Senin, 02 Oktober 2017

"This is Where I Belong"

Kira-kira sebulan udah gue jadi mahasiswa linguistik murni. Biasanya sih gue suka cerita pengalaman yang terbilang baru kayak gini. Tapi ini udah sebulan gue nggak nge-post apa-apa di sini.

SAKING SIBUKNYA.

Ini aja baru masuk sebulan, tau-tau minggu depan udah UTS aja. Apa-apaan...
Antara mau nangis sedih atau ketawa stress. Tapi yasudahlah, ini kan jalan yang gue pilih sendiri.

Awal-awal masuk, gue seneng banget. Karena ngomongin bahasa sama temen-temen sekelas itu nyambung banget. Lebih lagi, banyak temen-temen yang kerjanya udah berhubungan langsung dengan linguistik. Asyik banget! Tapi begitu ketemu dosen-dosennya, gue merasa ilmu gue jauuuuuuuuh banget.

Ini dosen-dosennya warbyasah! Padahal untuk semester pertama ini gue cuma ada empat mata kuliah. Tapi ternyata tiap mata kuliah dosennya minimal dua, maksimal empat. Jadi walaupun mata kuliahnya terlihat sedikit, tapi isinya padat, dan dosennya banyak.

Masalah yang paling utama adalah, TIAP DOSEN MINTA PAPER.

Oke, nggak semuanya, sih. Ada yang minta bentuknya kayak makalah dan presentasi, tapi nggak sedikit juga yang minta bentuknya berupa paper penelitian. Padahal dulu waktu lulus kuliah, gue sama sekali nggak berniat untuk lanjut kuliah karena waktu bikin skripsi aja susah banget. Lah ini sekarang diminta bikin paper penelitian yang isinya mirip-mirip kayak penelitian skripsi. Padahal baru semester satu.

Jadi, kalau harus gue gambarkan gimana rasanya jadi mahasiswa S2 itu, singkatnya begini:

skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-skripsi-tesis.

Selesai.

Udah mau muntah belum?

Gue sih udah.

Apalagi, buku acuan yang dipakai rata-rata bahasa Inggris semua. Sementara bahasa Inggris gue itu pasif. Paling bisa paham kalau baca novel young adult macam Percy Jackson atau trilogi Maze Runner, yah sama novel-novel teenlit gitu, deh. Baca novelnya Stephen King yang Inggris? Belum kuat. Baca yang bahasa Indonesianya aja gue harus konsentrasi penuh.

Jadi begitu diminta ngerjain tugas dengan acuan buku-buku bantal itu, gue harus bolak-balik buku kamus. Seringkali, udah ngerti artinya pun, gue tetep nggak paham maksudnya apa. Harus dibaca berkali-kali dan nyari acuan dari buku lain baru gue bisa paham.

Tapi semua kesulitan ini cuma berdasarkan cara pandang aja, sih. Kalau diceritain kayak gitu emang kayaknya bikin eneg.... banget. Sebaliknya, sejauh ini gue merasa nyaman ngejalaninnya. Soalnya walaupun butuh usaha dan energi lebih untuk memahami buku-buku itu, gue bahagia begitu akhirnya paham isi bukunya. Semua ilmu yang pengin gue cari tahu ada di situ.

Gue bersyukur awal-awal masuk kuliah masih bisa pindah peminatan dari penerjemahan jadi linguistik murni. Soalnya ilmu yang mau gue cari emang dari awal ada di linguistik murni. Gue penasaran sama dasar segala bahasa, baik dari sisi semantiknya (makna), sintaksisnya (urutan kata), morfologisnya (pembentukan kata), dsb.

Nggak heran contoh yang dikasih bener-bener dari beragam bahasa. Sejauh ini, contoh yang pernah dibahas ada dari bahasa latin, aztec, finlandia, swahili, kongo, kujamaat joola (entah bahasa lucu ini asalnya dari mana xD), sampai bahasa eskimo. Yah, walaupun memang agak sulit dimengerti kalau contohnya dari bahasa-bahasa aneh itu, tapi gue sih seneng-seneng aja. Bahkan sebelum ganti HP, di galeri musik HP gue yang lama itu isinya lagu dari berbagai macam bahasa. Gue koleksi karena pengin tau aja bahasa-bahasa lain. Kalau nggak salah selain indonesia, inggris dan jepang, ada lagu korea, mandarin, thailand, rusia, finlandia, swedia, rumania, dll.

Kerjaan gue dan temen-temen yang lain selesai kuliah itu, ngebahas lagi kuliah hari itu. Sering banget jadinya malah kayak kuliah lagi antar kita-kita sendiri, walaupun sekadar menyamakan persepsi aja. Soalnya beda dari S1 yang rata-rata kuliah untuk nyari kerja nantinya, kuliah S2 itu tujuannya untuk jadi ahli di bidangnya masing-masing. Jadi ilmu yang digali lebih dalam.

Jadi inget waktu kelas selesai dan makan bareng-bareng di kantin, malah ngebahas perbedaan 'makan' dan 'memakan'. Semuanya ngasih argumen sampai akhirnya pada paham bedanya. Masalahnya, dalam kuliah semantik dibahas kalau sebenarnya istilah sinonim itu rancu, karena nggak ada dua kata di dunia ini yang sama persis dan bisa menggantikan satu sama lain apapun situasi dan kondisinya.

Walaupun sebelumnya kita menganggap kata 'menaruh' dan 'meletakkan' itu sama, ternyata setelah ilmunya nambah, dua kata itu nggak bisa lagi dibilang sinonim satu sama lain.

Kalimat "Barang itu terletak di atas meja", nggak bisa diganti jadi "Barang itu tertaruh di atas meja". Sebaliknya, kalimat "Tolong taruh tasnya di sana" juga nggak bisa diganti jadi "Tolong letak tasnya di sana."

Situasi dan kondisi pemakaian dua kata itu beda, begitu juga imbuhan yang biasa dipakai. Jadi nggak bisa dibilang itu dua kata yang sama.

Kalau sama anak linguistik lain, ngebahas begituan aja jadinya semacam 'hottest topic today'. Seru banget!

Padahal mungkin kalau dilihat sama yang lain, yang kami bahas itu APA BANGET. Nggak penting. Begituan aja dibahas. Kalau udah dipake dalam percakapan, yang mana aja juga bisa, asal sama-sama ngerti.

Makanya yang begituan emang asyiknya dibahas sama orang-orang yang peduli sama bahasa, apapun itu. Dan untunglah di sini nggak ada yang merasa salah jurusan atau apa. Jadi sebagian besar minat ngebahas ginian tiap hari.

Yah, walaupun kebanyakan dari mereka minat banget sama karya sastra dan gue nggak, sih. Gue lebih minat sama bahasa populer atau yang dipakai sehari-hari, bukan bahasa kiasan yang terlalu indah macam puisi.

Walaupun anak linguistik, gue tetep nggak paham sama yang namanya puisi. Hahah! *lalu diguyur*

Ngomong-ngomong, judul di atas itu kalimat salah satu temen gue yang merasakan hal yang sama kayak gue waktu masuk linguistik. Hoho.

2 komentar: