Selasa, 29 Desember 2015

Obat Penawar Hati yang Luka

JUDULNYA APA BINGIIIITTTSSS!!!
*dia yang nulis, dia yang merinding*

Sumpah ya, ada apa dengan gue....
Akhir-akhir ini tulisan gue 'bener' semua. Semoga ini tanda-tanda gue ditunjukin jalan yang lurus, yang siratal mustaqim. Aamiin.

Dan semoga jadinya nggak sotoy macam kebanyakan postingan blog gue....

Sebenernya ini gue mau ngomong apa, sih. Pembukaannya juga apa banget gitu. Judulnya apalagi... *masih dibahas*

Ehem...

Setiap orang itu pasti punya masalah. Dan pas masalah itu sampe di titik klimaks, secara refleks kita akan memposisikan diri kita seolah orang yang tertindas dan paling malang sedunia. Meskipun, mungkin cara mengekspresikannya beda-beda. Ada yang terang-terangan nyebar kemalangan diri lewat sosmed, berharap orang lain memberikan simpati. Ada yang curhat ke teman-teman terdekat. Dan ada juga yang memilih diam dan menyimpan masalahnya sendiri.

Pada dasarnya. Akan ada satu titik saat kita berpikir dalam hati, "kenapa harus gue?"

Dulu, gue sering banget punya pikiran begitu. Kenapa harus gue yang piket? Padahal gue nggak jago bersih-bersih. Kenapa harus gue yang ikutan lomba masukin belut ke dalam botol? Padahal gue maunya ikut lomba makan kerupuk. Kenapa harus gue yang dihukum lari keliling lapangan? padahal gue cuma telat lima menit. Kan itu gara-gara macet buuuuu....


WHY ME? WHYYYY????!

Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan semacam itu hampir nggak pernah mampir lagi ke otak gue. Orang-orang pun melihat gue seolah gue adalah orang yang nggak punya masalah. Masalah pelik yang menimpa gue paling pas gue mendapati ada potongan alpuket yang nangkring di mangkok es buah gue. Atau parutan keju yang nangkring di atas pisang bakar coklat kesayangan gue.

Coba saran dari gue.

Saat masalah pelik menimpa dan kalian bertanya, kenapa harus kalian yang dapet masalah itu, jawabannya cuma ada satu.

Karena cuma kalian yang mampu.

Seberat apapun masalah itu, pasti mampirnya ke situ karena emang cuma situ yang mampu. Kalau larinya ke orang lain, belum tentu orang itu mampu ngadepin masalah seperti yang situ lakuin.

Pemikiran semacam itu seenggaknya memberi dampak positif. Meski sedang dalam masalah, kalian jadi sadar kalau kalian punya kelebihan spesial dibanding orang lain yang nggak dapet masalah kayak gitu. Saat itulah kalian jadi bisa berpikir jernih untuk merangkai kemungkinan-kemungkinan untuk menghadapi masalah yang lagi demen mampir.

Contohnya gue yang bisa dengan tenang ngambil sendok untuk nyingkirin alpuket yang ada di mangkok es buah gue. Atau ngambil alpuket itu dan taro di mangkok es buah temen di sebelah gue. Gue nggak perlu panik lagi dalam menghadapi masalah. Gue nggak perlu heboh dan histeris karena ada alpuket di es buah gue. Dengan berpikir positip kalo cuma gue yang mampu, gue bisa dengan tenang menyingkirkan alpuket yang kalo dimakan mblenyek di mulut itu. Masalah beres, semua bahagia, ahahahahaha xDD

Sekian tausiyah dari Nana. Kelebihan dan kekurangnnya mohon maklum. Sampai bertemu lain waktu di channel yang sama. Byeee....

Senin, 28 Desember 2015

Berat Rasanya Melepas Kepergian Kalian

"Di Jepang gajinya bisa sampe 20 juta, Sensei!"

"Asik kan di Jepang. Rapi, nggak kayak di sini."

"Toko animanga di mana-mana! Surga!"

Selain tiga alasan di atas, masih ada 1000 alasan murid-murid saya pengin menapakkan kakinya di Jepang. Baik untuk sekadar jalan-jalan, ikut short course, kuliah, atau kerja di Jepang. Iya... iya... sayah ngerti banget perasaan semacam itu karena sayah juga pernah mengalami hal yang sama.

Bayangin aja, keinginan untuk pergi ke Jepang udah ada sejak saya TK. Meski alasan saya waktu itu adalah 'pengin ketemu Doraemon'. Sejak saat itu, meski alasan saya untuk ke Jepang sempat berubah-ubah, tetep aja nggak mengubah keinginan saya untuk ke sana. Intinya, saya harus ke Jepang!

Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Sekitar empat tahun yang lalu, saya dapet beasiswa untuk belajar selama satu bulan di sana. Nggak lama, memang. Tapi waktu yang sebentar itu membuat saya sadar sesadar-sadarnya.

Jepang nggak seindah bayangan saya :)

Saya nggak bermaksud ngomong gini untuk menjelek-jelekkan Jepang, kok. Negeri matahari terbit itu punya segudang kelebihan, saya mengakui itu. Tapi kekurangannya pun juga banyak. Yah sama aja kayak Indonesia, kok. Mungkin kalian ngeliatnya Indonesia itu jelek, kotor, gak teratur, pemerintahannya kacau, pejabatnya tukang korupsi, orang-orangnya banyak yang suka ikut campur. Jelas kalian tau semua yang jelek-jelek karena kalian juga orang Indonesia. Tapi pernah nggak sih sesekali nge-list apa kelebihan negara kita ini?

Begitu saya ke Jepang, jujur aja deh, saya malah jadi makin sadar kelebihan-kelebihan negara sendiri. Rasanya malah jadi pengin cepet pulang. Bahkan menurut saya, Jepang itu nggak asik untuk tempat tinggal. Untuk destinasi jalan-jalan masih okelah.

Makanya waktu ada temen saya yang ngajak sekolah lagi di Jepang, saya nggak perlu waktu lama untuk menjawab nggak. Saya nggak bisa di Jepang lama-lama, men.

Apa sih yang membuat saya enggan banget lama-lama di Jepang?

Alasan yang paling utama adalah.... agama.

Yes. Seperti yang semua orang tau, Jepang adalah negara penganut agama Shinto (meskipun pada kenyataannya lebih banyak yang ateis). Wajar dong kalau sebagai muslim, saya merasa nggak nyaman di tempat yang untuk melakukan kegiatan keagamaan jadi susah. Yang paling dasar aja, deh. Solat misalnya. Selama di asrama sih solat nggak masalah. Ada mushalla dan ada radio tape yang selalu disetel suara adzan pas waktunya solat. Masalahnya adalah ketika saya keluar dari asrama. Saya harus selalu memperkirakan apakah saya bisa solat dzuhur dan ashar di waktu yang berbeda? Atau lebih baik dijamak? Jamaknya mending pas dzuhur? atau ashar? di mana saya bisa solat? wudhunya di mana?

Yah, meskipun itu bisa dibilang tantangan, tetep aja ribet.

Alasan kedua yang menurut saya sama krusialnya kayak yang pertama adalah.... makanan.

Untuk nyari makanan halal di Jepang empat tahun lalu itu terbilang susah banget. Waktu masih di asrama sih nggak masalah, karena di kantin nyediain makanan halal. Masalahnya (lagi-lagi) pas saya di luar asrama. Empat tahun lalu, saya hanya menghindari semua makanan yang mengandung babi dan alkohol. Padahal setelah belajar lagi, yang namanya halal patokannya bukan itu doang @_@ Begitu sampe di Indonesia, saya sadar kalau tanpa sengaja udah makan makanan haram. Dan mengetahui kenyataan itu rasanya nggak enak banget, sumpah. Begitu balik ke Jepang untuk yang kedua kali, saya udah lebih banyak tau apa-apa aja yang harus dihindari. Hasilnya? Saya turun 3 kilo dalam seminggu :'D Saking susahnya nyari makanan yang 'aman'.

SUPER SEKALI

Mungkin ini diet paling efektif yang pernah saya lakukan sampai sekarang. Meskipun nggak niat diet juga, sih.

Selain soal halal atau nggaknya, rasanya juga jadi masalah. Makanan Jepang itu... uhukhambaruhuk. Bahkan untuk saya yang gak doyan pedes, makanan pedes ukuran mereka itu apa banget. Pulang-pulang dari sana rasanya pengin langsung nyantap opor ayam -_-

Alasan yang ketiga adalah... budaya.

Di Jepang ada peribahasa yang kira-kira artinya "memalu paku yang menonjol". Maksudnya, orang yang berbeda atau menonjol diantara yang lain biasanya dipalu biar jadi sama kayak yang lain. Atau dia sendiri yang mutusin untuk menahan diri dan jadi orang yang biasa-biasa aja biar gak dipandang aneh.

Sebagai orang asing yang datang ke Jepang, udah jelas saya ini aneh di mata mereka. Terutama pada kenyataan kalau saya pake hijab. Secuek-cueknya saya, nggak jarang saya nyadar kalau beberapa orang memperhatikan saya dari atas sampe bawah dengan tatapan aneh. Sebagian besar sih nggak masalah karena ngeliatinnya biasa aja, atau cuma ngeliatin murni karena penasaran. Tapi ada juga yang ngeliatin dengan pandangan menghina sampe ngomongin di belakang, tanpa tau kalo saya ngerti apa yang dia omongin. Itu bukan pengalaman yang terlalu menyenangkan, hahaha.

Alasan-alasan lainnya masih ada. Tapi rasanya masih minor dibanding tiga alasan di atas, sih.

Berhubung sekarang saya termasuk salah satu pengajar untuk ratusan calon perawat dan care worker yang nantinya mau dikirim untuk kerja di Jepang, saya jadi kepikiran untuk nulis soal ini.

Awalnya saya berpikir positif. Semakin banyak orang-orang Indonesia yang dikirim ke Jepang, akan semakin bagus. Karena mereka akan mendapat pendidikan gratis di sana secara langsung maupun nggak langsung. Bisa belajar bahasa, bisa belajar etos kerja yang baik, belajar kedisiplinan, belajar sopan santun, belajar menaati peraturan, dan banyak lagi hal-hal positif lainnya. Bagus kan kalau pas mereka pulang, mereka jadi lebih disiplin. Yang tadinya gak terlalu peduli buang sampah di mana, pas pulang akan nyari-nyari tempat sampah terdekat untuk buang sampah. Yang biasanya suka telat, begitu pulang dari sana akan berusaha untuk datang tepat waktu meski kondisi jalanan sulit diprediksi.

Tapi di sisi lain, saya juga khawatir. Gimana kalau pas di sana, ada yang pengin nyoba-nyoba sake? Gimana kalau mereka mikir 'aah... asal nggak sampe mabuk, nggak apa-apa lah' atau 'nggak enak sama atasan kalau nggak ikut minum, nggak sopan'. Gimana kalau pas di sana mereka kesulitan nyari makanan halal terus pelan-pelan mulai makan makanan yang 'syubhat' dengan alasan ketidaktahuan? Atau sebenarnya udah tau tapi mulai nggak peduli asal bisa makan. Gimana kalau misalnya mereka nggak punya waktu istirahat untuk solat? Gimana kalau mereka nggak punya tempat solat yang memadai dan milih untuk ninggalin solatnya? Gimana kalau ada yang ngerasa nggak nyaman diliatin pake hijab terus berpikir untuk membaur dengan ngelepas hijabnya?

Pikiran-pikiran semacam itu mengganggu saya, banget. Walaupun itu memang pilihan mereka, tetep aja ada rasa bersalah karena saya termasuk orang yang terlibat di dalamnya :( Kalau gini kan rasanya nggak rela ngelepas kalian semua pergi ke jepang.

Mau gimana di sana, itu memang pilihan kalian. Tapi, apa menggugurkan satu demi satu keimanan yang kalian punya itu sebanding dengan yang kalian dapet di sana? Sebesar apa pun gaji yang didapat, sebesar apa pun kesenangan yang didapat, nggak akan ada artinya kalau mengorbankan iman yang jelas lebih berharga dari itu semua. Kalau memang kalian muslim dan bangga jadi muslim, jangan pernah malu nunjukin jati diri kalian. Kalau kalian sendiri nggak menghargai diri kalian, siapa yang mau menghargai?

Sejujurnya, ini berlaku nggak pas ke Jepang aja, sih. Ke mana pun kaki melangkah, yang namanya iman dan prinsip itu harus tetep dijaga. Ye kan?

Sayangnya, yang sejauh ini saya lihat, kebanyakan kenalan yang pulang dari Jepang pada mengalami degradasi iman. Pulang-pulang, solatnya jadi jarang-jarang, atau malah nggak pernah lagi. Pulang-pulang hijabnya ditanggalkan. Pulang-pulang pindah agama. Pulang-pulang jadi ateis. Haissshh.... sedih hayati ini menghadapi kenyataan di depan mata... lebay, Na.

Ngeliat kenyataan begitu, rasanya salut sama kenalan-kenalan lain yang justru mengalami peningkatan iman begitu pulang dari Jepang. Hehe. Pasti berat banget tuh ujiannya di sana .___.

Saya mah cuma bisa mendoakan semoga kalian dijaga terus sama Allah. Semoga ke manapun kaki kita melangkah, kita tetap bisa jadi saudara sesama muslim. Aamiin...

Senin, 14 Desember 2015

30-Day Book Challenge - A book that make you happy


Pertama kali iseng baca buku ini di salah satu toko buku (iyes, numpang baca gratisan). Dan ternyata biarpun ini buku psikologi, bahasanya ringan dan contoh-contoh kasusnya lucu-lucu banget :) Akhirnya begitu balik lagi ke toko buku, langsung memutuskan untuk beli deh.

Setelah dibaca, ada satu hal yang bikin gue seneng banget. Lebih seneng ketimbang baca buku-buku yang lain.

AKHIRNYA GUE TAU ALASAN ILMIAH KENAPA GUE BUTA ARAH DAN GAK BISA BACA PETA!!

*tebar kembang*

Semacam nyari pembelaan sih, emang. Tapi alasan ilmiahnya masuk akal kok. Apalagi berdasarkan penelitian dan berbagai macam survei.

Secara singkat, kemampuan pemetaan dan membedakan arah bagi perempuan memang tidak setinggi laki-laki. Berbeda dari laki-laki yang cenderung memakai otak kiri atau kanannya saja, perempuan terbiasa memakai kedua belah otak dalam waktu yang bersamaan. Rata-rata perempuan mampu menggunakan kedua tangannya untuk mengerjakan berbagai macam kegiatan di waktu yang bersamaan, sehingga mereka sulit membedakan arah kanan dan kiri. Namun tidak demikian halnya bagi sebagian besar laki-laki.

Ini kenapa bahasanya jadi ilmiah banget? #gampangterpengaruh

Ini juga jadi jawaban kenapa di keluarga gue cuma gue doang yang nyasar pas main "Age of Empire". Sehingga akhirnya gue memutuskan untuk cuma main game 2D yang arah geraknya cuma kanan-kiri-atas-bawah (semacam gunbound dkk gitu deh). Sementara tiga saudara laki-laki gue yang lain mainnya segala macam game yang petanya aja bikin gue pusing (dota, war craft ato apalah itu).

Dulu... gue belum sadar kalo gue buta arah. Gue pernah beberapa kali meyakinkan temen-temen gue saat mereka nggak tau jalan.

"BENER, JALANNYA KE SINI. GUE YAKIN KOK. TRUST ME!"

Berhubung gue jago meyakinkan orang, kebanyakan dari temen gue pun akhirnya percaya. Tapi ujung-ujungnya emang lebih sering salah jalan ketimbang benernya.

Tapi karna gue orangnya pelupa, masalah gue salah jalan pun gue anggap sepele dan pada akhirnya gue melakukan kesalahan yang sama. Buat yang sampai detik ini masih percaya gue tau jalan, tolong hilangkan itu dari otak kalian. Gue.... gatau.... jalan.... Kecuali dari gang depan rumah ke rumah. Gue bahkan nggak bisa ngebayangin kenapa dari kalibata tau-tau bisa nembus ke dewi sartika dan sampe PGC.

Nah, selain alasan yang gue sebut di atas, ada lagi alasan lain yang bikin gue seneng baca buku ini. Buku ini bisa membedah karakter dasar laki-laki dan perempuan in a hilarious way. Buat yang pengin tau pemikiran cowok sebenernya kayak gimana, buku ini jauh lebih membantu daripada majalah gadis dan semacamnya.

Berkat buku ini juga, gue bisa menggambarkan karakter cowok dalam cerita-cerita gue supaya terlihat lebih real.





Rabu, 09 Desember 2015

Menulis Kreatif bersama Adhitya Mulya

Maaf, postingan ini lama nangkring di draft dan gue lupa mulu mau posting. So, here we go...
Pelajaran menulis bersama ADHITYA MULYA.

Hari jum'at kemarin gue sama Zu ikut seminar "Menulis Kreatif"nya Bang Adhitya Mulya. Menurut gue, materi yang dia sampein waktu itu berharga banget. Dan rasanya sayang kalau nggak dibagi-bagi untuk kalian yang sama-sama punya keinginan untuk jadi penulis. Jadi, gue akan coba menjabarkan kembali materi kemarin.

BERCERITA FIKSI

Penulis --> media tulisan
Pencerita --> media apa saja

Menurut Bang Adit, lebih baik menjadi seorang pencerita daripada seorang penulis. Sebab jika menjadi penulis, maka orang tersebut hanya bisa menyampaikan ceritanya melalui media tulisan. Sementara untuk pencerita, banyak media yang bisa dia manfaatkan. Contohnya bisa melalui lagu, gambar, film, dll.

Bang Adit : "Bagi seorang pencerita, jika dia diberikan laptop, maka dia akan menulis. Jika dia diberikan kamera, maka dia akan membuat foto essay. Jika dia diberikan gitar, dia akan membuat lagu..."

Menurut gue pribadi, ini adalah sesuatu yang baru. Gue nggak sadar, menjadi pencerita yang baik bisa membuat seseorang menjadi penulis yang baik. Bayangin kalau ada orang yang curhat, atau cerita kejadian lucu, terus ceritanya ngalor-ngidul, atau malah diksinya salah. Kan malah bikin orang pengen ngedit kata-katanya dia. Eh? Ato itu gue doang?

Motivasi Cerita

1. Ingin menghibur
Bagi Bang Adit, motivasinya menjadi pencerita sangat sederhana. Ia ingin menghibur orang lain, ingin membuat mereka tertawa. Dan ini sama banget kayak gueeee.... ahahahaha :D

2. Menyampaikan pesan
Menurutnya ini juga salah satu motivasi penting ketika ingin menjadi seorang pencerita. Jelas lah ya? Masa masih perlu dijelasin? #ditimpuk

3. Memberi dampak untuk masyarakat
Naah... kalau yang ini namanya udah membawa motivasi cerita ke level yang lebih tinggi. Selain ingin menyampaikan pesan, ada juga seorang pencerita yang memang ingin banyak orang memahami pesannya hingga banyak persepsi yang akan berubah setelah membaca ceritanya. Misalnya saja cerita tentang autisme yang belum terlalu dipahami oleh orang banyak.

4. Menceritakan pengalaman pribadi
Ada juga alasan yang satu ini. Yang....menurut Bang Adit sih 'not recommended'. Kenapaaa? Katanya, kebanyakan orang cuma mau orang lain tau cerita tentang dirinya. Padahal belum tentu cerita dia itu menginspirasi atau menghibur. Kalau ambil contoh Andrea Hirata, beda soal. Manusia hebat yang satu itu memang berhasil menuang kisah hidupnya menjadi tetralogi novel fiksi, terjual jutaan kopi, dan menginspirasi orang banyak. Kisah Bang Andrea nggak biasa, dan nggak semua orang mengalami seperti yang dia alami dulu untuk menempuh pendidikan yang layak. 

Bang Adit: "Kalau ceritanya diputusin satu cewek terus galau berkepanjangan....I mean...come ooonnn...."

Kalau soal ini sih gue bilang, gue setuju setengahnya. Gue juga nggak setuju untuk menceritakan pengalaman pribadi yang apa banget kalau dibaca sama orang lain. Tapi kalau hanya mengambil sebagian, memfilternya dengan tepat, memasukkannya dalam cerita fiksi tanpa terlihat terlalu 'curhat', gue rasa nggak ada salahnya :) Well, pilihan masing-masing orang.

Teknik Bercerita

Nah, masuk ke bagian yang paling penting. TEKNIK! Yang belum pernah tau teori dan teknik menulis yang benar, mari simak baik-baik!

1. Bangun Matriks Karakter
Persiapkan karakter secara matang. Mulai dari segi fisik, sampai karakter sedetil-detilnya. Misalnya dia suka makan pisang ato nggak, kalo tidur lebih suka telentang apa tengkurep, dll.

Catatan: JANGAN PERNAH membuat karakter yang SEMPURNA.
Karena kesempurnaan hanya milik Allah semata :)

Intinya sih, hindari karakter gary-stu dan mary-sue. Perlu gue jelasin nggak yah tipikal dua karakter menyebalkan ini? Dua karakter itu adalah alasan terkuat gue nge-drop suatu cerita. Gary-stu itu yang kayak gimana, sih? Coba liat karakter utama cowok di "My Sweet Kaichou", namanya Kasumi kalo gak salah. Nah itu penggambaran yang tepat untuk cowok gary-stu. Sebenernya kebanyakan karakter cowok di dalam cerita romance dengan pembaca perempuan sih rata-rata gary-stu. Cowok ganteng, pinter, kaya, penyayang, perhatian, wes diambil kabeh. Maruk banget....

Sementara, cewek mary-sue itu lebih-lebih menyebalkan lagi. Biasanya sih bukan tipikal cantik, kaya, pintar, dan bisa segala-galanya (ini malah biasanya jadi karakter tokoh antagonisnya). Mary-sue itu adalah karakter cewek yang disukai semua orang APAPUN YANG DIA LAKUKAN. Dia jatoh, banyak yang nolongin. Dia ceroboh, banyak yang memaklumi dan menanggap itu imut. Dia lemah, banyak yang pengin melindungi. Kata-kata yang keluar dari mulut si mary-sue ini entah bagaimana selalu bisa membuat orang-orang terenyuh sampe nggak ada orang yang bisa sebel sama dia.

DAN ITU MENYEBALKAN!

Biasanya sih ini tipikal tokoh utama cewek yang pada dasarnya biasa-biasa aja, tapi semua cowok ngejar cintanya dia. BASI!

Saran dari Bang Adit adalah: Buatlah cacat pada karaktermu. Misalnya dia orang yang bisa segalanya, tapi di sisi lain dia adalah orang yang nggak pernah puas. Tujuannya meraih kesempurnaan menjadikan itu sisi negatif dirinya.

 2. Drama Tiga Babak
Setiap cerita selalu mengacu pada tiga babak.
Set up --> Confrontation --> Resolution

Apa pun genrenya, apa pun ceritanya, bagaimana pun alurnya, tiga babak yang disebutin tadi akan selalu jadi dasar. Penggambaran yang paling tepat untuk drama tiga babak ini adalah cerita superhero yang sering digarap Hollywood.

Cara menyusun cerita:
- susun premis: sesuatu yang menggambarkan isi cerita dalam satu atau dua kalimat.
contoh: premis dari novel "The Maze Runner" adalah 'sekumpulan pemuda yang berusaha mencari jalan keluar dari labirin misterius dengan berlari.'
- susun sinopsis: keseluruhan cerita yang dirangkum dalam 1/2-1 halaman A4 (harus menggambarkan awal cerita hingga penyelesaian)
-buat kerangka

Untuk penjelasan lebih mendetil bagaimana caranya membuat kerangka cerita, bisa ke sini http://www.screenplay.com/

Semua yang gue tulis ini masih ada lanjutannya. Doakan semoga gue nggak terlalu malas untuk melanjutkan. Gue merasa beruntung banget waktu itu bela-belain dateng jauh-jauh ikut seminarnya. Karena akhirnya gue dapet ilmu-ilmu baru yang belum pernah gue dapet sepanjang ikut kelas pelatihan atau seminar menulis lainnya :)

[Flashfiction] Oksigen dan Genosida

"Apa aku akan mati hari ini?"

Pertanyaan itu akan terus terngiang-ngiang di benak setiap orang yang ada di sini. Termasuk juga--tentu saja--diriku.

Genosida.

Gas berbahaya tersebut telah menjadi musuh kami sejak puluhan tahun yang lalu.

Salah siapa? Pemerintah? Pengusaha pabrik tak bertanggungjawab?

Bukan. Ini semua salah kami, umat manusia. Kami terlalu tergila-gila akan teknologi. Kami menjadi terlalu manja, terlalu malas melakukan ini-itu, dan hanya berpikir untuk menciptakan alat baru yang bisa melakukan sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan oleh kedua tangan kami sendiri. Penemuan yang sia-sia telah banyak tercipta. Namun tetap saja laris di pasaran karena alasan pertama. Malas.

Kalau bisa dilakukan mesin, kenapa kita harus melakukannya sendiri? Itu kata-kata kami, si perusak bumi.

Tak heran jika pada akhirnya bumi menyerah menampung kami. Pepohonan hijau yang biasanya menyerap kadar racun dari udara penuh polusi, kini tak lagi terlihat. Kami punya filter, kok. Tanah luas yang mampu menampung dan menjernihkan air, kini tertutup besi-besi tebal. Kami kan masih punya penampung air hujan.

Alasan-alasan tersebut lenyap di dalam kerongkongan tatkala teknologi tak mampu mengatasi imbas yang muncul karena kemajuannya sendiri.

Udara tercemar dan sangat beracun. Kami tak lagi bisa melangkah di luar tanpa perlindungan. Oksigen menjadi barang langka dan mahal. Tanpa tabung oksigen, bumi hanyalah planet usang yang tak cocok lagi ditinggali.

Jika ada penghuni planet lain yang melihat manusia bumi kini, mereka pasti memandang kami dengan iba. Bagaimana tidak? Sekarang kami lebih mirip alien yang dulu sering kami khayalkan dan visualisasikan melalui layar kaca. Dengan kostum mengerikan seperti ini, sudah tak mungkin lagi membedakan mana pria mana wanita.

"Oksigenku hampir habis," kata salah seorang dari kami.

Aku mengangkat dagu, menunjuk ke satu arah. "Nggak mau gabung sama mereka? Minta oksigen..."

Ia menoleh ke sekumpulan orang yang berusaha menarik perhatian seorang gadis arogan di balik kaca. Ada yang mengetuk pelan hingga memukulkan tinjunya ke kaca. Namun, gadis itu bergeming.

"Nona, berikan kami oksigen..." Suara lirih dengan permintaan serupa terus bersahutan dari arah sana.

Orang di hadapanku menggeleng. "Orang kaya mana mengerti perasaan orang miskin. Memangnya kau pikir kenapa rumah penuh oksigen begitu dibuat kedap suara?"

Setelah mengucapkan kekecewaannya, ia akhirnya berkata, "mungkin aku akan mati hari ini...."


-END-

Yak LUNAS!!

Dan apalah itu genosida, ngasal banget gue. Bikin tulisan tanpa research lagi. Hahahaha. Ngerjainnya mepet deadline seeehh....

Sudah ya sudah... ceweknya serem banget...