“Kerja! Kerja! Kerja!” teriak atasanku tepat di daun
telingaku.
Suaranya yang menggelegar itu langsung menyadarkanku dari
lamunan yang menguasai sejak beberapa menit yang lalu. Aku memang belum
terbiasa kerja di sini. Banyak hal yang tidak kumengerti, namun aku terlalu
pengecut untuk bertanya. Jangan-jangan, aku malah akan dipecat jika terlalu
banyak melontarkan pertanyaan tak penting.
Aku melanjutkan pekerjaanku menggambar denah bangunan. Pekerjaan ini
cukup sulit. Aku memang mendapat data cukup lengkap untuk membuat denah yang
bagus dan mudah dimengerti, tetapi untuk menggambarnya hingga sempurna
membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Udah sampe mana?” tanya teman sejawatku, Duta.
“Belum ada setengah jalan,” kataku seraya mendesah.
Duta menepuk bahuku dan tersenyum. “Tenang aja, deh.
Kerjanya nggak usah buru-buru. Santai aja nggak masalah, kok. Tapi jangan sampe
bengong kayak tadi. Biar kerjanya santai, tapi harus tetep serius,” nasehatnya.
Aku mengangguk meski dalam benakku masih penuh keraguan.
Duta sih enak, dia sudah bekerja selama bertahun-tahun. Sementara aku baru
masuk awal tahun ini. Kemungkinan besar dia memang sudah terbiasa dan mampu
melakukan pekerjaannya dalam waktu singkat. Sementara aku ini hanya anggota
baru yang masih hijau.
Tetapi, sejujurnya yang membuatku ragu bukan hal itu. Duta
mungkin memang telah menemukan passionnya dalam pekerjaan ini. Sementara aku?
Aku hanya melakukan pekerjaan ini karena terpaksa. Mencari pekerjaan di kota besar
memang bukan hal yang mudah, kuakui itu. Sayangnya, aku sama sekali tidak
merasakan perasaan menggebu-gebu saat mengerjakan tugasku. Aku hanya
menjalaninya sekedar rutinitas belaka, tanpa hati. Mungkin itu juga yang
membuat pekerjaanku tidak maksimal dan tidak pernah membuat atasanku terkesan.
“Lo mikirin apa, sih?” tanya Duta yang sepertinya menyadari
awan mendung di wajahku.
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue lagi bingung aja,”
kataku.
“Bingung kenapa? Susah? Perlu gue bantu?” tawarnya.
Lagi-lagi aku menggeleng. “Bukan itu....”
Tanpa mengeluarkan pertanyaan lagi, Duta menunggu jawabanku.
“Rasanya, gue sama sekali nggak semangat ngerjain semua
ini....” akuku.
Duta tersenyum. Lalu, ia terkekeh pelan. “Dulu gue juga
ngerasa hal yang sama.”
“Masa?” tanyaku kaget.
Duta mengangguk. “Selama setahun pertama, gue menjalani
pekerjaan ini sebagai rutinitas. Tapi, coba lo pikir-pikir lagi. Kerjaan kita
ini penting banget untuk kelancaran kerjaan temen-temen kita yang lain. Begitu denah yang kita buat selesai, yang lain bisa mulai membuat rencana yang tepat
untuk meletakkan semua barang di tempat yang tepat pula. Kalau barangnya ada di
tempat yang pas, pasti fungsinya bisa maksimal. Nah, sepenting itulah tugas
kita, man!” jelasnya seraya
menepuk-nepuk pundakku lagi.
“Tugas kita ini tugas paling penting dari seluruh bagian.
Jadi seharusnya lo bangga!” Duta pun tersenyum lebar.
Ia menyenggol bahuku dan aku tahu itu kode agar aku tersenyum.
Aku pun tersenyum. Setelah itu, Duta meninggalkanku sendiri dengan gambar denah
yang masih setengah jadi.
Sejujurnya, aku ingin memberikannya senyum terbaik saat ia
memberikan wejangan tadi. Sayangnya, hanya senyum kecut yang bisa kuberikan
padanya. Sebab, sampai kapanpun aku tidak akan pernah bangga menjadi bagian
dari komplotan perampok profesional seperti ini.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar