Jumat, 13 Februari 2015

IT'S BECAUSE WE LOVE YOU


IT'S BECAUSE WE LOVE YOU


Dasar cowok!

Aku selalu heran kenapa cowok-cowok di rumahku dekilnya minta ampun. Nggak kakakku, nggak adikku, semuanya sama saja. Aku memang bukan pecinta kebersihan, sih. Tapi setidaknya aku tidak separah mereka berdua. Dan bukannya berterima kasih karena sudah kuberi nasehat, mereka malah marah-marah.

"Sik, beli dompet baru kenapa, sih?" ujarku pada adik laki-lakiku yang belum lama ini diterima di satu perusahaan besar dengan gaji yang lumayan besar pula.

"Nggak. Ini masih bisa dipake, kok," katanya santai.

Masih bisa dipakai, katanya?

Ya ampun, dompetnya itu benar-benar parah. Hanya dompet kain murah berwarna hitam, yang kini sudah sobek di mana-mana. Bahkan perekat kain yang ada pada dompet tersebut sudah robek, hingga dompetnya hanya bisa dilipat tanpa bisa menutup dengan sempurna. Jahitan di sekeliling dompet tersebut juga sudah mulai robek-robek termakan waktu, sehingga uang dan berbagai jernis kartu yang ada di dalamnya menyembul keluar dan bisa terjatuh kapan saja.

Sebenarnya apa sih, yang ada dalam pikiran adikku itu? Apa susahnya membeli dompet baru yang lebih bagus daripada itu? Dengan gajinya yang sekarang, dia bahkan bisa membeli jenis handphone apa pun yang dia mau.

"Ganti, sih! Udah jelek gini! Tuh, kartu atmnya jatuh!"

"Aduuh! Jangan tambah dirusak, dong! Makanya ambil uangnya pelan-pelan!" serunya marah saat aku ingin mengambil uang dari dompetnya untuk membayar listrik.

Memangnya salahku kalau dompetnya rusak!?

"Vin, ayo, jadi pergi bayar listrik, nggak?" tanyaku pada kakakku yang masih sibuk dengan laptopnya.

Ia menggumam sebentar sebelum menjawab "Iya. Sebentar, aku pake jaket dulu."

Tak lama, kakakku sudah siap dengan jaket dekilnya. Ia mengeluarkan motor dari rumah dan menyenggol bahuku sebelum keluar. "Ayo."

"Nggak ada jaket lain, apa?" tanyaku risih melihat jaketnya yang super dekil dan sudah robek di mana-mana.

"Nggak. Aku suka jaket yang ini."

"Ya minimal dicuci gitu. Itu kotor banget," kataku lagi, berusaha mengurangi kejorokan saudara lelakiku ini. 

"Kalo dicuci, nanti tambah banyak robeknya. Udah ah, bawel banget. Jadi pergi, nggak?" omelnya.

Aku menggerutu menanggapi omelannya. Akhirnya aku pun bersiap-siap dan menyisir rambut panjangku yang kusut. Lalu, dengan hati-hati aku mengepang rambut panjangku supaya tidak berantakan saat mengenakan jilbab.

"Iih.... rambutnya rontok ke mana-mana tuh, mbak! Disapu dong!" omel adikku.

"Iya, bawel! Nanti juga disapu!"

"Potong rambut aja kenapa, sih? Perasaan dulu rambutnya nggak pernah panjang," tambah kakakku.

Enak saja mereka ngomong! Cowok-cowok itu memang payah! Mereka nggak ngerti betapa berharganya rambut ini. Aku memang belum pernah bilang sama mereka, sih. Tapi....

"Nggak bisa. Soalnya..... mama yang terakhir potong rambut aku," ucapku pelan.

Aku masih melanjutkan kegiatan mengepang rambut saat kakakku berkata, "Jaket ini juga dari mama...."

Adikku ikut menyahut, "Dompet aku juga...."

Kami bertiga saling pandang. Sedetik kemudian kami sama-sama tersenyum. Hari itu, kami bertiga memutuskan untuk mengunjungi makam mama bersama-sama.

THE END


Flashfiction ini diikutsertakan dalam lomba:

Rabu, 11 Februari 2015

Galau Ga--Bingung Bingung Bingung.....

Tadinya mau nulis judulnya "Galau Galau Galau", tapi karna kata Dovi kata "Galau" itu cuma boleh dipake untuk urusan cinta, jadi ganti judul deh. Untuk urusan cinta mah nanti-nanti aja ceritanya...... kapan-kapan...... mungkin.......................atau mungkin tidak.