Senin, 18 November 2019

Kerja Sesuai Passion, Idealkah?

Bertambahnya usia kadang membuat pandangan kita berubah. Ini sesuatu yang normal. Semua orang mengalaminya.

Beberapa tahun terakhir, pandangan gue soal passion berubah.

Sebelumnya, gue pernah menulis soal passion yang berjudul "Follow your Passion"

Tulisan itu adalah pandangan jujur gue beberapa tahun yang lalu. Sekarang, pandangan itu sedikit berubah. Menurut gue, mengikuti passion adalah sesuatu yang ideal. Tetapi menjadikan passion sebagai pekerjaan bukanlah sesuatu yang ideal.

Yang nggak setuju, dipersilakan menyambit gue sekarang. Haha.

Dengan pengalaman kerja yang udah banyak kayak sekarang, gue bisa menyimpulkan bahwa menjadikan passion sebagai pekerjaan itu nggak enak. Dari luar, mungkin terlihat menyenangkan karena setiap hari bisa melakukan hal yang lo suka, dibayar pula. Tapi namanya perkerjaan, nggak bisa mengedepankan idealisme diri sendiri terus menerus. Ada tanggung jawab dan tuntutan yang harus dipenuhi, bahkan walaupun bela-belain bekerja secara mandiri untuk memenuhi passion.

Pada akhirnya, karena harus mengalah dan membatasi keinginan diri sendiri demi tuntutan itu, sesuatu yang tadinya berlabel kesenangan, perlahan berubah menjadi beban.

Misalnya, ketika seseorang memiliki passion di bidang kreatif dan suka sekali menggambar dan membuat desain, lama-lama akan lelah juga ketika keseringan mengikuti keinginan pelanggan yang menurut lo nggak ngerti seni. Maunya sih ngasih saran untuk desain yang lebih nyeni dan artistik, tapi demi kepuasan pelanggan, harus ditahan dan ikuti aja maunya.

Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari uang, untuk bertahan hidup. Sementara passion adalah sesuatu yang dilakukan untuk membahagiakan diri sendiri. Ketika keduanya dijadikan satu, maka akan bertabrakan. Bukan berarti keduanya nggak bisa dilakukan bersamaan, tapi ketika ingin melakukan keduanya, banyak hal yang harus dikorbankan.

Passion gue sejak dulu nggak berubah. Menulis.
Menulis membuat hidup gue lebih hidup. Bukan hanya menambah semangat, tapi sekaligus menyembuhkan. Namun ketika gue menjadikan menulis sebagai pekerjaan, maka gue harus memikirkan tulisan seperti apa yang lebih banyak dibaca, tulisan bagaimana yang menjual, tulisan mana yang lebih mudah diterima orang lain. Gue jadi lebih banyak memikirkan pasar daripada apa yang sebenarnya ingin gue tulis.

Maka, sejak menyadari itu, gue berhenti menulis untuk bekerja. Ini selain alasan karena gajinya juga kecil, sih. Haha. 

Gue memilih untuk menjadikan menulis sebagai sesuatu yang spesial, untuk menyampaikan pemikiran, untuk memberikan manfaat bagi orang lain, bukan untuk mencari uang. Kalaupun akhirnya mendapat bayaran dari tulisan tertentu, itu akan terhitung sebagai bonus yang menyenangkan.

Gue memilih mengajar sebagai pekerjaan tetap dengan banyak alasan. Tapi alasan yang pertama jelas karena mengajar bukan passion gue. Walau bukan passion, bukan berarti gue nggak suka jadi pengajar. Gue suka, kok. Tapi nggak sebesar kesukaan gue untuk menulis. Dengan alasan itulah, gue bisa lebih fleksibel. Walaupun, ada beberapa prinsip dan idealisme dalam mengajar yang nggak akan gue langgar. Tapi gue masih bisa menyeimbangkan kesukaan mengajar dengan tuntutan dari instansi.

Alasan ketiga (gue nggak akan bocorin alasan kedua di sini, haha), karena mengajar adalah salah satu bahan bakar gue untuk menulis. Bertemu banyak orang membuat gue lebih memahami karakter orang lain yang tidak terbatas. Seringkali gue bertemu orang-orang yang karakter dan cara berpikirnya nggak pernah bisa gue bayangkan sebelumnya kalau nggak ketemu langsung. Semuanya menarik untuk dituangkan ke dalam tulisan. Secara tidak langsung, menjadi pengajar membantu gue untuk menjadi seorang penulis.

Ini adalah pandangan pribadi, tapi gue merasa bukan cuma gue yang merasa begini. Walaupun demikian, pasti masih banyak orang di luar sana yang menjadikan passion sebagai pekerjaan. Mereka mungkin orang-orang yang memang sama sekali tidak mengejar uang dan sudah bisa hidup cukup bahagia dari passionnya. Yang jelas, kondisi ideal tiap orang pasti berbeda. Termasuk soal menentukan passion sebagai pekerjaan atau tidak.

Kalau kamu, bagaimana?

Kembali Lagi

Lama nggak nulis blog, rasanya lupa gimana menulis blog yang baik. Hmm, emangnya ada ya standar ideal menulis blog?

Bukannya mau berhenti nulis di blog. Tapi akhir-akhir ini gue diliputi kebimbangan. Apakah cara menulis yang kayak gini udah cukup bagus? Di antara tulisan-tulisan indah lain yang penuh makna, rasanya tulisan ini sampah banget.

Minder?

Mungkin.

Tapi setelah dipikir lagi, kenapa juga harus berhenti nulis karena merasa kemampuan menulis lebih rendah dari orang lain. Toh sejak awal, jenis tulisan itu berbeda-beda. Cara penyampaian pesannya berbeda-beda. Sasaran pembacanya juga berbeda.

Sejak awal blog ini bukan blog yang diniatkan untuk berbagus-bagus (apa pula itu 'berbagus-bagus'? xD). Sejak awal, ini adalah blog pribadi. Menulis yang nggak sesuai diri sendiri rasanya justru kayak menipu diri sendiri.

Selain itu, sering bertambahnya usia, juga terpikir untuk mengubah gaya penulisan dari yang sangat gaul (pakai gue dan bahasa informal lainnya) menjadi sedikit lebih formal. Tapi lagi-lagi, rasanya itu justru menjadi pembatas diri untuk menulis 'sesukanya'. Menulis dengan banyak aturan dan batasan udah gue lakukan saat menulis cerpen dan novel. Kalau di sini juga harus banyak aturan untuk menulis, rasanya lelah.

Blog ini akan tetap dengan gaya bahasa yang seperti ini. Mungkin akan berubah sedikit formal kalau bahasannya juga menyangkut hal yang formal.

Hal yang jadi pertimbangan selanjutnya adalah, keraguan untuk berbagi yang belakangan ini terasa semakin kuat. Dulu, gue berbagi berbagai macam hal lewat tulisan tanpa mengkhawatirkan banyak hal. Sekarang, rasanya agak sulit untuk terbuka. Seringkali untuk menjaga privasi, sekaligus menjaga perasaan orang lain. Belakangan gue jadi banyak berpikir, apakah kalau gue nulis ini ada yang tersinggung? Atau jangan-jangan ada yang sakit hati. Pada akhirnya malah keseringan nggak nulis karena takut.

Tetapi balik lagi, menyenangkan semua orang adalah hal yang mustahil. Jadi kenapa gue harus takut? 

Karena itu gue memutuskan, ini adalah tulisan pertama gue untuk memulai kembali sesuatu yang telah lama gue tinggalkan.

Selasa, 05 Maret 2019

Mari Bebaskan Imajinasi

Kayak manusia kurang kerjaan, gue memulai tantangan menulis baru walaupun yang sebelumnya banyak yang nggak rampung. Hahahaha. Not father lah ya, namanya juga usaha.

Tadinya, tantangan yang satu ini nggak mau bilang-bilang biar orang taunya pas udah jadi aja, gitu. Tapi ternyata kenyataan tidak semudah itu, Ferguso.

Kenapa mau disembunyikan?
Karena gue berniat menulis cerita fantasi untuk kali pertama. Dan, cerita fantasi itu susah. Daripada mandek tengah jalan dan ditanyain orang-orang, mending dari awal nggak bilang-bilang mau nulis fantasi. Ya gimana nggak susah? Selain mikirin karakter-karakternya, dunianya juga harus dipikirin dari awal. Semuanya beda.

Awalnya, cerita yang sementara gue kasih judul Ars Imperatoria ini muncul dari satu keresahan sederhana. Nggak bisa gue ungkapkan secara langsung, sih. Tapi dari satu keresahan kecil yang kayaknya nggak mungkin diceritakan secara gamblang itu, gue jadi berpikir untuk memetaforakannya dalam bentuk fantasi. Lalu tiba-tiba potongan puzzle ceritanya beranak-pinak dengan cepat karena gue terlalu bersemangat.

Meskipun rak buku hampir semuanya berisi buku-buku fantasi, bukan berarti gue tiba-tiba jago nulis fantasi. Gue mengagumi penulis fantasi karena gue nggak bisa nulis kayak mereka. Otak gue belum sampai. Sejauh ini pun baru sampai tahap research, world building, dan masih banyak banget cacat logika dari dunia yang gue bentuk. Lalu entah kenapa, tiba-tiba akun facebook Kalpanika mengirim pertemanan ke gue. Gue pikir itu akun apa. Ternyata Kalpanika adalah komunitas penulis fantasi yang kebetulan lagi buka akademi menulis fantasi. Pas gue baca posternya, pas hari itu deadline pendaftaran. Tanpa pikir panjang, gue pun akhirnya bergabung. Lebih tepatnya mungkin karena murah, sih. Hahahaha. Lumayan banget kalau bisa dapat materi kepenulisan fantasi, apalagi kalau bisa memecut gue yang malas ini untuk konsisten menulis.

Setelah masuk beberapa hari, rupanya upaya menyembunyikan tantangan ini pun jadi mustahil. Membuat tulisan afirmasi kemudian diunggah di instagram jadi syarat mutlak. Intinya sih semacam target yang ingin dicapai setelah mengikuti akademi menulis di Kalpanika itu.


Inilah afirmasi yang gue upload di instagram. Berhubung udah dapet judul, dan udah membentuk empat karakter utama, jadi sekalian aja ditulis, deh. Semoga Lavi, Lui, Vis dan Trivi menemukan jalan cerita mereka yang unik di sana.

Sengaja pakai latar novel-novel fantasi supaya makin terpacu. Hahaha.

Hari ini selesai dikasih materi soal world building, dan besok saatnya menjalani misi. Saatnya membebaskan imajinasi. Hoho.

Minggu, 10 Februari 2019

Bahagia itu Sederhana

Postingan blog pertama tahun 2019.

Lama banget, ya? Udah bulan Februari, baru mulai nulis lagi di blog. Sedih banget, sebenernya. Apalagi waktu lihat jumlah postingan di tahun sebelumnya. Dari yang biasanya 30-50 postingan pertahun, tiba-tiba berkurang drastis jadi 6 postingan di tahun 2018. Gue merasa gagal sebagai narablog.

Kesibukan memang (lagi-lagi) jadi alasan utama, sih. Bahkan setahun terakhir ini rasanya gue juga jarang posting sesuatu di media sosial yang lain. Tapi sebenarnya bukannya benar-benar nggak ada waktu. Gue masih sering hang out sama temen-temen, sering ke bioskop, sempetin main boardgame seharian juga bisa. Andai menulis di blog masih jadi prioritas, pasti tetep disediain waktunya. Seringkali, udah kepikiran mau nulis sesuatu di blog, pada akhirnya hanya nangkring di draft karena gue sama sekali nggak puas dengan tulisan gue saat itu. Rasanya ada yang kurang. Inti tulisannya nggak jelas, dan kesannya bener-bener nyampah. Pada akhirnya sama sekali nggak ada yang di-publish.

Buat gue, nulis blog itu sesuatu yang spesial. Walaupun isinya curhat, biasanya tetap ada alurnya. Mulai dari pembukaan, sampai akhirnya mencapai suatu kesimpulan. Nah, akhir-akhir ini gue merasa kehilangan kemampuan untuk menulis dengan alur yang mudah diikuti dan nggak lompat-lompat. Makanya pada akhirnya selalu nggak puas. Efek kebanyakan ngetik untuk tugas kuliah, kah? *nyengir*

2 minggu lalu, gue memutuskan untuk ikut grup blogwalking. Tapi ya baru ini bisa nulis blog lagi. Mudah-mudahan sih ini bisa jadi awal yang baik untuk terus ngeblog ke depannya.

Kegiatan gue sekarang bisa dibilang sangat banyak. Gue kerja di 3 tempat. Di salah satu tempat diminta jadi semacam wali kelas dan di tempat yang lain harus bikin modul dan video ajar. Selain itu, sekarang udah masuk masa tesis. Sembari ngumpulin data untuk tesis, bapak dosen pembimbing gue minta gue ikutan hibah penelitian (semacam bikin penelitian dengan topik yang mirip dengan tesis, tapi tujuannya untuk publikasi di jurnal penelitian ilmiah). Jadi bisa dibilang, beban penelitian akhir yang tadinya tesis doang, sekarang jadi dua kali lipat karena harus mengerjakan dua penelitian. Topik hanya mirip, jadi tetap harus ngerjain dua penelitian yang berbeda. Targetnya? Selesai bulan April! Hahahha! Akuw kuwad!

Selain itu masih ada beberapa kegiatan komunitas juga. Sengaja nyari komunitas supaya aktifitas nggak itu-itu aja, sih. Untuk sementara ikut dua, termasuk grup blogwalking ini. Satu lagi semacam komunitas pecinta buku yang mewajibkan anggotanya mengirimkan resensi buku minimal sebulan sekali. Sengaja ikutan supaya memaksa gue baca dan meresensi buku walaupun nggak sering. Nah, jadi maklumin ya kalau belum bisa update blog terus-terusan, apalagi setiap hari. Bisa mati :'D

Di luar kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi demi isi dompet dan masa depan yang lebih baik, masih ada kewajiban dari target pribadi yang sulit untuk disebutkan. Intinya, banyak! Antara mau ketawa atau nangis, sih.

Dari awal tahun sampai tanggal 10 ini aja udah banyak banget kegiatan sampai buku agenda penuh dan harus ditambal sticky notes disana-sini, nambahin to do list perharinya supaya nggak lupa. Sepanjang hidup, rasanya ini masa-masa tersibuk dengan kegiatan yang sangat beragam. Biasanya, kalaupun nggak nulis di blog, gue rajin banget nulis kegiatan-kegiatan gue di diari. Tapi ini saking banyaknya, malah nggak sempat nulis apa-apa. Kalaupun nulis, akhirnya direkap perminggu. Haha.

Maski begitu, entah kenapa nggak terasa capek. Oke, secara fisik emang capek banget. Tapi ketika satu hari berakhir, sekitar jam 10-11, gue selalu merasa senang karena hari itu sangat-sangat produktif. Gue yang hobi tidur ini, belakangan nggak punya waktu tidur lebih dari 4-5 jam sehari. Paling balas dendam pas kebetulan dapat libur. Itu pun cuma bisa setengah hari (tidur sekitar 8 jam), abis itu biasanya udah disambut deadline yang lain lagi.

Jadi, intinya apa, sih?

JANGAN KULIAH S2 KALAU NGGAK BUTUH-BUTUH AMAT! CAPEK!

Gue aja yang butuh ilmu dan ijazah S2 secapek ini ngejalaninnya, gimana kalau ngambil S2 untuk pelarian selama belum dapat kerjaan? Atau pelarian karena belum nikah?

Beuuh... LELAAAAHH!!

Kebahagiaan-kebahagiaan kecil di tengah kesibukan:

Dikasih sama dosen pembimbing terbaique sedunia :3

Disediain teh dilmah waktu ngajar privat :3

Dikasih pinjem buku N1 untuk ikutan ujian JLPT tengah tahun ini. Iya, harus nyempetin belajar juga @_@

Masih bisa ngopi enak sembari ngetik postingan ini
Terkadang, justru hal-hal kecil dan sederhana yang membuatmu bertahan menghadapi hal-hal besar dan sulit. Apa kamu setuju? :)