Rabu, 22 Januari 2014

Orang Indonesia Tukang Marah-marah Katanya?

Lagi-lagi gue meninggalkan terjemahan dan malah blog walking. Setelah kemarin menemukan blog tentang review buku dan review film Indonesia yang menarik (dan gak update entah sejak tahun kapan), hari ini gue blog walking baca tulisan orang asing tentang Indonesia.

Kenapa gue bisa sampe nyari-nyari blog kayak gitu? Awalnya gue baca update-an stuffdutchpeoplelike.com blog tentang kebiasaan, sifat, budaya orang-orang Belanda yang ditulis sama orang Canada yang tinggal di sana. Buat yang tertarik sama Belanda, harus baca itu karena tulisannya lucu banget, menarik, sekaligus informatif. Lalu gue pikir-pikir, kenapa info yang dia kasih itu menarik dan akurat. Jawabannya sederhana, karena dia bukan orang Belanda. Kalau dia bukan orang Belanda, dia gak akan menganggap apa yang dia alami itu menarik, karena udah jadi keseharian. Istilahnya, orang Jawa enggak tahu kalau dia itu Jawa sampe ketemu orang Papua.

Lalu gara-gara itu, mulailah gue mencari tulisan tentang Indonesia yang ditulis sama orang luar. Buat gue, menarik untuk tahu pandangan mereka tentang negeri tercinta yang seringkali menggambarkan hubungan love&hate ini *tjieeeh*

Dari semua tulisan yang gue baca, mungkin ini yang paling menarik:
http://www.japanprobe.com/2011/06/21/indonesian-people-dont-get-angry/

Di tulisan itu, sebuah acara TV untuk ngisengin orang di Jepang menunjukkan hasil survei skala internasional kalau orang-orang Indonesia itu paling gampang marah sedunia (ini survei dari mana pulak gue kaga tau).

Akhirnya, salah satu komedian Jepang membuktikan hal itu dengan dateng ke Indonesia dan ngisengin orang-orangnya. Tapi, biar udah diisengin dengan ngasi sambel di es krim, gak sengaja nyiram air, ngeledakin balon tiba-tiba, ternyata enggak ada orang Indonesia yang bener-bener marah. Padahal kalau diliat dari surveinya, acara itu berekspektasi akan ada yang marah sampe pergi ninggalin mereka.

Setelah orang-orang ini diwawancarai usai shoot, mereka rata-rata bilang kalau orang tuanya selalu ngajarin untuk enggak marah-marah sama hal-hal kecil, apalagi bercandaan.

Terus soal survei itu gimana dong?

Orang Indonesia itu susah ditebak. Kadang kesenggol dikit nguomel, di saat lain sabarnya malah kebangetan karena mau aja nunggu angkot ngetem berjam-jam, padahal perjalanan juga macet. Kalo menurut gue, ini susah untuk didefinisikan sebagai emosian atau terlalu sabar. Mungkin lebih tepat kalo dibilang orang Indonesia itu ekspresif.



Lalu surveinya?

Aaah, mungkin yang survei cuma ngeliat kelakuan sopir angkot doang kali.

Selain tulisan itu, gue banyak nemu blog-blog lain tentang Indonesia. Gue gak bahas soal keindahan alam karena it's too mainstream (halah). Indonesia is paradise, titik.

Dari blog-blog tersebut, gue membaginya dalam dua tipe, yang suka, dan yang benci.

Karena keindahan alamnya yang oke, banyak orang Indonesia menganggap orang-orang asing di luar sana semuanya suka sama Indonesia. Ternyata enggak semuanya begitu. Untuk orang yang sangat menghargai individualitas (misal, para expat) jarang yang suka sama Indonesia. Bahkan, gue nemu blog khusus expat yang membahas keadaan tiap negara. Di blog itu, nilai pandang soal Indonesia dan orang-orangnya cukup rendah.

Salah satu yang dibahas adalah, orang asing mungkin enggak tahan dengan kehidupan di Indonesia yang menurut mereka mungkin hampir tanpa privasi. Di sini, masih aneh kalo jalan ke mana-mana sendiri. Di sini wajar banget menyapa orang yang udah di kenal waktu ketemu di jalan. Bagi mereka mungkin kalo ketemu cukup dengan senyum. Bagi orang Indonesia, kalo ketemu minimalnya adalah nanya "dari mana? mau ke mana? kok sendiri?"

Untuk sebagian orang asing ternyata ini menggaggu. Pikir mereka, mau dari mana, mau ke mana, kenapa sendiri, itu urusan gue, gak usah tanya-tanya lah. Sementara untuk orang Indonesia ini wajar karena pertanyaan klise tersebut adalah cara lain untuk bilang halo.

Untuk tipe kedua adalah orang yang suka. Biasanya, mereka adalah orang yang sejak awal memang suka kebersamaan atau orang individualis yang akhirnya merasa nyaman dengan kebersamaan.

Bagi mereka-mereka ini, orang Indonesia itu ramahnya luar biasa. Ada satu cewek Amrik yang menjalani pertukaran pelajar di Bandung. Menurut dia, salah satu kebiasaan yang dia suka dari orang Indonesia adalah waktu ngobrol. Yep, orang Indonesia suka ngobrol, di mana pun, kapan pun. Dia awalnya kaget karena bisa ngabisin waktu 4 jam di cafe sama temen-temen Indonesianya ngomongin segala macam hal, singkatnya: GOSIP!

Waktu di Amrik, dia enggak pernah begitu, kalau enggak ada urusan yang penting banget, ya enggak bakal dilakuin. Tapi dia jadi suka dengan kegiatan yang satu itu karena menurut dia itulah salah satu cara orang Indonesia menunjukkan rasa perhatiannya sama orang lain.

Kalau bukan karena orang asing, mungkin kita enggak bakal sadar kalau ngobrol berjam-jam di tempat makan itu aneh. Soalnya bagi kita itu biasa aja. Lumayan bisa ngulur pekerjaan. Loh!

Yang paling unik adalah cerita soal idul Adha. Ada satu cewek Amrik (juga) yang waktu di negaranya adalah aktivis hewan. Dia sejujurnya takut waktu denger ada perayaan Idul Adha di Indonesia. Dia enggak tega ngeliat kambing, domba, dan sapi dikurbanin begitu.

Tapi ternyata waktu akhirnya dia terpaksa ikut ngeliat kurban di masjid, semuanya enggak seburuk perkiraannya. Gue kopi aja deh tulisannya dia....

After the mosque and a quick meal, it was the moment of truth. I was to see the qurban. Dun dun dunnnnnnnn! I braced myself and prepared for the worst. But, honestly, it wasn’t that bad, and I really wasn’t too bothered by watching it. Because so many people ate the meat and there was virtually no waste, I was actually ok with the animals being sacrificed. I was very pleasantly surprised by the way that the sapi and domba were treated before they died (the men patted their heads and were very gentle with them) and I came to the conclusion that this way of slaughtering is probably more humane than half of the ways our meat is processed in the U.S. I really grew to appreciate the ritual and tradition behind this holiday, and even though it was very different than any Catholic holiday I’ve experienced, I enjoyed it just as much, if not more.

tulisannya dari blog ini http://breesindonesia.blogspot.com/

Oke, udah ah.

Sebenernya pengen bikin blog kayak gitu juga....Tapi gue kan gak lagi home stay dimana-mana. Nanti deh kalo gue jadi home stay di Belanda, hehehe. Sejak ketemu keluarga home stay di Jepang, gue juga udah memutuskan mau membuat rumah gue jadi tempat home stay untuk orang asing yang ke Indonesia nanti. Tentunya kalo gue udah punya rumah sendiri, hohoho :D

Sabtu, 18 Januari 2014

Anak Bawang dan Anak Emas

Harusnya gue kerja, ngelanjutin terjemahan, tapi apa daya otak lagi gak pengen kerja sama. Akhirnya malah buka blog. Kebetulan lagi pengen bikin postingan iseng pelepas stress, hehe.

Sejak kecil, gue selalu jadi anak bawang. Apaan sih 'anak bawang' itu? Dulu gue jadi anak bawang tanpa ngerti maksudnya. Tapi.....jadi anak bawang waktu masih SD, banyak enaknya :) Kalo lagi main lompat karet, main galaksin, main bentengan, de el el de es be, gue selalu dikasih kemudahan, haha :D Misalnya saat gue harusnya lompat 'merdeka', bisa digantiin sama yang lebih gede dan lebih jago. Pokoknya, jadi anak bawang waktu main itu berarti gak ada kesulitan berarti.

Kalau dipikir-pikir, gue selalu jadi anak bawang karena kecil secara bodi dan umur. Rata-rata temen gue pasti lebih tua dari gue. Masuk SD pun, gue selalu jadi yang paling muda.

Nah, jadi anak bawang di SMP ato SMA, banyakan gak enaknya. Gue selalu dilarang melakukan sesuatu dengan alasan umur (cih). Saat anak-anak lain udah mulai bandel dengan ngomongin yang 'macem-macem' atau berbau dewasa, gue gak boleh tahu. Akibatnya, waktu SMA gue sering dibercandain dengan kata-kata yang gue gak ngerti. Kejadiannya selalu begini....

A (anggep aja salah satu temen gue) = eh, lo tau gak, kemaren anak-anak pada nonton bokep bareng....
Gue = Bokep apaan sih?
A = *ngakak gila* LO GAK TAU!?
Gue = *geleng-geleng, lanjut nyatet pelajaran* (Ohoow, gue rajin nyatet loh semasa SMP! Shinjirarenai wa ne, kore tte!)
A = Coba cari di KBBI, biar lo belajar
Gue = (berhubung tiap istirahat, gue rajin nyambang perpustakaan, akhirnya gue cari beneran)

Abis istirahat...
Gue = Gak ada di KBBI, itu bahasa Indonesia bukan?
A = LO SERIUS NYARI!? *ngakak gila.....lagi*
Gue = (mulai sadar itu kata-kata gak bener, tapi tetep penasaran) Emang apaan siiiih?
A = Jangan tanya gue, coba tanya yang lain, tuh, coba tanya si B

Kejadian ini berakhir dengan gue nanya ke banyak orang dan KAGA ADA YANG NGASIH TAU GUE DENGAN JUJUR! Akhirnya gue malah jadi bahan tertawaan banyak orang. Ujung-ujungnya gue tau arti kata-kata itu malah dari tempat lain. Itu juga lama setelah kehebohan gue nanya-nanya orang. Setelah tahu artinya gue cuma bisa ngangguk-ngangguk, "Oooo....itu toh artinya..."

Kejadian lain adalah waktu pelajaran Kewarganegaraan....

Saat baca artikel di buku paket, gue menemukan satu kata sulit....

Prostitusi.....

Gue: (nanya ke temen) Eh, prostitusi apaan sih? Kok gue gak pernah denger....
A (temen gue, bukan berarti sama kayak yang sebelumnya, yang jelas masih temen gue lah): Hmmm.... (pura-pura bingung tapi sebenernya pengen ngakak juga) Enggak tahu, coba lo tanya gurunya....(dengan wajah datar)
Gue: Bu, prostitusi itu artinya apa, ya?
Bu guru: ...... (kayaknya gak tau mau jawab apa dan gimana jelasinnya)
A beserta temen sekelas: *ngakak gila*

Sebenernya masih banyak kata-kata yang......buat di blog aja rasanya gak pantes di tulis, ahahaha. Ah, sudahlah.... gue tahu seakrab apa pun temen sekolah gue, mereka tetep seneng melihat gue diketawain dan dihina.

Kelas 2-3 SMA, rata-rata temen gue udah megang KTP (yang sesungguhnya, Kartu Tanda Penduduk yang bukan nembak). Sementara sampe gue lulus SMA pun, gue belum bisa punya KTP. Penindasan selanjutnya adalah, "Lo mau ini? Lo mau itu? Lo mau begini? Lo mau begitu? Gak boleh, ini cuma khusus buat yang udah punya KTP. Lo udah punya KTP belom?"

Gue cuma bisa kincep dan berjalan menjauh diiringi hembusan angin gurun pasir (ini apa, sih!?)

Gue baru dapet KTP setahun setelah lulus SMA, dan membanggakannya ke seluruh dunia, wakakakakaka! Ibuuu! Aku sudah dewasaaaaa! Udah punya KTP!!



Nah, itu cerita soal anak bawang. Btw, untuk anak sekarang masih ada istilah anak bawang gak sih?

Sekarang gue mau cerita soal anak emas. Bukan, bukan snack mi goreng yang di kremes terus di kasih bumbu dan dikocok-kocok itu.....

Cerita soal gue jadi anak emas emang gak banyak sih. Soalnya biasanya gue terpinggirkan.....Seinget gue, cuma ada dua momen di mana gue bener-bener ngerasa dianak emaskan.

Waktu SMP, gue milih ekskul Ekspresi 9 (itu nama majalah di sekolah gue). Kecintaan gue baca dan nulis emang udah keliatan waktu SMP. Berhubung guru pembimbingnya guru bahasa Indonesia, tiap pelajaran dia gue merasa dispesialkan, hehe. Yang paling penting, kalo ada deadline mading atau majalah, gue boleh bolos masuk kelas, hehehehehe. Masa-masa ini gue gak inget jelas, kayaknya gue jatoh dari pohon atau apa, jadi ingatan gue ilang sebagian.

Waktu lulus kuliah, gue sempet kerja sebagai penerjemah lisan dua orang Jepang langsung, sebut saja si Bos (Kacho) dan pengawalnya. Gue kerja berdua sama Zha. Waktu kerja pertama, kira-kira 10 hari gue ikut mereka ke Garut dan selalu nerjemahin apa pun yang mereka denger dan mereka omongin. Waktu itu, gue gak ngerasa spesial, biasa aja. Kalau bandingin kemampuan bahasa Jepang gue sama Zha, gue juga kalah jauh. Jadi, gue gak banyak nerjemahin, gue hanya nerjemah kalo Zha lagi gak mungkin nerjemah (ke kamar mandi, misalnya), ato kalo Kacho sama pengawal pergi masing-masing (yang amat sangat jarang terjadi).

Saat begitu, biasanya ada yang frustasi kalo jadi gue, karena merasa gak berguna, cuma nerjemahin dikit, dan gak terlalu diandalkan. Sementara gue malah ngerasa bahagia. Ya kalo Zha sanggup nerjemahin, buat apa gue nimbrung toh. Gue nyaman jadi bayangan, toh gajinya sama. Magabut, yes I am. Jadi kalo kacho, pengawal, sama Zha lagi sibuk jelasin program pendidikan mereka ke orang-orang Garut, gue kebanyakan main-main, ngejar kupu-kupu dan ketawa-ketiwi, hahahaha. (lalu dihajar Zha)

Waktu kerja kedua kalinya (sekitar 2 minggu), gue merasa......beda. Awalnya tugas nerjemah dibagi dua dengan adil, gak kayak sebelumnya. Dan kali ini gue udah tahu gimana ngatasin kerjaan ini. Jadi, gak terlalu masalah. Pelan-pelan, entah kenapa tugas nerjemah gue....MALAH JADI LEBIH BANYAK!

APA INI!? *lempar script* (bukan lagi akting, buat penghayatan aja)

Entah kenapa gue jadi bertugas menerjemahkan omongannya Kacho dan apa yang dia denger, sementara Zha kebagian nerjemahin omongannya pengawal yang sumpah kayak manual pelayan restoran (ngomong pas presentasi selalu sama persis!).

Gue sempet bete sampe-sampe niruin gaya pengawal ngomong pake bahasa Jepang pas dia lagi presentasi. Terlalu hafal karena diulang-ulang terus. Dan di samping gue ada Kacho. Gilak, berani banget gue, wakakaka! Pengawalnya gue hina-dina bok!

Dan si kacho malah ketawa, membenarkan gue. Tapi.... dia bilang, gue gak perlu iri, karena dia akan ngomong sesuatu yang beda dan menarik, sehingga gue dapet tantangan lain untuk nerjemah. Katanya, dengan begitu kemampuan gue pun akan bertambah. Bener sih....tapi saat itu gue masih manyun, karena.....yah....tantangan sih tantangan, tapi kan susah boook! Berasa kayak bisa tahu kenapa gue bete, si kacho bilang, dia akan ngomong dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti untuk gue.

Saat itu, gue merasa lebih dianak-emaskan dibanding Zha yang bahasa Jepangnya jauh lebih jago. Padahal, kalo ngomong ke Zha, dia agak kasar dan lebih make ego, giliran ngomong ke gue udah kayak ke anak kesayangannya gitu. Gue sama sekali gak pernah diomelin, mau coklat dibeliin, mau kue-kue juga dibeliin. Kalo lagi bete dikit aja tau-tau disodorin pocky atau apa pun yang berbau coklat. Kok....rasanya gue gampang disogok dengan makanan manis gini....

Beberapa kali harus pidato-pun, selalu gue yang diminta nerjemahin. Ada rasa bangga....tapi dibanding itu semua, gue lebih nyaman kalo gak harus nerjemahin banyak-banyak, sih....(teteup).

Iyak, begitulah.... pengalaman gue sebagai anak bawang jauh lebih lama dan lebih banyak dibanding sebagai anak emas, hahahaha :D Jadi anak bawang emang gak enak, tapi jadi anak emas pun gak selamanya enak. 

Selasa, 14 Januari 2014

Cerita Romance vs Non-Romance

Sebenernya tadinya mau ngebahas salah sau novel seri STPC (Melbourne) yang baru selesai gue baca, tapi kalau ngepost tulisan yang sama di dua web berbeda itu kok rasanya gimanaaa gitu, mengandung suatu kesia-siaan, jadi gue putuskan untuk bergeser sedikit.

Untuk yang pengen tau review serius dan mendalam gue soal novelnya Winna Efendi yang baru aja gue sebutin, silahkan langsung mampir ke sini.

Berhubung gue bukan penggemar romens, sejujurnya seri STPC itu kurang menarik buat gue. Tapi yaah, demi membaca cerita dengan setting luar negeri yang kayaknya promosinya oke banget itu, gue udah baca lima dari 10 seri. Dan yang cukup memuaskan sejauh ini cuma dua, Bangkok dan Paris. Itu juga karena romensnya enggak terlalu kentel....

Pernah denger ungkapan ini enggak sih, "rasa coklat di rumah coklat itu enggak akan seenak rasa coklat di atas cake". Sejujurnya ini ungkapan gue ngarang sendiri. Tapiiii.... rasanya ada ungkapan atau sejenisnya yang maknanya mirip sama yang itu. Intinya, kalau dihubungin sama novel romens, jadi begini "adegan romantis di tengah novel genre romantis nggak akan se-romantis adegan romantis di novel yang genrenya bukan romantis". uoppo ikiiii??

Ngerti gak? Intinya, karena dalam novel genre romance, yang akan dibahas terus menerus adalah sisi romancenya, sehingga nggak akan terlalu berasa lagi. Sementara kalau baca novel yang genrenya non-romance, nemu adegan romance dikiiiitt aja, bakal kerasa banget. Intinya begitu. Dan gue sih, lebih milih yang kedua. Entah genre-nya komedi, horror, thriller, atau apapun.

Sekarang gue lagi mencari novel-novel bergenre psikologi, thriller atau horror level atas, demi membersihkan kontaminasi romens di otak gue. Serius, gue udah kebanyakan baca novel romens yang sekarang lagi booming banget, sampe pusing.

Apa sih yang bikin gue segitu gak sukanya sama romens?
Gue bukannya gak suka. Cuma, cerita yang terlalu cheesy dan menye-menye itu sama sekali bukan tipe gue. Muter-muter cuma ngomongin soal perasaan si cowok dan cewek.

Kalo suka bilang aja suka, PROBLEM SOLVED!
Kalo akhirnya mutusin untuk pisah, ya gak usah pake nyesel, PROBLEM SOLVED!
Kalo merasa cukup dengan unrequited loved, ya kaga usah ngarep, PROBLEM SOLVED!
Kalo merasa masih ngarep, balik ke pernyataan pertama.

Jangan salahin cinta dong kalo cinta itu rumit. Yang bikin rumit ya elo-elo sendiri. Cinta gak salah apa-apa!! (kok mendadak gue belain Cinta?)

Oke balik ke topik, yang membosankan adalah, masalah di novel romens ya muter-muter aje di sekitar situ. Bagi gue, romens itu bumbu, bukan bahan utama. Yah, ini lagi-lagi soal selera sih....

Masalah utamanya adalah, pasar untuk novel romens di Indonesia itu gak pernah mati. Jadi mau nyari kemana-mana juga, yang populer ya romens. Sementara gue di sini sangat sulit menemukan novel thriller/horror yang bagus. Giliran seri Demonata-nya Darren Shan yang super keren diterbitin di sini, tau-tau berhenti di vol.5 (-___________-) Padahal ini novel keren banget sumpah!
Tegaaaaa banget sampe gak dilanjutin terjemahan dan terbitannya....

Untunglah gue masih terobati dengan novel-novel fantasi yang sejauh ini masih terus diterbitin (kecuali seri Artemis Fowl, padahal ini super keren juga!).

Menantikan saat bisa baca novel sekeren ini lagi.....
Kalo ada yang punya rekomen novel psikologi/thriller/horror yang bagus, mau dong infonya..... yang romensnya dikit aja tapi, gak ada juga gak masalah...

Jumat, 10 Januari 2014

Akhirnya, Report Jalan-Jalan di Lembang yang Penuh Keabsurdan!

Akhir tahun kemarin gue dan temen-temen berhasil berkumpul dan jalan-jalan ke Lembang. Meski gak semuanya ikut dari awal sampe selese sih. Tapi dengan kesibukan masing-masing, itu bisa liburan bareng aja udah syukur banget deh.

Oke, gue mau cerita beberapa hal sekilas perjalanan kemarin.

Kayaknya ini poto yang paling gue suka waktu jalan-jalan kemaren

Kamis, 09 Januari 2014

Apapun Buku yang Dibaca, Gak Akan Pernah Sia-sia

Pernah enggak sih, baca buku, terus ngerasa "ngapain sih gue baca buku ini? buang-buang waktu aja!"

Gue pernah.

Tapi, akhir-akhir ini gue menyadari, enggak ada waktu gue yang terbuang percuma selama gue baca buku, apa pun itu. Emang sih ya, kalo lagi sial dan dapet buku bacaan yang gak oke (sebenernya pengen ngomong, JELEK!) rasanya kesel banget sampe ngomel-ngomel sendiri aja gak cukup. Rasanya harus ada seseorang yang harus berperan jadi kambing, dengerin keluh kesah tentang buku bacaan yang apa banget itu. Yang paling menyakitkan sih, kenyataan kalo buku jelek aja bisa terbit, sementara gue belum pernah nerbitin buku. Itu JLEB banget.

Lalu kenapa gue bilang gue enggak nyesel pernah baca buku-buku jelek? Alesan pertama karena sekarang gue tau ada web yang namanya goodreads, dan mendadak gue rajin banget tiap hari ke web itu, hahahaha. Selain bisa update buku apa aja yang gue baca, gue juga bisa menumpahkan kekesalan gue di situ pas gue kebetulan dapet buku bacaan jelek, haha. Puas deh bisa kasih rating rendah dan review sepanjang jalan kenangan membeberkan kekurangan-kekurangan buku itu. Eh, ini gue sentimen ke beberapa buku aja kok, yang sumpah, JELEK BANGET! Biasanya gue menilai buku lain secara objektif kok, kelebihan dan kekurangannya pasti gue jabarin.

Selain bisa melatih nulis review buku, ada keuntungan lain setelah kesel baca buku jelek, yaitu... seenggaknya gue tau kalo itu buku jelek :) Hahahahaha

Misalnya gue bilang jelek karena alurnya enggak jelas, EYD-nya kacau, kalimatnya enggak enak, dsb, dsb. Seenggaknya, gue tahu kalau itu salah, itu gak bagus. Gue tau itu salah dan gue tau gimana yang bener. Bagus kan? Daripada gak tau, dan menganggap itu oke-oke aja. Ada yang salah sama pembaca kayak gitu.

Hal terakhir yang membuat gue merasa gak sia-sia baca buku jelek adalah (ini alesan yang paling gue suka), gue jadi percaya diri kalo gue bisa bikin cerita yang lebih bagus. Pede abis ya? Tapi gapapa dong, daripada minder.

Misalnya, gue lagi baca suatu adegan dan menerka-nerka ke depannya.

cerita aslinya: Si A suka si B, tapi enggak berani nyatain, dia takut.

otak gue: takut kenapa? takut ditolak? Ah, klise dong. Mungkin dia takut karena sebenernya dia penulis dan yang mau ditembak itu editornya. Kalo ditolak, nanti bukunya dia gak terbit-terbit piye? Mending gak usah nyatain deh, daripada ngambil risiko novel dianggurin, padahal untuk nulis novel itu aja dia butuh 10 tahun.

cerita aslinya: A belum berani ngambil langkah nyata karena... dia takut ditolak. Dia takut hubungannya dengan B yang terjalin dengan baik langsung hancur dalam sekejap.

Gue: Yaah... gitu doang.

ceritanya lanjut: A akhirnya mengambil langkah kecil, main ke rumah B. Sewaktu berada di rumah B, A terkejut karena....

otak gue: jangan-jangan B yang dia pikir cewek baik-baik itu punya rahasia. A gak sengaja ngeliat ruang bawah tanah di rumah B, dan di situ banyak artikel-artikel koran dari daerah-daerah yang berbeda tentang pembunuhan berantai dengan pola yang sama, korbannya dipukul dengan benda tumpul sebelum isi perutnya dikeluarkan dan disebar ke seluruh rumah. Semua gambar dan sketsa yang ditunjukin mirip sama B, cuma namanya beda-beda. Mampus, gimana tuh si A kalo ketauan ngintip ruang bawah tanah?

cerita aslinya: rumah B ternyata layaknya istana. A makin tidak percaya diri dengan status sosial mereka yang berbeda jauh.

Gue: Yaaaaaaahhhh..... GITU DOANG!?

(Lalu bukunya gue lempar)

Oke, fokus dong, gak usah permasalahin imajinasi gue yang terlalu kemana-mana, apalagi imajinasi kedua (itu cuma hobi, kok). Masalahnya di sini jelas, cerita yang gue baca terlalu klise.

See, cuma dengan beberapa kalimat gue udah bisa bikin cerita baru yang (seenggaknya menurut gue) jauh lebih menarik. Pikiran gue pun tercerahkan, IMAJINASI GUE LEBIH BAGUS DARI PENULIS YANG GUE BACA, GUE....JUGA BISA NULIS!

Jadi, dengan alasan-alasan seperti yang gue jabarin, gue gak pernah lagi ngerasa rugi baca buku jelek sekalipun, hehe. Kalau baca buku bagus sih jelas gue gak bakal rugi, bahkan rasanya nagih mau baca lagi dan lagi. Intinya, buku jelek dan bagus, dua-duanya sama-sama bisa memberikan inspirasi, meskipun penyampaiannya berbeda :)

Intinya lagi, tunggu buku gue terbit yaaah!!! <-- Can't help it, I'm an optimistic person

Berhubung gak ada gambar yang relevan, ini gambar kucing. Apa pun postingannya, pasti lucu kalo dikasih gambar kucing :3 Addduuuuhhh, imut-imut banget siiiih.... ikut pulang yuk bareng kakaaaak~

Jumat, 03 Januari 2014

[Book Review] Aku Tahu Kamu Hantu

Judul Buku:  Aku Tahu Kamu Hantu
Pengarang: Eve Shi
Penerbit: Gagas Media


Tertarik baca buku ini karena covernya. Hehe. Duh, bener deh, artistik banget. Mawar dan tengkorak jadi satu? Siapa yang sangka?

Dan lagi buku ini enggak tebel-tebel amat, jadi cocok gue bawa keluar sekalian mengisi waktu pas lagi senggang. Nggak butuh waktu lama untuk menyelesaikan ini.

warn: soft spoiler

Kamis, 02 Januari 2014

Kerjaan Baru di Tahun Baru 2014

Akhir tahun 2013 ditutup dengan akhir kerja gue di kompas.com (dibuka aja deh ya nama medianya, udah ketauan juga). Sebenernya sayang banget ngelepas yang ini (udah berapa kali gue ngomong gini, btw?). Tapi mau gimana, ada urusan lain yang lebih memerlukan prioritas gue.

Selama total sembilan bulan kerja di sana (tujuh bulan di desk olahraga), gue dapet ilmu dan pengalaman banyak banget. Tulisan gue pun (katanya) jauh lebih baik dari waktu pertama masuk. Iyalah, kalo enggak, berarti gue super gagal.

Hari ini gue ke kantor untuk pamitan. Tapi cuma ada 4-5 orang karena lagi libur tahun baru, hahaha. Waktu dateng ke kantor, enggak nyangka aja mbak A mau bikin farewell buat gue, hahaha. Dia yang traktir :) Waktunya entah kapan sih enggak tau. Deket-deket ini katanya. Waktu pulang, editor gue, Mbak P, bilang kalau Mbak A sempet bilang gue ini udah 'jadi', sayang banget kalo keluar. Tapi ya, mau gimana? Gue keluar lebih ke masalah internal, sih.... meski ada beberapa hal yang bikin gue enggak bisa lanjut di sana juga sih...

Hahaha, kalau akhir-akhir ini mereka bilang begitu, rasanya jadi begimanaaaa gitu. Jadi ikutan sedih mesti keluar. Oke, setengah sedih. Beberapa orang di kantor juga sempet kaget gue keluar, karena kayaknya gue seneng-seneng aja sama kerjaannya. Iya, gue emang seneng kok sama kerjaannya. Kalau dikasih kesempatan lain, gue masih mau jadi jurnalis olahraga untuk....2-3 tahun :)

Tapi meskipun sekarang status gue udah resmi resign. Mbak editor dan redaktur enggak menginginkan gue bener-bener lepas. Itungannya, gue dijadiin kayak kontributor, dibayar per-berita (sebelumnya enggak ada kontri di Jakarta, dan pas gue tanya redaktur, dia dengan santai jawab "ya kita adain aja kalo gitu"). Dan, kayaknya udah ada ancang-ancang gue akan tetep ngeliput NBL seri II di Jakarta Januari ini, hahahaha. Jadi, sebenernya gue bisa dibilang resign enggak, sih? Kartu pers gue sih udah diambil kantor :p

I'm gonna miss this....
Perlakuan kayak gini bikin gue merasa sedikit spesial (eh, boleh kan yak gue narsis dikit). Tapi nanti gue akan bingung juga kalo diterima di media lain. Bah, urusan nanti, pikirin nanti aja deh. Sekarang, saatnya gue fokus sama terjemahan dan ngumpulin banyak uang dulu demi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak.

Yang jelas, apa pun kerjaan gue setelah nerjemah ini, gue mau tetep berada di jalur sebagai penulis :D