Senin, 17 November 2014

Leo & Alfa - Chapter 4 Empat Akar Dua


"Selamat pagi anak-anak!" seru Pak Kepala Sekolah yang masih belum penting disebutkan namanya, ketika ia memasuki kelas 3.

"Loh? Kok Bapak yang dateng? Bu Bintang ke mana, Pak?" tanya Alfa.

Seharusnya, jam pertama hari ini diisi oleh Bu Bintang sebagai guru kesenian. Namun, alih-alih Guru muda yang cantik dan perhatian itu, yang datang malah Pak Kepala Sekolah berkepala botak. Meski saat ini namanya belum terlalu penting untuk disebut, setidaknya kini kita tahu dia botak.

"Mulai hari ini Bu Bintang tidak akan mengajar di SD Mars lagi," terang Kepala Sekolah.

"Yaaaaahh!!" koor anak-anak kelas 3 yang semuanya merasa kecewa.

Bu Bintang adalah salah satu guru favorit anak-anak di SD Mars. Selain cantik, Bu Bintang memang bersifat keibuan dan sangat penyayang. Wajar saja jika semua anak merasa kehilangan. Mereka bahkan lebih baik tidak memiliki kepala sekolah daripada ditinggal Bu Bintang.

"Pasti gara-gara gajinya kecil," celetuk Leo.

"Iiiiihh! Kok gajinya Bu Bintang kecil sih, Pak? Tambahin doooong!" sambar Kiki.

"Wajarlah gajinya kecil, Bu Bintang kan masih honorer," kali ini Alfa ikut bicara.

"Ya ampuuun! Pak Kepala Sekolah tega banget siiih. Harusnya Bu Bintang diangkat jadi guru tetap doooong," kali ini Tuti.

"Iya nih, udah tega, botak lagi...." Leo kembali nyeletuk.

"Heh! Botak saya nggak ada hubungannya sama ini, ya!" seru Pak Kepala Sekolah yang kesal. "Lagian kalian menduga-duga sendiri tanpa tahu alasan yang benar. Saya kan belum ngomong apa-apa."

Pak Kepala Sekolah terbatuk kecil sebelum melanjutkan kalimatnya. "Bu Bintang tidak akan mengajar lagi di sini karena...."

Anak-anak menunggu jawaban Pak Kepala Sekolah dengan tegang.

"Beliau tidak akan mengajar lagi karena...."

Anak-anak semakin tegang menunggu.

"Kenapa Pak Kepala Sekolah susah banget bilang alesannya? Apa karena Bu Bintang kecelakaan dan mengalami cacat seumur hidup hingga nggak mungkin mengajar lagi? Apa karena salah satu keluarga Bu Bintang ada yang meninggal hingga Bu Bintang harus pulang kampung secepatnya? Atau jangan-jangan, Bu Bintang melahirkan!" bisik Leo di telinga Alfa.

"Oon! Hamilnya kapan!? Masa tau-tau ngelahirin??" Alfa menggeplak kepala Leo.

"....." Pak Kepala Sekolah masih belum mengatakan apa pun.

"Pak! Bu Bintang kenapa Paaaaak!?" Halimah, si korban sinetron, mulai khawatir.

"Jawab Paaak!" Tuti ikut-ikutan.

Pak Kepala Sekolah pun mulai buka mulut. "Bu Bintang.....lebih milih bisnis MLM...." katanya dengan tampang sendu.

"......."

15 menit selanjutnya, Pak Kepala Sekolah menjelaskan apa itu MLM pada murid-muridnya. Alfa tentu ikut membantu dengan fakta-fakta yang sepertinya tidak terlalu penting disebutkan di sini.

"Hooo.... jadi bisnis MLM itu membuat uang yang bekerja untuk kita ya....Cita-cita Tuti ganti deh! Nggak usah jadi istri pejabat nggak apa-apa, asal Tuti ikut bisnis MLM!"

Tuti, belum genap 10 tahun, tapi pikirannya begitu terpenjara oleh uang. Menyedihkan.

Pak Kepala Sekolah menyudahi sesi obrolan yang tidak jelas juntrungannya itu dan segera memulai pelajaran menggantikan Bu Bintang.

"Minggu lalu kalian belajar apa sama Bu Bintang?" tanya Pak Kepala Sekolah.

"Ada PR, Pak!" seru Alfa yang langsung disambut dengan tatapan membunuh dari teman-temannya. Sayang Alfa tidak ahli menerjemahkan tatapan yang berarti ngapain-kamu-ngomong-ngomong-soal-PR-segala! itu.

Tanpa merasakan adanya ketegangan yang tiba-tiba melesak di dalam kelas, Alfa memberitahu Kepala Sekolah bahwa kelas mereka ditugasi untuk mempersiapkan satu lagu untuk dinyanyikan di depan kelas. Selain itu, Bu Bintang juga meminta anak-anak untuk memodifikasi lirik lagu aslinya sekreatif mungkin.

"Oke. Kalau begitu langsung mulai saja, ya? Siapa yang mau maju pertama?"

Ditanya begitu, anak-anak langsung bersikap seolah-olah ada kupu-kupu terbang di atas kepala mereka. Melihat hal itu, Pak Kepala Sekolah menghela napas panjang.

"Leo, gimana kalau kamu duluan?"

"Saya, Pak??" seru Leo kaget.

Pak Kepala Sekolah sudah bersiap membujuk Leo bernyanyi jika anak itu menolak berdiri dari tempat duduknya. Namun...

"Oke. Saya ngerti kok kalo bapak segitu penginnya denger suara saya," kata Leo yang segera berdiri dan maju ke depan kelas.

Sebelah alis Pak Kepala Sekolah lansung terangkat begitu mendengar kalimat Leo. Dia bingung mau membalas apa. "Yasudahlah, kamu langsung nyanyi saja. Silakan...."

"Uhuk! Ehem! Ehem!" Leo bersikap seolah tenggorokannya memang perlu dijernihkan sebelum bernyanyi. Lalu, dengan penuh semangat, ia pun bernyanyi, "OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!"

'Hooo...lagu piala dunia zaman Ronaldo berjaya. Bagus juga pilihan lagunya,' pikir Kepala Sekolah.

"OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE! OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!OLEE OLE OLE OLEE! OLEEEE! OLEEE!--"

"Stop! Stop! Leo, stop! Kamu mau nyanyi Ole-Ole sampai kapaan? Mana lirik lainnya?" tanya si botak--eh, Kepala Sekolah.

"Lirik versi saya isinya Ole semua, Pak. Biar keren!"

"Ah, bilang aja kamu memang nggak hapal liriknya. Udah sana, duduk! Ayo selanjutnya, Halimah..."

Halimah pun maju dengan langkah yang anggun. Saat berada di depan kelas, Halimah membungkuk layaknya penyanyi profesional sebelum memulai aksi panggungnya. Lalu, ia mengaitkan empat jari tangan kanan dengan tangan kiri dan memposisikan diri sedikit miring, mirip penyanyi paduan suara. Halimah pun mulai bernyanyi.

"Satu ditambah satu, sama dengan dua. Aku ditambah kamu, sama dengan kita <3" Halimah melantunkan lirik terakhir seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Astagfirullah....." Pak Kepala Sekolah mengelus dadanya, prihatin. 'Belajar dari mana sih ini anak!?' pikirnya.

"Sudah, duduk. Sekarang Alfa, ayo maju."

Alfa berdiri dari tempat duduknya. Tapi sepertinya dia agak ragu untuk maju.

"Pak, lagu yang saya nyanyiin sama kayak punya Halimah...." aku Alfa.

"Kamu mau nyanyi sambil ngedipin mata di depan kelas juga!?" Pak Kepala Sekolah shock.

Alfa menggeleng cepat. "Bukan, Pak! Bukan! Maksudnya lagu aslinya sama. Cuma lirik yang saya buat beda."

"Ooh. Ya nggak masalah toh? Ayo maju."

Setelah mendapat persetujuan, Alfa buru-buru maju ke depan kelas. Wajahnya menggambarkan rasa percaya diri yang sangat tinggi. Ia memang selalu serius mengerjakan semua PR yang diberikan guru, tak terkecuali pelajaran kesenian. Jadi, ia telah mempersiapkan lirik yang akan dinyanyikannya dengan baik. Setelah suasana kelas kondusif, Alfa pun mulai bernyanyi.

"Empat diakar dua, sama dengan dua. Empat difaktor dua sama dengan dua. Dua kuadrat dua, sama dengan empat. Dua dikali dua, sama dengan empat juga. Ayo kawan berhitung matematika. Siapa bisa, pasti anak yang pintaaar~"

Lalu tiba-tiba Tuti menangis. "Bapaaaaakkk~ Tuti nggak ngertiiiii~ Tuti berarti begooooooo~ Huwaaaaaaa~"

Alfa kebingungan dan hanya bisa diam. Sementara Pak Kepala Sekolah berusaha menenangkan Tuti dan meyakinkannya kalau dia nggak bego-bego amat. Anak-anak kelas yang lain juga langsung merasa bego setelah mendengar lagu yang Alfa nyanyikan, meskipun tidak sampai menangis seperti Tuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar