Senin, 17 November 2014

Leo & Alfa - Chapter 2 Teh Gelas Botol Kotak


“Fa, sekali-sekali main bola sama kita-kita yuk,” ajak Leo.

Alfa mengalihkan pandangan dari buku fisika kuantum yang dibacanya pada sahabatnya sejak orok itu. Ia membenarkan letak kacamatanya meski tak perlu.

“Nggak ah, capek.”

Leo mendesah. “ Yee, nggak ngapa-ngapain aja capek. Main bola dulu, baru boleh capek.”

Mendengar sindiran tersebut, Alfa langsung berdiri. “Yang bikin capek itu bukan cuma olahraga doang kali. Konsentrasi juga bikin capek. Capek otak. Ini aku lagi konsentrasi belajar pembiasan cahaya matahari dari dua jam tadi, makanya aku capek sekarang,” terang Alfa panjang lebar.

“Biasa deh, omongan kamu susah banget. Kamu itu anak SD bukan sih? Coba dong sekali-sekali bertingkah kayak anak SD. Anak SD nggak ada yang baca buku fisika kuantum. Bahkan fisika yang biasa aja kita belum belajar.” Leo memberi jeda sejenak sebelum melontarkan sesuatu dari mulutnya, “Fisika itu apaan, sih?”

Alfa geleng-geleng prihatin. Begini nih kalau punya teman yang nggak pintar-pintar amat, pikir Alfa. Leo sih taunya cuma nendang-nendang bola aja. Bola satu direbutin banyak orang. Kasian bolanya, kan?

“Aku ikut deh,” kata Alfa kemudian.

“Bener? Waaah! Akhirnya Alfa sadar olahraga itu penting!” Kemudian, Leo segera menarik lengan Alfa dan berlari menuju lapangan. “Ayo cepet, keburu nggak diajak main kita...”

Sebenarnya alasan Alfa ingin ikut main cukup sederhana. Ia ingin merasakan kelelahan fisik. Selama ini yang ia rasakan hanya kelelahan non-fisik, yakni pikiran saja. Nanti setelah tahu bedanya, ia baru akan menentukan mana yang lebih mending. Alasan ini tidak bisa dibilang sederhana untuk anak SD, sih. Tapi, sudahlah...

Alfa sudah membayangkan dirinya menggiring bola dengan mulus di lapangan. Berhubung dia sudah menghafal semua aturannya dan semua teknik bermain bola dari buku yang pernah dibacanya, Alfa cukup pede bisa menjadi bintang dadakan di lapangan.

“Fa! Awaaasss!!” teriak seseorang yang baru disadari Alfa saat—

‘DUAKK!’

—wajahnya kena bola.

Setelah berkeliling sebentar ke angkasa yang penuh bintang berputar, Alfa mulai sadar.

“Fa, kamu nggak apa-apa?” tanya Leo yang wajahnya dekat sekali di atasnya.

Alfa menggeleng pelan.

“Kamu mending duduk di pinggir aja dulu, Fa. Minum-minum dulu sambil istirahat,” saran Kiki, teman sekelasnya dan Leo.

Alfa pun mengiyakan. Ia tak menyangka benar-benar jadi sorotan di lapangan—dalam arti negatif.
Sepanjang pertandingan, Alfa hanya bisa memperhatikan Leo bermain dengan lincah di lapangan bersama teman-temannya. Melihat Leo seperti itu, Alfa baru sadar, Leo ternyata memiliki kelebihan sendiri. Oke, mungkin dirinya pintar di bidang akademik. Tapi Leo pintar di bidang yang lain, dan itu bukan sesuatu yang menjadi keahliannya.

Setelah beranalisis macam-macam di pinggir lapangan, Alfa dipanggil oleh Leo yang sedikit berteriak padanya.

“Fa! Udah mendingan? Bisa minta tolong nggak?”

Alfa mengangkat kepala yang sejak tadi ditopang oleh kedua telapak tangannya. “Tolong apa?”

“Beliin minum dong di warung. Capek banget niih~”

Untung bukan minta pijit, kata Alfa dalam hati. “Boleh aja. Mau nitip apa?”

“Teh gelas botol ya, satu,” pinta Leo.

Alfa langsung diam dan berpikir kalau dia salah dengar.

“Oke, kamu mau nitip apa?” tanya Alfa yang menganggap pesanan Leo sebelumnya sebagai angin lalu.

“Teh gelas....yang botol....” kata Leo lagi. Kali ini lebih jelas, mengantisipasi kalau Alfa mengalami kebudekan dini.

Alfa mengerutkan keningnya. “Jangan bercanda dong, Leo. Kamu maunya apa? Kalo nggak jelas aku males beliin!”

Kali ini Leo yang bingung. “Iih...udah aku bilang, aku mau teh gelas...yang botol tapi!!”

“Teh gelas apa botol?? Yang konsisten dong!”

“Iya teh gelaaaaasss....tapi yang di botooooolll....”

“Kamu maunya yang di gelas apa yang di botol, sih!?” tanya Alfa lagi.

“Bukan di gelas, tapi di botol, Alfaaaa.... Tapi tehnya teh gelas!!” seru Leo yang mulai kesal.

“Jadi yang manaaaa???” Ternyata Alfa lebih kesal lagi.

Leo yang capek teriak-teriak akhirnya mengalah. “Es teh manis ajalah....”

Alfa pun langsung mengubah mimik wajahnya menjadi cerah seketika. “Nah, kalo itu aku paham. Kiki mau nitip apa?” tanyanya kini pada Kiki.

“Aku mau teh botol kotak ya,” ucap Kiki tanpa dosa.

“Yah, ini lagi..........”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar