Minggu, 20 Agustus 2017

Lagi-lagi soal IDEALISME

Apa kalian akan mengikis idealisme demi sesuatu yang bersifat materiil?

Jawaban gue:
NGGAK

Wiih.... Berat nih bahasannya. Dan sejujurnya gue udah pernah bahas soal ini di sini. Tapi postingan sebelumnya lebih membahas soal keidealisme-an gue yang bisa bertahan sampai sekarang karena gue hampir nggak pernah mengalami kejadian yang memaksa gue untuk mengesampingkan prinsip-prinsip yang gue pegang. 

Nah, belum lama ini gue baru mengalami kejadian yang mengusik hati gue sebagai seorang idealis. Dan masalahnya cukup pelik sampe bikin gue pening beneran. 

Masalahnya ada dalam skala yang cukup besar. Tapi supaya lebih gampang dimengerti, gue akan pakai perumpamaan yang lain. 

Seorang bos penjual permen meminta gue memasarkan permennya. Bos bilang permennya enak, manis, dan gak seperti permen lain yang bikin gigi bolong, permen ini menyehatkan karena gulanya diganti pemanis yang jumlahnya lebih sedikit. 

Gue bilang, "masa ada permen kayak gitu? Iya sih pemanis emang dipake sedikit udah cukup, tapi bukannya malah lebih bahaya daripada gula?"

Bos yang sangat percaya diri dengan 'ide' permen barunya tersebut membantah, "tapi kan cuma sedikit. Lagipula anak-anak kan cari manisnya doang."

Gue pun membantah lebih lanjut. "Tapi kan bos bilang di iklan 'menyehatkan'. Yakin 'menyehatkan' kalau pakai pemanis buatan? Penelitiannya nggak gitu, tuh."

Lalu perdebatan berlanjut. Bos bilang, "gini ya saya kasih tahu, itu namanya bahasa marketing. Lihat di iklan-iklan, semua begitu. Kamu cuma perlu menjual permennya."

Gue mencoba menahan diri dari bahasan itu dan mengalihkan ke masalah lain. "Oke, kalo gitu permennya mana? Biar saya coba, sekalian ditunjukin ke calon pembeli. Oh iya, ngomong-ngomong BPOM-nya udah diurus? Label halalnya gimana?"

Bos menggeleng. "Ya nanti, permennya belum diproduksi. Intinya nanti bakal jadi permen yang kayak gitu. BPOM pasti diurus lah pokoknya. Label halal juga, intinya pasti halal. Jadi nggak masalah. Kamu sebarin aja infonya dulu, nanti begitu jadi, baru orang-orang bisa beli...."

Gue pun melongo. "Belum jadi? Terus promosi duluan? Terus kalau ternyata nggak jadi, gimana?"

"Ya dijadiin. Harus jadi. Perkiraan saya sih pasti bisa, kok," lanjut si bos dengan percaya diri setinggi langit. Kemudian disambung dengan kalimat yang hampir membuat gue mau berguling di lantai sampai jadi lemper, "pokoknya kamu yang buat resep sama cari bahannya ya. Besok harus jadi."

Gue menahan diri tereak di kupingnya pake toa dan menjawab, "tapi.... saya kan bisanya bikin kue. Resepnya beda dong, bos. Kalo mau saya yang buat, ya saya harus belajar dulu. Dan butuh waktu...."

"Masa, sih? Yang praktis aja. Kan sama-sama makanan manis. Bahan kue tinggal diganti bahan buat permen. Cari aja di google juga paling ada."

Perumpamaan gue hentikan sampai sini karena bagaimanapun juga logika si bos nggak nyambung sama logika gue.

Si bos kemudian cerita banyak pengalaman dia yang intinya gue nggak bisa terlalu idealis dalam segala hal. Cara berpikir gue nggak praktis. Maunya dia, orang bisa sampai puncak nggak mesti manjat pelan-pelan, tapi bisa aja pakai helikopter, atau malah naik awan kintoun. Sementara gue kekeuh pada prinsip gue kalau seseorang mau ke puncak harus selangkah demi selangkah, tingkat demi tingkat, dan itu butuh waktu. Tapi di sela waktu itu, manusia bisa belajar mengatasi masalah dari yang paling ringan sampai yang berat. Sehingga begitu sampai puncak, dia nggak gampang jatuh dan bisa bertahan dalam keadaan sesulit apa pun.

Prinsip kami jelas bertentangan. Apalagi soal membohongi pembeli meski dengan cara halus. Haduh, mau dikasih bonus berapa juga, gue mending nggak nawarin sesuatu yang bahkan gue sendiri nggak tahu wujudnya, apalagi kualitasnya.
 
Ada satu cerita si bos yang gue inget banget, dan membuat gue bener-bener pengin ngebantah moral cerita itu dari awal sampai akhir. Alkisah ada seorang pengusaha, sebut saja si A, yang membuat supermarket besar di daerahnya. Barang-barang di supermarket itu murah, apalagi sayur-sayurannya. Tapi, pada akhirnya supermarket itu bangkrut karena istri dan anaknya nggak pernah belanja di sana, dan justru belanja di warung-warung kecil tetangga. Gara-gara itu tetangga-tetangga pun nggak ada yang mau belanja di supermarket itu karena istri dan anaknya si A aja belanjanya di luar. Gimana orang mau belanja di tempatnya?
 
Kesimpulan yang diambil si bos adalah, bahwa tiap pegawai yang ada di satu tempat usaha/kerja harus bangga dengan tempat kerja/usahanya, sehingga orang lain percaya. Singkat kata, semua yang kerja di tempatnya dia harus jadi marketing dan nawarin permen dengan target tertentu, meskipun tiap orang udah punya job desk yang lain.
 
Ih, itu kalau meja rapat nggak gede, rasanya pengin gue tebalikin (ノ°Д°)ノ︵ |__| 
 
Kalau anak-istri si A nggak mau belanja di supermarketnya, ya dicari penyebabnya atuuh. Ditanya duluuuu!!
"Adinda dan anakku sayang, kenapa sih kalian nggak belanja ke supermarket papa aja?"

Gituuuu!!

Kalau alasannya supaya warung-warung kecil tetangga tumbuh juga kan berarti tujuannya muliaaaa! Biarin ajah! Justru supermarket itu yang nggak seharusnya ada. 

Kalau alasannya karena supermarketnya kotor dan kurang higienis, ya DIBERSIHIIINN!! (ノ°Д°)ノ︵ |__|

Cari inti masalahnya dulu. Bukan malah maksa semua orang mendukung bisnis dia meskipun udah jelas ada yang salah di dalamnya.

Sejak postingan empat tahun lalu itu, baru kali ini gue berhadapan dengan masalah yang mengusik prinsip-prinsip gue selama ini. 

Dan dengan tegas gue akhirnya menolak segala kesepakatan kalau terus begini.

"Dah bos, saya mah gak gila jabatan, apalagi iming-iming gaji gede. Semuanya nggak ngaruh kalau baru bisa didapat dengan mengenyampingkan prinsip dan idealisme yang selama ini saya pegang."

Kalau harus kesulitan dari segi materiil, itu masih lebih baik daripada melakukan sesuatu yang emang gue yakini itu salah :( Rejeki kan bukan manusia yang ngatur....

Gue nulis blog kali ini dengan harapan kerjasama kami beneran batal dalam waktu dekat. Doakan yah. 

Kayaknya sih batal karena si bos baru tau sekarang kalo gue bukan bocah penurut dan cenderung ngebantah mulu kalo dia mulai ngomong. Ya bos juga siiiih..... Logikanya aneh.....

Jadi, kalau kalian gimana? Apa tetap akan mempertahankan prinsip meski hanya hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh orang-orang kebanyakan? Atau lebih realistis dengan mencoba sedikit mengikis idealisme yang pernah kalian bangun?