Jumat, 22 Mei 2020

Tentang Book Shaming: "Iya gue masih baca komik dan teenlit. Mang ngapa sik!?"

Book shaming sebenarnya bukan masalah baru. Tapi mungkin, istilahnya baru aja mencuat belakangan ini.


Beberapa hari yang lalu dikirim link sama Ruru mengenai book shaming dan kejadian yang sempat heboh di jagat twitter.

Untuk yang mau tau apa itu book-shaming dan ada masalah apa belakangan ini, silakan baca di sini:
https://www.sintiaastarina.com/book-shaming/

Macam body shaming aja ya ini soal book shaming.

Sebagai seorang pembaca buku yang super random, gue nggak pernah peduli namanya book shaming walaupun sering banget diperlakukan kayak gitu.

"Ya ampun, udah gede masih baca komik aja."

"Itu teenlit? Gak ah, gak seru." --> Ini setelah gue kasih rekomen novel yang menurut gue ceritanya bagus.

"Ih, masih baca wattpad aja. Udahlah, cari yang lain."

"Lo gak punya buku puisi? Serius?"

"Hah? Lo gak tertarik sama bukunya Pram! Parah!"

Dan banyak lagi.

Gue antara udah terlalu biasa, atau udah nggak peduli sih di-book-shaming-in (wakaka, bahasa apa pula ini).

Karena dari kecil, gue baca apa pun. Literally, APA PUN. Buku dan komik udah abis dibaca, lari ke majalah, majalah udah abis dibaca, lari ke buku pelajaran (cerita yang ada di buku, ya, bukan soal pelajarannya), cerita dalam buku pelajaran udah abis dibaca, lari ke ensiklopedia, sampai akhirnya bacain semua buku resep masakan mama dan semua plang di jalanan karena gak ada lagi yang bisa dibaca.

Gue suka komik, novel fantasi, teenlit, novel wattpad, bukan berarti gue gak baca sastra dan puisi.

Gue baca. Bahkan hampir semua buku sastra yang ada di perpustakaan SMP dah abis gue baca (karena waktu itu belum punya cukup uang untuk beli novel sendiri). Layar terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Bumi Manusia, Wayang, dll dah khatam. Mulai dari sastra lama sampai yang modern, mulai dari yang bahasanya masih pakai melayu sampai yang udah full bahasa Indonesia.

Tapi pada akhirnya, buku-buku itu adalah buku yang gak akan gue koleksi. Apalagi buku puisi.

Masalahnya emang kagak selera aja.

Yang gak suka sastra sama puisi berarti seleranya rendah gitu?

Widiiih, tar dulu tuan.

Apakah anda-anda sekalian yang mengaku intelek karena bacaannya sastra dan puisi pernah coba baca One Piece atau Hunter x Hunter? Secara bungkus cerita memang jauuuh dari kehidupan nyata karena itu cerita fantasi. Tapi banyak banget adegan yang sebenarnya memproyeksikan realita dengan cara yang berbeda. Kesenjangan sosial, pemerintahan yang otoriter, rasisme, dll.

Penyampaiannya mungkin berbeda jauh, tapi pesannya gak bisa dibilang lebih rendah dari sastra-sastra yang kalian banggakan. Menurut gue pribadi sih komik yang bagus sudah menjadi sastra untuk para penggemarnya.

Gue malah kurang selera baca sastra (walaupun sesekali tetap baca, kalau lagi keabisan bacaan). Karena cerita sastra itu terlalu realistis. Realita udah susah dan menyesakkan, perlu banget gitu diingetin lagi lewat buku?

Lain lagi soal puisi. Gue selalu nggak selera baca puisi karena kesannya sengaja banget pakai diksi yang susah. Bahkan sampai ada ungkapan "semakin sulit dimengerti, semakin bagus." atau "puisi itu bebas, tiap orang punya interpretasi masing-masing." Alasan yang pertama mungkin gak semuanya gitu, ya. Tapi gak sedikit juga yang beranggapan seperti itu. Untuk yang "banyak interpretasi", dalam pandangan gue itu adalah kegagalan penulis dalam menyampaikan pesannya. Misalnya si penulis ingin menyampaikan A, tapi diinterpretasikan dengan B,C,D,E dst. Lah, berarti pesan yang A ini gak nyampe, dong?

Tapi itu adalah alasan pribadi gue gak selera sama sastra dan puisi. Orang lain boleh punya selera dan pandangan yang berbeda. Silakan. Ya asal nggak ngerendahin selera orang lain aja, sih.

Lagian, bukan berarti gue anti sastra dan puisi juga, kok. Belakangan ini gue beli buku puisi KTBB (Kamu Terlalu Banyak Bercanda) dari orang yang juga nulis NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini). Biar kekinian? Hahaha, gak ada hubungannya.

Gue cuma merasa, ini buku puisi paling sederhana yang pernah gue baca, tapi pesannya sampai. Nggak perlu diksi yang terlalu berbunga-bunga sampai sulit dimengerti. Ini kata-katanya biasa banget, tapi ngena banget. Dan menurut gue, wajar banget buku ini akhirnya jadi populer.

Gue baca buku untuk hiburan. Sehingga, menurut gue cerita dalam buku itu harus punya konsep dasar, yaitu konflik yang relevan, plot cerita yang bagus, penyelesaian yang baik, dan kalau bisa plot twist yang tak terduga. Sayangnya, gue gak bisa mendapatkan ini dalam novel-novel sastra. Yang pada akhirnya, gue gak merasa terhibur baca buku sastra. Karena pada dasarnya, tujuan utama novel sastra biasanya bukan itu. Yang utama adalah isu sosial yang kental dan penyampaiannya dalam novel. Seringkali, novel sastra itu berisi konflik, tanpa penyelesaian yang jelas. Iya, paham sih maksudnya, kalau dalam kehidupan yang sebenarnya, jarang banget ada penyelesaian yang memuaskan karena justru terkesan tidak realistis dan natural.

Tapi kan ini novel fiksiiiii!!!

Kalo mau tau realita, ya mending gue baca buku non-fiksi sekalian!!!

Lah dia emosi.

The Little Prince itu beken banget di seluruh dunia, tapi gue tetep gak selera setelah baca. Aneh, menurut gue, sih. Bumi Manusia gak perlu diragukan lagi soal isu sosial yang terkandung di dalamnya, but still.... not my cup of tea.

Ya intinya, yang seleranya sastra dan puisi, silakan aja. Bagus kok pilihan kalian. Bukan berarti kalau gue gak selera, terus buku itu jadi jelek, kan? Kalian juga kalau gak selera sama teenlit atau komik, gak serta merta menjadikan buku-buku itu 'rendah'. Tiap buku punya pasarnya masing-masing, punya penggemarnya masing-masing.

Lagian, walaupun memang teenlit kebanyakan menye-menye dan sinetron banget, tetep ada teenlit yang bagus dan kece kaliiiiikkk. Belum pernah baca bukunya Lexie Xu, ya?

Bahkan novel yang dianggap lebih rendah, fantasteen, aja tetep ada yang kece parah. Gak kenal Ziggy Z. ya?

Nggak ada namanya kasta dalam jenis buku. Buku sastra gak selalu suci, dan komik gak selalu kekanakan. 

Gue gak pernah nge-judge buku dari genre, penerbit, atau jenisnya. Gue cuma nge-judge buku dari penulisnya. Wkwkwk. Gak akan ya gue bisa suka novel kalau yang nulis macam Agnes Davonar. Gak sudi!

"Ingat, tiap buku itu spesial. Kecuali bukunya Agnes Davonar."

Gue gak pernah malu baca buku apa pun di publik. Mang ngapa kalo baca komik? Mang ngapa kalo masih baca bukunya Neil Gaiman meski bukan anak umur 10 tahun lagi?

Satu-satunya buku yang gak akan owe baca di publik adalah buku yang covernya gak banget macam cowok-cowok pamer roti sobek gitu. Wkwkwkwk.

Ya kaga pernah beli juga sih....



Jumat, 08 Mei 2020

Story Blog Tour: CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY

Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)

Ep 1 : Ep 1 : An Unspeakable Word by Saa | http://smilingsaachii.blogspot.com/2020/04/an-unspeakable-word.html
Ep 2 : A New Journey: Love? by Kenti | https://handken.blogspot.com/2020/04/a-new-journey-love.html
Ep 3 : Longing For You by Dhira | http://www.nadhiraarini.com/2020/04/story-blog-tour-ep-3-longing-for-you.html?m=1

CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY