Kamis, 04 Februari 2021

Pada Akhirnya Kenyamanan Adalah yang Kita Cari

Belakangan, kalau ketemu temen seangkatan, pasti yang diomongin soal kerjaan. Ya, nggak seangkatan juga, sih. Pokoknya temen-temen yang sama-sama udah kerja beberapa tahun dan ngerasain kerja di beberapa tempat dengan berbagai kondisi (dan gaji) haha. 

Milih tempat kerja itu emang nggak gampang. Nggak segampang waktu kita dulu milih SMP, SMA, atau Universitas. Waktu SMP-SMA, biasanya milih berdasarkan kepopuleran sekolahnya (itu juga kalau nilainya cukup, wkwk). Ya kalo gue sih milih berdasarkan jarak. Supaya bisa tidur lebih lama dan gak ngabisin waktu di jalan. Waktu milih Universitas, lebih sulit karena ada pilihan jurusan dan juga urusan uang kuliah.

Lulus kuliah, sebenarnya pilihannya nggak terlalu sulit. Karena untuk fresh graduate, yang penting kerja dulu dan nggak nganggur kelamaan. Alhamdulillah gue termasuk salah satu yang beruntung karena udah punya kerjaan, bahkan sebelum lulus kuliah.

Semakin bertambah pengalaman, pada akhirnya kita menjadi semakin pemilih. Nggak mau yang gajinya terlalu kecil, nggak mau yang bosnya rese, nggak mau yang lingkungan kantornya gak asyik, nggak mau kalau gak sesuai passion, nggak mau ini, nggak mau itu. 

Muncul juga pemikiran lain yang akhirnya menjadi pertimbangan seperti "kalo tau kerjanya kayak gini mah gue ogah digaji segini", "gabut banget rasanya gue kerja di sini. Skill gue gak berkembang", "karir gue gak akan naik di tempat kayak gini, gaji aja gak naik-naik."

Dan banyak lagi hal yang jadi pertimbangan untuk kita bertahan, pindah, atau memilih pekerjaan baru.

Namun setelah lama kerja, gue sadar kalau pada akhirnya kenyamanan adalah yang kita cari. Bukan perusahaan ternama, bukan gaji besar, bukan karir, tapi pekerjaan yang tidak mengganggu hal-hal lain yang sebenarnya ingin kita lakukan, atau pekerjaan yang tidak mengganggu idealisme atau prinsip yang kita pegang. Sebab, pekerjaan bukanlah yang nomor satu. Pekerjaan hanya salah satu faktor penting untuk bertahan hidup, tetapi tetap bukan segalanya. 

Beruntunglah kalian yang memang melakukan passion sebagai pekerjaan. That's wonderful. Tapi nggak semua orang bisa seberuntung itu, karena nggak semua orang punya kesempatan yang sama. 

Dulu, gue pernah melakukan pekerjaan yang sebenernya gue suka (banget, gak boong), tapi kesenangan pekerjaan itu tidak berbanding lurus dengan gaji dan juga harus dibayar dengan hari sabtu-minggu gue yang nggak pernah libur. Libur gue hari senin, kayak museum. Tapi dibanding pekerjaan itu, ada satu hal yang lebih gue sukai. Sayangnya, gue beberapa kali harus melewatkan momen penting dari hal yang gue sukai itu karena pekerjaan. Terakhir, gue sempet nangis kecewa karena gue menang lomba review novel dan berkesempatan ketemu langsung sama penulisnya, ditraktir makan steak dan dapet kesempatan untuk ngobrol sama dia di restoran, tapi pada akhirnya gue nggak bisa pergi karena gue harus kerja hari Sabtu dan waktu itu belum bisa ambil cuti.

Sedih. Tapi lebih sedih lagi karena kalau gue terusin, gue akan banyak mengalami kekecewaan kayak gitu lagi. Selain itu juga, gue ketinggalan banyak hal bersama temen-temen gue karena sabtu-minggu gue full booked buat kerja. Basicly, I have no life. Libur hari senen gue mo ke mane? Ke museum juga tutup.

Berhenti dari pekerjaan yang satu, beralih ke pekerjaan yang lain. Ketika suasana cocok, gaji lumayan, jobdesk sesuai kemampuan, harusnya gue bersyukur. Tapi ternyata, pekerjaan yang satu ini cukup mengganggu idealisme dan prinsip yang gue pegang selama ini. Pada akhirnya gue memutuskan berhenti juga karena nggak mau hari-hari gue dipenuhi kejulidan karena harus ngedumel tiap hari menghadapi kenyataan di tempat kerja. 

Setelah menghadapi banyak hal kayak gitu, kriteria utama yang diperlukan untuk mencari pekerjaan adalah, lo nyaman apa nggak

Tentu saja, hal ini hanya berlaku untuk orang yang sudah berprivilese untuk memilih pekerjaan mereka, yaitu mereka-mereka yang udah lama bekerja dan punya banyak pengalaman. Bukan untuk kamu para fresh graduate yang baru mau cari kerja. Untuk kalian, cari pengalaman aja dulu. Pelajari dunia kerja dan cobalah bertahan sambil mencari apa yang nyaman untuk kalian. Lo maksain untuk langsung nyari pekerjaan yang nyaman pun nggak ujug-ujug bakal ketemu juga. Karena kamu baru bisa tau mana yang nyaman setelah merasakan banyak ketidaknyamanan.







Rabu, 25 November 2020

Hidup Tanpa Stress, Hidup Tanpa Penyesalan

Hidup itu berat, bikin stress, sampai terkadang rasanya nggak tahan lagi dan mau udahan aja. Tapi, mau bunuh diri juga nggak boleh, dosa. Nanti di akhirat malah lebih stress lagi karena disiksa, gimana?

Kata orang-orang sih hidup gue jauh dari kata stress atau pun depresi. Ya iya juga, sih. Mungkin.

Bukan berarti masalahnya nggak berat. Mungkin sama-sama berat. Tapi karena pada dasarnya gue bukan orang yang overthinking, jadinya nggak gampang stress. Mungkin orang yang dasarnya overthinking, susah untuk menjalani hidup dengan cara gue. Karena banyak dari mereka yang bilang kalau mereka sebenarnya nggak mau overthinking juga, tapi otomatis kepikiran gitu. 

Gue nggak tau juga sih tulisan ini bakal bisa membantu atau nggak, tapi gue mau mencoba merumuskan isi otak gue, apa yang biasanya gue pikirkan supaya gue nggak stress dan happy terus. Ya nggak happy terus, sih, lebih ke... hmm... santai terus. Gitu deh pokoknya.

1. Hari ini pasti akan berakhir

Seberat apa pun hari yang kamu jalani, satu detik tetaplah satu detik. Dan dalam 24 jam, hari ini pasti akan berakhir juga. Walaupun ketika menjalani hari yang berat itu, rasanya seperti ribuan kali lebih lama daripada hari-hari biasa, sebenarnya waktu berjalan sama seperti biasa. Jadi, gue biasanya menanamkan pemikiran itu waktu hari-hari gue terasa berat dijalani. Selama hari berat yang kamu jalani itu nggak sampai mengancam nyawa, nggak apa-apa. Pasti akhirnya terlewati juga. Pasti. 

Kalau sampai mengancam nyawa kamu, itu baru saatnya untuk.... PANIK.

2. Pikirkan nanti, saat memang perlu berpikir

Ketika gue mencium adanya masalah yang akan berkembang besar di kemudian hari, biasanya gue berpikir keras harus melakukan apa untuk mengatasi masalah itu. Tapi kalau dipikir sekeras apa pun tetap nggak ketemu jawabannya, yaudah, nggak apa-apa. Soalnya sampai situlah batas kemampuan otak gue berpikir. Nggak apa-apa, pikirkan nanti ketika masalah itu beneran datang dan memang perlu dipikirkan kembali. Sebelum itu terjadi biarkan takdir melakukan tugasnya. Jalani hari-hari seperti biasa. Kadang-kadang masalah yang kita prediksi malah nggak terjadi sama sekali. Jadi kalau terlalu berpikir keras dari awal sampai saat itu, rasanya malah rugi, sia-sia, dan buang-buang waktu. 

3. Ingat kembali pengalaman terburukmu

Tiap orang punya pengalaman buruk dalam hidupnya. Ketika gue mendapat masalah berat, biasanya gue melihat kembali ke masa lalu dan mulai membandingkan. Apakah masalah gue saat ini lebih berat dari masalah gue sebelumnya? Biasanya sih nggak. Jadi karena pengalaman terburuk aja udah bisa gue lewati, nggak ada yang perlu gue khawatirkan untuk melewati masalah yang levelnya nggak lebih berat daripada sebelumnya.

Kalau ternyata lebih berat, itu baru saatnya untuk.... PANIK.

4. Hati-hati membuat keputusan, pastikan kamu nggak akan menyesal di masa depan

Gue selalu berhati-hati ketika membuat keputusan. Setelah memikirkan semua kemungkinan yang mungkin terjadi, gue biasanya berjanji sama diri sendiri untuk nggak menyesal dengan keputusan gue. Bahkan, ketika sesuatu hal tak terduga terjadi dan ternyata keputusan yang gue ambil salah. Karena di titik gue mengambil keputusan, gue akan pasrah sama hasilnya. Jujur, sih, setelah menerapkan ini gue beneran merasa hidup tanpa penyesalan dan rasanya bahagia. Lagipula, seberapa pun kita menyesal, masa lalu nggak akan bisa diubah. Tenggelam dalam penyesalan cuma buang-buang waktu.

5. Lakukan demi diri sendiri, jangan demi orang lain

Ketika memutuskan untuk melakukan sesuatu, lakukanlah demi dirimu sendiri. Mau dapat ridha Allah, itu kan demi diri sendiri juga. Kalau kamu melakukannya untuk orang lain, ketika usahamu tidak dihargai, kamu akan kecewa. Sebaliknya, kalau melakukan untuk dirimu sendiri kamu nggak akan peduli apa balasan dari orang lain, yang penting ketika kamu melakukan itu kamu udah bahagia. Penghargaan dari orang lain tidak penting. Ini berlaku bahkan ketika kamu berharap sesuatu yang sepele dari orang lain seperti ucapan terima kasih. Kalau kamu melakukan sesuatu untuk mendapat rasa terima kasih, kamu akan marah ketika bertemu orang yang tidak tau terima kasih. Tapi kalau kamu memberikan sesuatu pada orang lain karena memang kamu ingin melakukannya, kamu senang melakukannya, kamu tidak akan masalah dengan apa pun respon dari si penerima. Nggak diucapin terima kasih nggak apa-apa, tapi kalau diucapin makasih, itu akan jadi bonus dan jadi berkali-kali lipat lebih bahagia. Asyik, kan?

6. Kamu perlu kecewa untuk tau rasanya bahagia

Yang terakhir hak cipta untuk Fiersa Besari dari lagu "Pelukku untuk Pelikmu", wkwk. Ini bener banget, sih. Kalau setiap hari bahagia, pasti itu bukan jadi rasa bahagia lagi, tapi jadi rasa yang biasa aja. Kadang-kadang ketika kita merasa marah, kecewa, sedih, coba dirasain aja jangan dilawan. Karena rasa itu nggak akan selamanya. Balik lagi ke nomor satu, pasti akan berakhir. Karena detik demi detik berlalu dalam tempo yang sama. Rasa kecewa yang kita rasakan karena seseorang pasti akan tergantikan bahagia yang kita rasakan karena seseorang yang lain. 

 7. Maklumi dirimu sendiri 

Kayaknya ini yang paling sering gue lakukan ke diri sendiri. Gue sering memaklumi diri gue sendiri. Wkwkwk. Ini saran yang sangat berlawanan banget sama saran dari motivator untuk menjadi orang yang sukses. Iya, gue kayaknya bukan pribadi yang akan menjadi orang sukses di kemudian hari. Wkwkwk. Gue sering banget bilang "nggak apa-apa" ke diri sendiri. Kadang-kadang terlalu ekstrem sampai-sampai banyak banget tugas terbengkalai dan gue tetep bilang "nggak apa-apa" ke diri sendiri. Monmaap ini kayaknya pembenaran atas suatu kemalasan belaka. Tapi pada intinya, nggak ada pekerjaan yang lebih penting daripada kebahagiaan dan kewarasan gue. Jadi nggak apa-apa.


Yah, kira-kira itulah sepotek isi otak gue. Semoga yang melihat gue sebagai pribadi yang selalu santai dan nggak pernah stress bisa sedikit memahami kenapa gue menjalani hidup seperti sekarang ini. Mungkin gue nggak akan sukses di kemudian hari karena nggak bisa mengikuti disiplin rata-rata orang-orang sukses di luar sana. Tapi gue udah membuat keputusan dari jauh-jauh hari untuk lebih mementingkan kewarasan daripada kesuksesan. Eh, nggak gitu deh. Gue akan buktikan bahwa gue tetap bisa sukses dengan cara yang santai dan nggak ngoyo. Wkwkwk.

Salam empat jempol!!

Maju terus hidup santuy!!

 


Sabtu, 10 Oktober 2020

Single and Happy

30 Days Writing Challenge

Day 6: Single and Happy



Seharusnya ini tantangan menulis untuk di instagram story. Sayangnya jadinya terlalu panjang dan butuh platform yang lebih mendukung. Maka terpilihlah blog yang sudah mulai berdebu ini. 

Sebelum menikmati,

Peringatan: penggunaan bahasa yang sesukanya-seringkali tidak pada tempatnya dan bukan pendapat populer

Single atau sendiri adalah kosakata yang bersebrangan dengan kata berpasangan atau menikah. Lalu mengapa sampai ada istilah single and happy? Jawabannya, tentu saja karena single diibaratkan sebagai sisi yang negatif, menggambarkan kesedihan dan memiliki gambaran perasaan kesepian. Sebaliknya, menikah mendapat sisi yang positif, menggambarkan segala jenis kebahagiaan. Maka menjadi tidak berterima ketika ada judul married and happy. Karena menikah sudah seharusnya bahagia, kan?. Setidaknya begitulah pandangan orang-orang kebanyakan.

Mari kita kembali lagi. Kenapa ada judul single and happy?
Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa dua kata tersebut adalah dua kata yang memiliki imej berlawanan, oksimoron, atau kontradiktif sehingga menjadi menarik.

Tapi, apa benar begitu?

Apakah ketika orang-orang menyerukan "I'm single and I'm happy!" adalah sesuatu yang memang dia rasakan, atau sekadar menyenangkan diri sendiri karena kebetulan memang belum bertemu pasangan hidupnya?

(Dipersilakan ngedumel, tapi dalam hati aja, ya. Udah dibilang ini pendapat nggak populer)

Semoga dengan penjelasan berikut ini, kalian yang membaca ini bisa memahami sudut pandang gue.

Kebahagiaan tidak ditentukan oleh status, kedudukan, level, kasta, strata, apa pun itu. Setidaknya sampai sini kita semua berada di sisi yang sama, kan?

Bahagia itu, menemukan sisi positif yang bisa membuatmu tersenyum dan merasakan kehangatan dalam hati bagaimana pun kondisinya. Maka ketika menyerukan "single and happy", seolah sumber kebahagiaan itu berasal dari kondisi ketika berstatus single. Setelah seruan itu, muncullah beberapa alasan yang membuatmu bisa mengatakan kalau kamu bahagia sendiri. Tapi akui saja, dalam hati kamu tetap berharap suatu saat nanti tetap akan menemukan pasanganmu, kan?

Iya, kamu memang bahagia. Itu bagus. Tetapi apakah ketika statusmu berubah menjadi tidak single lagi, lalu status kebahagiaan itu ikut berubah? Jika mengikuti logika, seharusnya berubah. Karena sumber kebahagiaanmu adalah status tersebut, maka kebahagiaan akan luntur atau bahkan hilang ketika status tersebut hilang. Seharusnya begitu. Tapi pada dasarnya, nggak begitu, kan? Kamu akan menemukan kebahagiaan dalam bentuk yang lain ketika status itu berubah menjadi tak lagi single.

Maka, kesimpulan paling tepat yang bisa kita ambil adalah, 

Kita bisa bahagia.

Apa pun status yang menyertai kita.
Bagaimana pun keadaan di sekitar kita.
Siapa pun yang kita miliki dan tidak miliki.
Di mana pun kita berada atau tidak berada.


Sabtu, 05 September 2020

Kesan orang asing tentang Indonesia: "Selera Humor Orang Indonesia itu Receh, ya...."

Sebagai pengajar bahasa Indonesia untuk orang asing, setiap ngajar pasti ada aja ilmu atau hal baru yang bisa gue dapat dari murid-murid gue sendiri. Hari ini gue mengajarkan tentang komedi di Indonesia. Karena kebetulan murid gue ini udah cukup fasih bahasa Indonesia, jadi gue mau tau sejauh mana dia paham lawakan ala orang Indonesia. Karena ngerti lawakan itu adalah tingkat tertinggi dari pemelajar bahasa. Ketika paham maksudnya dan bahkan paham lucunya di mana, otomatis pemelajar ini memahami seluruh konsep kebahasaan sekaligus kebudayaan yang disampaikan oleh si pembicara. Kalau sekadar paham artinya tapi gak ngerti lucunya di mana, berarti belum paham konteks budaya atau situasinya yang membuat narasi tertentu menjadi lucu.

Hari ini, gue sengaja kasih tonton stand-up comedy Raditya Dika yang cuma berdurasi sekitar 2 menit. Kosakata yang dipakai juga gak susah-susah amat dan gue bisa memastikan si murid paham arti bahasa Indonesianya. Setelah gue kasih tonton, dia gak ketawa. Padahal gue yang nonton berkali-kali aja masih susah nahan ketawa.

Ketika gue tanya, ternyata dia paham 80-90% bahasa Indonesia yang dipakai, tapi sama sekali gak paham lucunya di mana. Wkwk.

Ya, inilah yang gue maksud.

Akhirnya mulailah waktu belajar bahasa Indonesia dan gue menjelaskan isi video itu dari awal. Mulai dari artinya, konteksnya, dan bagian mana yang membuat suatu dialog itu menjadi lucu untuk orang Indonesia.

Si murid mengangguk-angguk paham, tapi tetap nggak paham. Karena sebenarnya, dia nggak menganggap itu lucu. Sampai akhirnya dia bilang kalau temannya ada yang pernah bilang ke dia, インドネシア人ってさ、笑いツボが浅すぎ!Indonesia-jin tte sa, wairaitsubo ga asasugi! yang maksudnya, selera lawak orang Indonesia itu retjeh banget.

Dan gue ngakak kenceng banget.

IYA ORANG ENDONESYAH EMANG RETJEH PARAAAAAAHHH!!!!

Sumpah ya, kadang kalo dipikir-pikir hal-hal yang biasa aja bisa jadi lucu banget sampe bikin ngikik berhari-hari kalo keinget.

Gue bahkan nyimpenin meme lucu yang sering muncul di beranda facebook atau twitter. Pas gak sengaja liat lagi, tetep aja ngakak.

Nemu meme tentang tahu di FB, dan beberapa hari setelah itu masih ngakak kalo keinget

 

Kenapa bisa seretjeh itu sih?

Lalu kami ngobrol soal itu. Emang tipikal komedi tiap negara itu beda-beda. Iyalah, ya. Namanya juga beda budaya dan beda cara berpikir. Tapi kalo menurut gue sih komedi Thailand sama recehnya kayak komedi Indonesia. Hmm... mungkin se-Asia Tenggara mirip-mirip kali ya. Sama-sama negara ketiga yang sering diremehin sama negara adidaya dan punya selera humor yang sangat receh. Setidaknya cuma salah satu kata aja udah bikin kami bahagia karena bisa ketawa.



Jumat, 22 Mei 2020

Tentang Book Shaming: "Iya gue masih baca komik dan teenlit. Mang ngapa sik!?"

Book shaming sebenarnya bukan masalah baru. Tapi mungkin, istilahnya baru aja mencuat belakangan ini.


Beberapa hari yang lalu dikirim link sama Ruru mengenai book shaming dan kejadian yang sempat heboh di jagat twitter.

Untuk yang mau tau apa itu book-shaming dan ada masalah apa belakangan ini, silakan baca di sini:
https://www.sintiaastarina.com/book-shaming/

Macam body shaming aja ya ini soal book shaming.

Sebagai seorang pembaca buku yang super random, gue nggak pernah peduli namanya book shaming walaupun sering banget diperlakukan kayak gitu.

"Ya ampun, udah gede masih baca komik aja."

"Itu teenlit? Gak ah, gak seru." --> Ini setelah gue kasih rekomen novel yang menurut gue ceritanya bagus.

"Ih, masih baca wattpad aja. Udahlah, cari yang lain."

"Lo gak punya buku puisi? Serius?"

"Hah? Lo gak tertarik sama bukunya Pram! Parah!"

Dan banyak lagi.

Gue antara udah terlalu biasa, atau udah nggak peduli sih di-book-shaming-in (wakaka, bahasa apa pula ini).

Karena dari kecil, gue baca apa pun. Literally, APA PUN. Buku dan komik udah abis dibaca, lari ke majalah, majalah udah abis dibaca, lari ke buku pelajaran (cerita yang ada di buku, ya, bukan soal pelajarannya), cerita dalam buku pelajaran udah abis dibaca, lari ke ensiklopedia, sampai akhirnya bacain semua buku resep masakan mama dan semua plang di jalanan karena gak ada lagi yang bisa dibaca.

Gue suka komik, novel fantasi, teenlit, novel wattpad, bukan berarti gue gak baca sastra dan puisi.

Gue baca. Bahkan hampir semua buku sastra yang ada di perpustakaan SMP dah abis gue baca (karena waktu itu belum punya cukup uang untuk beli novel sendiri). Layar terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Bumi Manusia, Wayang, dll dah khatam. Mulai dari sastra lama sampai yang modern, mulai dari yang bahasanya masih pakai melayu sampai yang udah full bahasa Indonesia.

Tapi pada akhirnya, buku-buku itu adalah buku yang gak akan gue koleksi. Apalagi buku puisi.

Masalahnya emang kagak selera aja.

Yang gak suka sastra sama puisi berarti seleranya rendah gitu?

Widiiih, tar dulu tuan.

Apakah anda-anda sekalian yang mengaku intelek karena bacaannya sastra dan puisi pernah coba baca One Piece atau Hunter x Hunter? Secara bungkus cerita memang jauuuh dari kehidupan nyata karena itu cerita fantasi. Tapi banyak banget adegan yang sebenarnya memproyeksikan realita dengan cara yang berbeda. Kesenjangan sosial, pemerintahan yang otoriter, rasisme, dll.

Penyampaiannya mungkin berbeda jauh, tapi pesannya gak bisa dibilang lebih rendah dari sastra-sastra yang kalian banggakan. Menurut gue pribadi sih komik yang bagus sudah menjadi sastra untuk para penggemarnya.

Gue malah kurang selera baca sastra (walaupun sesekali tetap baca, kalau lagi keabisan bacaan). Karena cerita sastra itu terlalu realistis. Realita udah susah dan menyesakkan, perlu banget gitu diingetin lagi lewat buku?

Lain lagi soal puisi. Gue selalu nggak selera baca puisi karena kesannya sengaja banget pakai diksi yang susah. Bahkan sampai ada ungkapan "semakin sulit dimengerti, semakin bagus." atau "puisi itu bebas, tiap orang punya interpretasi masing-masing." Alasan yang pertama mungkin gak semuanya gitu, ya. Tapi gak sedikit juga yang beranggapan seperti itu. Untuk yang "banyak interpretasi", dalam pandangan gue itu adalah kegagalan penulis dalam menyampaikan pesannya. Misalnya si penulis ingin menyampaikan A, tapi diinterpretasikan dengan B,C,D,E dst. Lah, berarti pesan yang A ini gak nyampe, dong?

Tapi itu adalah alasan pribadi gue gak selera sama sastra dan puisi. Orang lain boleh punya selera dan pandangan yang berbeda. Silakan. Ya asal nggak ngerendahin selera orang lain aja, sih.

Lagian, bukan berarti gue anti sastra dan puisi juga, kok. Belakangan ini gue beli buku puisi KTBB (Kamu Terlalu Banyak Bercanda) dari orang yang juga nulis NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini). Biar kekinian? Hahaha, gak ada hubungannya.

Gue cuma merasa, ini buku puisi paling sederhana yang pernah gue baca, tapi pesannya sampai. Nggak perlu diksi yang terlalu berbunga-bunga sampai sulit dimengerti. Ini kata-katanya biasa banget, tapi ngena banget. Dan menurut gue, wajar banget buku ini akhirnya jadi populer.

Gue baca buku untuk hiburan. Sehingga, menurut gue cerita dalam buku itu harus punya konsep dasar, yaitu konflik yang relevan, plot cerita yang bagus, penyelesaian yang baik, dan kalau bisa plot twist yang tak terduga. Sayangnya, gue gak bisa mendapatkan ini dalam novel-novel sastra. Yang pada akhirnya, gue gak merasa terhibur baca buku sastra. Karena pada dasarnya, tujuan utama novel sastra biasanya bukan itu. Yang utama adalah isu sosial yang kental dan penyampaiannya dalam novel. Seringkali, novel sastra itu berisi konflik, tanpa penyelesaian yang jelas. Iya, paham sih maksudnya, kalau dalam kehidupan yang sebenarnya, jarang banget ada penyelesaian yang memuaskan karena justru terkesan tidak realistis dan natural.

Tapi kan ini novel fiksiiiii!!!

Kalo mau tau realita, ya mending gue baca buku non-fiksi sekalian!!!

Lah dia emosi.

The Little Prince itu beken banget di seluruh dunia, tapi gue tetep gak selera setelah baca. Aneh, menurut gue, sih. Bumi Manusia gak perlu diragukan lagi soal isu sosial yang terkandung di dalamnya, but still.... not my cup of tea.

Ya intinya, yang seleranya sastra dan puisi, silakan aja. Bagus kok pilihan kalian. Bukan berarti kalau gue gak selera, terus buku itu jadi jelek, kan? Kalian juga kalau gak selera sama teenlit atau komik, gak serta merta menjadikan buku-buku itu 'rendah'. Tiap buku punya pasarnya masing-masing, punya penggemarnya masing-masing.

Lagian, walaupun memang teenlit kebanyakan menye-menye dan sinetron banget, tetep ada teenlit yang bagus dan kece kaliiiiikkk. Belum pernah baca bukunya Lexie Xu, ya?

Bahkan novel yang dianggap lebih rendah, fantasteen, aja tetep ada yang kece parah. Gak kenal Ziggy Z. ya?

Nggak ada namanya kasta dalam jenis buku. Buku sastra gak selalu suci, dan komik gak selalu kekanakan. 

Gue gak pernah nge-judge buku dari genre, penerbit, atau jenisnya. Gue cuma nge-judge buku dari penulisnya. Wkwkwk. Gak akan ya gue bisa suka novel kalau yang nulis macam Agnes Davonar. Gak sudi!

"Ingat, tiap buku itu spesial. Kecuali bukunya Agnes Davonar."

Gue gak pernah malu baca buku apa pun di publik. Mang ngapa kalo baca komik? Mang ngapa kalo masih baca bukunya Neil Gaiman meski bukan anak umur 10 tahun lagi?

Satu-satunya buku yang gak akan owe baca di publik adalah buku yang covernya gak banget macam cowok-cowok pamer roti sobek gitu. Wkwkwkwk.

Ya kaga pernah beli juga sih....



Jumat, 08 Mei 2020

Story Blog Tour: CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY

Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)

Ep 1 : Ep 1 : An Unspeakable Word by Saa | http://smilingsaachii.blogspot.com/2020/04/an-unspeakable-word.html
Ep 2 : A New Journey: Love? by Kenti | https://handken.blogspot.com/2020/04/a-new-journey-love.html
Ep 3 : Longing For You by Dhira | http://www.nadhiraarini.com/2020/04/story-blog-tour-ep-3-longing-for-you.html?m=1

CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY

Minggu, 26 April 2020

[Story Blog Tour] CHAPTER 6 - Cold Blooded Bodyguard

Sebelum gue menyelesaikan rangkaian Story Blog Tour (SBT) ini, izinkan gue mengatakan sesuatu yang penting...

TOLONG YA KALIAN-KALIAN YANG HOBI NGASIH MISTERI SEBAGAI BUMBU CERITA, TOLONG DIPIKIRKAN JUGA PENYELESAIANNYA WALAUPUN BUKAN GILIRAN KALIAAAANNNN!!! GUE HAMPIR BOTAK NIH MIKIR BENANG MERAH DARI SEMUA CERITA CHAPTER 1-5!!

Tentang SBT:

Story Blog Tour adalah cerita yang dibuat beramai-ramai. Yang ditentukan di awal hanya genre cerita. Karakter, plot, alur cerita, konflik akan berkembang seiring cerita. Diskusi mengenai kelanjutan cerita dilakukan seminim mungkin agar tidak mengurangi keseruan, efek kejutan dan plot twist yang terjadi pada tiap chapter. Ini adalah chapter terakhir dari cerita kami yang bergenre action, thriller. Silakan baca chapter sebelumnya di sini.

Chapter 3 : (Sai) Mystery
Chapter 4 : (Dhira) Am I Lucifer?
Chapter 5 : (Kenti) Revenge

CHAPTER 6
COLD BLOODED BODYGUARD