Senin, 19 September 2016

[Flashfiction] Para Pelanggar Peraturan


"Jangan jalan lewat sini, Pak. Bahaya!"

"Mbak, lewat atas ya. Jangan lewat rel. Bahaya!"

"Sabar Mas, Mbak, tunggu keretanya lewat dulu. Bahaya!"

Dalam satu hari saja entah sudah berapa kali saya teriakkan kalimat itu pada para penumpang kereta api yang tak tahu aturan. Padahal di antara dua rel sudah tertulis plang yang sedemikian jelas. Dan plang itu tidak hanya satu-dua saja. Hampir tiap tiga-empat meter plang itu diletakkan. Andai plang-plang itu punya perasaan, pasti mereka menangis karena tak pernah dianggap.

Padahal, aturan itu dibuat demi keselamatan para penumpang sendiri. Sayang, sepertinya dibanding nyawa, mereka lebih peduli untuk cepat-cepat naik kereta. Lagipula, apa salahnya menunggu beberapa menit demi keselamatan dan kenyamanan semua orang. Sebab jika terjadi satu kecelakaan saja, bukan hanya satu orang yang jadi korban. Jadwal kereta jelas akan kacau, dan itu merugikan semua orang.

Misalkan ada kecelakaan nanti pun, tetap saja pihak kereta api dan petugas stasiun yang disalahkan. Tapi jika kami berteriak dan melarang para pelanggar aturan ini tiap detik, ada saja yang protes lewat media sosial kalau para petugas stasiun terlalu galak. Ini sebenarnya masalah sepele, tapi kok rasanya seperti makan buah simalakama. Saya sendiri tidak tahu rasa buahnya seperti apa, tapi pasti tidak enak!

"Pak, arah ke kota jalur yang mana, ya?" Seseorang tiba-tiba menegurku.

"Itu jalur satu! Nggak bisa baca, ya!?"

Perempuan yang bertanya pada saya langsung pasang tampang cemberut sebelum menyebrang kembali ke jalur satu.

TOK!

Kepala saya yang terlindungi helm putih kena getok tongkat pemukul salah satu teman seprofesi. Sontak saya menoleh padanya dan mengumpat pelan.

"Jangan galak-galak gitu sama penumpang!"

Saya merasa sedikit bersalah. "Maaf, Kang. Lagi emosi. Pada nggak bisa baca tata tertib, sih..." dalih saya seraya menunjuk plang peringatan dengan tongkat pemukul di tangan kiri.

Kami tak bertukar kata selama kurang lebih satu menit karena suara kereta yang lewat. Suara tersebut mampu meredam suara apapun, termasuk suami istri yang sedang cekcok.

"Nggak usah terlalu dipikirin, lah. Tau sendiri orang kita emang gitu kelakuannya," jelasnya begitu kereta jalur tiga pergi meninggalkan stasiun.

"Ya tapi kan nggak bisa gitu terus. Nanti kalau ada yang kecelakaan, kita lagi yang disalahin."

"Loh, nggak ada yang bilang untuk berhenti ngasih tau orang-orang itu, kok. Tetep lah kasih tau. Tapi sabar, nggak usah pake emosi."

Ngomong sih gampang.

"Nih!" Serunya seraya menyodorkan sebungkus roti padaku. "Makannya nanti, tapi. Kerja dulu."

"Roti dari mana nih," tanya saya sembari menerima pemberiannya dan memasukkannya ke kantong seragam yang cukup besar.

"Tadi dikasih sama penumpang cewek. Masih SMP atau SMA kayaknya. Saya sempet nolongin dia gara-gara jatuh ketabrak orang-orang yang berebut nyebrang lewat rel. Padahal dia juga mau naik kereta yang sama, tapi milih nunggu kereta di depannya lewat dulu sebelum nyebrang."

"Heran. Yang naatin peraturan malah lebih langka daripada yang ngelanggar...."

"Yang kamu harus inget, di antara mereka masih ada yang mau taat sama peraturan. Jadi kalau ada yang nanya baik-baik, ya jawabnya baik-baik juga, lah. Jangan gara-gara emosi sama sebagian penumpang, terus semuanya kena getahnya."

Senior saya ini kalau kasih nasehat memang susah dibantah. Gimana saya bisa bantah kalau roti coklat sudah terlanjur masuk kantong?

"Iya, Kang," ucap saya dengan nada menyesal.
___

"Hayo... Jangan ngerokok di sini. Ada aturannya, lho..." Kang Deni menunjuk tanda larangan merokok yang terpasang hampir di setiap sudut stasiun.

"Kaku amat, Kang. Udah tutup ini stasiunnya..." elak saya.

"Tadi ngomel-ngomel sama pelanggar peraturan. Sekarang malah ngebela diri. Kalau mau mengubah orang lain, ubah diri sendiri dulu dong..."

Lagi-lagi saya tak bisa membantahnya. Saya pun mematikan rokok dan membuang puntungnya ke tempat sampah. Jadi perokok sekarang susah. Tempatnya terbatas, dan sekalinya merokok, sering mendapat tatapan jengah dari orang-orang sekitar. Belum lagi kabar kalau harganya akan naik empat hingga lima kali lipat.

Apa sekalian saya berhenti saja, ya?
___

Ngomong-ngomong, roti pemberian Kang Deni enak juga.

END

19/9/2016

Oleh seorang penumpang yang kasian ngeliat salah satu petugas stasiun emosi gara-gara penumpang pelanggar peraturan di jam sibuk Stasiun Manggarai.

Sabar ya, Masnya.... Maap ya yang ngeliat situ kebanyakan baca komik dan novel jadi ngarang-ngarang kehidupan situ sebagai petugas stasiun....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar