Senin, 19 September 2016

[Flashfiction] Para Pelanggar Peraturan


"Jangan jalan lewat sini, Pak. Bahaya!"

"Mbak, lewat atas ya. Jangan lewat rel. Bahaya!"

"Sabar Mas, Mbak, tunggu keretanya lewat dulu. Bahaya!"

Dalam satu hari saja entah sudah berapa kali saya teriakkan kalimat itu pada para penumpang kereta api yang tak tahu aturan. Padahal di antara dua rel sudah tertulis plang yang sedemikian jelas. Dan plang itu tidak hanya satu-dua saja. Hampir tiap tiga-empat meter plang itu diletakkan. Andai plang-plang itu punya perasaan, pasti mereka menangis karena tak pernah dianggap.

Padahal, aturan itu dibuat demi keselamatan para penumpang sendiri. Sayang, sepertinya dibanding nyawa, mereka lebih peduli untuk cepat-cepat naik kereta. Lagipula, apa salahnya menunggu beberapa menit demi keselamatan dan kenyamanan semua orang. Sebab jika terjadi satu kecelakaan saja, bukan hanya satu orang yang jadi korban. Jadwal kereta jelas akan kacau, dan itu merugikan semua orang.

Misalkan ada kecelakaan nanti pun, tetap saja pihak kereta api dan petugas stasiun yang disalahkan. Tapi jika kami berteriak dan melarang para pelanggar aturan ini tiap detik, ada saja yang protes lewat media sosial kalau para petugas stasiun terlalu galak. Ini sebenarnya masalah sepele, tapi kok rasanya seperti makan buah simalakama. Saya sendiri tidak tahu rasa buahnya seperti apa, tapi pasti tidak enak!

"Pak, arah ke kota jalur yang mana, ya?" Seseorang tiba-tiba menegurku.

"Itu jalur satu! Nggak bisa baca, ya!?"

Perempuan yang bertanya pada saya langsung pasang tampang cemberut sebelum menyebrang kembali ke jalur satu.

TOK!

Kepala saya yang terlindungi helm putih kena getok tongkat pemukul salah satu teman seprofesi. Sontak saya menoleh padanya dan mengumpat pelan.

"Jangan galak-galak gitu sama penumpang!"

Saya merasa sedikit bersalah. "Maaf, Kang. Lagi emosi. Pada nggak bisa baca tata tertib, sih..." dalih saya seraya menunjuk plang peringatan dengan tongkat pemukul di tangan kiri.

Kami tak bertukar kata selama kurang lebih satu menit karena suara kereta yang lewat. Suara tersebut mampu meredam suara apapun, termasuk suami istri yang sedang cekcok.

"Nggak usah terlalu dipikirin, lah. Tau sendiri orang kita emang gitu kelakuannya," jelasnya begitu kereta jalur tiga pergi meninggalkan stasiun.

"Ya tapi kan nggak bisa gitu terus. Nanti kalau ada yang kecelakaan, kita lagi yang disalahin."

"Loh, nggak ada yang bilang untuk berhenti ngasih tau orang-orang itu, kok. Tetep lah kasih tau. Tapi sabar, nggak usah pake emosi."

Ngomong sih gampang.

"Nih!" Serunya seraya menyodorkan sebungkus roti padaku. "Makannya nanti, tapi. Kerja dulu."

"Roti dari mana nih," tanya saya sembari menerima pemberiannya dan memasukkannya ke kantong seragam yang cukup besar.

"Tadi dikasih sama penumpang cewek. Masih SMP atau SMA kayaknya. Saya sempet nolongin dia gara-gara jatuh ketabrak orang-orang yang berebut nyebrang lewat rel. Padahal dia juga mau naik kereta yang sama, tapi milih nunggu kereta di depannya lewat dulu sebelum nyebrang."

"Heran. Yang naatin peraturan malah lebih langka daripada yang ngelanggar...."

"Yang kamu harus inget, di antara mereka masih ada yang mau taat sama peraturan. Jadi kalau ada yang nanya baik-baik, ya jawabnya baik-baik juga, lah. Jangan gara-gara emosi sama sebagian penumpang, terus semuanya kena getahnya."

Senior saya ini kalau kasih nasehat memang susah dibantah. Gimana saya bisa bantah kalau roti coklat sudah terlanjur masuk kantong?

"Iya, Kang," ucap saya dengan nada menyesal.
___

"Hayo... Jangan ngerokok di sini. Ada aturannya, lho..." Kang Deni menunjuk tanda larangan merokok yang terpasang hampir di setiap sudut stasiun.

"Kaku amat, Kang. Udah tutup ini stasiunnya..." elak saya.

"Tadi ngomel-ngomel sama pelanggar peraturan. Sekarang malah ngebela diri. Kalau mau mengubah orang lain, ubah diri sendiri dulu dong..."

Lagi-lagi saya tak bisa membantahnya. Saya pun mematikan rokok dan membuang puntungnya ke tempat sampah. Jadi perokok sekarang susah. Tempatnya terbatas, dan sekalinya merokok, sering mendapat tatapan jengah dari orang-orang sekitar. Belum lagi kabar kalau harganya akan naik empat hingga lima kali lipat.

Apa sekalian saya berhenti saja, ya?
___

Ngomong-ngomong, roti pemberian Kang Deni enak juga.

END

19/9/2016

Oleh seorang penumpang yang kasian ngeliat salah satu petugas stasiun emosi gara-gara penumpang pelanggar peraturan di jam sibuk Stasiun Manggarai.

Sabar ya, Masnya.... Maap ya yang ngeliat situ kebanyakan baca komik dan novel jadi ngarang-ngarang kehidupan situ sebagai petugas stasiun....

Sabtu, 17 September 2016

Menyekolahkan Anak Terlalu Dini...


Baru-baru ini di grup lagi getol ngomongin soal anak-anak yang terlalu cepat dimasukkan sekolah, atau yang disuruh orangtuanya belajar berbagai macam hal padahal umur mereka masih sangat muda. Banyak yang memberi contoh dari anak-anak tetangga atau anak murid yang kami ajar.

Tapi nggak lama kemudian, gue menemukan gambar ini di facebook.


Lalu gue sadar, gue mungkin termasuk salah satu anak yang terlalu cepat masuk sekolah. Dulu sih nggak paham bahayanya. Pokoknya cuma pengin ikut kakak masuk SD aja, titik. Soalnya, di TK itu gue sering dibuli. Elah anak TK aja mainnya buli xD Nggak segitunya, sih. Gue cuma sering diisengin sama satu anak cewek yang brutal banget. Jadi, begitu gue yang di TK Kecil harus naik ke TK Besar dan melihat kenyataan kalau kakak gue yang di TK Besar lulus dan bakal pindah sekolah ke SD, gue langsung pengin ikutan pindah.

"Tapi kamu belum TK Besar..." kata nyokap gue waktu itu.

"Biariiin... Lagian di TK kan cuma main-main aja...Pokoknya aku mau masuk SD!" belagu banget gue waktu TK yak.

Sejujurnya orangtua gue nggak setuju gue masuk SD di umur empat tahun lewat beberapa bulan. Buset, lima tahun aja belum ada. Saat itu batas minimal masuk SD adalah 6 tahun. Dan kakak gue pas banget baru ulang tahun yang ke-6. Tapi entah dorongan dari mana, gue maksa banget mau masuk SD meski belum cukup umur.

Akhirnya nyokap gue pun membawa gue ke SD tempat kakak gue belajar. Niatannya sih supaya gue ditolak langsung sama kepala sekolahnya. Tapi yang terjadi adalah, gue nangis meraung-raung di depan kepala sekolah sambil guling-gulingan di lantai dan minta dia masukin gue ke SD. Bukan cuma nyokap gue yang pusing, tapi pak kepala sekolah ikutan pusing.

Akhirnya, kepala sekolah bilang gini, "kalau mau masuk SD, kamu harus bisa baca, lho. Kamu mau dites baca?"

Gue mengangguk.

Dan entah keajaiban dari mana, gue bisa baca soal yang dikasih kepala sekolah meski belum sempurna mungkin karena komik-komik dan majalah bobo yang numpuk di rumah. Padahal katanya itu akal-akalan dia doang supaya gue nggak masuk SD. Soalnya dulu untuk masuk SD nggak ada tes begituan. Semua murid baru mulai belajar baca "INI BUDI" dan "INI IBU BUDI" ya di kelas satu.

Akhirnya karena nggak punya alasan untuk menolak, gue pun boleh masuk SD kelas satu. Kakak gue waktu itu sempet bingung kenapa gue jadi seangkatan ama dia. Wahahaha. Untungnya kelas kami beda. Dia di kelas A dan gue di kelas B. Nyokap yang minta kepala sekolah supaya kami nggak berada di kelas yang sama.


Nah, begitu baca soal BLAST (Bored Lonely Angry Stress Tired), gue langsung keingetan kasus gue sendiri. Sebenernya, pernah nggak ya gue kena salah satu dampak negatif gara-gara sekolah kecepetan?

Seinget gue sih, gue lumayan nangkep pelajaran awal-awal di SD. Karena sebelum gue masuk SD, kepala sekolah bilang ke nyokap kalau gue boleh masuk dengan status 'percobaan'. Artinya, kalau gue nggak bisa ngikutin, ya gue harus keluar dari SD. Buset anak SD aja pake status percobaan segala. Tapi pada akhirnya gue nggak pernah dikeluarkan karena bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Mungkin, satu-satunya kemunduran belajar yang gue alami itu waktu kelas 3-4. Entah kenapa waktu itu gue blank banget. Rasanya mau belajar apa pun percuma. Denger penjelasan guru aja rasanya kayak masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Nilai gue pun anjlok. Ulangan beberapa kali dapet nilai nol yang berarti gue nggak ngerti sama sekali apa yang gue pelajarin. Nilai raport gue pun banyak yang merah. Rasanya bisa naik kelas aja udah beruntung.

Tapi untungnya, gue nggak tambah stress karena orangtua gue nggak pernah maksa gue dapet nilai bagus. Yang seangkatan sama gue pasti tau soal pemberlakuan UAN untuk lulus SMA (waktu itu nilai minimalnya 4,01) yang bikin murid-murid pada stress sampe pada ikut les tambahan, ngadain doa bersama sebelum UAN, sampe yang bela-belain bayar mahal demi kunci jawaban. Tapi waktu itu nyokap gue malah bilang "kalau misalnya kamu nggak lulus, nggak usah stress ya. Mama nggak marah, kok." Laah... kan aye bingung harus seneng ato sedih....

Ya pokoknya gitu, deh. Nyokap dari dulu emang nggak pernah maksa gue harus pinter apa, ikut les apa, pokoknya asal lulus sekolah aja, deh.... Wait--barusan gue nulis beliau juga nggak akan marah andai waktu itu gue nggak lulus SMA. orz

Ya intinya, nyokap nggak pernah membebani gue dengan tuntutan yang macem-macem. Semuanya terserah dan tergantung gue sendiri. Jadinya, waktu gue mogok belajar pas SD.... Dibilang mogok, nggak juga sih. Gue tetep belajar, tapi sama sekali nggak ada yang masuk. (Belajar yang gue maksud itu masuk sekolah dan bengong liatin guru jelasin dan nulis di papan tulis, ya. Gue jarang banget belajar di rumah, apalagi kalau deket-deket kasur).

Mungkin gara-gara itu juga abis itu gue membaik. Setelah kelas lima, gue hampir nggak punya masalah dalam pelajaran.

KECUALI KIMIA! DAN BIOLOGI! DAN FISIKA! DAN.... DAN....

AH SUDAHLAH....

Dari semua pelajaran itu emang kimia yang bikin gue rada traumatis, sih...
Abisnya pas masuk SMA dan diperkenalkan sama pelajaran yang namanya kimia, bu guru bilang begini di hari pertama kami belajar. "Kalian hapalkan tabel periodik ya. Minggu depan ibu tes..."

Bu guruuu... tabel periodik itu apaa? Kenapa harus diapalin? Kenapa bentuknya asimetris gini? Kenapa ada warna pink-kuning-ijo-biru? Kenapa banyak kode-kodenya? Kenapa banyak angka-angkanya? Kenapaaaa? Apa faedahnya buat hidup saya buuuuu?

Abis itu gue nggak pernah paham pelajaran kimia karena otak gue keburu bikin benteng duluan saking traumanya.

Yaudah ini kenapa melenceng jauh banget?

Intinya sih, mungkin gue pernah mengalami yang namanya BLAST itu, meskipun nggak dalam waktu yang lama. Dan untungnya berhasil diatasi dan udah nggak ada masalah lagi sampe sekarang. Buktinya sekarang gue tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Hahahaha :'D

Tapi gue setuju sama pendapat pakar psikologi kalau anak sebaiknya mulai sekolah di umur yang cukup, untuk menghindari kemungkinan buruk yang akan timbul nantinya. Kalau ketemu anak yang ngeyel masuk sekolah belum pada waktunya kayak gue, perlu dipertimbangkan masak-masak anaknya beneran mampu apa nggak. Soalnya kasian juga kalau minatnya emang belajar tapi dihalangi. Nggak boleh terlalu dipaksa dan dituntut ini-itu. Intinya sih tiap anak beda-beda, makanya treatmentnya juga pasti beda-beda. Kayak rambut.... Aku? Jadi duta shampo lain? *lalu dilempar ke black hole*

Yaudah gitu aja...


Kamis, 15 September 2016

Bibit Korupsi dalam Diri Kita

Pernah nggak merasa kesel sama atasan, pejabat, orang pemerintah, atau malah presiden yang korupsi?

Ya nggak mungkin nggak pernah juga, sih.

Tapi percuma banget kalau teriak-teriak "TOLAK KORUPSI" sementara sama sekali nggak berusaha menjauhkan diri dari korupsi.

"Kapan gue pernah korupsi?"

Mungkin kalo dituduh terang-terangan depan muka, jawabannya pasti gitu. Dulu gue juga gitu. Tapi coba mulai ngaca, deh. Beneran kita nggak pernah korupsi? Masa sih?

Misalnya ada kejadian kalian diminta temen untuk beliin sesuatu. Sekalian karena kalian juga mau beli barang yang sama. Setelah dihitung-hitung, ternyata satu orang kena 14.800 rupiah. Terus, apa kalian akan bilang persis dengan jumlah yang sama, atau langsung membulatkan jadi 15.000?

Lalu misalnya kalian beli sesuatu, dan tanpa sengaja penjualnya ngasih kalian kembalian lebih. Harusnya kembali 2500, tapi dikasih 3000. Dan kebetulan kalian udah jauh dari situ terus baru sadar. Apa kalian bakal lari-lari ke tempat penjual untuk mengembalikan 500 itu atau jalan terus dan mikir "Ah, cuma 500 ini..."

Korupsi itu mengambil uang yang bukan hak kita. Dengan kata lain, mencuri, nilep, apalah apalah. Nggak tergantung besar atau kecil nominalnya. Nilep ya tetep nilep. Sekecil apa pun itu, tetep aja jadinya dosa.

Mungkin selama ini, kita punya kecenderungan untuk meremehkan recehan. Makanya kalau ada masalah uang yang menyangkut receh, mau itu kita yang dirugikan, mau kita yang merugikan orang lain, pasti jarang dianggap serius. Kalau kita berlebihan soal itu, kenalan kalian akan bilang "udahlah, cuma uang segitu aja diributin."

Sayangnya ketika mulai dewasa dan mulai waras, gue sadar kalau bukan jumlah uangnya lah yang perlu diributkan. Tapi pertanggungjawabannya. Begitu gue sadar soal ini, ternyata nggak mudah lo mengubah kebiasaan orang Indonesia yang cukup mendarah daging ini.

Gue yang biasanya kurang teliti soal uang kembalian, sekarang jadi sering ngitung. Terutama kalau kembaliannya kelebihan. Kalau kurang diikhlasin nggak apa-apalah. Tapi kalau kelebihan kan, gue nggak tau penjualnya ikhlas apa nggak. Jadi lebih baik langsung kembalikan sesegera mungkin.

Kalau beli sesuatu bareng temen dengan cara patungan, kasih tahu temen-temen hingga nominal terkecilnya. Jangan sampai langsung dibulatkan ke atas dan berpikir kalau temen kamu nggak akan masalah dengan itu. Kalau setelahnya temen kamu bilang dibulatkan saja, ya nggak masalah. Kalau temen kamu bilang, ambil saja kembaliannya, ya nggak masalah juga. Intinya, nggak ada nominal yang disembunyikan secara sengaja meski itu cuma 50 perak.

Terus, sejujurnya sampai sekarang sih gue agak males untuk menyebutkan hingga nominal terkecil. Iya, gue masih sering langsung membulatkan jumlah uang. Tapi sekarang diganti dengan membulatkan jumlah uang ke bawah, bukan ke atas. Yang jelas rugi gue sendiri, tapi kan gue bisa memastikan kalau gue ikhlas dan nggak ada masalah dengan nominal uang yang kurang itu.

Selain itu masih banyak banget contoh-contoh korupsi yang sebenernya nggak kita sadari. Coba deh teliti lagi kalau soal uang. Mungkin aja tanpa sadar kamu pake uang kegiatan untuk makan dengan dalih 'anggep aja ongkos gue kerja', padahal di catatan kegiatannya nggak ada tuh jatah buat makan. Kalau kamu bilang ke panitia lain sih mungkin akan dimaklumi, tapi kamu kan nggak akan tahu pasti juga. Siapa tahu ternyata uangnya bener-bener mepet bahkan mungkin kurang. Itu berarti kamu bukan cuma merugikan satu orang, tapi juga semua orang yang terlibat dalam kegiatan itu.

Urusan sama uang ini emang ngeri-ngeri gimana gitu. Jadi lebih hati-hati lagi ya soal ini.

Rasanya setelah sadar soal kebiasaan-kebiasaan buruk ini, nggak heran deh begitu dapet kekuasaan yang lebih tinggi, orang-orang nggak merasa terlalu bersalah pas korupsi. Tukang angkot aja banyak yang nggak ngasih kembalian kalau kita ngasih uang lebih, kok :v

Harusnya bukan budaya "pakai uang pas" yang digalakkan di negeri kita. Tapi "berikan kembalian yang sesuai".

Gitu deh....

Kenapa mendadak gue nulis ginian, yak? Padahal pemilu masih lama :v

Rabu, 14 September 2016

[Flashfiction] Dark Soul and White Thunder


DARK SOUL AND WHITE THUNDER

Tahu rasanya dibilang 'imut' saat kau meraung sekuat tenaga dan menunjukkan taring-taringmu yang begitu tajam?

Sakit.

Dan begitulah tepatnya yang kurasakan saat seorang--oke, dua orang--anak perempuan di hadapanku melihatku dengan tatapan berbinar-binar, dan bukannya lari terbirit-birit karena takut.

"Dia benar-benar menggemaskan!" seru salah seorang anak perempuan dengan rambut kepang.

Aku pun menoleh pada White Thunder, teman seperjuanganku sejak kami masih kecil. Aku yakin dia sama bingungnya denganku. Mungkin kami bisa melupakan pertengkaran kami soal perebutan tahta tertinggi dalam kawanan dan bekerjasama membaca situasi saat ini.

"Apa?" tanyanya datar saat sadar aku sedang menatapnya.

"Ini maksudnya apa?" tanyaku balik.

White Thunder menggeleng lelah sambil menghembuskan napas panjang. "Kenapa sih kamu selalu lama sekali membaca situasi?" omelnya.

Oke, kuakui aku memang lemah dalam hal itu. Tapi situasi saat ini benar-benar tak masuk akal! Bukannya kami berdua sedang bertarung habis-habisan di tebing? Kenapa sekarang kami berada di kamar bernuansa pink milik dua anak perempuan ini? Lagipula meski kutaksir mereka baru berumur belasan tahun, kenapa tubuh mereka besar sekali? Anak-anak seperti mereka seharusnya menjadi santapan siang kaum kami--camilan, malah.

"Dark Soul, We're already dead!" seru White Thunder tak sabaran.

"WHAT!?"

Aku. Sudah. Mati?

Serius?

Kapan?

"Oh, please. Aku enggak harus mengingatkanmu juga kenapa kita berdua mati, kan?"

Aku melihat White Thunder dengan tatapan kosong. Dan tampaknya dia sadar kalau dia terpaksa memberitahuku semuanya.

"Ini gara-gara kau kepeleset kulit pisang sialan itu saat kita bertarung! Kita berdua terjatuh dari tebing dan mati! Ini semua salahmu!"

Ya ampun, aku tidak pernah menyangka dua serigala terkuat kebanggaan kawanan harus mati dengan cara super konyol begitu. Kupikir White Thunder bercanda, tapi serigala yang terlalu serius seperti dirinya mana pernah bercanda?

"Lalu kenapa sekarang kita berada di sini?" tanyaku bloon.

"Aku tahu kamu bolot. Tapi masa sih kamu tidak pernah mendengar mitos yang sering diceritakan tetua kawanan?"

Aku menggeleng tak mengerti.

"Kalau kita mati dengan tidak tenang dan berubah jadi arwah, manusia dengan kekuatan khusus seperti Thalia dan Bianca bisa memanggil kita untuk menjadi elemen kekuatannya."

"Thalia dan Bianca itu dua anak kembar ini?" Pertanyaan bodoh. Tentu saja begitu, kan? White Thunder pun mengangguk mengiyakan.

"Jadi intinya..."

"Intinya, kita jadi peliharaan manusia!" potong White Thunder tak sabar.

Ya ampun, bunuh saja aku sekali lagi.

___

"Lihat Bianca! Yang hitam ini imut banget!" Thalia bersorak kegirangan.

"Ya ya ya. Yang hitam boleh untukmu. Aku ingin yang putih ini," kata Bianca.

"Oke, Blackie untukku!" Thalia memeluk Dark Soul sekuat tenaga dan membuat White Thunder tertawa terbahak-bahak akan nama baru yang didapat temannya itu.

"Tenang saja, kau juga dapat nama, kok. Marshmallow," ucap Bianca dengan senyum di wajahnya.

White Thunder pun mematung.

END

Seperti biasa, ini hasil tulisan kegiatan Malam Narasi One Week One Paper. Enggak ada ide banget pertama kali liat gambarnya. Mungkin karena gambarnya terlalu bagus juga, sih. Hahaha.

Pagi-pagi udah mikir ke sana ke mari mau buat tulisan apa. Mau bikin bertema HITAM-PUTIH dan mengabaikan serigalanya, ntar disangka talk show. Mau bikin romens antara orang berkulit hitam dan orang kulit putih ntar disangka rasis. Mau bikin cewek albino, tapi nggak ada ide buat eksekusinya. Dan 'serigala hitam'nya malah nggak dianggep. Duh....

Untungnya akhirnya bisa nulis walaupun agak dipaksa. Dan cukup puas juga sama hasilnya :)
Day 3! SAFEEE!! UHUY! 

Jumat, 09 September 2016

Antara Membaca Buku dan Menonton Film

Judulnya....

Perdebatan lama banget ini mah :))

Ada yang suka nonton film lebih dulu baru baca novelnya. Ada yang lebih suka baca novelnya dulu sebelum nonton. Ada yang suka nonton doang, dan ada yang suka baca doang.

Kalo gue sih tergantung ceritanya. Meskipun biasanya lebih suka baca dulu baru nonton. Tapi menurut gue, sebenernya dua aspek ini susah banget untuk dibandingkan karena medianya emang beda. Kalau mau ngebandingin film, jangan sama bukunya, tapi sama film lain. Begitu juga buku.

Jadi, sejujurnya gue enggak masalah kalau film yang diangkat dari buku hasilnya akan beda. Gue tetap akan menilai film itu dari kacamata 'penonton', bukan 'pembaca'.

Tapi yang mau gue bahas bukan itu, sih...
*Lalu dipaketin ke Timbuktu*

Gue mau bahas soal dua macam manusia, yakni manusia yang lebih suka disodori visual dan manusia yang lebih suka disodori tulisan.

Kebanyakan manusia, lebih suka yang visual. Jelas karena adegannya, bentuknya, dan segala macamnya terlihat jelas saat nonton. Mereka akan berpikir "Apa sih serunya lihat tulisan doang? Asikan nonton, ada gambarnya... bergerak lagi..."

Tapi bagi jenis manusia yang satu lagi, deretan tulisan terasa jauh lebih menarik dari efek visual semahal apa pun. Kenapa?

Gue bisa jawab ini karena gue adalah tipe manusia jenis kedua.

Yang pertama, dibanding efek visualisasi semahal apa pun, imajinasi dalam otak manusia itu jauh lebih canggih. Dengan disodori tulisan, manusia bisa memvisualisasi cerita tersebut SEBEBAS-BEBASNYA. Dan bagi manusia yang memang senang mengimajinasikan segala macam hal dalam otaknya, membaca adalah bentuk rangsangan yang luar biasa. Kecuali pas baca buku pelajaran, sih. Gue masih susah mengimajinasikan gambaran proton dan elektron sampe sekarang. Mereka punya masalah apa, sih!? Ganti-ganti pasangan mulu.

Yang kedua, menjadi pembaca itu artinya memiliki kekuatan untuk mengendalikan tempo cerita. And this is what I really like about reading. Kalau nonton sesuatu, waktunya pasti udah jelas. Film berdurasi dua jam ya pasti akan habis dalam dua jam. Kalau sengaja di-skip supaya cepat, mungkin akan ada adegan-adegan penting yang terlewat. Sementara saat membaca buku, cepat atau lambatnya cerita itu habis tergantung pembacanya. Gue bisa menyelesaikan dengan cepat novel yang memiliki karakter sedikit dan konfliknya tidak terlalu banyak. Setelah baca, lalu gue pun mengucap syukur Alhamdulillah karena akhirnya novelnya selesai juga. Bisa juga selesai lebih cepat karena gue drop saking ngeboseninnya. Bisa juga selesai cepat karena kalau tidak dibaca dengan tempo yang cepat, maka kesan menegangkannya akan hilang.

Sementara untuk novel yang padat informasi dan agak sulit dicerna, lebih asik kalau dibaca dengan tempo yang agak santai supaya semua informasi terserap dengan baik. Kayak novel "Deception Point" karya Dan Brown yang lagi gue baca sekarang. Udah sebulan belum selesai-selesai juga bacanya. Wakakakaka. Oke, ini di luar masalah kalau gue juga sibuk, sih.

Tapi, biasanya gue bisa menyelesaikan novel Dan Brown yang lain dalam 2-3 hari. Padahal semua novel dia kan berjenis buku bantal gitu. Besar, tebal, dan sangat cocok dijadikan bantal. Soalnya semua novel dia sebelumnya itu selalu mengangkat tema sejarah yang kelam, simbol, dan kode-kode unik. Nggak membutuhkan waktu lama untuk dicerna.

Sementara novel Deception Point ini membahas intrik politik yang sejujurnya kurang menarik buat gue. Di samping itu ada juga intrik NASA dan intel. Berat banget! Dari awal, gue butuh waktu untuk mencerna teknologi-teknologi canggih yang digunakan NASA dan intel ini. Malah, sebagian besarnya gue nggak bisa menggambarkan lewat imajinasi. Tapi gue lebih fokus ke fungsi teknologi-teknologi canggih itu. Jadi secara jalan cerita, nggak masalah. Nah, udah disuguhi tulisan-tulisan sci-fi yang ciamik gitu, ditambah lagi intrik politik yang dalam. Kebohongan demi kebohongan terungkap, sampai akhirnya gue sendiri kliyengan ini siapa yang ngebohongin siapa. Jalan ceritanya bener-bener nggak ketebak dan tiap chapter gue berasa dipermainkan sama si penulis. Ini hampir aja gue teriak-teriak di foodcourt mall gara-gara fakta baru yang terungkap sama intel dalam novel ini. Akhirnya cuma bisa hentak-hentak kaki saking frustasinya gimana menyalurkan ketegangan.

Rasanya pengin banget menyampaikan ke semua umat kalau... BACA ITU ASIK LOH!!

Buku yang bikin jantung gue kelewat bekerja keras, dan paru-paru melupakan tugasnya untuk menghisap oksigen dari udara

Kamis, 08 September 2016

Signs of a Broken Heart

Pernah enggak kamu benar-benar berharap memiliki sesuatu?

Lalu, pernahkah ketika akhirnya kamu bisa memiliki sesuatu itu, seseorang merebutnya darimu? Apa yang kau rasakan saat seperti itu?

Sakit. Pasti begitu, kan?

Itu reaksi yang normal, kan?

_____

Saat mulai beranjak dewasa, lingkunganmu pasti berubah. Dan perubahan lingkungan itu sedikit banyak pasti juga mengubah pola pikirmu. Tadinya, lingkungan di sekitarmu hanya bertanya 'sudah makan, belum?', 'mau main apa hari ini?', atau 'jajan es krim, yuk!'. Sekarang lingkunganmu berubah total. Terutama, jika kamu seorang anak perempuan.

"Aku suka si ini..."

"Aku suka si itu..."

"Kamu suka siapa?" tanya seorang temanku saat itu yang membuatku gelagapan.

Bisa saja aku bilang 'tidak ada', karena memang saat itu aku belum berpikir sampai sana. For God sake! I'm still ten years old! 

Tapi jika kujawab seperti itu, aku akan dianggap pembohong. Aku akan dianggap tidak mengikuti aturan dasar berada di dalam geng berisi anak-anak perempuan. Aturannya, jika seseorang mengatakan satu rahasia seperti cowok yang ia suka, maka semua temannya harus memberikan rahasia yang sama. Pertukaran setara istilahnya kalau kalian pernah menonton atau membaca Full Metal Alchemist.

Never? Ok, it just me then.

Tak heran teman-temanku menganggapku aneh.

Balik ke pertanyaan tadi. Aku. Suka. Siapa?

Pada akhirnya aku hanya menyebutkan nama teman sekelas yang cukup akrab denganku. Akrab, tapi tidak sampai membuatku ingin terus berada bersamanya, sih.

Dan dengan jawaban itu kuharap mereka puas.

____

Seiring bertambahnya umur. Aku pun mulai berpikir. Kenapa hampir semua teman sekolahku punya orang yang mereka sukai? Kenapa? Apa memang harus begitu? Kalau memang seharusnya begitu, kenapa aku tidak punya seorangpun yang bisa kusukai? Yang bisa selalu kupandang saat aku datang ke sekolah. Yang bisa membuatku sedikit bersemangat datang ke sekolah alih-alih beralasan sakit supaya dibolehkan bolos. Yang bisa kujadikan sasaran permainan tingkat kecocokan menggunakan nama panjang kami berdua.

Aku selalu memikirkan hal itu meski tetap tak bisa kutemukan seseorang yang seperti itu. Anehnya, ketika seharusnya aku fokus ke ujian akhir nasional, seseorang itu justru datang ke depan mukaku. Tiba-tiba saja dia mulai mendekatiku.

Dan anehnya, tidak seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak keberatan. Kedekatan kami begitu menyenangkan. Dan dia telah menjadi alasan aku begitu semangat berangkat ke sekolah meski saat itu try out terus menghampiri kami. Tentu saja, saat itu aku mengerti perasaan teman-temanku beberapa tahun yang lalu. Jadi seperti ini rasanya memiliki seseorang yang selalu ingin kau lihat?

Kupikir hubungan kami cukup seperti ini. Tetap menjadi teman, namun lebih akrab ketimbang teman-teman yang lain. Lagipula aku cukup menikmatinya. Biar pun teman-teman yang lain bilang kalau aku tidak bisa disebut 'memilikinya' kalau belum pacaran dengannya, aku tak peduli. Aku memilikinya sebagai alasan supaya aku semangat berangkat ke sekolah setiap hari. Itu cukup.

Suatu hari, dia mengambil langkah tak terduga yang membuat semua kesenanganku lenyap. Meski tak pernah bertanya alamatku, siang itu dia datang ke rumahku. Entah bagaimana caranya dia tahu alamatku.

Saat ia datang, aku sedang 'berantakan'. Tentu saja dengan rambut riap-riapan, celana belel dan kaos rombeng. Meski dia sudah terlanjur melihatku, aku segera berlari ke dalam dan berusaha sedikit merapikan diri--meskipun pada akhirnya hanya sisiran saja, sih.

Aku benar-benar tak bisa menduga kedatangannya. Dan saat itu, jantungku benar-benar berdebar keras. Mau apa dia?

Apa dia mau...

"Gue boleh minta tolong ke lo, nggak? Gue udah lama suka sama temen lo, si Vanya. Tapi susah buat gue mendekat karena kita beda kelas. Dan gue liat, lo sering banget jalan bareng dia."

JEDEERRR!! Suara petir menggelegar.

"Ma! Kecilin TV-nya!" Ternyata ibuku sedang menonton sinetron dengan suara kencang. Dan kebetulan ada adegan ibu tiri yang kesambar petir.

Aku memusatkan kembali perhatianku pada pengakuan cowok di hadapanku. Dia bilang dia suka Vanya? Jadi berarti tatapannya yang selalu ke arahku saat kami berada di luar kelas itu sebenarnya untuk Vanya? Obrolan-obrolan menyenangkan selama ini juga sebenarnya agar dia punya alasan untuk mendekati Vanya dengan aku sebagai perantara?

Jadi ini maksud kamu, Leonard?

Maaf, sengaja pakai nama samaran. Sengaja aku pilih nama samaran yang keren, supaya mirip Leonardo di Caprio.

Sebentar, bagaimana kalau malah ada yang menyangka dia seperti Leonard Hofstadter? Oke dia ilmuwan fisika terapan yang handal, baik hati, dan lucu. Tapi dia cupu. Dan cowok yang berada di hadapanku jelas tidak cupu. Tapi menyebalkan.

Ya, kini aku membencinya karena dia sendirilah yang menjadi alasan hilangnya sesuatu yang pernah kumiliki. Kini, dengan alasan yang telah hilang, aku kembali malas datang ke sekolah setiap hari. Selama tiga hari sekali aku pasti mencoba berpura-pura sakit agar tidak masuk sekolah. Meskipun cara itu tidak pernah berhasil di hadapan ibuku, sih. Tapi tetap saja. Dia menghilangkan alasanku untuk datang ke sekolah dengan perasaan bahagia.

Apa ini patah hati?

Rasanya bukan.

Bagaimana kamu bisa patah hati kalau belum jatuh cinta?

Patah hati itu kalau kau sudah jatuh cinta pada rasa coffee sundae-nya Lotteria, lalu tiba-tiba produk itu menghilang dari pasaran. Selamanya. Tanpa alasan yang jelas.

That's definitely gonna break my heart into pieces.


END

Gue nulis apaan sih, ini? 。゚(TヮT)゚。

Temanya patah hati, sih. Seperti yang gue tulis di atas, "Bagaimana kamu bisa patah hati kalau belum jatuh cinta?"

Patah hati terhebat gue sama cowok ya itu. Begitu. Tapi setelah dipikir-pikir, gue enggak suka-suka banget, makanya enggak terlalu berasa.

Malah patah hati sama es sundae kopi Lotteria itu yang gawat. Udah terlanjur jatuh cinta sama rasanya. Gimana dong? Mana udah kecanduan kafein pula ゜+.(。´>艸<)*.☆ (I NEED THAT COFFEE ICE CREAAMM!!)

Sudahlah, ini kan tulisan seseorang yang telat puber dan nggak berharap apa-apa buat menang. Cuma lagi pengin nulis aja, hehe.

Tulisan gaje di atas diikutkan dalam lomba:

Selasa, 06 September 2016

[Flashfiction] Tak Ada Preman yang Tak Sempurna

"Bon! Siap-siap! Preman macam apa lo!" Coki lagi-lagi mengomeli Bon-bon yang sibuk menghabiskan es bon-bon favoritnya. Tak perlu dijelaskan darimana dia mendapatkan nama panggilan seperti itu.

"Bentar, Cok. Nanggung..." rengek Bon-bon.

"Keburu bubar itu SMA Timur! Ayok kita berangkat!" teriaknya lagi.

Coki mendapat julukan seperti itu bukan karena doyan coki-coki, tapi karena kulitnya yang mirip coki-coki saking seringnya terbakar matahari. Dia memang pimpinan preman paling gahar seantero sekolah. Bahkan anak-anak sekolah lain pun takut padanya.

Sayangnya anak-anak SMA Timur tampaknya belum mendengar apa pun soal Coki. Sewaktu school visit minggu lalu, anak-anak SMA Timur menggondol habis hadiah yang telah disiapkan panitia. Padahal biasanya anak-anak sekolah lain kalah atau sengaja kalah kalau harus melawan Coki and the genk.

"Oke, kita berangkat!" seru Coki mengobarkan semangat teman-teman preman sekolah lainnya. Ia melihat sekeliling dan akhirnya sadar, "mana si Untung?"

"Nggak ikutan bos, katanya mau belajar. Besok ujian."

"Aaah!! Lembek kali tu anak!! Jadi preman terlalu rajin dia!" Yang lain mengangguk-angguk setuju.

---
Untuk ke SMA Timur, mereka harus berjalan lebih jauh dari biasanya. Bahkan, mereka harus melewati sawah yang cukup luas.

"GUK! GUK! GUK!" seru anjing yang merasa wilayahnya terusik.

Beberapa orang mundur ketakutan karena ukuran anjing itu cukup besar. Tapi tidak dengan Coki. Dia mengayunkan batang kayu ke tanah hingga menimbulkan suara cukup keras dan membuat anjing itu lari pontang-panting. Teman-temannya pun menyoraki Coki dengan bangga.

Belum jauh berjalan, kali ini mereka berpapasan dengan segerombolan angsa. Tentunya, angsa bukanlah makhluk hidup yang mengancam, apalagi untuk Coki.

Tapi kenyataan berkata lain. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Coki menjatuhkan kayu yang ia pegang dan lari tunggang-langgang. Dan penyerbuan ke SMA Timur pun dibatalkan.

----

"Gue nggak peduli! Udah gue bilang soang itu ngeri cooy!! Lo kalo belom pernah dipatok soang, nggak usah ngomong!!"

Seharian itu, Coki teringat masa kecilnya yang begitu mengerikan. Ingin main petak umpet bersama angsa-angsa cantik di pinggir danau, malah kena patuk berkali-kali. Rasanya malam itu ia tidak bisa tidur nyenyak mengingat trauma masa kecilnya itu.


#MalamNarasiOWOP #OneWeekOnePaper

-nana-
6-9-2016


Minggu, 04 September 2016

Why I Stop Postcrossing

Dari dulu gue punya BANYAK BANGET hobi. Nah, salah satunya adalah berkirim surat dan kartu pos. Kesannya kampungan banget emang. Tapi sumpah, perasaan saat nerima kiriman surat atau kartu pos lengkap dengan perangkonya itu... sulit digambarkan. POKOKNYA BAHAGIA BANGET!

Hobi ini udah mulai sejak gue SD dan udah bisa nulis mulai dari gaya ceker ayam sampe gaya nulis sambung yang dulu dibilangnya nulis bagus. Dulu yang gak nulis sambung itu berarti nulis jelek. Padahal tulisan sambung gue lebih jelek daripada....ah sudahlah, kenapa jadi bahas tulisan?

Intinya, sejak bisa nulis, gue suka banget ngirim surat. Dulu sih yang jadi sasaran ya redaksi majalah bobo dan redaksi tabloid fantasia. Kalau bobo, biasanya gue nyari teman pena, dan nulis surat pembaca. Kalau fantasia, gue mengincar hadiah dengan ikutan kuis-kuisnya :) Semakin nambah umur, gue makin rajin nulis surat. Terutama sama temen-temen gue di Malang yang kayaknya sedih banget gue tinggal ke Jakarta (atau itu cuma perasaan gue doang). Saat itu belum jaman yang namanya email. SMS bisa sih, tapi gue belum dibeliin HP karena masih SMP dan saat itu HP masih mahal banget.

Hobi ini sempet berhenti begitu teknologi melesat begitu cepat. Gue udah pernah cerita sebelumnya betapa gue membenci kecepatan berkembangnya teknologi di sini. Bukan gue yang mau berhenti surat-suratan sebenernya. Tapi temen-temen gue yang masih mau surat-suratan lah yang mendadak hilang D: Sediiiiihh....

Sampai akhirnya gue nemu web bernama Postcrossing
Dan gue TERGILA-GILA!!

Sistem di web itu oke banget! Intinya setelah daftar, kita bisa request alamat random sampai 5 kali. Alamat random ini tersebar di seluruh dunia. Jadi dari Amerika, sampe Zimbabwe, ada! Terus, kita tinggal kirim kartu pos ke alamat yang dituju. Setelah kartu pos kita diterima sama pemilik alamat random itu, saatnya kita yang menunggu KEJUTAN. Orang lain dari negara yang entah di mana, akan mengirimkan kartu pos untuk kita. Dan kita nggak akan pernah bisa nebak akan dapet kartu pos dari siapa, dan negara mana. HOW EXCITING!!

Dan selama kurang lebih satu tahun, hati gue selalu berbunga-bunga tiap dapet kartu pos random di kotak pos gue. Kadang kartunya biasa aja, tapi tulisannya bagus. Kadang kartunya kece banget, tapi tulisannya acakadut. Tapi intinya, tiap kartu pos punya keunikannya sendiri. Dan mengingat kartu pos itu asli dan dikirim langsung dari negara yang berbeda-beda, selalu membuat gue merasa punya temen di negara itu dan dikasih hadiah langsung dari sana. Gimana gue nggak berbunga-bunga? :)

Bahkan gara-gara tuker-tukeran kartu pos ini, gue sampe temenan sama tukang posnya saking seringnya doi mampir ke rumah gue nganterin kartu pos. Gue juga temenan sama pak pos yang ada di kantor pos deket rumah.

Tapi hobi ini akhirnya harus berhenti gara-gara suatu hal. Bukan, bukan negara api yang menyerang...

Tapi karena harga BBM naik...

Harga perangko ikutan naik...

Awalnya sih masih nyoba-nyoba ngirim dengan perangko yang agak mahal sedikit dari biasanya. Kalau biasanya gue kasih perangko 5000-an semua, gue ganti jadi 7000. Sayangnya, lima kartu pos yang kebetulan harusnya dikirim ke Eropa itu akhirnya jadi bumerang. BALIK LAGI KE RUMAH GUE. *nangis*

Gue udah bayar perangko mahal-mahal dan itu kartu pos enggak ada yang sampe. Saking kecewanya, gue mencoba menenangkan diri dan nggak ngirim kartu pos untuk beberapa lama. Setelahnya, gue sempet dapet 1-2 kartu pos dari Thailand dan Belanda. Kartu pos itu cakep banget! Jadi, gue memutuskan untuk nggak berhenti gitu aja. Karena gue masih mau dapet kartu pos lain yang lebih cakep lagi.

TAPIIII...

Meski gue udah pakein perangko 10.000, kartu pos gue tetep balik ke rumah...
MAMAAAAAAAAA.....
Duit gue 70.000 buat beli kartu pos dan perangko semuanya sia-sia....

Ngeluarin segitu tiap kali ngirim 5 kartu pos itu nggak gampang. Bisa dibilang, ini hobi gue yang cukup nguras kantong, sih.

Dan akhirnya gue memutuskan untuk berhenti karena keuangan gue saat itu tidak memungkinkan (T____T) Maunya lanjut lagi kalau udah punya duit banyak. Tapi entahlah...

Selama Pos Indonesia sistemnya masih kacau begini, kayaknya nggak deh. Gue masih trauma. Paling sih ngirim surat ke Okaasan di Jepang aja. Sama ngirim ke beberapa temen di sana. Untungnya kalo ke Jepang baru gagal sekali (tetep aja ada gagalnya, dan ini gak balik ke alamat gue juga. KESEL!).

Barusan juga baca tulisan dari orang Slovakia yang pernah ke Indonesia dan protes karena tarif perangko untuk pengiriman kartu pos di tiap kantor pos beda-beda. Udah gitu ada tukang pos yang nggak tau tarif perangko, pula. Di webnya pun nggak ada tarif perangko yang pasti. Kan apa banget... (._____.)

Masalah-masalah ini belum termasuk paket yang terkadang dibuka seenaknya dan (kadang) diambil juga isinya.

Duh, semoga Pos Indonesia bisa lebih profesional lagi deh. Kalau masa itu tiba, mungkin gue bakal ikutan postcrossing lagi. Kangeeeeennn....

Di postingan ini ada foto-foto saat gue kebanjiran kartu pos di kotak pos tercinta gue...
http://chocobanana99.blogspot.co.id/2012/09/banjir-kartu-pos-dan-kotak-surat-buatan.html