Jumat, 28 September 2018

Fobia, perlukah disembuhkan?


 Phobia atau fobia berbeda dari ketakutan biasa. Fobia adalah ketakutan yang berlebihan pada hal tertentu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya fobia. Namun yang paling umum adalah karena adanya kejadian traumatis di masa lalu. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan seseorang mengidap fobia tanpa alasan khusus.

Beberapa fobia yang paling umum ditemukan adalah Arachnophobia (fobia laba-laba), Ophidiophobia (fobia ular), Acrophobia (fobia ketinggian), Mysophobia (fobia bakteri/kuman), Claustrophobia (fobia tempat sempit), Agoraphobia (fobia keramaian), Thalassophobia (fobia laut dalam), dan yang sempat populer, Trypophobia (fobia permukaan dengan banyak lubang). Banyak yang mendadak menyadari dirinya trypophobia setelah tayangan gambar-gambar permukaan dengan banyak lubang berjudul "Anda tidak bisa melihat gambar ini jika mengidap Trypophobia" mendadak viral di media sosial. (Nggak usah dicari, nanti jijik)

Tapi fobia berbeda dengan ketakutan biasa. Banyak orang takut pada kecoak, tapi tidak semuanya fobia kecoak. Begitu juga dengan trypophobia. Banyak orang yang mendadak jijik melihat buah bunga teratai. Tetapi belum tentu mereka mengidap trypophobia.

Rasa takut, jijik atau geli mungkin menyebabkan seseorang berteriak. Tapi berbeda dengan perasaan seperti itu, fobia bukan mainan. Mungkin ada teman yang suka melihat reaksi teman lainnya jika berteriak panik karena takut akan sesuatu. Tapi jangan pernah main-main dengan fobia. Karena seseorang yang menghadapi fobianya tidak berhenti hanya dengan teriakan. Terkadang, seseorang mengekspresikannya tidak dengan teriak. Namun mendadak berkeringat dingin dan gemetaran.

Sabtu, 08 September 2018

Menghadapi Emosi Negatif dalam Diri

"Gimana sih caranya supaya nggak gampang stress kayak elo?"

Kayaknya dari dulu gue sering banget dapet pertanyaan yang senada kayak gitu. Dan sejujurnya, susah banget jawabnya. "Kalau nggak mau stress, ya jangan stress. Gimana ngajarinnya?" kira-kira begitulah jawaban gue yang sangat absurd.

Allah menciptakan manusia dengan berbagai karakter, dan diantara milyaran manusia terciptalah manusia macam gue yang gampang lupa dan nggak pekanya kebangetan. Kalau mau dilihat negatifnya dari dua karakter itu, banyak banget. Nggak kehitung deh berapa kali gue ninggalin kunci motor yang masih nempel di motornya sewaktu parkir. Gantungan kuncinya pun dompet kecil isi STNK. Kalau orang mau jahat, motor gue udah digondol dari kapan tau. Tapi Allah baik, motor masih jodoh sama gue. Orang-orang yang nemuin kunci motor gue pun baik, selalu disimpenin. Hari ini malah gue ditelpon sama orang toko yang kebetulan ngeliat motor gue parkir depan tokonya, dan kuncinya ketinggalan pula. Kuncinya disimpenin dan motor gue diamanin sampe gue datang lagi ke toko. Ya Allah, baik bangeet... Gue nggak paham gimana bisa hidup kalau orang-orang sekeliling gue nggak sebaik ini.

Soal nggak peka juga... Duh, nggak tau deh udah berapa orang yang kesel dan marah-marah sama gue karena hal yang bahkan nggak gue sadari. Pada akhirnya gue belajar untuk selalu minta maaf duluan. Karena menurut mereka pasti gue yang salah. Setelah minta maaf, barulah gue minta kasih tau apa salah gue. Dan kalau itu menyinggung, ya gue usahain nggak ngelakuin lagi ke depannya. Walaupun mungkin saat itu gue nggak ngerasa apa yang gue lakukan itu salah, karena kalau gue digituin misalnya, gue biasa-biasa aja. Tapi gue sadar kalau level kesensitifan orang beda-beda. Kebetulan aja level sensitif gue setara sama Kaka si maskot Asian Games. Berkulit badak. Kalau ditusuk, pedangnya yang bengkok.

Kucinta Kaka, karena kami sama. Sama-sama berkulit badak.
Tapi kalau dilihat dari sisi lain, sifat pelupa dan nggak peka itu membantu gue untuk melupakan dan menghilangkan rasa marah, sakit hati, sedih dan emosi-emosi negatif dengan cepat. Dulu, gue pernah sekali deactive dari twitter karena sakit hati (ini pun inget lagi karena baca ulang diari), tapi sampai sekarang gue nggak inget sama sekali apa atau siapa yang bikin gue sakit hati waktu itu.

Ya terus, masa gue nyaranin ke orang-orang untuk jadi pelupa dan nggak peka kayak gue supaya nggak stress? Kan nggak mungkin....

Tapi semakin dewasa, gue mulai merumuskan cara-cara lain untuk menghadapi emosi negatif, termasuk stress, cemas, marah, sakit hati, sedih, depresi dan lain-lain. Yup, istilahnya merumuskan karena gue manusia otak kiri, semua permasalahan ditilik dari kacamata ilmu pasti. Walaupun aslinya gue sangat-sangat terbiasa dengan ketidakpastian. Hahahaha.

Pada dasarnya, emosi negatif yang dirasakan itu manusiawi. Siapa sih yang nggak pernah marah? Nggak pernah sedih? Atau nggak pernah sakit hati? Elo kan bukan malaikat. Merasakan emosi-emosi negatif itu wajar, kok. Nggak bisa dihindari. Masalahnya adalah bagaimana menghadapi emosi negatif tersebut supaya nggak berkepanjangan dan berpengaruh buruk pada orang-orang sekitar.

Percayalah, saat merasa marah lalu langsung dilampiaskan ke orang yang menyebabkan kemarahan atau malah ke orang-orang yang nggak ada hubungannya, nggak akan meredakan rasa marah tapi justru menambah masalah baru.

Saat gue merasa marah atas sesuatu, biasanya gue perlu waktu untuk merenung sendiri. Mencari penyebab atas kemarahan gue. Kalau gue yakin kemarahan gue sama seseorang adalah karena kesalahan dia, maka akan langsung gue omongin baik-baik. Perlu diomongin supaya dianya juga bisa berubah. Kalau kemarahan gue murni karena guenya aja yang pengin marah-marah nggak jelas dan karena sesuatu fakta di luar yang nggak bisa diubah meski pun diomongin, maka gue akan mencoba berdamai dengan diri sendiri.

Mungkin perlu pelampiasan dengan mukulin tembok atau mecahin barang yang nggak akan bikin gue rugi walaupun dipecahin (ngelempar HP jelas nggak termasuk. Sayang HP-nya. Walau lagi marah, harus tetep logis). Perasaan marah itu datangnya dari hati dan kehadirannya nggak bisa disangkal. Kalau lagi marah ya maunya marah. Tapi otak gue bilang "Iya, elo boleh marah-marah sendiri. Pukulin tembok, sana. Asal jangan nyusahin orang lain. Hari ini boleh marah-marah, tapi besok udah nggak boleh, yaa..."

Gue nggak tau dengan orang lain, tapi hati gue nurut banget sama otak. Mereka bisa bekerjasama dengan baik. Wakakaka. Otak gue mengerti kalau gue perlu marah, atau sedih, atau sakit hati. Gue cuma butuh sedikit waktu untuk merasakan itu sebelum akhirnya kembali normal. Dan hati gue pun mengerti kalau logika otak gue benar. Menyimpan emosi negatif berkepanjangan hanya bikin capek, buang-buang waktu dan mempengaruhi semua aktifitas gue ke depan. Padahal tanpa dipengaruhi emosi negatif pun, gue tergolong pemalas. Apa jadinya kalau semuanya bergabung? Hancur sudah.

Ada contoh lain di mana hati gue nurut sama otak. Saat seseorang ngomong sesuatu yang bikin lawan bicaranya pengin marah atau merasa sakit hati, kebanyakan biasanya mengabaikan fakta yang diutarakan oleh si pembicara karena kebawa emosi. Gue biasanya malah diem dan nggak bisa jawab. Kalau ada temen yang ngebelain dan bilang "wah paraaah... Bales, dong!" gue bakal bilang "Abis gimana? Bener sih, soalnya..."

Sodori gue fakta, maka semarah apa pun gue, bisa langsung berhenti marah tiba-tiba.

Satu-satunya saran yang paling bener yang bisa gue kasih untuk menghadapi emosi negatif adalah, percayakan sepenuhnya sama Allah.

Beberapa waktu lalu gue ngerasa sedih banget karena merasa nggak becus melakukan sesuatu dan jadi menyusahkan orang lain. Nyusahinnya bukan soal kecil, tapi nyusahiiiiiiiiin banget banget bangeeeeeeeeet. Rasa bersalah dan keinginan untuk memperbaiki keadaan tampak nggak cukup karena udah terlanjur terjadi akibat kebodohan gue. Saat itu hanya satu yang terpikirkan. Allah nggak akan menimpakan masalah pada hambanya tanpa disertai kemampuan untuk menyelesaikannya. Jadi gue percaya semuanya bisa terselesaikan asal gue berusaha. Tapi meski percaya sepenuhnya pada Allah, rasa sedih mah tetap ada. Manusiawi itu. Akhirnya, gue berdoa "Ya Allah, aku percaya semua masalah bisa terselesaikan. Aku percaya Engkau yang Maha Kuasa. Tapi hari ini aku sedih. Jadi, biarkan aku sedih untuk hari ini saja."

Udeh, semaleman itu gue nangis. Menangisi kebodohan gue sendiri. And I felt that's the most horrible day within this year. Di buku jurnal gue warnanya jadi hitam dan merusak lembar pixels of the year gue yang rata-rata berwarna oranye (amazing, fantastic day) dan kuning (really good, happy day).


Tapi besoknya, gue udah nggak ngerasa sedih sama sekali. Yang tersisa cuma tekad untuk memperbaiki keadaan separah apa pun kondisinya. Dan jurnal gue pun kembali berwarna oranye. Wakakakaka.

Saran lain yang bisa gue berikan untuk orang yang gampang stress dan apa-apa dipikirin adalah, coba list kelebihanmu dan cintai dirimu sendiri. Gue percaya tiap orang punya banyak kelebihan yang nggak dimiliki orang lain. Tapi tampaknya orang yang sensitif justru paling sulit melihat kelebihan diri sendiri. Sehingga perkataan atau sikap orang lain yang merendahkan dirinya akan sangat berdampak besar. Kenapa? Soalnya mereka menganggap diri mereka sendiri rendah, dan begitu mendapat justifikasi dari orang lain bahwa mereka memang 'rendah', hancurlah sudah. Terjun bebas.

Saran di atas dari awal nggak gue butuhkan karena gue suka diri gue sendiri. Gue tau persis apa kelebihan dan kekurangan gue. Sehingga gue nggak pernah peduli apa pun kata-kata orang yang mencoba merendahkan gue. Nggak akan berpengaruh karena kemampuan gue nggak akan berkurang hanya karena dikatain orang lain. Mereka ngatain kekurangan gue pun nggak akan ngaruh karena gue juga udah tau gue bego. Nggak usah diomongin lagi. Untuk hal ini, yang perlu gue kontrol adalah bagaimana supaya gue nggak meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Gue menahan diri supaya nggak sampai level 'sombong'. Untuk yang punya karakter kayak gue, yang penting adalah bagaimana supaya tetap rendah hati dan mau minta maaf ketika salah. Soalnya, orang kayak gini biasanya susah banget mengakui kesalahan karena selalu menganggap diri sendiri paling benar.

Kebalikan banget kan sama karakter yang sebelumnya? Karena dari awal rendah diri, biasanya malah keseringan minta maaf sama orang, padahal nggak salah apa-apa. Orang yang rendah diri perlu lebih mencintai dirinya sendiri, dan orang yang percaya diri terlalu tinggi perlu belajar mencintai orang lain di sekitarnya.
 
Yah, itu sih kira-kira. Entah jawaban macam ini bisa membantu apa nggak. Semoga sih bisa....

Ini besok, eh, hari ini tugas presentasi proposal tesis pertama dikumpulin dan gue bahkan belum baca buku-buku referensinya. Mau jadi apa lo, Naaaa....

Rabu, 05 September 2018

Halo, Tesis :)

Halo, Tesiiiss.... Akhirnya kita bertatap muka, juga. Wahahaha.


Di depan tersenyum bahagia, di belakang udah mulai mewek. Kira-kira bisa nggak ya ini selesai dalam satu tahun?

Di postingan blog beberapa tahun lalu gue pernah ngebahas soal skripsi dan saking muaknya pernah bertekad untuk nggak kuliah lagi karena takut kejadian yang sama berulang sewaktu ngerjain skripsi.

Dan di sinilah gue sekarang, menghadapi tesis :)
HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA (perhatian, ini ketawa stress). Mulai stress setelah paham kalau skripsi yang gue bangga-banggakan dulu itu RECEH BANGET begitu masuk ke jenjang S2. Gue bahkan nggak berani ngasih liat skripsi gue ke dosen-dosen linguistik karena itu pasti banyak banget salahnya. Malu.

Gue masuk peminatan linguistik murni, yang aslinya bisa aja topik skripsi gue diperdalam lagi untuk jadi tesis. Tapi seperti yang gue sebutkan sebelumnya. Gue malu karena itu receh banget. Yang kedua, fokus gue udah bukan ke bahasa Jepang lagi, tapi ke bahasa Indonesia. Dosen-dosen gue sih menyarankan supaya tesis sejalan dengan jurusan bahasa sewaktu S1 karena menyangkut jenjang karir. Masalahnya gue nggak mau meneruskan karir di bidang bahasa Jepang lagi. Gue justru mau pindah ke bahasa Indonesia. Karena itulah gue memutuskan untuk mengambil topik tesis seputar bahasa Indonesia. Lagipula, penelitian bahasa-bahasa asing itu udah banyak banget. Apalagi, dari negaranya masing-masing juga udah banyak linguis kece yang mengembangkan teori kebahasaan negara mereka. Sementara linguis di Indonesia itu masih sedikit. Teori kebahasaan juga masih banyak banget yang perlu digali lebih dalam. Karena itulah gue mau ambil bagian (meskipun kecil) untuk ikut mengembangkan teori bahasa Indonesia.

Yah, segitu dulu. Langsung lanjut tidur...eh, penelitian.