Jumat, 24 Mei 2013

Jurnalis Amatir Menjawab Pertanyaan Masyarakat (Halah)

Dari kemaren sebenernya gue pengen cerita dalem-dalemnya dunia jurnalisme. Tapi sayang liputan memakan waktu gue dan bikin gue gak bisa tidur nyenyak. Iyalah, sehari paling 5 jam doang.

Emang sih, gue belum lama jadi jurnalis. Gue belum tau banyak. Gue belum ngerasain pait-paitnya macem bentrok sama polisi atau nara sumber. Intinya, gue belum ada apa-apanya. Tapi gue teteup mau cerita. Ini udah jadi kebutuhan pribadi gue untuk nulis, sih.

Dulu, gue juga enggak mau jadi wartawan. Apalagi wartawan infotainment. Kerjaannya ngegosipin orang. Dan gue pikir, ngapain sih ngurusin kehidupan pribadinya public figure? Itu kan urusan mereka? Apalagi, wartawan sering banget disebelin sama orang-orang gara-gara super kepo nanya-nanya mulu. Gak liat situasi pula, orangnya masih trauma/sedih teteup aja ditanyain.

Sekarang (teteup gak mau jadi wartawan infotainment sih gue), gue udah tau cara kerja wartawan dan gue udah dapet jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gue di masa lalu.

Banyak yang bilang, kok media ini subjektif banget, sih? Kok beritanya gini, sih? Kok berita enggak penting gini pake ditulis? Kok beritanya selalu berita buruuuk terus, kayak enggak ada berita bagus aja. Dan masih banyak kok, kok, kok lainnya.

Soal subjektif atau enggak, mungkin itu dari cara pandang masing-masing. Setiap orang bisa beda. Contohnya aja, dua pihak berseteru, tapi yang diberitain media cuma satu pihak aja. Subjektif? Belum tentu.

Ada kalanya emang cuma satu pihak (biasanya yang ngerasa yakin bener) yang mau diwawancarain sama media. Pihak satunya gak mau diwawancarain dan lebih memilih menghindar. Alasannya bisa macem-macem, mungkin takut salah ngomong atau memang ngerasa enggak perlu dukungan dari pemberitaan. Kalau udah begini, wartawan gak bisa berbuat banyak. Maksa pihak satunya untuk ngomong? Itu ngelanggah hak asasi mereka dong. Paling mentok, nyoba mancing-mancing biar dia ngomong. Tapi kalo gak mau ngomong juga, ya apa boleh buat. Kalo ini, gue pernah ngalamin. Tuh, kasusnya sengketa blok A Tanah Abang. Cuma satu pihak yang mau ngomong. Satunya lagi, begitu sidang dia langsung ngacir kabur ke mobil. Huh.

Ada lagi kasus dimana pihak yang satu ngedeketin media supaya berita dia gencar dan dapet dukungan masyarakat. Sedangkan pihak satunya enggak ambil pusing karena toh mereka enggak ngerasa salah. Nara sumber yang gencar nyari media ini kadang menguntungkan tapi juga menyebalkan. Menguntungkan karena, kita bisa dapet berita gratis, tanpa susah-susah ngejar nara sumber. Menyebalkannya? Ini narsum narsis amat setiap ngelakuin apa-apa minta diliput. Padahal penting juga kagak deh. Nah, yang ini juga gue pernah ngalamin. Gak mau gue sebut kasusnya ah. Nanti diteror gue ama pengacaranya.

Ada juga yang masih mempertanyakan berita-berita di media online yang semuanya kayak gosip emang. Mungkin banyak yang enggak tau, media online sama cetak itu bedanya jauuuh. Media online dituntut selalu cepet, sedangkan wartawan media cetak punya deadline yang jelas sebelum korannya naik cetak (biasanya sampe maghrib). Dituntut selalu cepat, gak semua media online punya waktu untuk konfirmasi, nanya pihak lain, supaya beritanya jelas. Sistemnya itu, satu berita langsung naik meskipun itu cuma gosip dari satu nara sumber. Setelah berita naik, wartawan punya napas untuk konfirmasi lagi ke pihak-pihak lain. Hasil konfirmasi dan verifikasi ini jadi berita lanjutan dari berita pertama. Untuk mencari kebenaran dari satu berita/kasus, pembaca memang harus jeli. Tugas wartawan hanya memberitakan omongan dari nara sumber (entah dia jujur apa enggak) tanpa bisa ngerubah omongan mereka. Kita kan netral dan cuma menyampaikan pendapat masing-masing pihak. Pembacalah yang nilai mana yang bener. Bedanya, kalo media online, biasanya, beda pihak beda berita. Untuk cetak, satu berita/kasus itu satu kolom, jadi minimal harus ada quote dari dua pihak disitu. Kadang ada yang bilang judulnya provokatif banget. Loh, enggak cuma berita, semua tulisan kalau judulnya datar, siapa yang mau baca? Judul emang sengaja dibuat begitu. Kalau mau nilai, bacalah ampe abis itu berita, baru nilai.

Soal kenapa berita itu banyakan yang negatif. Hmmm.... gak usah nutup mata deh. Selama ini emang berita negatif yang lebih banyak dibaca sama orang. Misalnya aja ada berita kecelakaan dan kejuaraan di satu tempat yang sama. Yang bakal lebih banyak dibaca pasti berita kecelakaan. Kenapa? Banyak alesannya. Yang pertama ya karena pengen tau. Kedua, pertanyaan yang timbul di otak kayak, siapa korbannya? gimana keadaan mereka? kok bisa sampe ada kecelakaan gitu? ada penanganan enggak? dan masih banyak lagi pertanyaan yang ada di benak pembaca yang harus dipuaskan sama pemberitaan dari wartawan.

Baca berita buruk, bukan berarti berpikiran buruk. Kita baca berita itu untuk menghindari terjadinya kejadian yang sama (terutama untuk diri sendiri). Alesan lain pasti ada, lah. Tapi kira-kira yang pengen gue bilang sih itu. Gue sendiri juga enggak suka nulis berita buruk. Tapi apa boleh buat. Permintaan untuk pemberitaan akan suatu peristiwa (biasanya berita buruk) itu selalu tinggi. Misalnya aja si A dapet kabar-kabar dari orang lain kalau besok ada demo deket kantor. Otomatis dia nyari2 beritanya, dong. Minimal, dia bisa tau jalan-jalan mana aja yang bisa dia lewatin untuk sampe ke kantor.

Untuk nanya-nanya sama korban yang masih trauma/sakit, maaf, kita TERPAKSA. Ya aselinya gue juga enggak tega harus nanya-nanya korban yang masih trauma gitu. Tapi setiap hari deadline menunggu. Apalagi kalo korlip (koordinator liputan) udah nyuruh ngeliput tentang itu. Mau gimana lagi? Berita pantauan doang (nulis keadaan sesuai yang diliat) tanpa ada pernyataan nara sumber, dianggap enggak valid. Minimal, kalo korban bener-bener enggak bisa ditanya, ya nanya sama keluarga/kerabatnya. Sekadar minta keterangan supaya wartawan enggak salah tulis berita. Kalo narsum enggak mau ngomong, terus wartawan nulis berita sesuai yang dia liat, eh tau2 narsumnya protes gara-gara pemberitaan salah, lah itu gara-gara siapa?

Masih banyak sebenernya yang mau gue tulis. Tapi lanjut kapan-kapan deh. Besok gue liputan pagi euy~

Sabtu, 18 Mei 2013

[Flash Fiction] Magnet Curhat Magnet Masalah


Ingin aku berteriak ke seluruh dunia bahwa menjadi seorang magnet curhat bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Oke, mungkin seorang wartawan entertaintment akan habis-habisan menolak pendapatku itu. Tapi, bagaimana tidak kesal kalau kau sedang asiknya bergelung dalam selimut dengan bantal-guling yang super empuk malah diganggu dering handphone yang tak mau menyerah meski dimatikan berkali-kali. 

Dan ketika akhirnya aku mengangkat telepon dari salah satu teman tukang curhat itu, yang kudengar selalu berita buruk. Ya, meskipun teman-temanku yang tukang curhat itu cerita soal keberhasilan yang mereka raih, itu tetap berita buruk untukku yang hanya seorang pegawai rendahan.

Kembali ke handphone. Aku menggumamkan ‘hmm’ dengan intonasi yang sedikit naik di akhir meski tak niat. Masih dengan mata tertutup tentu saja.

“Indah?”

Ooh, suara Shezka. Tebakku.

“Indah, aku hamil,” akunya sedikit terbata dan mulai terisak-isak pelan.

Mataku langsung terbuka dan aku pun mengernyitkan dahi.

Siang itu, Shezka menceritakan semuanya di sebuah café kecil dekat stasiun. Tentang bagaimana ia naksir seorang pria yang telah memiliki pacar. Dan bagaimana ia begitu bodoh memutuskan untuk berhubungan badan dengannya tanpa pengaman agar hamil dan dapat segera mengikat paksa pria itu. Pikirnya, pria idamannya itu akan segera meninggalkan sang pacar dan bertanggungjawab atas calon bayi mereka.

Ingin rasanya aku meninggalkan Shezka dengan masalah yang terjadi atas akibat dari apa yang ia lakukan sendiri. Namun hubungan teman, yang meski tak terlalu dekat, menahanku untuk pergi. Rambut ikal kecoklatan yang menutupi hampir seluruh wajah Shezka yang menunduk dalam-dalam juga menunjukkan penyesalan dirinya. Akhirnya, aku menyarankan untuk mencari solusi dengan musyawarah antara tiga pihak. Memang mungkin akan terjadi perkelahian. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan selain jujur satu sama lain? Toh, kalau pacar dari pria itu cukup pintar, ia akan meninggalkan pria yang sudah berani selingkuh sampai menghamili wanita lain. Wanita pintar hanya untuk pria yang pintar. Setidaknya itu yang kupercayai.

Tak kusangka, Shezka langsung menerima saranku. Jadi, aku langsung pulang untuk melanjutkan tidurku yang sempat terganggu. Hari Minggu ini memang tak boleh kusia-siakan. Aku harus mengisi penuh energiku untuk kerja 5 hari kedepan.

Sesampainya di rumah, belum sempat aku mengganti pakaianku, dering handphone kembali terdengar. Untungnya, bukan dari salah satu pelanggan tukang curhat. Tapi Elbert!

Pacar dengan tampang yang begitu menawan dan berkepribadian super baik itu mengajakku jalan sore ini. Untung saja aku belum mengganti pakaianku dengan kaos dan celana pendek untuk tidur. Jadi, aku segera merapikan kembali make up-ku dan menyemprotkan parfum di bagian-bagian tertentu. Elbert bilang akan menungguku di depan mall tempat kami biasa bertemu. Ia tak bisa menjemputku lantaran mobilnya sedang di bengkel.

Sesampainya disana, aku melihat sosok Albert dari jauh dan melambai padanya. Lambaianku terhenti begitu melihat sosok yang begitu kukenal di belakangnya. Sosok berambut ikal kecoklatan yang juga terkejut begitu melihat sosokku yang mendekat.

“Indah?” tanya Shezka tak percaya.

Apa kubilang. Menjadi seorang magnet curhat memang tak pernah menyenangkan.

----

Sebuah flash fiction yang diikutsertakan dalam kuis yang diadakan oleh Mbak Primadonna Angela via twitter. #nulisyuk 
 

Rabu, 15 Mei 2013

Disangka Preman? Oh. God. Why.

Hari ini adalah pengalaman pertama gue ngeliput olahraga. Oh please, kalo gue bisa cuma ngomongin itu pasti bahagia banget rasanya. Sayang, abis konferensi pers tentang triathlon di cafe yang super nyaman, gue harus tetap bertolak ke Timur buat ngeliput berita kriminal dan peristiwa.

Sejak pulang dari liputan di cafe itu, segala sesuatunya memburuk. Gue seharusnya liputan di Pintu Air Cawang. Tapi setiap orang yang gue tanya, GAK ADA YANG TAU PINTU AIR CAWANG! Gue pikir, oke, gue harus ngerubah cara gue nanya jalan. Gue punya satu klu lagi yaitu info bahwa pintu air cawang itu deket lampu merah Jatinegara. Gue pikir bakal cepet nemu tempatnya, ternyata dugaan gue super duper meleset. Hampir semua orang yang gue tanya pintu air cawang selalu nunjukin ke arah cawang, tapi pas gue nanya lagi lampu merah jatinegara, mereka ngasih tau arah sebaliknya. Ya ke arah Jatinegara.... Selama satu jam lebih gue muter-muter Cawang-Jatinegara sampe akhirnya nyasar ke Manggarai dan berakhir di Matraman. Mendadak gue pengen pingsan.

Selanjutnya, temen gue yang nyuruh gue duluan ke TKP dan dia mau nyusul, TERNYATA NYAMPE DULUAN! Kampret! Dia cuma sekali jalan dan langsung nemu. Dunia ini memang tidak adil.....

Okelah, sekarang harusnya perjalanan jadi lebih gampang kalo ada yang udah di TKP. Ternyata eh ternyata, walaupun dia udah ngasih petunjuk jalan, GUE MASIH NYASAR DONG! Astagfirullah..... Mana sekali salah jalan, muternya jauh banget. Mana susah banget nyari orang yang sangat ngebantu pas ditanya jalan. Temen gue bilang dia di Polsek Jatinegara. Sedangkan saat itu gue emang udah di Jatinegara, deket Polres Jakarta Timur. Gue nanya orang, dijawabnya selalu ke arah Polres, bukan Polsek. Kenapa? Karena Polsek Jatinegara adanya di Cawang. CAWANG! MEN! Atas dasar apa mereka namain itu Polsek jadi Jatinegara padahal dia ada di Cawang???

Barulah gue akhirnya bisa sampe itu polsek pas udah di Cawang dan nanya Polsek "Terdekat" dari situ. Soalnya kalo gue nanya Polsek Jatinegara, orang-orang akan nyuruh gue kembali ke Jatinegara dan kembali ketemu Polres Jaktim. Mereka taunya Polsek Jatinegara itu "Polsek Cawang". Nah, kan!

Gue yang seharusnya bisa nyampe sana jam 12, baru nyampe jam 3. Berkat hal tersebutlah gue puyeng dan keder setengah mati. Nulis berita jadi gak nyambung, manggil editor gue yang cewek jadi "Mas", disuruh kirim ulang berita guenya lupa, dan lain sebagainya.....

Sekitar Jam 5, gue dan temen gue udah bertolak kembali ke Kampung Rambutan karena katanya ada razia preman. Saat nyampe, razianya udah selesai dan katanya yang dijaring dibawa ke Polsek Ciracas. Berhubung saat itu temen gue dapet tugas lain dari redaktur, dia enggak bisa ke Polsek Ciracas. Jadilah kita bagi tugas. Gue yang ke Polsek Ciracas, dia ke Kampung Makasar nggarap berita lain.

Di Polsek Ciracas inilah kejadian tak menyenangkan kembali mengusik kehidupan gue yang tentram dan damai (apaan....)

Awalnya gue bengong-bengong depan Polsek sambil lirik-lirik nyari wartawan lain yang mau liputan juga. Abis itu, ada dua ibu-ibu di samping gue yang ngobrol. Satu ibu ternyata lagi nungguin anaknya yang kejaring razia, satu lagi kayaknya emang orang polsek, entah petugas atau apa. Nguping obrolan mereka, ternyata orang-orang yang katanya preman itu masih didata di dalem. Jadilah gue memberanikan diri minta izin liputan ke dalem. Untung langsung dibolehin.

Di atas, gue gak liat ada preman. Yang ada cuma remaja-remaja cungkring, bapak-bapak yang gak jelas kerjaannya apa, sama anak-anak cowok yang kayaknya pengamen jalanan. Mana premannya? Emang sih mereka ada yang tatoan. Tapi kalo disebut preman kayaknya..... kurang serem. Gue akhirnya duduk-duduk sambil nungguin humas polisinya keluar dan ngasih keterangan. Waktu lagi asik bengong, tiba-tiba ada salah satu dari mereka pinjem pulpen ke gue buat ngisi data. Ya gue kasih lah.... Mereka disuruh ngisi data berupa ciri-ciri tubuh masing-masing. Tiba-tiba, cowok itu nanya ke gue, "Tinggi saya berapa ya, mbak?"

Heh?

Gue heran sesaat sebelum akhirnya gue bilang "Tulis aja gak tau, belum diitung."

Dan dia nulis sesuai apa yang gue bilang.....


....

....

Gue gatau harus ngomong apa.

Belon selesai gue bengong, ada lagi temennya yang nanya sama gue, "Kena dimana, mbak?"

Otak gue meloading itu pertanyaan selama beberapa detik.

1,2,3,4..... Hah?

MASA TAMPANG IMUT DAN INOSEN MACAM GUE INI DISANGKA IKUT DICIDUK POLISI BARENG SAMA MEREKA????

Somfret!

Sambil nahan emosi, gue bilang gue bukannya kena razia. Eh, terus mas-mas yang tadi pinjem pulpen gue nyeletuk, "Ooo... pantes gak nulis data, gak kena razia toh?"

Sekali lagi. Somfret!!


Udahlah gue langsung nanya-nanya polisi yang ada disitu dan langsung keluar. Pulang-pulang gue bakal mandi pake baby oil biar tambah baby face.

Pas keluar, gue ketemu ibu-ibu tadi yang masih nungguin anaknya. Gue bilang aja mereka bakal dibolehin pulang hari itu juga selesai di data. Si ibu langsung lega. Abis itu, gue tanya-tanya sama dia. Selain karena emang kepo, lumayan lah buat gue bikin satu berita lagi. Selesai ngobrol, si ibu nanya ke gue.

"Mbak jangan-jangan wartawan, ya?"

Gue diem. Kok si ibu ini bisa tau? Padahal kartu persnya gue sengaja sembunyiin dalem jaket.

Abis itu dia bilang, "Tampang mbak pinter sih, ada wibawa gitu. Beda sama orang-orang lain. Keliatan lah mbak kalo orang yang pinter mah,"
Abis itu gue pulang dengan tampang yang enggak bete-bete amat. Seumur-umur baru kali ini muka gue dibilang keliatan pinter. Padahal biasanya dibilang muka bantal (nempel langsung molor).

Besok liputan olahraga pertama gue! Yeay!

Ya ampun, ini sebenernya udah jam 12. Cuma entah kenapa gue gak bisa tidur karena besok (eh, entar pagi maksudnya) gue bakal ngelipun konferensi pers trilathon di TB Simatupang! Iyey! Trilathon itu 3 olahraga renang-sepeda-lari digabung langsung jadi satu paket (sebenernya gue tau olahraga ini juga dari komik kariage-kun).

Padahal, ini cuma konferensi pers aja sebelum acaranya mulai Juni nanti. Tapi.... entah kenapa gue excited banget! Kata mbak editor gue sih, itung-itung pemanasan sebelum gue dipindah ke desk olahraga Juni nanti! UWWOOOOOO~ BERARTI FIX GUE BAKAL TERUS LIPUTAN OLAHRAGA MULAI JUNI! gimana gue gak excited coba? JUNI, COY! INDONESIA OPEN, COY! Siapa sangka gue akhirnya beneran bisa ngeliput Indonesia Open secara langsung setelah tahun-tahun sebelumnya cuma bisa bayar tiket babak kualifikasi doang. Sekarang gue punya kartu sakti alias free pass alias kartu pers yang bisa membuat gue keluar-masuk dengan bebas. Uhuy! Koko Simon! I'm coming! (sumpeh, baru ngebayangin aja gue udah deg-degan). Sebenernya kalo begini caranya gue gak yakin bakal bisa nulis berita dengan baik dan benar saking deg-degannya nanti.

Sekali lagi, gue bisa liat lima cowo kece di bawah ini main di lapangan *nangis terharu*

dari kiri ke kanan (si ganteng - si cantik - si imut - si kece - si tampan) nama samaran oleh penulis kurang kreatif

Udah deh, sambil nunggu bulan Juni, gue cuma berharap enggak ada kasus-kasus parah di Timur. Gue enggak mau ke RS Polri lagi nungguin hasil forensik. Udah cukup deh kasus orang ketabrak kereta api sampe jasadnya kececer kemana-mana kayak kemaren. Ngeri bok! Biar dikata gue baca gore juga, kalo liat aslinya enggak banget deh.

Temen-temen gue yang sama-sama senasip seperjuangan jadi wartawan peristiwa di wilayah Timur juga satu persatu akan tumbang karena mau pada resign. Alesannya? Hmm.... kayaknya cuma 1 dari 100 wartawan yang emang pengen jadi wartawan peristiwa deh. Dan untungnya gue gak termasuk 1 orang itu. Gue termasuk 1 dari 100 cewek yang mau jadi wartawan olahraga, hehe.

Tapi seenggaknya sampe akhir bulan ini gue masih ditemenin mereka-mereka yang gak bakal resign sebelum gaji turun, hoho. Seperti yang gue bilang, ngelewatin suatu penderitaan dengan teman senasib itu bisa mengurangi kadar derita sampai 50% lebih. Seenggaknya, dalam penderitaan itu gue masih bisa ketawa. Because happiness is so simple :)

Pengen deh rasanya gue data nih temen-temen gue lengkap sama sifat-sifatnya di bank data karakter cerita fiksi gue. Lumayan buat nambah-nambahin :p

Minggu, 12 Mei 2013

Salah Satu Pilihan Terberat Dalam Hidup Gue.....

Harusnya gue nulis postingan ini dari pagi atau siang lah paling enggak. Taunya abis baca novel yang bikin gue penasaran pengen terus baca sampe selese, gue ngantuk. Dan rasanya halo hari Minggu ini enggak gue manfaatin buat tidur sepuasnya, bakal sia-sia banget. Karena gue gak tau deh kapan bisa tidur dengan nyaman dan pules lagi.

Oke, jadi ceritanya sekarang gue dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Yah, seperti yang pernah gue bilang. B itu banyak membuka kesempatan buat masa depannya. Bingungnya pikirin nanti. Dan gue sekarang lagi bingung..... atas kemungkinan-kemungkinan yang gue ciptakan sendiri.

Sejak seminggu lalu gue udah ikut tes di media lain untuk jadi reporter olahraga. Daan.... ternyata sepertinya berjalan baik. Gue tinggal melalui satu tes lagi, yaitu tes langsung kerja selama 3 hari disana. Berhubung untuk masuk kerja 3 hari itu gue gak mungkin bolos dari media yang sekarang, gue langsung berniat resign dari media tempat gue kerja. Tempat dimana gue masih kerja sebagai wartawan megapolitan yang super naujubilah tantangannya berat banget. Ya gue tanpa segan-segan langsung mengajukan resign dong ke editor gue. Secara emang dari awal gue pengennya kerja di desk olahraga.

Nah, masalah mulai muncul saat gue dipanggil redaktur sehari setelah gue ngajuin resign ke editor. Gue dateng ke kantor, dan oom redaktur pun cerita ke gue kalo sebenernya gue emang pengen dipindah ke desk olahraga. Nah lo. Tapi.... dia emang harus naro gue di megapolitan dulu. Katanya biar tau medan, biar sering keliling-keliling, biar kenal beberapa orang penting yang mungkin nantinya bisa membantu. Katanya gue paling hanya akan ditempatin di megapolitan sekitar 2-3 bulan, sebelum dipindah. Saat itu juga gue langsung bimbang. Karena oom redaktur sempet nyinggung-nyinggung soal tim liputan untuk Indonesia Open nanti. Butuh 4 orang tim yang solid, katanya. Dan rencananya gue emang mau dimasukkin tim itu.

Dem. Ngeliput Indonesia Open secara langsung itu emang impian gue sejak lama! Istilah kasaranya, "I would do anything for that!". Redaktur gue tau banget gimana harus ngiming-imingin gue. Belum lagi ngeliput langsung ke KONI atau pelatnas. Gimana gue gak tergiur?

Jadilah redaktur ngasih gue waktu sekitar 3 hari untuk pikir-pikir lagi. Mau tetep pindah atau tetep di tempat sekarang, bertahan sebentar lagi di megapolitan  sebelum pindah ke desk olahraga. Waktunya cuma sampe besok, Senen. Dan gue sebenernya masih agak bimbang.

Yang jadi pertimbangan gue sebenernya cuma satu. Jam kerja. Kalau di media yang baru, gue cuma akan kerja selama 8 jam sehari. Di luar itu enggak. Karena dia dibagi 3 shift sehari, masing-masing 8 jam. Meskipun gajinya sama kayak yang sekarang, gue masih bisa cari sambilan kerja lain seperti yang biasa gue lakukan dulu. Ngajar atau nerjemah. Sedangkan, di kantor gue yang sekarang, jam kerjanya itu tak terprediksi dan bisa dibilang, super gila. Gue bisa liputan mulai dari jam 9 pagi sampe jam 9 malem, kadang juga lebih. Belum lagi stress kalo pergi ke satu tempat tanpa hasil berita yang bisa ditulis. Sehari gue bisa pindah tempat sampe 3 kali. Dan yang paling parah. Jujur aja, gue muak berhubungan dengan berita kriminal dan politik. Gue gak suka nulis berita kriminal. Gue..... gak suka nulis berita buruk (yang berarti gue juga harus dicoret dari desk entertainment).

Sedangkan, masalah di media yang baru, gue belun ada kepastian untuk ngeliput bulu tangkis secara langsung. Karena mereka cerita kalo reporter olahraga lebih sering di kantor dan nerjemahin berita dari luar negeri, jadi emang dicari yang pinter bahasa inggrisnya. Masalah lainnya, kontraknya setahun, bok.

Sebelumnya, kalo gue ditanya, "Mau gak, ngeliput Indonesia Open, tapi sebelumnya harus jadi wartawan megapolitan dulu 3 bulan?". Gue pasti tanpa mikir langsung jawab "Mau". Sekarang gue udah tau kerjanya di megapolitan kayak apa. Sampe saat-saat terakhir sebelum gue minta resign aja gue harus bela-belain ke ruang jenazahnya RS Polri, minta keterangan soal jenazah terduga teroris yang ditembak mati. Adeuhhh....kenapa sih RS Polri mesti ada di Jakarta Timur? Kenapa sih Jakarta Timur itu tingkat kriminalitasnya paling tinggi? Kenapaaaaaaa??? Berkat pengalaman yang tidak menyenangkan itu, gue jadi tau bau mayat kayak gimana. Dan sumpah, gak bisa digambarin dengan kata-kata. Pasar yang paling kotor aja kalah baunya sama itu. Padahal gue gak pengen jadi dokter kayak cita-cita kecil anak-anak lain karena ditakut-takutin harus dikurung di kamar mayat. Eh, sekarang gue harus ngadepin juga. Takdir, memang.....

Oleh karena itulah (ceilah) gue gak bisa bilang iya lagi dengan mudah. Kalaupun nanti gue akhirnya memutuskan untuk tetep di kantor yang sekarang, itu pasti dengan banyak pertimbangan, curhat sana-sini, guling-guling, berdoa selesai shalat, gak tidur biar gak cepet-cepet ganti hari dan sebagainya.....Tapi ngomong-ngomong sekarang aja gue udah ngantuk (=_=). Gue emang bukan tipe orang yang bisa disuruh mikir lama-lama.

Berhubung gak asik kalo di postingan itu gak ada foto/gambarnya, ini gue pajang kucing baru gue. Nama sementaranya bunny a.k.a. kelinci karena dia hobi lompat-lompat macam kelinci, bahkan lebih parah dari kelinci. Nama officialnya belun ada karena pada males mikir bukan karena mau dijadiin makanan darurat yang sengaja gak dikasih nama biar gak ada hubungan emosi, kok. Biarpun foto dan postingannya gak nyambung, gapapa dah, daripada harus gue kasih foto mayat terduga teroris. Ngeri amat.

Kamis, 02 Mei 2013

Liputan di Bundaran HI dan Masih Suebel Sama Demo Buruh

Kemaren gue merasakan enaknya kerja floating. Floating tuh dimana gue harus ngeliput langsung di lapangan, bukan ngepos di suatu tempat.

Buat yang gatau, kemaren gue ngeliput demo buruh di Bundaran HI. Sebenernya dibilang enak juga enggak sih. Lebih tepat dibilang, menderita! (lah, kontras amat). Pokoknya sejak berangkat sampe di Bunderan HI sono ditagih berita macem-macem, gue super menderita! Untungnya ada hal yang bikin gue bisa pulang ke rumah dengan senyum yang merekah bak bunga di pagi hari (anjir! geli mampus). Iya gue emang menderita, tapi seenggaknya gue gak menderita sendirian. Itulah yang bikin gue bahagie. Iyes pren, happiness is simple (mulai besok gue siap jadi motivator).

Mungkin bisa gue jelaskan penderitaan gue dalam satu paragraf penuh. Karna gue gak mau buang-buang space cuma nyeritain penderitaan gue. Kayak gue belon cukup dicela orang aje.

Pertama gue dateng ke Bundaran HI tanpa motor dan ternyata macet parah, gue terlambat standby di sana. Dateng-dateng udah rame dan gue udah dikejar deadline, whatsapp dan berbagai peer dari redaktur terus berdatangan tak kenal ampun. Saat berita beres dan foto siap kirim, ternyata sinyal internet ilang (karena kbanyakan orang ato emang provider gue yg bapuk, gatau). Gue stress karna udah mesti laporan byk tapi gak bs ngirim apapun. Belon lagi itu aslinya demo buruh bikin gue gedek.Mereka nuntut 8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi dalam sehari. MENURUT LOOO? Terus kalo buruh kerjaanya seenak itu, gue apa dong? Kerja rodi? Bener kata temen gue. Wartawan itu buruh tinta. Dan yang paling mengesalkan adalah, 2 berita (hard news) yang gue tulis susah-susah, GAK KESIMPEN! Dan gue harus nulis ulang. Otomatis jadinya telat....jadi gak hard news lagi.....Amsyong emang.

Ramenya kayak gini coba? Gimana gue gak stress disana?
 Untungnya, gue gak sendiri. Dan beberapa wartawan disana (kebanyakan baru kenal) juga mengalami masalah yang sama.Sama-sama keilangan sinyal, sama-sama mencaci buruh yang demo, sama-sama disuruh macem-macem sama redaktur dan sama-sama keilangan berita yang udah ditulis karena kecelakaan. Karna menderita bersama, gue jadi lega. Ahahaha :D

Abis maghrib kita sama-sama menghentikan liputan. Iya, kepengaruh buruh yang minta kerja 8 jam doang. Kita langsung ngafe di salah satu cafe bergaya betawi (nama cafe disamarkan meskipun kayaknya ketauan juga) dan cuma pesen es teh manis, kopi susu, ada satu yang pesen rawon sih, dan menggebrak-gebrak meja cafe saking kebanyakan ketawa.

Dari situ juga gue denger langsung cerita-cerita soal wartawan bodrex dan jale. Sebelumnya sih gue pernah denger. Wartawan bodrex tuh wartawan yang nerima uang (jale) dari nara sumber untuk bikin berita yang menguntungkan si narsum itu. Biasanya sih yang jale-nya kenceng itu di bagian ekonomi & politik. Kayak gak tau aje, politisi-politisi yang mau numpang nama di berita.

Kita sama-sama ngecengin temen gue yang kerja di salah satu media berbahasa Inggris di Jakarta (taulah ya) kalo dia mah gampang pastinya nolak jale, karena gajinya kan pake dolar. Wahahaha xD

Oh iya, gue balik lagi nyinggung buruh. Gini deh ya oom tante yang jadi buruh dan nuntut macem-macem. Situ kerja aja gak terlalu make otak kayak kita-kita. Jam kerjanya juga gak kayak kita-kita (yang kalo diperlukan harus 24 jam siap siaga). Libur juga jelas, sedangkan kita liputan ya super gak pasti juga waktunya. Ya kalo gue sih dari dulu sudah bersahabat sama ketidakpastian (tsaah). Gajinya? Meenn.... Gaji buruh itu sekarang udah 2,2 juta! Dan katanya ada yang sampe 3 juta! Lah.... masih pake protes pula. Kalo mau sejahtera ya jangan jadi buruh atuh. Nabung..... terus uangnya buat wirausaha ato apa kek. Bedanya, meskipun buruh tinta macam kita-kita ini gajinya gak seberapa, kita mah gak ada yang protes-protes banget. Soalnya ini tentang passion sih. Nah, mana ada sih yang passionnya mau jadi buruh? Itu doang sih bedanya.

Oh iya, ada salah satu temen gue kemaren yang ternyata juga mau jadi jurnalis olahraga kayak gue. Cowok. Eyalah. Sampai saat ini gue belun nemu cewek yang mau jadi jurnalis olahraga. Pokoknya, apapun rubriknya, sebenernya jadi jurnalis itu menyenangkan dan banyak juga untungnya. Kemaren gue hampir kena tilang, tapi tiba-tiba polisinya jadi baik begitu gue bilang lagi buru-buru mau liputan ke daerah Karet dan gak tau jalan. Ahahahaha. Terus temen gue bilang kalo gue terlalu 'membagus-baguskan' kerjaan jurnalis. Yaa.... gue kan lagi berusaha membahagiakan diri sendiri biar gak sengsara-sengsara amat. Dia bilang, dia cuma ngingetin biar gue gak terbang ketinggian dan ngomongin realita. Oke. Secara keseluruhan, jadi wartawan itu memang menyengsarakan sih (balik lagi deh).

Tapi, rasanya tuh kayak gue balik lagi ke jaman sekolah. Sekolah itu gak enak, tapi lo tetep seneng dateng ke sekolah karena temen-temen. Gue juga gitu. Bedanya, gak setiap hari gue bisa ketemu temen wartawan yang sama. Tiap hari gue bisa kenal orang yang berbeda.

Kemaren ada momen-momen dimana jalan di Bundaran HI ditutup dan kita bisa bebas foto-foto di jalan. Asek juga. Jadi gue sebar ah fotonya dimari, hehehehe. Semoga temen-temen gue gak keberatan fotonya ikut dipajang. Tapi kalo liat sifatnya yang pada narsis akut sih kayaknya oke-oke aja.  

Lega banget beneran ini, sama sekali gak ada kendaraan lewat. Kapan lagi bisa poto begini, ahahaha