Minggu, 29 Maret 2015

Flashfiction - Passion





“Kerja! Kerja! Kerja!” teriak atasanku tepat di daun telingaku.

Suaranya yang menggelegar itu langsung menyadarkanku dari lamunan yang menguasai sejak beberapa menit yang lalu. Aku memang belum terbiasa kerja di sini. Banyak hal yang tidak kumengerti, namun aku terlalu pengecut untuk bertanya. Jangan-jangan, aku malah akan dipecat jika terlalu banyak melontarkan pertanyaan tak penting.

Aku melanjutkan pekerjaanku menggambar denah bangunan. Pekerjaan ini cukup sulit. Aku memang mendapat data cukup lengkap untuk membuat denah yang bagus dan mudah dimengerti, tetapi untuk menggambarnya hingga sempurna membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Udah sampe mana?” tanya teman sejawatku, Duta.

“Belum ada setengah jalan,” kataku seraya mendesah.

Duta menepuk bahuku dan tersenyum. “Tenang aja, deh. Kerjanya nggak usah buru-buru. Santai aja nggak masalah, kok. Tapi jangan sampe bengong kayak tadi. Biar kerjanya santai, tapi harus tetep serius,” nasehatnya.

Aku mengangguk meski dalam benakku masih penuh keraguan. Duta sih enak, dia sudah bekerja selama bertahun-tahun. Sementara aku baru masuk awal tahun ini. Kemungkinan besar dia memang sudah terbiasa dan mampu melakukan pekerjaannya dalam waktu singkat. Sementara aku ini hanya anggota baru yang masih hijau.

Tetapi, sejujurnya yang membuatku ragu bukan hal itu. Duta mungkin memang telah menemukan passionnya dalam pekerjaan ini. Sementara aku? Aku hanya melakukan pekerjaan ini karena terpaksa. Mencari pekerjaan di kota besar memang bukan hal yang mudah, kuakui itu. Sayangnya, aku sama sekali tidak merasakan perasaan menggebu-gebu saat mengerjakan tugasku. Aku hanya menjalaninya sekedar rutinitas belaka, tanpa hati. Mungkin itu juga yang membuat pekerjaanku tidak maksimal dan tidak pernah membuat atasanku terkesan.

“Lo mikirin apa, sih?” tanya Duta yang sepertinya menyadari awan mendung di wajahku.

Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue lagi bingung aja,” kataku.

“Bingung kenapa? Susah? Perlu gue bantu?” tawarnya.

Lagi-lagi aku menggeleng. “Bukan itu....”

Tanpa mengeluarkan pertanyaan lagi, Duta menunggu jawabanku.

“Rasanya, gue sama sekali nggak semangat ngerjain semua ini....” akuku.

Duta tersenyum. Lalu, ia terkekeh pelan. “Dulu gue juga ngerasa hal yang sama.”

“Masa?” tanyaku kaget.

Duta mengangguk. “Selama setahun pertama, gue menjalani pekerjaan ini sebagai rutinitas. Tapi, coba lo pikir-pikir lagi. Kerjaan kita ini penting banget untuk kelancaran kerjaan temen-temen kita yang lain. Begitu denah yang kita buat selesai, yang lain bisa mulai membuat rencana yang tepat untuk meletakkan semua barang di tempat yang tepat pula. Kalau barangnya ada di tempat yang pas, pasti fungsinya bisa maksimal. Nah, sepenting itulah tugas kita, man!” jelasnya seraya menepuk-nepuk pundakku lagi.

“Tugas kita ini tugas paling penting dari seluruh bagian. Jadi seharusnya lo bangga!” Duta pun tersenyum lebar.

Ia menyenggol bahuku dan aku tahu itu kode agar aku tersenyum. Aku pun tersenyum. Setelah itu, Duta meninggalkanku sendiri dengan gambar denah yang masih setengah jadi.

Sejujurnya, aku ingin memberikannya senyum terbaik saat ia memberikan wejangan tadi. Sayangnya, hanya senyum kecut yang bisa kuberikan padanya. Sebab, sampai kapanpun aku tidak akan pernah bangga menjadi bagian dari komplotan perampok profesional seperti ini.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar