBUTIN WOI....

Ini juga siapa nikah ama siapa, punya anak yang mana gue kagak tau. Bahkan jenis kelamin mereka pun gue kagak tau. Gimana gue tau siapa mertuanya?

Sepuluh menit terakhir gue berkutat di soal cerita itu. Dan dari lima pertanyaan berdasarkan satu cerita itu, gue gak bisa jawab satupun. *tepok tangan*

Akhirnya ujian pun berakhir dan gue meratap depan tembok.

Harapan gue lulus saat selesai ujian cuma sekitar 50%.

_____

Singkat cerita, selama beberapa hari gue udah mulai merelakan dan cuma bisa berdoa pas pengumuman tanggal 20 Juni, gue masih bisa lolos. Berhubung 20 Juni masih lama banget, jadi gue sante-sante aja.

Tiba-tiba sekitar tanggal 15 Mei, gue dapet SMS yang menyatakan gue lolos. Dan diminta mengisi form pra-registrasi.

KAN PENGUMUMANNYA MASIH LAMA. SMS PENIPUAN MACAMANA LAGI INI?

Tapi ternyata itu beneran. Gue ngecek ke web pake nomer ujian gue, dan bener gue dinyatakan lolos. ALHAMDULILLAH.

Jadi selama ini ternyata gue salah baca. 20 Juni itu pengumuman hasil ujian untuk gelombang 2, sementara pengumuman hasil ujian gelombang 1 itu tanggal 2 Mei (^ ^);

Yasudah. Yang penting gue LOLOOOOS!! IYEY!

Masalahnya (lagi) gue baru tau info lulus tes itu mepet banget sama deadline pengisian form pra-registrasi. Gue cuma punya waktu dua hari untuk ngisi data online. Karena takut mepet deadline kayak waktu pendaftaran, gue pun mulai langsung ngisi data. Sampai gue sadar kalo ijazah SMA gue nggak ada di kosan dan di rumah. Seharian ngubek-ngubek dibantu adek dan bokap gue, tapi tetep nggak ketemu.

IJAZAH GUE NYELIP DI RUMAH SAUDARA DI TANGERANG =___=

Berhubung gue belum lama pindahan, jadi banyak barang yang dititip di rumah saudara. Dan satu bundel map gede berisi ijazah SD-SMA ada di situ. Mimpi beresin pendaftaran H-1 hilang sudah.

Besok paginya gue langsung cabut ke Tangerang setelah membatalkan dua jadwal ngajar. Dan bener, ijazah SMA gue ada di sana. Setelah susah payah, akhirnya gue bisa registrasi juga... *lap keringet*

Belajar dari pengalaman, gue menyiapkan segala sesuatu buat registrasi administrasi besok harinya. Biaya masuk kuliah mau ditalangin adek gue dulu, jadi hari itu gue minta adek gue langsung transfer meski batas pembayaran masih dua hari lagi. Malam itu, uang aman ada di rekening gue, dan semua kelengkapan juga udah siap. Nggak akan ada masalah untuk registrasi administrasi besok pagi.

GUE KIRA SIH BEGITU.....

Ternyata masalah yang gue hadapi sebelum ini nggak ada apa-apanya dibanding pas gue dateng langsung ke kampus untuk registrasi pendaftaran.

Gue dateng setengah jam lebih pagi sebelum pendaftaran dimulai, sekitar setengah delapan pagi. Begitu mau masuk Balairung, gue dikasih map beserta catatan kelengkapan yang harus disertakan. Dan di situ, ada satu kelengkapan yang gue nggak punya.

BUKTI PEMBAYARAN MASUK KULIAH

Ya gimana bisa gue siapin? Duitnya juga baru dapet kemarin malem. Dan deadline-nya kan harusnya masih besok. Udah gitu di web juga nggak diminta nyiapin bukti pembayaran. Yang disuruh disiapin itu surat pernyataan pembayaran (ditandatangani oleh penanggung biaya).

Berusaha nggak panik, gue pun menjelaskan kondisi itu ke panitia. Dan alhamdulillah ternyata jadwal registrasi administrasi emang sampe jam 12. Asal gue dateng sebelum jam 12, masih bisa dilayani. Jadi gue dipersilakan untuk bayar dulu langsung ke bank.

"Ada bank BNI kok di seberang Balairung, jalan aja ke sana," kata salah satu bapak panitia.

Gue pun mengangguk dan berterimakasih atas infonya.

Tapi gue nggak bisa langsung bayar, karena gue harus ambil uangnya dulu. Secara beda bank dan satu-satunya cara emang bayar cash lewat teller.

Gue pun balik ke parkiran dan naik motor sampe Fakultas Teknik. Dari parkiran ke ATM BCA yang ada di gedung utama cukup jauh. Dan udah sampe ATM pun gue nggak bisa narik duit....

GUE LUPA KALO NGAMBIL DUIT DARI ATM ADA LIMIT PER HARI-NYA.

Bahkan meski gue nyoba dari ATM yang beda, tetep aja cuma bisa ambil sedikit. Gue nggak bisa narik setengah dari total biaya kuliah. Mulai panik, gue balik ke parkiran, niatnya mau naik motor lagi terus nyari bank BCA biar bisa tarik tunai. Pas sampe parkiran, satpamnya bilang kalau samping ATM itu ada Bank BCA.

Betapa bodohnya gue....

Akhirnya balik lagi deh jalan ke sana. Di titik ini kaki gue udah mulai ngeluh. Sampai di bank, gue langsung bilang ke satpam kalau gue mau tarik tunai agak banyak.

Lalu satpamnya bilang gini, "wah, di sini nggak menyediakan cash. Paling nanti, nunggu ada yang nabung, baru bisa diambil..."

GUE PANIK.

Gue harus nunggu sampe jam berapaaa? Kalo ternyata hari ini nggak ada yang nabung pegimaneeee? Soalnya ini kan bank kecil yang ada dalam kampus.

Tapi untunglah kepanikan itu cuma sebentar. Sekitar 10 menit abis itu, ada orang yang bawa segepok duit dan mau nabung.

"Nah, itu cukup kayaknya, Mbak. Tungguin aja sebentar," kata si satpam sambil mempersilakan gue duduk.

"Oke!" seru gue udah mulai agak ceria.

Sampai si satpam bilang, "bawa buku tabungannya, kan?"

"...."

GUE KAGAK PERNAH BAWA-BAWA BUKU TABUNGAAAANN.....

Akhirnya dengan menghembuskan napas panjang (mencoba tabah) gue pun melangkah balik ke parkiran dan ngebut balik ke kosan buat ngambil buku tabungan.

Satpam di parkiran Fakultas Teknik sempet nanya dan gue bilang bakal balik lagi karena buku tabungannya ketinggalan.

Setengah jam kemudian gue balik lagi ke FT, disambut satpam parkiran dan satpam bank. Akhirnya gue bisa narik tunai sejumlah yang dibutuhkan buat bayaran.

Dari situ, gue balik lagi ke parkiran Balairung. Karena gue pikir dari Balairung ke bank BNI deket (menurut informasi dari bapak panitia sebelumnya). Tapi begitu parkir dan nanya arah ke satpam parkiran, di bilang kalo gue mendingan bawa motor langsung ke perpustakaan karena bank-nya ada dalam perpus.

"Tapi... tapi... tapi kata panitia tadi banknya ada di seberang balairung...." gue mencoba menggali informasi. Mungkin emang ada dua bank.

"Iya sih, sebrangan.... Tapi kepisah danau..."

"...."

Akhirnya gue pun keluar parkiran balairung dan menuju perpustakaan naik motor. Bahkan satpam parkiran balairung mempersilakan gue nggak bayar parkiran karena tau gue harus balik ke situ lagi.

Sampai di perpus, gue langsung masuk ke bank BNI buat bayar. Nggak nunggu lama, sih. Paling sekitar 10 menit, terus nomor gue udah dipanggil. Selesai bayar, semuanya bakal beres. Ini nggak bakal makan waktu lama.

GUE KIRA SIH BEGITU.....

Semenit... dua menit... tiga menit...lima menit...

"Mbak, maaf nih. Ini kayaknya sistem pembayarannya lagi offline. Nanti siang balik lagi ke sini, ya...." kata teller banknya.

"....."

Registrasi sampe jam 12, dan sekarang sistem pembayarannya lagi offline. Gue tengok jam, udah hampir jam 10. Ah, sudahlah. Kalau kayak gini kan eror dari pihak kampusnya, jadi pasti gue dikasih keringanan. Mungkin bukti pembayarannya bisa ditunda sebentar dan gue masih bisa daftar....

Gue pun balik ke Balairung.

Begitu duduk di ruang tunggu sambil ngecek lagi kelengkapan yang harus dibawa, GUE SADAR KALAU SURAT PERNYATAAN PEMBAYARANNYA KETINGGALAN DI KOSAN.

Gue pun mendesah panjang untuk yang kesekian kali. Terus langsung bilang panitia kalau ada berkas yang ketinggalan. Lalu gue disuruh cepet-cepet balik mumpung sempet. Dan untuk yang kedua kalinya, gue ngebut ke kosan.

Ngeliat muka gue, satpam parkiran balairung sampe nanya "nanti balik lagi, nggak?"

"Iya..." jawab gue dengan malas-malasan.

Mungkin dia juga kasian ngeliat gue.

Sepanjang jalan ke arah kosan, gue ketawa-tawa di atas motor. Bukan, bukan ketawa bahagia inget acara lawak, tapi ketawa stress. Hari ini masalah bisa-bisanya nggak abis-abis. Yaudah, diketawain aja. Kali aja abis itu mendadak hilang.

_____

Setengah jam kemudian gue udah balik lagi menuju Balairung. Kayaknya satpam parkiran juga udah bosen liat muka gue karena bolak-balik mulu.

Begitu masuk ke ruang pendaftaran, gue nggak bisa langsung daftar karena nggak ada bukti pembayaran. Jadi gue diarahin ke bagian keuangan. Mereka pun ngecek kebenaran sistem yang mendadak offline dengan nelpon pihak bank. Akhirnya gue diminta nunggu sampe sistemnya online lagi, sekitar satu jam. Begitu sistemnya normal, gue diminta langsung ke BNI buat bayar. Saat itu udah jam 11 lewat. Karena gue takut kelewat masa registrasi, akhirnya gue memastikan dulu kalo gue gak bakal ditinggal. Dan ternyata pendaftaran buka sampe jam 3. Mungkin emang diantisipasi kalo ada masalah-masalah kayak gini.

Akhirnya gue pun JALAN ke perpustakaan. Selain karena gue pengin menenangkan diri sambil jalan ngiterin danau, gue juga tengsin balik ke parkiran balairung. Mungkin gue bakal dapet rekor calon mahasiswa terbanyak bolak-balik parkiran kalo ke sana sekali lagi.

Singkat cerita, akhirnya gue bisa bayar dan bisa mulai mengikuti prosedur pendaftaran. Ini sangat-sangat tidak ideal karena begitu diminta foto untuk kartu mahasiswa, muka gue udah lecek, kumel, lusuh, gara-gara nyawa yang terangkat setengah.

Abis itu gue ditanya-tanya soal jurusan yang diambil.

"Jurusan S1-nya apa, Mbak?" kata salah satu panitia.

"Bahasa Jepang."

"Ooh... Sekarang mau ngambilnya apa?"

"Linguistik terjemahan."

"Ooh... berarti nanti jadi ahli bahasa, ya?" tanya panitia dengan senyum.

Dari hati yang paling dalam, gue tersenyum bahagia denger itu. "Iya," angguk gue dengan semangat.

Rasanya usaha gue seharian ini terbayar cuma gara-gara komentar itu. Makasih banyak lo bapak panitia.

Setelah ngambil buku panduan, jaket, dan kartu mahasiswa, segala prosedur pendaftaran pun selesai. Gue resmi jadi mahasiswa baru Universitas Indonesia :)


Iya, setelah empat kali bolak-balik balairung, tiga kali ke Fakultas Teknik, dua kali ke perpustakaan, dan dua kali balik kosan. Tiap hari begini semingguuu aja, kurus gue!

Setelah itu gue berasa khatam daerah Balairung dan sekitarnya. HAHAHAHAHA!

Pulangnya, gue bingung arah parkiran motor Balairung ke mana. Karena pintu masuk ama keluar beda....

____

Nah, selanjutnya masih ada perjuangan nyari beasiswa. 頑張ります!!(o・・o)/