Senin, 30 Oktober 2017

[Movie Review] Happy Death Day

PREPARE YOURSELF FOR TWIST!


Yah, seenggaknya yang bisa gue spoiler hanya sebatas itu karena film ini masih terbilang baru walaupun kayaknya nggak terlalu beken karena cuma bertahan seminggu di bioskop. Harusnya sih sekarang masih ada, tapi cuma di beberapa bioskop yang posisinya jauh banget dari tempat gue. Itu juga nggak bakal lama karena bakal diserobot Thor-Ragnarok yang baru keluar dan pasti akan memakan beberapa studio sekaligus selama beberapa minggu.

Gue pun batal nonton ini di bioskop karena pas mau nonton ternyata udah nggak ada di Depok. Udah susah-susah ngejar ke Pondok Labu pun akhirnya gagal juga karena telat dan antrian panjang banget. Nonton thriller itu nggak boleh telat barang 5 menit, men. Bisa aja semua jawaban ada di awal cerita yang justru nggak terlalu diperhatiin.

Tapi bersyukurlah karena teknologi yang super canggih, ternyata di web langganan udah ada streamingnya, meski pake subtitle mandarin :'D Gapapa, gue udah cukup terlatih dengan buku teks bahasa Inggris tiap kuliah yang lumayan bikin otak kering, kok. Akhirnya gue nonton itu tanpa subtitle saking penasarannya. Hahaha.

Dan ceritanya lebih bagus dari yang gue bayangkan. Hohoho. GUE PUAS BANGET NONTONNYAAA....

Padahal trailernya aja udah bagus, dan bikin gue penasaran banget pengin nonton. Kalau trailernya kece kan ekspektasi jadi tinggi banget. Dan biasanya justru mengecewakan karena ekspektasi yang ketinggian. Tapi ini PAS banget.


Sinopsis:
Tree Gelbman is a blissfully self-centered collegian who wakes up on her birthday in the bed of a student named Carter. As the morning goes on, Tree gets the eerie feeling that she's experienced the events of this day before. When a masked killer suddenly takes her life in a brutal attack, she once again magically wakes up in Carter's dorm room unharmed. Now, the frightened young woman must relive the same day over and over until she figures out who murdered her.

Intinya, film ini bercerita soal time paradox yang dialami Tree. Macemnya time paradox di film 'miss peregrine's home for peculiar children' yang mengulang hari yang sama terus menerus sampai hari di mana rumah mereka dibom menjadi suatu rutinitas.

Sejujurnya, ada beberapa adegan pembunuhannya yang membuat gue bertanya-tanya kenapa bisa jadi kayak gitu. Gimana caranya si pembunuh bisa--

Oke, itu urusan lain. Daripada gue spoiler.

Tapi yang paling gue suka dari film ini adalah proses perubahan yang dialami Tree. Seenggaknya, ini bukan sekadar film bunuh-bunuhan doang. Di dalamnya tetep ada moral cerita yang bisa diambil, dan itu adalah inti ceritanya. Oke, twistnya juga, sih :p

Pembunuh di film ini mirip yang ada di scream, ada di mana-mana :v Tapi kalau scream itu hampir nggak ada moral yang bisa diambil. Isinya banyakan bunuh-bunuhan dan topeng pembunuhnya yang terlihat lucu. Satu-satunya alasan nonton scream adalah untuk nebak siapa pembunuhnya. Walaupun, nggak dikasih klu juga, sih. Jadi agak percuma. Semacam tebak-tebak buah manggis aja jadinya.




Topeng yang dipakai pembunuh di dua film ini sama-sama lucu, sih :v

Apa supaya nggak mainstream? Kalau topeng pembunuhnya juga serem, nggak seru, gitu?

Kamis, 26 Oktober 2017

CEO dan Fantasi

Akhirnya gue sadar kenapa ada fenomena 'CEO' di wattpad. Ceritanya, setelah menganalisis cukup lama dalam otak, gue berhasil memecahkan misteri tersebut. Halah.

Rupanya, perkiraan gue soal pengaruh 'Fifty Shades of Grey' pada fenomena merebaknya tokoh CEO dalam cerita-cerita wattpad itu nggak sepenuhnya bener. Soalnya kayaknya nggak semua yang nulis soal CEO itu pernah baca FSOG. Yah, gue juga pernah baca reviewnya doang sih. Itu ada udah bikin ngakak nggak ketulungan. Gue harus tanya lagi sama Ruru link reviewnya, soalnya gue mau baca lagi #heh

Sebenernya ini nggak terbatas sama karakter CEO aja, sih. Tapi karakter cowok super kaya tanpa masalah finansial, wajah tampan tanpa kegalauan mau oplas apa nggak, dan status tinggi yang tak tergoyahkan. Masalah mereka cuma satu. Cinta.

UHUK.

Dari hasil analisis gue, penulis membuat karakter yang seperti itu karena mereka hanya ingin fokus ke masalah cintanya aja. Kenapa? Karena buat mereka itu yang menarik. Apa serunya sih bikin cerita tentang seseorang yang punya masalah finansial dan berusaha keras untuk mengatasi itu? Tiap hari juga hidup gue berhubungan sama masalah finansial! Bosen!

Kenapa bikin tokoh yang ganteng? Karena di sekelilingnya kekurangan orang ganteng. Dan walaupun hanya dalam cerita, seenggaknya ada pengalaman dikelilingi sama orang-orang ganteng gitu.

Kenapa bikin tokoh yang statusnya tinggi? Boss, presdir, CEO, anak presiden, keturunan raja, anak donatur terbesar di sekolah, anak konglomerat, you name it. Ye kan di kehidupan nyata statusnya bawahan terus. Sesekali lah ngerasain jadi orang yang statusnya tinggi walaupun yang ngerasain hanya karakter dalam cerita yang kita tulis sendiri.

Karena semua yang dibentuk dalam cerita adalah impian si penulis. Impian itu sendiri bisa berupa harapan, penyampaian pesan, hasrat terpendam, dan terkadang.... pelarian dari kehidupan yang tidak sesuai imajinasi lah, curcol.

Tiap orang pasti menulis untuk tujuan tertentu, dan itu nggak salah. Gue sendiri juga menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai pelarian dari kehidupan nyata. Hanya mungkin, arahnya jauh dari kehidupan sosialita yang glamor dan jauh dari masalah-masalah manusia kelas menengah ke bawah.

Pelarian gue adalah sesuatu yang jauh banget dari dunia manusia. Karena di dunia nyata setiap hari berhubungan dengan manusia, begitu masuk ke dunia cerita, gue mau bersentuhan dengan sesuatu yang nggak ada di dunia nyata. Mungkin, itulah alasan kenapa gue suka banget cerita fantasi.

Legolas - Lord of the Ring

Legolas adalah elf paling tampan yang pernah ada. Walaupun, pada dasarnya semua elf itu tampan. Termasuk prince dari cerita 1/2 prince.

Prince - 1/2 Prince

Bukan hanya yang tampan, tapi gue juga suka ngeliat monster yang keren-keren.


Tapi kalau awakened being-nya Jane sih lain cerita. Dia adalah monster paling cantik yang pernah gue tau. Walaupun semua awakened being di Claymore itu keren-keren banget, sih. Hiks.

Awakened Jane - Claymore
Awakened Claire - Calymore
Awakened being - Claymore

Selain cerita fantasi berisi makhluk-makhluk fantasi, cerita distopia juga jadi salah satu favorit gue, sih. Kata distopia sendiri merupakan lawan kata dari utopia atau dunia ideal yang diimpikan. Dalam cerita distopia, biasanya dunia berubah menjadi sesuatu yang benar-benar jauh dari bayangan dan sama sekali tidak diimpikan. Biasanya juga, cenderung menciptakan dunia yang ideal dengan dehumanisasi atau menghilangkan rasa kemanusiaan. Contohnya: Hunger Games, Divergent, The Maze Runner, Minority Report, Battle Royale, dsb.

Suka cerita distopia bukan berarti gue memimpikan dunia yang begitu, sih. Tapi justru sebaliknya. Karena baca/nonton cerita begitu membuat gue berpikir kalau masalah-masalah di dunia nyata nggak ada apa-apanya.

Tapi meski gue suka banget cerita fantasi, gue tetep nggak bisa nulis fantasi. Otak gue nggak nyampe. Karena untuk bikin cerita fantasi, otak kita harus membentuk dunia baru yang beda banget sama dunia yang ada sekarang. Semakin detil, semakin bagus. Dan itu membutuhkan kapasitas otak yang sangat-sangat besar. Penderita short memory syndrom macam gue bisa apa?

Yak. Analisis tidak penting gue cukup sampai di sini.

Rabu, 25 Oktober 2017

[Movie Review] Exposed

Bakat Keanu Reeves sia-sia dalam film ini.

Penginnya sih review gitu doang. Wahahaha. Perasaan gue setelah nonton film ini mirip kayak setelah gue nonton film LUCY. Gue merasa rugi. Buang-buang waktu 2 jam nonton ginian. Tau gitu gue bobo lebih cepet aja.

Padahal tadinya gue mau cari hiburan karena tumben-tumbenan besok masuk kuliah siang doang, dan nggak ada tugas. Kayaknya baru kali ini masuk kuliah bebas tugas kecuali pas pertemuan pertama :v Ya Allah, hidup ini berat....


Biar dikata poster filmnya penuh sama Keanu Reeves doang, peran dia dalam film ini udah kayak pemeran pembantu yang sebenernya nggak perlu ada juga nggak apa-apa.

"Film barat berjudul “Exposed” ini merupakan film yang bercerita mengenai sebuah misteri pembunuhan. Seorang detektif bernama Scott Galban (Keanu Reeves) mencari sebuah kebenaran di balik misteri pembunuhan rekannya. Di sisi lain, seorang wanita muda Latin bernama Isabel de la Cruz (Ana de Armas) yang mengalami sebuah kejadian aneh dan mengatakan bahwa telah melihat sebuah keajaiban."

Film ini alurnya sungguh gak jelas, dan pada akhirnya nggak menjelaskan apa-apa. Padahal, sebenernya punya potensi jadi bagus juga.

Intinya, Scott yang berusaha mengungkap misteri di balik terbunuhnya si partner, ternyata nggak bisa menemukan petunjuk apapun selain foto-foto beberapa orang negro yang dia ambil sebelum kematiannya. Yah, sebenernya foto itu juga bukan dia yang nemu, sih. Kan kameranya jelas ada sama korban, tinggal cetak doang, langsung ketauan.

Setelah itu dia nyari tau siapa orang-orang negro itu dan nyari tau apa hubungannya sama Cullen, partnernya yang dibunuh. Hasilnya nihil. Sampe akhirnya dia dikasih tau atasannya kalau orang negro yang di foto adalah 'korban sodomi'nya Cullen selama di penjara. Dan kalau kasus itu diterusin, uang pensiunnya Cullen bakal hangus, dan istrinya nggak dapet apa-apa.

Di sisi lain, korbannya Cullen yang namanya Rocky itu adalah ipar dari Isabela, perempuan yang belakangan ngeliat hal-hal aneh dan sulit dijelaskan dengan logika kayak waktu dia ngeliat orang yang jalan melayang, ngeliat perempuan pake gaun merah tapi wajah sama rambutnya putih semua, macam alien. Dia juga mendadak bilang hamil, padahal suaminya lagi tugas di Irak. Dia menganggap itu sebagai keajaiban dari Tuhannya.

Pada akhirnya, dijelasin kalau ternyata semua itu bayangan Isabela aja. Dari endingnya, sutradara sepertinya mau ngasih penjelasan kalau Isabela itu kena gangguan jiwa dan ngeliat hal-hal yang nggak masuk akal, termasuk berteman sama satu anak yang ternyata dirinya sendiri waktu kecil yang menerima pelecehan seksual dari ayahnya sendiri.

Hubungan Isabela sama kasus terbunuhnya Cullen? Ternyata dia yang ngebunuh Cullen karena sempet diperkosa di stasiun kereta. Tapi berhubung Isabela ada gangguan jiwa, ingatan itu hilang dari otaknya dan justru keganti sama ingatan-ingatan yang nggak masuk akal. Termasuk kehamilan yang dia anggap keajaiban. Meski begitu, nggak dijelasin apakah orang lain tau soal gangguan jiwa yang diderita Isabela ini, dan bagaimana dia bisa jadi kunci semua misteri ini.

Pada akhirnya Scott (Keanu) nggak ngapa-ngapain. Nemu sesuatu yang baru juga nggak. Semuanya dibuka sendiri sama atasannya. Nuraninya emang nggak pengin kasus itu ditutup gitu aja. Tapi pada akhirnya dia nggak ngapa-ngapain dan nggak melakukan sesuatu yang berarti.

Ada adegan-adegan lain kayak hubungan Scott sama anaknya yang tinggal jauh dari dia, hubungan Isabela sama suaminya, hubungan mantan istrinya Cullen sama Scott, yang menurut gue nggak ada esensinya sama sekali untuk kepentingan cerita. Udah gitu, selain misteri pembunuhan Cullen, ada juga 3 orang lain yang terbunuh setelahnya, dan sampe akhir juga nggak ada penjelasan soal itu. Kayak cuma pengin ngasih bumbu drama aja, gitu.

Gue yang tadinya mau nonton thriller yang agak mikir gitu biar otak seger, malah jadi kessel. Film ini sia-sia banget :'D

Tau gitu gue baca komik aja....

Jumat, 06 Oktober 2017

Menganalisis Pemikiran Manusia

Mempelajari manusia sebagai makhluk sosial itu sulit, ya?

Seenggaknya itulah yang gue sadari begitu masuk mata kuliah 'teori kebudayaan' yang sebenernya nggak mau diambil, tapi wajib untuk semua peminatan--gimana dong?

Padahal gue seneng-seneng aja masuk mata kuliah yang lain, walau rumit. Tapi begitu masuk kuliah teori budaya, gue selalu duduk paling belakang, mencoba mendengarkan dosen sambil manggut-manggut antara pura-pura ngerti atau karena ngantuk.

Isi pelajarannya selalu kasus sosial, dan analisis kenapa bisa jadi kayak gitu.

Misalnya aja cerita soal buku 'Pengakuan Pariyem' yang katanya terkenal di kalangan budayawan karena kental dengan budaya Jawa yang agak kontroversial.


Secara singkat, Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang bekerja untuk keluarga konglomerat berdarah biru yang memiliki anak laki-laki bernama Raden Bagus. Kisah cinta terjalin antara Raden Bagus dan Pariyem hingga Pariyem hamil. Mengetahui kehamilan Pariyem, ayah Raden Bagus marah. Lalu kira-kira apa yang dilakukan ayah Raden Bagus? Atau bagaimana Pariyem akhirnya bersikap?

Nah, analisisnya di situ. Apa yang dilakukan mereka berdua sebagai orang Jawa?

Ada yang jawab Pariyem dibuang. Ada yang bilang mereka seharusnya bermusyawarah untuk mufakat. Ada mahasiswi dari China yang bilang kalau ayahnya memberikan uang banyak pada Pariyem dan memintanya meninggalkan Raden Bagus. Ini sinetron banget, deh :v

Ternyata, jauh dari jawaban mahasiswa, masalah Pariyem terselesaikan dengan damai. Pariyem pergi meninggalkan keluarga Raden Bagus dan pulang kampung. Keluarga Raden Bagus nggak jadi kehilangan muka. Pariyem sendiri merasa senang karena mengandung anak dari seorang yang terpandang dan tidak menuntut macam-macam. Istilahnya, sadar diri.

Dan kisah ini jadi kontroversi karena sebagian nggak terima kalau sifat yang terlalu nrimo itu digambarkan sebagai budaya Jawa.

Lalu, mulailah belajar bagaimana kasus ini dipandang dari sudut psikologis dan budaya. Nah, di sini gue mulai agak lost. Terutama begitu kasus-kasus sosial yang ada di sekitar kita dipolakan.

Soalnya, menurut logika gue, kejadian-kejadian itu sama sekali nggak berpola. Bahkan kalau mau dibuat polanya, tiap kasus sosial pasti beda. Cakupannya terlalu luas untuk dibuat pola. Terlalu banyak faktor yang bisa menyebabkan satu kejadian terjadi.

Emang sih teorinya "tidak setiap kasus sosial terjadi karena budaya, tetapi setiap kasus sosial dapat dianalisis dengan pendekatan budaya."

But I'm still lost.

Kasus-kasus sosial emang menarik. Tapi gue hanya sekadar penikmat. Gue menikmati contoh-contoh kejadian berdasarkan pengaruh budaya sebagai cerita. Semisal ceritanya Pariyem, ya gue akan menikmati layaknya novel. Meskipun, mungkin gue nggak akan terlalu tertarik karena terlalu vulgar dan cerita yang termasuk open ending (kayak kebanyakan novel Jepang :v). Yah, mau gimana lagi, ini kan kisah nyata yang dituturkan lagi.

Atau misalnya ketika orang asing yang ada di Indonesia bingung kenapa tiap kali orang Indonesia memberikan sesuatu pakai tangan kiri, pasti minta maaf.

Paling komentar gue cuma, "oh iya, menarik. Lucu juga ya..."

Udah.

Nah, untuk menganalisis kasus-kasus sosial kayak gitu, gue sama sekali nggak tertarik. Karena ini jatuhnya sama kayak interpretasi puisi. There's neither right nor wrong. Analisis semacam ini akan jadi sesuatu yang sifatnya sangat subjektif. Untuk baca hasil analisis orang sih oke, tapi kalau gue yang diminta analisis, nggak, deh. Apalagi, sesuatu yang berhubungan dengan pemikiran manusia itu bener-bener sulit ditebak. Orang yang sangat-sangat tidak peka macam gue bisa apa? :v

Gue pikir, belajar budaya itu mengenali berbagai budaya yang berbeda dari berbagai wilayah aja. Kalau sebatas itu, pasti gue bisa menikmati. Gue nggak menyangka akan belajar teori-teori dasar yang melahirkan budaya itu sendiri.

Kalau menganalisa struktur bahasa, gue paham dan cukup bisa mengikuti kecuali fonologi. Soalnya, walaupun para linguis sering beda pendapat, setidaknya ada aturan-aturan dasar yang membatasi suatu analisis itu salah atau benar. Intinya, ada rumus yang pasti.

Misalnya gue diminta menganalisi dari mana kata "pemelajar" berasal. Kalau gue jawab asalnya dari kata "belajar",  gue pasti salah. Karena perubahan kata dari "belajar" adalah "pelajar". Sementara kata "pemelajar" muncul karena ada kata "mempelajari", sehingga orang yang mempelajari disebut "pemelajar", bukan "pelajar".

Nah, logika gue masuknya ke hal-hal yang kayak gitu. Kalau masuk analisis dengan pendekatan budaya, logika gue nggak akan kepake. Sehingga udah pasti gue bakal kesasar.

Intinya, gue lebih paham dengan sesuatu yang bisa dijelaskan secara pasti. Tapi, otak gue nggak nyampe kalau belajar ilmu pasti beneran macam sains, fisika, dan kawan-kawannya. Jadi, gue pilih yang agak fleksibel sedikit meskipun tetap pakai ilmu pasti, dan berbentuk kata-kata yang justru bisa gue visualisasikan dengan baik ketimbang angka.

Walaupun gue masuk peminatan linguistik deskriptif/murni, tapi temen gue banyakan dari peminatan bahasa dan budaya. Dan dua peminatan ini selalu ketemu di dua mata kuliah karena materinya berhubungan satu sama lain. Kami ketemu di kelas teori budaya dan semantik (ilmu yang mempelajari tentang makna). Jadi, begitu masuk kelas teori budaya, gue nggak paham. Dan begitu mereka masuk kelas semantik, gantian mereka yang nggak paham. Saling melengkapi, akakaka.

Yah intinya gitu, deh. Pada dasarnya dari dulu gue nggak jago menganalisis 'pemikiran manusia'.

Senin, 02 Oktober 2017

"This is Where I Belong"

Kira-kira sebulan udah gue jadi mahasiswa linguistik murni. Biasanya sih gue suka cerita pengalaman yang terbilang baru kayak gini. Tapi ini udah sebulan gue nggak nge-post apa-apa di sini.

SAKING SIBUKNYA.

Ini aja baru masuk sebulan, tau-tau minggu depan udah UTS aja. Apa-apaan...
Antara mau nangis sedih atau ketawa stress. Tapi yasudahlah, ini kan jalan yang gue pilih sendiri.

Awal-awal masuk, gue seneng banget. Karena ngomongin bahasa sama temen-temen sekelas itu nyambung banget. Lebih lagi, banyak temen-temen yang kerjanya udah berhubungan langsung dengan linguistik. Asyik banget! Tapi begitu ketemu dosen-dosennya, gue merasa ilmu gue jauuuuuuuuh banget.

Ini dosen-dosennya warbyasah! Padahal untuk semester pertama ini gue cuma ada empat mata kuliah. Tapi ternyata tiap mata kuliah dosennya minimal dua, maksimal empat. Jadi walaupun mata kuliahnya terlihat sedikit, tapi isinya padat, dan dosennya banyak.

Masalah yang paling utama adalah, TIAP DOSEN MINTA PAPER.

Oke, nggak semuanya, sih. Ada yang minta bentuknya kayak makalah dan presentasi, tapi nggak sedikit juga yang minta bentuknya berupa paper penelitian. Padahal dulu waktu lulus kuliah, gue sama sekali nggak berniat untuk lanjut kuliah karena waktu bikin skripsi aja susah banget. Lah ini sekarang diminta bikin paper penelitian yang isinya mirip-mirip kayak penelitian skripsi. Padahal baru semester satu.

Jadi, kalau harus gue gambarkan gimana rasanya jadi mahasiswa S2 itu, singkatnya begini:

skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-tesis.

Selesai.

Udah mau muntah belum?

Gue sih udah.

Apalagi, buku acuan yang dipakai rata-rata bahasa Inggris semua. Sementara bahasa Inggris gue itu pasif. Paling bisa paham kalau baca novel young adult macam Percy Jackson atau trilogi Maze Runner, yah sama novel-novel teenlit gitu, deh. Baca novelnya Stephen King yang Inggris? Belum kuat. Baca yang bahasa Indonesianya aja gue harus konsentrasi penuh.

Jadi begitu diminta ngerjain tugas dengan acuan buku-buku bantal itu, gue harus bolak-balik buku kamus. Seringkali, udah ngerti artinya pun, gue tetep nggak paham maksudnya apa. Harus dibaca berkali-kali dan nyari acuan dari buku lain baru gue bisa paham.

Tapi semua kesulitan ini cuma berdasarkan cara pandang aja, sih. Kalau diceritain kayak gitu emang kayaknya bikin eneg.... banget. Sebaliknya, sejauh ini gue merasa nyaman ngejalaninnya. Soalnya walaupun butuh usaha dan energi lebih untuk memahami buku-buku itu, gue bahagia begitu akhirnya paham isi bukunya. Semua ilmu yang pengin gue cari tahu ada di situ.

Gue bersyukur awal-awal masuk kuliah masih bisa pindah peminatan dari penerjemahan jadi linguistik murni. Soalnya ilmu yang mau gue cari emang dari awal ada di linguistik murni. Gue penasaran sama dasar segala bahasa, baik dari sisi semantiknya (makna), sintaksisnya (urutan kata), morfologisnya (pembentukan kata), dsb.

Nggak heran contoh yang dikasih bener-bener dari beragam bahasa. Sejauh ini, contoh yang pernah dibahas ada dari bahasa latin, aztec, finlandia, swahili, kongo, kujamaat joola (entah bahasa lucu ini asalnya dari mana xD), sampai bahasa eskimo. Yah, walaupun memang agak sulit dimengerti kalau contohnya dari bahasa-bahasa aneh itu, tapi gue sih seneng-seneng aja. Bahkan sebelum ganti HP, di galeri musik HP gue yang lama itu isinya lagu dari berbagai macam bahasa. Gue koleksi karena pengin tau aja bahasa-bahasa lain. Kalau nggak salah selain indonesia, inggris dan jepang, ada lagu korea, mandarin, thailand, rusia, finlandia, swedia, rumania, dll.

Kerjaan gue dan temen-temen yang lain selesai kuliah itu, ngebahas lagi kuliah hari itu. Sering banget jadinya malah kayak kuliah lagi antar kita-kita sendiri, walaupun sekadar menyamakan persepsi aja. Soalnya beda dari S1 yang rata-rata kuliah untuk nyari kerja nantinya, kuliah S2 itu tujuannya untuk jadi ahli di bidangnya masing-masing. Jadi ilmu yang digali lebih dalam.

Jadi inget waktu kelas selesai dan makan bareng-bareng di kantin, malah ngebahas perbedaan 'makan' dan 'memakan'. Semuanya ngasih argumen sampai akhirnya pada paham bedanya. Masalahnya, dalam kuliah semantik dibahas kalau sebenarnya istilah sinonim itu rancu, karena nggak ada dua kata di dunia ini yang sama persis dan bisa menggantikan satu sama lain apapun situasi dan kondisinya.

Walaupun sebelumnya kita menganggap kata 'menaruh' dan 'meletakkan' itu sama, ternyata setelah ilmunya nambah, dua kata itu nggak bisa lagi dibilang sinonim satu sama lain.

Kalimat "Barang itu terletak di atas meja", nggak bisa diganti jadi "Barang itu tertaruh di atas meja". Sebaliknya, kalimat "Tolong taruh tasnya di sana" juga nggak bisa diganti jadi "Tolong letak tasnya di sana."

Situasi dan kondisi pemakaian dua kata itu beda, begitu juga imbuhan yang biasa dipakai. Jadi nggak bisa dibilang itu dua kata yang sama.

Kalau sama anak linguistik lain, ngebahas begituan aja jadinya semacam 'hottest topic today'. Seru banget!

Padahal mungkin kalau dilihat sama yang lain, yang kami bahas itu APA BANGET. Nggak penting. Begituan aja dibahas. Kalau udah dipake dalam percakapan, yang mana aja juga bisa, asal sama-sama ngerti.

Makanya yang begituan emang asyiknya dibahas sama orang-orang yang peduli sama bahasa, apapun itu. Dan untunglah di sini nggak ada yang merasa salah jurusan atau apa. Jadi sebagian besar minat ngebahas ginian tiap hari.

Yah, walaupun kebanyakan dari mereka minat banget sama karya sastra dan gue nggak, sih. Gue lebih minat sama bahasa populer atau yang dipakai sehari-hari, bukan bahasa kiasan yang terlalu indah macam puisi.

Walaupun anak linguistik, gue tetep nggak paham sama yang namanya puisi. Hahah! *lalu diguyur*

Ngomong-ngomong, judul di atas itu kalimat salah satu temen gue yang merasakan hal yang sama kayak gue waktu masuk linguistik. Hoho.