Jumat, 06 Oktober 2017

Menganalisis Pemikiran Manusia

Mempelajari manusia sebagai makhluk sosial itu sulit, ya?

Seenggaknya itulah yang gue sadari begitu masuk mata kuliah 'teori kebudayaan' yang sebenernya nggak mau diambil, tapi wajib untuk semua peminatan--gimana dong?

Padahal gue seneng-seneng aja masuk mata kuliah yang lain, walau rumit. Tapi begitu masuk kuliah teori budaya, gue selalu duduk paling belakang, mencoba mendengarkan dosen sambil manggut-manggut antara pura-pura ngerti atau karena ngantuk.

Isi pelajarannya selalu kasus sosial, dan analisis kenapa bisa jadi kayak gitu.

Misalnya aja cerita soal buku 'Pengakuan Pariyem' yang katanya terkenal di kalangan budayawan karena kental dengan budaya Jawa yang agak kontroversial.


Secara singkat, Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang bekerja untuk keluarga konglomerat berdarah biru yang memiliki anak laki-laki bernama Raden Bagus. Kisah cinta terjalin antara Raden Bagus dan Pariyem hingga Pariyem hamil. Mengetahui kehamilan Pariyem, ayah Raden Bagus marah. Lalu kira-kira apa yang dilakukan ayah Raden Bagus? Atau bagaimana Pariyem akhirnya bersikap?

Nah, analisisnya di situ. Apa yang dilakukan mereka berdua sebagai orang Jawa?

Ada yang jawab Pariyem dibuang. Ada yang bilang mereka seharusnya bermusyawarah untuk mufakat. Ada mahasiswi dari China yang bilang kalau ayahnya memberikan uang banyak pada Pariyem dan memintanya meninggalkan Raden Bagus. Ini sinetron banget, deh :v

Ternyata, jauh dari jawaban mahasiswa, masalah Pariyem terselesaikan dengan damai. Pariyem pergi meninggalkan keluarga Raden Bagus dan pulang kampung. Keluarga Raden Bagus nggak jadi kehilangan muka. Pariyem sendiri merasa senang karena mengandung anak dari seorang yang terpandang dan tidak menuntut macam-macam. Istilahnya, sadar diri.

Dan kisah ini jadi kontroversi karena sebagian nggak terima kalau sifat yang terlalu nrimo itu digambarkan sebagai budaya Jawa.

Lalu, mulailah belajar bagaimana kasus ini dipandang dari sudut psikologis dan budaya. Nah, di sini gue mulai agak lost. Terutama begitu kasus-kasus sosial yang ada di sekitar kita dipolakan.

Soalnya, menurut logika gue, kejadian-kejadian itu sama sekali nggak berpola. Bahkan kalau mau dibuat polanya, tiap kasus sosial pasti beda. Cakupannya terlalu luas untuk dibuat pola. Terlalu banyak faktor yang bisa menyebabkan satu kejadian terjadi.

Emang sih teorinya "tidak setiap kasus sosial terjadi karena budaya, tetapi setiap kasus sosial dapat dianalisis dengan pendekatan budaya."

But I'm still lost.

Kasus-kasus sosial emang menarik. Tapi gue hanya sekadar penikmat. Gue menikmati contoh-contoh kejadian berdasarkan pengaruh budaya sebagai cerita. Semisal ceritanya Pariyem, ya gue akan menikmati layaknya novel. Meskipun, mungkin gue nggak akan terlalu tertarik karena terlalu vulgar dan cerita yang termasuk open ending (kayak kebanyakan novel Jepang :v). Yah, mau gimana lagi, ini kan kisah nyata yang dituturkan lagi.

Atau misalnya ketika orang asing yang ada di Indonesia bingung kenapa tiap kali orang Indonesia memberikan sesuatu pakai tangan kiri, pasti minta maaf.

Paling komentar gue cuma, "oh iya, menarik. Lucu juga ya..."

Udah.

Nah, untuk menganalisis kasus-kasus sosial kayak gitu, gue sama sekali nggak tertarik. Karena ini jatuhnya sama kayak interpretasi puisi. There's neither right nor wrong. Analisis semacam ini akan jadi sesuatu yang sifatnya sangat subjektif. Untuk baca hasil analisis orang sih oke, tapi kalau gue yang diminta analisis, nggak, deh. Apalagi, sesuatu yang berhubungan dengan pemikiran manusia itu bener-bener sulit ditebak. Orang yang sangat-sangat tidak peka macam gue bisa apa? :v

Gue pikir, belajar budaya itu mengenali berbagai budaya yang berbeda dari berbagai wilayah aja. Kalau sebatas itu, pasti gue bisa menikmati. Gue nggak menyangka akan belajar teori-teori dasar yang melahirkan budaya itu sendiri.

Kalau menganalisa struktur bahasa, gue paham dan cukup bisa mengikuti kecuali fonologi. Soalnya, walaupun para linguis sering beda pendapat, setidaknya ada aturan-aturan dasar yang membatasi suatu analisis itu salah atau benar. Intinya, ada rumus yang pasti.

Misalnya gue diminta menganalisi dari mana kata "pemelajar" berasal. Kalau gue jawab asalnya dari kata "belajar",  gue pasti salah. Karena perubahan kata dari "belajar" adalah "pelajar". Sementara kata "pemelajar" muncul karena ada kata "mempelajari", sehingga orang yang mempelajari disebut "pemelajar", bukan "pelajar".

Nah, logika gue masuknya ke hal-hal yang kayak gitu. Kalau masuk analisis dengan pendekatan budaya, logika gue nggak akan kepake. Sehingga udah pasti gue bakal kesasar.

Intinya, gue lebih paham dengan sesuatu yang bisa dijelaskan secara pasti. Tapi, otak gue nggak nyampe kalau belajar ilmu pasti beneran macam sains, fisika, dan kawan-kawannya. Jadi, gue pilih yang agak fleksibel sedikit meskipun tetap pakai ilmu pasti, dan berbentuk kata-kata yang justru bisa gue visualisasikan dengan baik ketimbang angka.

Walaupun gue masuk peminatan linguistik deskriptif/murni, tapi temen gue banyakan dari peminatan bahasa dan budaya. Dan dua peminatan ini selalu ketemu di dua mata kuliah karena materinya berhubungan satu sama lain. Kami ketemu di kelas teori budaya dan semantik (ilmu yang mempelajari tentang makna). Jadi, begitu masuk kelas teori budaya, gue nggak paham. Dan begitu mereka masuk kelas semantik, gantian mereka yang nggak paham. Saling melengkapi, akakaka.

Yah intinya gitu, deh. Pada dasarnya dari dulu gue nggak jago menganalisis 'pemikiran manusia'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar