Jumat, 20 November 2015

30-Day Book Challenge - Favorite book of your favorite series

Challenge ini harusnya diselesaikan dalam 30 hari. Tapi nggak apa-apa yes, yang penting gue berhasil jalanin tiga challenge sejauh ini dan belum berniat berhenti. Tetep jalan, itu yang penting! Ahahahahahaha...

Iya, alesan mah kalo dibuat bisa-bisa aja...

Minggu lalu gue udah beberin seri yang jadi favorit gue. Berarti, sekarang gue tinggal milih salah satu buku yang jadi favorit gue dari seri itu.

Total semuanya ada 12 judul

[Cerpen] First Love Story

Tantangan dari saudari Dini yang sungguh apa banget. Yayayayaya.... lagi-lagi soal CINTA. Udah dibilang gue lemah banget kalo soal nggambarin hal yang satu ini. Bagi gue cinta itu adalah abjad c-i-n-t-a digabung jadi satu. Udah.

Susah banget dapetin feel ini untuk nulis cerpen dengan tema CINTA PERTAMA. Berhubung dimintanya pengalaman pribadi, jadilah cerpen based on true story ini. Tentunya dengan tambelan di sana-sini biar jadi satu cerita utuh.

Tapi akuw maluuuuuuwwww >///////<
*ngumpet*

Udahlah, dibaca aja yah.
Lunas loh, Din....


Selasa, 10 November 2015

EPA 9 に頑張ろう!

Buat yang belum tau, EPA itu program JF (Japan Foundation) yang diadain setiap tahun untuk ngirim ratusan calon perawat dan care-worker ke Jepang. Tugas JF yang ada di Indonesia, lebih tepatnya Jakarta, lebih tepatnya lagi di Senayan yang tiap hari nggak pernah nggak macet kecuali kalo car free day, adalah untuk memberikan pelajaran bahasa Jepang pada calon pekerja ini selama enam bulan sebelum mereka berangkat ke Jepang.

Sejujurnya gue sama sekali nggak tau ada program ginian sampe tahun lalu pas gue diajak Pak Frisian untuk gabung sama pihak PERSADA ngajar di EPA 8. Tahun lalu itu, bisa dibilang gue 'nggak sengaja' gabung di EPA. Karena sejujurnya gue sama sekali nggak tau itu program apa, daftar jadi pengajar juga nggak, lalu tau-tau gue jadi salah satu pengajar di sana (.___________.)

Saya clueless sekali....


Jumat, 06 November 2015

[Cerpen] Kakak Ninja di Gunung Waka

Aku benci naik gunung!

Kenapa sih mau liburan saja harus bersusah-susah naik gunung segala? Daripada naik-naik ke puncak gunung—tolong jangan mengucapkannya dengan nada lagu super menyebalkan yang jadi lagu wajib anak-anak—bukankah lebih baik ke pantai atau tempat wisata lainnya? Pemandangan bagus kan bukan hanya di atas gunung.

Oke, mungkin menurut orang lain aku ini berlebihan. Apa salahnya naik gunung? Toh bisa sekalian olahraga sambil melihat pemandangan indah di sekeliling saat naik ke puncak.

Nggak.

Mungkin salah satu alasan kenapa aku benci sekali gunung adalah karena aku tidak mendapat kesenangan seperti orang-orang lain saat pertama kali aku menanjak naik ke salah satu pegunungan Gede yang berada di Jawa Tengah. Saat naik ke atas, beberapa kali kakiku kram hingga tertinggal rombongan. Cuaca kala itu juga kurang mendukung sehingga kami terpaksa memakai jas hujan yang membuat penglihatan semakin kabur. Belum lagi pijakan tanah yang menjadi licin karena air hujan, membuat kami harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Sesampainya di atas gunung pun aku harus bertahan tidur menggigil di dalam tenda, menunggu matahari terbit. Sayangnya, aku gagal mendapat foto matahari terbit yang indah karena tertutup awan nakal. Rasanya detik itu aku ingin membanting kamera mahal yang sudah susah-susah kubawa sepaket dengan tripodnya. Tapi nggak jadi karena sayang. Setelah itu, yang kuinginkan hanya pulang dan makan mi instan.

Sudah susah-susah naik ke atas, ternyata apa yang kudapat tidak sebanding dengan apa yang kuusahakan. Aku malah heran dengan fenomena ‘menyatakan cinta di atas gunung’ yang sedang melanda anak-anak muda Indonesia. Memangnya menyatakan cinta pada orangnya langsung kurang romantis apa? Dekorasi bunga mawar dan lilin juga sudah cukup untuk mempermanis suasana. Kenapa juga harus susah-susah naik ke ribuan kaki di atas laut? Repot.

Itulah mengapa aku agak sensitif saat mendengar kata ‘gunung’.

“Lin, kita udah susah-susah ke Jepang. Kenapa harus ke gunung, sih?” protesku.

“Shen, kamu dengerin penjelasanku dulu dong. Nama tempatnya emang Wakayama (Gunung Waka), tapi tempat yang kita tuju bukan gunung, kok.” Alina memberi jeda pada penjelasannya saat aku mengerutkan kening karena tak percaya. “Hmm... oke, emang gunung sih. Tapi bukan naik gunung kayak yang kamu bayangin. Percaya deh...”

Aku meliriknya dengan curiga, “bener?”

Alina cepat-cepat mengangguk.

“Yang kita akan kunjungi itu Wakayamajo (Kastil Gunung Waka). Memang letaknya agak naik gunung, sih. Tapi kita ke sana naik tangga, kok. Nggak seperti yang kamu bayangin deh, pokoknya,” terang Alina seraya meyakinkanku kalau perjalanan ini tidak seburuk apa yang kupikirkan.
Alina memang sudah tinggal di Jepang selama beberapa bulan untuk melanjutkan studinya di salah satu universitas di Osaka. Dulu kami satu universitas di Jakarta. Sayangnya, Alina lebih beruntung hingga mendapat beasiswa untuk belajar di negeri matahari terbit ini. Sementara aku hanya bisa kemari selama seminggu untuk liburan. Itu pun setelah aku menabung bertahun-tahun. Alina memang lebih paham daerah ini dibandingkan aku, itu sudah pasti. Aku coba percaya saja padanya. Semoga perjalanan kali ini tidak mengecewakan.

***

Hari ini kami bangun lebih pagi karena jarak dari Osaka ke Wakayama cukup jauh. Kami harus naik kereta kurang lebih satu setengah jam sebelum sampai di sana.

Perjalanan kami berlalu tanpa masalah yang berarti. Kami tiba di sana sepuluh menit lebih cepat dari perkiraan. Begitu selesai mengumpulkan informasi di tourist information center, kami langsung menuju tempat yang dimaksud dengan bus, kurang lebih sepuluh menit. Aku senang karena akhirnya bisa mempraktekkan kemampuan bahasa Jepangku saat bertanya tadi. Petugas di tourist information center tampaknya sedikit terkejut saat orang asing sepertiku bertanya dalam bahasa Jepang yang cukup lancar. Sebelum pergi dari ruangan itu pun, ia sempat memuji bahasa Jepangku.

“Nah, sampai deh. Dari sini kita jalan,” terang Alina.

“Waw!” Aku terkagum-kagum melihat gerbang kayu yang begitu besar di hadapanku. Untuk masuk ke dalam pun kami harus melewati jembatan yang cukup besar yang di bangun di atas kolam besar. Aku dapat melihat ikan-ikan besar yang berebut makanan saat ada seseorang yang melempar potongan roti atau kue. Ikan-ikan tersebut benar-benar besar! Lebih besar daripada gurame yang disajikan restoran mahal di Indonesia. Melihatnya saja membuatku ingin nyebur ke kolam.

Err... Nggak juga, sih. Aku cuma bercanda.

“Ayo!”

Aku pun berlari kecil menyusul Alina yang telah melalui gerbang dan masuk ke dalam. Sepanjang jalan, di sebelah kiri kami terdapat pepohonan rindang serta taman yang cukup indah. Sementara di sebelah kanan kami terdapat tembok batu yang menjulang tinggi ke atas. Sepertinya kastil yang dimaksud oleh Alina berada di atas tebing batu buatan manusia itu.

Kami berjalan dan terus berjalan di jalanan yang menanjak landai tersebut. Aku tak merasa terlalu lelah karena kami sesekali berhenti untuk foto dengan bunga-bunga indah yang ada di taman. Namun ketika sampai di ujung, aku mulai mengeluh.

“Perasaan udah jalan jauh banget, tapi kok belum sampai-sampai, ya?” Aku berhenti dan mengatur nafasku yang mulai tak teratur.

“Ini belum ada setengahnya. Lihat kan di tebing batu depan itu ada tangga? Kita harus naik tangga itu untuk sampai di atas.”

Aku melihat tangga itu tak percaya. “Setinggi itu!?”

“Yah... namanya juga kastil di gunung...”

Dasar Alina penipu! Naik tangga sih naik tangga, tapi kalau tangganya setinggi bukit begitu ya sama saja capeknya dengan naik gunung! Menyebalkan!

Namun karena Alina dengan super tega meninggalkanku di bawah dan langsung naik sendirian ke atas, mau tak mau aku juga ikut naik. Alina juga tahu aku tidak akan bisa pulang sendiri ke apartemennya. Dia tidak memberiku pilihan lain.

Anak tangga demi anak tangga kunaiki, namun sepertinya tangga itu tak akan pernah berakhir. Jalan ke atas juga semakin menyempit dan membuatku kesulitan berjalan. Tambah lagi, turis-turis yang berjalan turun di sebelah kanan juga menambah sempit tangga itu.

Setelah kurang lebih satu jam, kami akhirnya tiba di satu taman yang dibatasi oleh pagar yang tak terlalu tinggi. Bunga-bunga di sini lebih indah, dan pemandangan dari atas bukit tampak sangat menawan. Aku yang kelelahan setengah mati meminta Alina untuk duduk-duduk dulu di taman.

“Mana kastilnya?” tanyaku.

Alina diam sebentar sebelum menjawab, “mmm... masih naik lagi...” Ia menunjuk tangga berukuran 1-1,5 meter yang dibagi dua untuk jalan naik dan turun. Tangga itu jauh lebih curam daripada yang kami lewati sebelum ini. Benar-benar seperti jalan setapak.

“Alina...” kataku parau. Rasanya ingin aku mencekiknya saat itu juga.

“Hehehe.” Alina tertawa tanpa menunjukkan wajah bersalah. 

Kami menghabiskan waktu yang cukup lama di taman itu. Oke, lebih tepatnya, aku. Sejak tadi Alina sudah mulai menarik-narik tanganku untuk naik lagi. Namun aku menolak dan memintanya istirahat lagi selama beberapa menit ke depan. Saat Alina menyerah dan membiarkanku, di depan kami berdua lewat seorang nenek yang sudah amat renta. Punggungnya bungkuk dan ia berjalan perlahan menggunakan dua tongkat. Kami terus saja memperhatikan nenek itu berjalan melewati kami. Lama kemudian, nenek itu mulai menanjak naik tangga yang sejak tadi terus kuhindari. Mulutku menganga lebar.

“Astaga...” ujarku terkejut, setengah takjub.

Alina terkekeh. “Lansia di sini kuat-kuat, lho. Karena mereka tiap hari jalan, nggak heran di umur segitu masih bisa naik gunung.”

Detik itu juga aku merasa malu. Masa kalah sama nenek-nenek!?

“Ayo jalan!”

Alina terkekeh lagi.

***
Setelah bersusah payah, peluh tertumpah, dan napas tinggal setengah, kami akhirnya sampai di atas. Kastil Wakayama berbeda jauh dengan Kastil Osaka yang begitu besar. Kastil ini memang kecil. Di sekelilingnya masih banyak pohon dan tumbuhan yang tumbuh secara alami. Jika melihat ke bawah, masih banyak hutan yang membentang luas hingga ke bawah. Pemandangan ini memang sederhana, tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hutan dan gunung yang ada di Indonesia. Namun rasanya ini juga tak kalah menakjubkan.

Kami menikmati waktu santai kami di bangku-bangku depan kastil sambil memakan es krim yang kami beli dari mesin penjual otomatis. Hanya ada beberapa toko kecil di sekitar kastil ini. Sisanya adalah mesin penjual otomatis yang menyediakan macam-macam seperti minuman dingin dan es krim. Benar-benar cocok di musim panas seperti ini.

Seperti yang telah kusebutkan tadi, kastil ini tidak ada apa-apanya dibanding Kastil Osaka. Namun Kastil Wakayama memiliki keunikan tersendiri. Para guide yang tersebar di sekitar kastil, semuanya menggunakan kostum ninja, lengkap dengan senjata yang biasa digunakan para ninja seperti shuriken dan pedang yang tak terlalu panjang. Mereka menjelaskan informasi mengenai Kastil Wakayama dengan wajah riang pada turis-turis mancanegara yang datang ke sini. Beberapa diajak untuk berfoto bersama. Beberapa diminta untuk berpose layaknya ninja. Kami pun akhirnya menghampiri salah satu guide perempuan dan memintanya berfoto bersama kami. Suasana yang benar-benar menyenangkan.

Setelah melewati beberapa waktu di atas, kami akhirnya turun gunung. Tangga yang tadi begitu berat kulalui, tak terlalu terasa panjang begitu kami turun. Tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di bawah lagi.

Ketika kami akan melangkah menuju gerbang, pandanganku terpaku pada satu guide berpakaian ninja yang sedang bermain bersama tiga bocah Jepang. Kakak ninja yang kutaksir berumur kepala dua itu menunjukkan beberapa teknik ninja pada bocah-bocah yang mengerubunginya. Bocah-bocah itu terlihat sangat senang. Lalu tiba-tiba kakak ninja itu mengeluarkan kain berwarna abu-abu yang cocok dengan dinding batu di belakangnya. Ia pun menunjukkan teknik ninja bersembunyi di balik kain tersebut. Tanpa sadar aku tertawa terbahak-bahak karena kain motif batu itu benar-benar terlihat palsu. Mau sembunyi seperti apa pun dia pasti akan ketahuan.

Ketiga bocah dan kakak ninja itu sontak menoleh padaku. Bocah-bocah itu menatap padaku heran, mungkin karena aku sama sekali tidak mirip orang Jepang. Sementara si kakak ninja tersenyum padaku dan menundukkan kepalanya sedikit untuk memberi salam. Aku terkejut dan ikut memberinya salam dengan menundukkan kepalaku. Saking gugupnya, aku lupa untuk membalas senyumannya dan melangkah meninggalkan tempat itu.

“Kakak ninjanya cakep, ya. Mau foto deh...” kataku dengan suara pelan.

Alina melirikku dengan pandangan curiga. “Naksir ya? Dasar! Kalo mau foto bilang dong. Mau balik lagi?”

Aku berhenti melangkah, menatap mata Alina, lalu berbalik. Akan tetapi sebelum sempat berjalan kembali ke tempat tadi, aku berjongkok dan menutup kedua wajahku dengan telapak tangan. “Tapi maluuu....”

Kepalaku digeplak Alina. “Payah!” ejeknya sadis.

“Kapan lagi bisa foto sama dia, kan? Lo kan nggak lama-lama di sini...” ujarnya persuasif.

Diiringi kalimat-kalimat Alina yang menantang, kami benar-benar melangkah kembali ke tempat tadi. Aku melangkah dengan lambat dan ragu-ragu karena tak yakin berani untuk meminta foto dengan ninja tadi.

Begitu sampai di tempat tadi, kakak ninja yang begitu ramah pada bocah-bocah itu sudah tidak ada. Dia pasti sudah naik kembali ke kastil dan menjalankan tugasnya. Aku dan Alina pun memutuskan untuk pulang.

Saat itu, terdengarlah sayup-sayup suara musik dari kejauhan. Karena penasaran, kami pun melangkah mendekati suara. Sepertinya ada pesta terbuka atau semacamnya. Begitu kami tiba di tempat musik itu berasal, ternyata memang ada pesta. Semua pesertanya lansia dan tampaknya mereka bersenang-senang di sana. Tapi pesta itu telah berakhir. Mereka memang masih mengobrol dengan gembira diiringi alunan musik tradisional yang diputar dengan menggunakan sound system modern. Bangku-bangku yang tak terpakai mulai dibereskan oleh para guide yang berpakaian ninja. Disitulah aku melihat kembali kakak ninja yang barusan.

“Itu dia!” kataku tak mampu menyembunyikan kebahagiaan.

“Mana?” Alina mencari-cari lewat sudut matanya. “Oh iya! Ayok samperin!”

Alina melangkah maju dengan cepat, namun aku menarik tangannya. “Jangan!” kataku panik. “Nanti ketahuan banget dong gue ngejar-ngejar dia...”

“Yaelah, masih gengsi aja. Kapan lagi, kan? Malu cuma sekali, ini. Nanti pas lo balik juga nggak akan ada yang inget...”

“Tapi...”

Waktu kami berdua tarik-tarikan, seorang nenek menghampiri kami. Dia nenek dengan dua tongkat yang tadi kami lihat naik ke atas kastil dengan semangat.

“Ada apa?” katanya dengan bahasa Jepang yang agak sulit ditangkap telingaku.

“Temanku mau foto sama ninja,” ujar Alina tanpa tedeng aling-aling seraya menunjuk ke arah pesta lansia itu.

“Ooh... mau foto? Ayo saya antar ke sana,” ucapnya seraya tersenyum ramah.
Aku masih malu, namun akhirnya tetap mengekor di belakang si nenek dan Alina yang terlalu bersemangat.

Kami bertiga menghampiri kumpulan guide yang masih sibuk. Tetapi begitu si nenek meminta mereka untuk berfoto denganku, semuanya langsung berhenti mengerjakan apapun. Kakak ninja yang kami temui tadi, kembali tersenyum padaku. Dia masih ingat. Hahaha. Siapa sih yang nggak inget cewek aneh yang tiba-tiba tertawa saat kau sedang menghibur anak-anak?

Tujuanku berfoto dengan kakak ninja tadi akhirnya tercapai. Meski pada kenyataannya kami bukan foto berdua, melainkan berfoto bersama seluruh guide yang ada di situ, juga bersama nenek dan kakek yang masih ada di tempat. Kakak ninja yang akhirnya aku tahu bernama Kentou, menanyakan asal negaraku. Sementara yang lain juga ikut bertanya macam-macam hal. Kami jadi mengobrol cukup lama dengan orang-orang Jepang yang ada di situ sebelum akhirnya benar-benar pamit dan pulang.

“Hati-hati pulangnya ya. Kapan-kapan main ke sini lagi!” seru Kentou seraya melambaikan tangannya.

Aku pulang dengan hati berbunga-bunga.

Di perjalanan, Alina menyenggol lenganku dan berkata, “gimana rasanya pergi ke gunung?”


“Asyik!” jawabku dengan senyum lebar.

THE END

Ini kisah nyata yang akhirnya gue tulis dalam bentuk cerpen dengan tambahan disana-sini. Ehehehehe. Aslinya, gue nggak jadi foto sama si kakak ninja ganteng itu saking malunya nyamperin dia lagi cuma buat minta foto. Pada akhirnya, keinginan gue yang nggak tersampaikan itu malah gue wujudkan dalam bentuk cerpen. Asalkan ada khayalan dan imajinasi, semuanya bisa terjadi. Ahahahahahahahaha. Malu deh jadinya.... tapi beneran nyesel kenapa waktu itu nggak minta foto dia sama anak-anak Jepang yang lagi main itu....

Setsu, Dewi, kenapa kalian nggak nyeret-nyeret gue sekalian biar jadi foto. Uhuhuhuhuhu~
*menyesaaaallll*

Kapan-kapan kalau ada kesempatan ke Jepang lagi, pasti gue main ke Wakayamajo lagi :))



istirahat di atas bukit sebelum berjuang naik tangga lagi menuju Wakayamajo
Deket dinding batu tempat si kakak ninja cakep mainan sama bocah-bocah


30-Day Book Challenge - Your favorite series

Sejujurnya ada dua kandidat kuat untuk pertanyaan yang satu ini. Ada dua series yang terus tertinggal di hati sampe sekarang. Kebetulan dua-duanya fantasi, dan dua-duanya udah dibuat film meski yang satu agak gagal gitu.

Kandidat yang pertama adalah....


YES, PERCY JACKSON!

Seri yang satu ini membuat gue nggak berhenti baca sepanjang lima novel. Kebetulan gue juga beli sekaligus karena ada diskonan di book fair. Dapet kaos gratisan pula. Jadi napsu langsung beli deh. Untungnya ceritanya benar-benar nggak mengecewakan. Bagus banget, malah. Salah satu seri yang membuat gue suka banget sama karakter utama. Padahal biasanya karakter utama itu menurut gue kurang lovable. Tapi Percy itu lovable banget. Meski di samping dia banyak juga karakter-karakter lovable lainnya dalam seri ini. Filmnya sejauh ini udah sampe seri kedua, dan menurut gue sih cukup memuaskan. Apalagi seri yang kedua. Hehehehe :D

Kandidat yang kedua adalah....

maap, gak nemu cover versi englishnya....

DARREN SHAN SAGA!

Mulai dari "Cirque du Freak" sampai "Sons of Destiny", semuanya bikin jantungan. Ini seri novel horor terbaik menurut versi gue. Gue pikir, gue nggak akan menemukan cerita vampir yang masuk akal. Tapi saking masuk akalnya cerita ini, gue sempet berpikir vampir itu beneran ada. Apalagi, Darren Shan juga membuat karakter utama dalam novel ini adalah dirinya sendiri. Beneran terkesan nyata sampe bikin merinding. T.O.P.B.G.T. Lah pokoknyamah....
Sayangnya, filmnya kurang memuaskan. Ya masa 12 novel dirangkum jadi satu film? Gak asik dong? Mana cerita petualangan Darren jadi pangeran vampir? Mana kisah cintanya Evra Von sampe akhirnya dia nikah dan punya anak? Mana kisah sedihnya Mr.Crepsley sampe akhirnya jadi vampir?


Kamis, 05 November 2015

Suara Ketukan Pintu

Tiga kali suara ketukan di pintu kamar membangunkanku yang sedang tertidur nyenyak. Bagiku, suara itu adalah alarmku di pagi hari, sekaligus suara yang selalu kutunggu-tunggu kehadirannya.

Aku menanggalkan selimut yang kupakai dan segera berdiri dan berjalan menuju pintu. Begitu pintu kubuka, kini bisa kulihat seorang anak yang selalu menyambutku dengan senyuman manisnya.

"Pagi, dek. Enak tidurnya? Mau sarapan apa?" tanyaku riang.

Adik kecilku, Rika menunjukkan gigi-geliginya yang putih bersih. Itu tandanya ia akan memakan apa pun yang kubuatkan untuknya. Seperti biasa. Aku pun segera mengikat rambutku dengan karet gelang dan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Orangtua kami telah lama tiada. Ayah meninggal karena kecelakaan saat aku masih kecil. Sementara Ibu meninggal tak lama setelah melahirkan Rika. Ibu mengalami pendarahaan hebat. Sementara itu Rika kecil berhasil selamat setelah para dokter mati-matian berusaha merawatnya. Sayangnya, Rika kehilangan suaranya sejak dilahirkan di dunia. Dan bagi anak kecil yang malang itu, hanya akulah satu-satunya tempat ia bergantung.

Aku tidak pernah keberatan, tentu saja. Dia adik kecilku yang manis. Dia tidak pernah mempertanyakan mengapa dirinya tak sempurna seperti orang-orang lain. Baginya, asal masih ada aku di sampingnya, dia akan terus tersenyum dan baik-baik saja. Akhir-akhir ini dia belajar menulis hingga akhirnya mengirimkan selembar surat untukku. Surat itu ia selipkan dari bawah pintu kamarku setelah mengetuk pintunya tiga kali. Dalam surat itu hanya tertulis satu kalimat, namun mampu membuatku menangis terharu saking senangnya.

'Rika sayang Kak Rita.'

...

Sebagai seorang penerjemah, aku lebih banyak bekerja di rumah. Pekerjaan ini juga menjadi pilihan terbaik karena memungkinkanku untuk menjaga Rika setiap saat. Setiap bekerja, aku menutup pintu kamar agar bisa sedikit konsentrasi. Rika hanya perlu mengetuk pintu itu tiga kali jika ia butuh sesuatu. Aku pun dengan sigap akan membantu Rika dan meninggalkan pekerjaanku sejenak.

Namun beberapa hari ini semuanya berbeda. Kemalangan besar menimpa diriku. Aku sedih hingga menangis sejadi-jadinya selama beberapa hari. Ketukan di pintu kamarku kini tak lagi membuatku bersemangat. Malah, setiap suara ketukan itu terdengar, aku selalu melemparkan benda apapun yang ada dalam jangkauanku ke arah pintu hingga menimbulkan suara keras.

'TOK! TOK! TOK!'

'PRAANG!!'

Kali ini aku melemparkan gelas beling yang ada di atas meja kerjaku. "DIAAM! DIAM! JANGAN KETUK PINTU KAMARKU LAGI!!" teriakku frustasi.

Rika telah tiada beberapa hari yang lalu, namun suara ketukan pintu itu tak pernah pergi meninggalkanku sendiri.

Senin, 02 November 2015

Why Must Angst When I Can do Comedy?

"Nana coba nulis angst dooong~"

"Angst buatan kamu lumayan kook, bener deh..."

"Bikin angst lagiiii!"



OH MY GOD. WHY?

Ada alasan gue sangat menghindari genre yang satu ini, baik baca, nonton, maupun nulisnya. Terlebih kalo genrenya ditambah lagi sama 'tragedy'. Waaaaahh.... mending kabur sambil cari hiburan lain aja.

Guys, gue ini lemah sama cerita sedih....

Gue kan gadis kecil dengan hati yang begitu rapuh....

*lalu dilempar ke blackhole*

Serius deh. Gue nggak tau kapan punya penyakit semacam ini. Tapi kalau dalam kehidupan nyata, aslinya gue nggak selemah itu. Mental gue sekuat baja, kok. Yah, nggak baja deh...besi bolehlah. Tapi ntah kenapa kalo baca buku atau nonton film yang ada adegan-adegan sedih dikit aja bisa bikin gue mewek. Aslinya gue nggak mau ngebocorin ini karna. MALU BANGET TAUK! Ntah kenapa rasanya nggak pas aja sama imej gue gitu. Ahahahahaha xD

Tapi....yah, lama-lama ketauan juga sih. Apalagi kalo lagi nonton bioskop bareng temen, terus tau-tau gue sok-sok ngucek-ngucek mata, padahal lagi mewek.

Bilang gue sakit atau apa, tapi gue mending nonton SAW sekalian daripada film modelan 1 Litter of Tears.

Soal nulis angst juga, sebenernya gue nggak mau. Cuma jiwa kompetitif dalam diri gue pernah menang beberapa kali sampe akhirnya beneran nulis angst.

lalu nangis.....

Kalian gatau apa gue nulis angst abal-abal kayak gitu aja sampe nangis bombay?? Gimana gue nulis angst-tragedy? Mendingan gue main tetris aja deh....

Gue nulis soal ini karena kebetulan inget antologi begal cinta, yang gue juga ikut berpartisipasi di dalamnya. Temanya dari awal adalah "cinta yang dicuri", udah jelas ini mengarah sad-ending banget, kan? Tapi gue nggak mau. Gue bener-bener nggak mau nulis sad-ending. Mending karakternya gue bikin mati sekalian tanpa merasakan sakit hati daripada hidup menanggung derita. #apaseh

Akhirnya dengan segala kemampuan otak yang gue punya, gue tetep bikin cerpen gue happy ending, meskipun temanya angst banget.

BECAUSE EVERYONE DESERVE TO BE HAPPY!

Gue kan cinta sama semua karakter yang gue buat. Gue nggak mau dong mereka berakhir mengenaskan. Seenggaknya walaupun mereka terpaksa mengalami kemalangan, tetap ada kebahagiaan yang terselup untuk mereka. Kalo gue terus-terusan merobek-robek hati mereka dengan kejadian-kejadian yang mereka alami, guenya yang nggak tega. Kan gue lemah lembut, kayak marshmallow.

Seorang penulis kawakan bilang "kalau happy terus, apa yang mau diceritain?"

Well, gue nggak bilang sepanjang cerita harus happy. Tapi gue nggak mau bikin cerita yang menonjolkan penderitaan tokoh utamanya banget. Konflik nggak harus terus-terusan bikin tokohnya menderita, kok. Makanya gue suka banget komedi. Karena cerita-cerita komedi selalu melihat masalah dari sisi yang berbeda.

Sejujurnya, sih. Terkadang gue mikir kalau keputusan gue untuk terus di genre komedi itu untuk nyari aman. Gue bisa bikin kisah yang sederhana asal disampaikan dengan menarik dan lucu. Daripada gue harus bikin cerita dengan tema yang berat, pan? Otak gue gak nyampe. Dan daripada gue harus bikin angst. Nanti airmata gue keburu abis sebelum ceritanya selesai. Ternyata cuma satu genre ini yang gue bisa.

Ada satu draft novel yang sejauh ini udah mateng banget, tapi jujur aja, gue nggak sanggup nulisnya. Meskipun rencananya happy ending, konfliknya cukup parah sampe bisa nyayat-nyayat hati gue sendiri. Lebay banget, yak? Tapi serius deh.... Akoohhh gak sangguuup kakaaaaaakkk....

Udahlah, sementara hati gue belum siap (dan kayaknya gak akan siap), gue nggak akan nyoba-nyoba nyentuh angst-angst lagi. Sereeeeemm......