Selasa, 17 Maret 2015

Leo & Alfa - Chapter 5 Amal Gula


Siang itu, Leo dan Alfa sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah mereka. Ini merupakan hal yang rutin mereka lakukan setiap hari karena mereka memang bertetangga, rumah mereka juga bersebelahan. Lebih tepat lagi jika disebut satu rumah besar yang dibagi dua, sih. Sebab orang tua mereka yang bersahabat cukup dekat, memutuskan untuk membeli satu rumah dan membelahnya menjadi dua supaya hemat.

Rumah mereka berdua juga berada tidak terlalu jauh dari sekolah. Mereka hanya perlu berjalan kurang lebih 20 menit untuk tiba di rumah. 15 menit kalau berjalan cepat, dan 10 menit kalau lari dikejar anjing.

Siang ini matahari sangat terik. Topi merah-putih yang dipakai kedua bocah itu tidak mampu menghalau panas matahari sepenuhnya. Leo berusaha mengibas-ngibaskan bola yang ia bawa, berharap akan ada angin yang membelai tubuhnya. Sayang sekali ia belum belajar fisika kuantum tentang benda dengan bidang seperti apa saja yang akan menghasilkan angin. Sebenarnya Alfa menyadari tingkah aneh Leo, namun tenaganya terserap panas matahari hingga terlalu malas untuk menjelaskan teori fisika pada Leo.

"Beli minum, yuk," usul Alfa. Usulan singkat dan padat yang menghentikan tindakan Leo mengibas-ngibaskan bola.

"Hayuk!" sambut Leo antusias.

Mereka berdua segera mencari penjual minum terdekat, mendeteksi apakah penjual minuman tersebut menjual minuman dingin, lalu lari menghampiri sang penjual. Ibu-ibu paruh baya yang menjajakan minuman dingin di jalan itu menaruh minuman-minuman bermerk di box plastik besar berisi bongkahan-bongkahan es batu. Sementara di meja kecil di hadapannya, ada seteko besar air es, dan bermacam sirop dengan berbagai warna yang menarik.

"Mau beli teh gelas botol, tapi uangnya nggak cukup...."

"Leo, please. Nggak usah bahas teh lagi. Aku nggak suka sama nggak kekonsistenan kamu," ujar Alfa keki.

"Apa siiih?" Leo hanya bisa memandang Alfa bingung sambil garuk-garuk punggung. Di saat panas terik begini, biang keringatnya mulai menyerang.

"Kita beli sirop aja, yuk," ajak Alfa.

"Ih, sirop kan pake pewarna sama pemanis buatan," kata Leo tak suka.

Alfa tampak berpikir sebentar. Bukan berpikir tentang siropnya, ia hanya penasaran kenapa Leo bisa mengutarakan fakta sedemikian pintar. Tumben sekali.

"Kemarin mama nonton siaran investigasi di TV," lanjut Leo yang membuat Alfa mengangguk paham.

"Jangan-jangan siropnya pake borax dan formalin juga, iih...."

"TAHU KALI PAKE GITUAN MAH!" Dasar Leo, mengambil informasi yang benar dari TV saja tidak becus, pikir Alfa.

Lalu Alfa pun bertanya kepada ibu-ibu penjual minuman itu, "Ibu, apa ibu jual minuman selain minuman bermerk yang sepertinya saat ini kami tidak mampu beli dan sirop yang kelihatannya terlalu banyak pakai perwarna itu?"

"Hah?" si Ibu bingung. Di sisi lain, si Ibu penjual juga kesal. Bocah di hadapannya ini tampangnya manis, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya ngeselin.

"Es teh, mau?" kata si Ibu yang mencoba menahan emosinya.

"Bukan teh gelas botol atau teh botol kotak, kan, Bu?" tanya Alfa sekali lagi.

"Hah?" Lagi-lagi si Ibu bingung. Mimpi apa dia sampai ketemu pembeli aneh begini.

"Kalau bukan, boleh deh itu aja. Harganya berapa?"

"5000."

"Ih, kok mahal!" seru Alfa spontan.

"Iya, harga gula lagi naik, dek."

"Kenapa malah lebih murah teh bermerk?" Alfa masih saja bertanya.

Sementara itu, Leo hanya memperhatikan percakapan tersebut sambil kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mengikuti arah pembicaraan.

"Itu pake pemanis buatan," kata si Ibu.

"O...ooh....gitu. Oke, kalau tehnya nggak pakai gula, berapa?"

"4000."

"Lah, masih mahal, ya? Katanya nggak bermerk?"

"Daun tehnya kualitas super, saya yang metik sendiri. Kebetulan belum saya kasih nama. Adek ini jadi mau beli apa nggak?" Kesabaran si Ibu pun mulai menipis.

"Jadi, bu! Jadi!"

Si Ibu penjual minuman pun membuatkan pesanan Alfa. Namun saat ia hendak memasukkan gula ke dalam minuman itu, Alfa berteriak. "Eeeeh! Nggak usah pake gula, Bu! Mahal!"

Ya ampun, tambah gula cuma tambah 1000 aja, pikir si Ibu. Tapi si Ibu penjual tetap legowo. Mungkin saja bocah SD yang menyebalkan ini memang tidak punya cukup uang untuk membayar teh dengan gula. Setelah selesai, si Ibu pun menyerahkan minuman itu pada Alfa.

"Terima kasih. Ini uangnya, ya, Bu!" Alfa mengeluarkan selembar 5000-an dari kantongnya dan menyerahkannya pada si Ibu yang terbengong-bengong saat menerimanya.

Lalu dengan penuh senyum, Alfa berkata, "Ambil aja kembaliannya."

***

"Alfaaa..... kamu ngapain, sih!?" Leo gusar.

"Apanya?"

"Itu tadiii! Ngapain kamu pake bilang nggak usah pake gula segala? Padahal ada uangnya gitu! Kamu cuma mau sok-sokan ngomong kayak di sinetron-sinetron, ya!?" cerca Leo yang kemudian menirukan gaya Alfa saat bilang 'ambil aja kembaliannya' sambil memonyong-monyongkan bibir.

"Ck ck ck. Leo....Leo.....kamu nggak inget apa kata guru ngaji kita kemarin?"

"Hah?"

"Walaupun masih muda, kita harus beramal Leo, BER-A-MAL! Ibu-ibu penjual minuman itu udah susah-susah jualan minuman di tengah panas terik. Amal 1000 apa salahnya?" kata Alfa seraya meninggalkan Leo di belakang.

Leo tidak paham. Leo BENAR-BENAR tidak paham. Apa faedahnya beramal setelah membuat emosi seorang ibu-ibu tua yang malang? Cuma 1000, lagi.

END

Seri Leo & Alfa
Chapter 1 Bola Magnet
Chapter 2 Teh Gelas Botol Kotak
Chapter 3 Sushi Palembang
Chapter 4 Empat Akar Dua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar