Senin, 01 Agustus 2016

[Cerpen] Aku Ketar-Ketir Kamu Cengar-Cengir

Iwan, sang guru SD bingung akan kelakuan Rita, sang istri yang belakangan ini sangat aneh. "Mungkin Rita selingkuh," tuduh Rio, teman karib Iwan sejak di bangku kuliah. Mungkinkah? #BukanLaguStinky Nikmati sepenggal kisah rumah tangga berasa gula-gula kapas ini :'>  
PS: Cerpen ini adalah salah satu pemenang lomba Kumcer komunitas One Week One Paper dan telah diterbitkan bersama 22 cerpen lainnya dalam buku yang berjudul "Lima Teguk Kopi".
________________________________________________________


"Arggghh!!"


Aku mengacak-acak rambutku yang mirip artis Korea dengan frustasi. Jadi nggak mirip Minho lagi deh sekarang. Tapi, masalah ini tidak ada hubungannya dengan aku mirip Minho atau tidak, soalnya itu kan memang kenyataan.
Masalahnya....
Duh, aku tidak tahu apa aku sanggup menceritakan masalahku atau tidak.
"Lo kenapa sih, Bro?" tanya Rio, sahabatku sehidup semati.
Dulu kami sempat dikira pasangan homo. Teman sekelas sering membuat payung cinta bertuliskan Iwan & Rio saking seringnya kami bersama. Bahkan sampai lulus kuliah pun, orang-orang masih percaya kalau orientasi kami menyimpang. Yah, setidaknya sampai aku menikah.
"Gue mau ngambil cuti...." terangku. Lalu diam.
"Ya terus? Yaudah ambil aja. Repot amat...."
"Belom selese ceritanya, Om!"
"Ya abisnya lo diem bae," cocot Rio, sewot.
Aku menyeruput es teh manis dengan nikmat, sebelum melanjutkan ceritaku. "Iya, jadi ceritanya gue mau ambil cuti minggu depan supaya bisa liburan sama istri. Tapi...." lalu aku mendesah panjang.
"Kenapa?" tanya Rio tak sabar.
"Istri gue nolak, Men...."
Rio mendecak, "Yaelah bro, gitu doang aja pusing. Kenapa lo gak pergi bareng gue aja? Kayak masa-masa kuliah dulu. Kan asyik!" kata Rio yang langsung pindah duduk di sampingku dan menepuk-nepuk punggungku.
"Iya juga ya. Asyik juga bisa balik ke masa kuliah dulu—"
Tiba-tiba saja mbak-mbak pelayan yang mengantarkan makanan kami datang. Melihat pose kami berdua yang saling rangkul mesra, ia meletakkan piring dengan cepat dan buru-buru kembali ke dapur.
"Hush! Jauh-jauh sana! Gak heran orang-orang nganggep kita homo. Gue pria beristri sekarang, Men. Lupain aja gue.... cari yang lain...."
Rio langsung menatapku dengan pandangan jijik. "Liat aja, lo pasti nyesel udah nyampakin gue."
Lalu kami berdua saling pandang, tersenyum, dan tawa kami pun pecah. Sudah lama sekali rasanya tidak bercanda seperti ini dengan teman lama. Sejak aku menikah, jarang sekali aku bisa keluar main dengan teman-temanku seperti dulu. Padahal dulu aku terkenal doyan kelayapan. Gunung kudaki, laut kuselami, kuburan pun kugali. Oke, aku bohong. Aku benci naik gunung.
Tapi aku tidak menyesal, kok. Sejak mengucap janji di hadapan orangtua istriku dan penghulu, aku bertekad untuk menjadi laki-laki yang jauh lebih bertanggungjawab dari sebelumnya. Tentu saja mengurangi main adalah salah satu caraku mewujudkan hal itu.
Sayangnya, akhir-akhir ini aku berpikir kalau aku terlalu banyak bekerja. Selepas mengajar di SD, aku masih saja mengambil tawaran privat sore atau malam. Bahkan di hari libur sekalipun. Mungkin hal itu yang membuat istriku nyuekin aku belakangan ini.
Tadinya kupikir dengan mengambil cuti dan mengajaknya liburan, dia akan senang. Tapi kenapa dia malah nolak dengan alasan capek? Memangnya dia capek ngapain? Kan yang kerja di luar juga aku.
"Kira-kira, kenapa ya istri gue nolak gue ajak jalan-jalan?" gumamku.
"Mungkin dia bosen sama lo."
"Wah, lo kok tega banget, Men? Masa bisa bosen sama cowok ganteng macam Minho gini?"
"Elah.... yang bilang lo mirip Minho kan cuma temen kuliah kita doang. Itupun cuma satu. Dan dia sebenernya nggak tau Minho yang mana. Gue rasa dia nyebut begitu juga karna siwer abis UAS. Itu kan maksudnya sarkas, Bro."
"Udah deh nggak usah diterusin. Pedes banget situ kalo ngomong."
"Ya situ kalo mau muji diri sendiri juga ngaca dulu atuh."
Pikiranku kembali melayang. Aku jadi ingat masa-masa sebelum menikah dulu. Sejujurnya aku hampir tidak melakukan apa pun untuk memperjuangkan pernikahanku dan Rita. Semuanya mengalir begitu saja. Kami hanya pernah bertemu beberapa kali karena mengikuti organisasi yang sama. Meski demikian, aku yakin betul kalau Rita tertarik padaku. Dia seperti lembaran buku, sangat mudah dibaca. Reaksinya setiap bertemu denganku seperti anak-anak yang bertemu dengan badut Ancol. Bukan, bukan mau minta foto, tapi tersenyum lebar dan gembira berlebihan.
Aku tahu dia berusaha menyembunyikan hal itu. Tapi tampaknya sulit sekali untuk orang yang ekspresif seperti dirinya. Sementara bagi diriku yang sangat peka, reaksinya itu bagaikan tokoh antagonis sinetron yang menggumamkan rencana jahatnya sepanjang film. Terbaca sangat jelas. Jadi, jangan bilang kalau aku yang terlalu narsis. Buktinya, aku langsung diterima begitu melamar dirinya, kok. Dan dia tidak terlihat seperti orang yang putus asa mencari jodoh hingga terpaksa menerima siapa pun lelaki yang datang melamar ke rumahnya. Emm.... orangtuanya begitu, sih. Tapi, pokoknya Rita itu cinta mati padaku. Titik.
Meski bukan aku yang jatuh cinta duluan, tapi karakternya yang seperti itu mau tak mau membuatku jatuh hati juga. Belum pernah aku bertemu orang yang mau menanggapi semua candaanku dengan candaan balasan yang selevel seperti Rita. Hmmm....kecuali Rio. Sayangnya dia cowok. Biar ganteng gini, aku kan masih termasuk cowok normal, sholeh lagi.
Meski aku dan Rita berbeda, selera humor kami mirip. Dibanding pasangan suami-istri yang romantis, kami ini lebih mirip sahabat. Dia lebih senang jika kuberi permen atau kuajak main paint ball daripada kuberi hadiah bunga atau nonton film romantis. Dibanding jalan-jalan berdua di taman, dia lebih senang kalau aku mengajaknya main bersama murid-muridku di sekolah.
"Sebenernya nolak ajakan liburan sih masih mending. Kali aja dia memang lagi capek. Tapi akhir-akhir ini dia nolak main sama gue," kataku lirih. Aku memajukan bibir bawahku supaya terlihat imut. Tapi justru ditempeleng sama Rio.
"Gue nggak mau denger urusan ranjang lo, tauk!"
Aku mengernyitkan dahi. "Urusan ranjang apa, sih!? Maksud gue main ya main beneran! Gue sama istri gue biasa main sambung kata, atau tebak-tebakan, atau—"
"Bentar," potong Rio. "Lo main apa? Sambung kata? Umur lo sama Rita itu berapa, sih? 10 tahun!?"
"Lah, apa hubungannya main sambung kata sama umur? Itu romantis, tau! Misalnya aja kalo gue bilang 'Macan', Rita akan nyambung dengan kata 'Cantik', terus dengan tatapan lembut gue akan bilang 'Kamu'. Terus Rita tersipu-sipu dan mukanya langsung merah...."
"Alay!" cemooh Rio, sadis.
Aku menggerutu kesal. Bisa-bisanya Rio bilang aku alay. Padahal menurutku yang tadi itu kejadian romantis yang tak ada duanya.
"Anyway, mungkin Rita beneran bosen sama lo yang kekanakan dan ALAY," kata Rio lagi sambil menekankan kata tertentu. "Mungkin dia selingkuh—"
Aku langsung berdiri dan hampir menggebrak meja. "Men! Lo yang bener aja dong kalo ngomong!"
Rio kaget dan mencoba menenangkanku yang tiba-tiba emosi. "Mungkin, Bro. Mungkin.... Kan gue cuma mengutarakan berbagai kemungkinan aja. Kalo lo nggak yakin Rita begitu, lo bisa cari tahu sendiri. Perhatiin aja sikap dia di rumah, terus analisis. Itu kan yang biasa lo lakuin. Katanya lo peka?"
Emosiku sedikit mereda. Rio ada benarnya juga. Aku bisa menganalisis sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin aku memang kurang memperhatikan tindak-tanduk Rita di rumah sejak menambah jam kerja, sampai-sampai aku tidak sadar kalau perlahan dia mulai berubah.
。・゚・('∀'*)゚・・。
"Dek, masak apa?" tanyaku begitu pulang.
Rita menoleh padaku sekilas sebelum kembali tenggelam dalam pekerjaannya menyetrika pakaian. "Ada sayur kangkung sama tahu isi."
Aku langsung meletakkan tasku di sofa, melepas dua kancing atas kemejaku dan menuju meja makan untuk menyantap masakan istriku malam ini. Tapi, kenapa dia tidak bergabung bersamaku?
"Kamu udah makan, Dek?"
Rita menjawab tanpa menoleh. "Mmm.... udah. Nanti abis nyetrika, Adek tidur duluan, ya. Capek."
Rita tidak pernah melewatkan makan malam bersamaku sebelumya. Meski dia sudah makan, biasanya dia akan menemaniku makan sambil nyemil sesuatu. Lebih sering, dia ikut makan lagi. Hari ini dia memang terlihat sedikit lelah.
"Hari ini Adek pergi ke luar?" tanyaku hati-hati. Kumohon, tolong jawab 'nggak', Dek.
"Mmm...Nggak..."
Dia bohong.
Detik itu juga, rasanya ada pisau yang menancap di ulu hatiku. Rita menjawab pertanyaanku tanpa melihat langsung ke mataku. Meski samar, aku juga masih bisa melihat kalau bibirnya sedikit bergetar. Dan meski tak ingin, aku terus teringat akan kata-kata Rio tadi siang. Rita selingkuh.
Tapi bagaimana mungkin?
Aku percaya dia tidak akan mengkhianatiku. Aku percaya padanya sebesar aku percaya diriku sendiri. Mungkin....mungkin saja Rita memang ada perlu keluar. Tapi kenapa harus sampai berbohong padaku? Atau mungkin sebenarnya dia tidak selingkuh. Mungkin saja dia dikenalkan pada budaya KPOP dan naksir salah satu artis Korea yang ganteng-ganteng itu. Mungkin ia tidak ingin aku cemburu, sehingga ia harus menyembunyikan kenyataan itu dariku.
Sejujurnya, aku tahu kalau aku hanya berusaha keras untuk menyangkal kenyataan yang ada di depan mata. Tetapi jauh di lubuk hatiku, aku juga tahu kalau hubungan kami memang sedang dalam masalah.
。・゚・('∀'*)゚・・。
"Gue nggak tahu dia selingkuh apa nggak. Tapi gue tahu persis kalau cinta dia ke gue mulai terkikis," kataku pada Rio.
Setelah kejadian Rita berbohong waktu itu, aku sempat stress. Aku juga beberapa kali memergoki Rita senyam-senyum sendiri ketika melihat Hpnya. Dia lebih sering mengurung diri di kamar saat aku ada. Ketika aku masuk ke kamar pun, dia selalu pura-pura sudah tertidur seolah-olah memang tidak sedang melakukan apa-apa.
"Lo serius?" tanya Rio.
Aku mengangguk sambil menegak banyak-banyak bir pletok khas restoran tradisional Betawi ini supaya terlihat kalau aku benar-benar stres. Orang stres biasanya nge-bir, kan? Tapi karena aku muslim dan bir itu jelas haram, aku sengaja memilih bertemu di restoran ini supaya bisa minum bir pletok. Menurut edaran keluaran MUI, bir pletok itu masih masuk kategori halal, karena bahan-bahannya murni dari jahe dan hanya namanya saja yang terkesan haram.
"Jelas ada seseorang yang membegal cinta dia yang tadinya cuma buat gue, Men. Gue harus apa?" kataku lelah.
Rio diam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku yang benar-benar terdengar putus asa. "Ya lo harus selesein masalah ini secepatnya. Caranya? Gue nggak tahu, lah. Gue jomlo, Bro. Nggak ngerti urusan beginian."
"Huh, lo sama sekali nggak membantu. Terus apa gunanya kita ketemu di sini? Dan jangan harap gue kasihan sama lo yang masih berstatus jomlo itu."
Pada akhirnya, pertemuanku dengan Rio pun tidak menghasilkan solusi apa pun. Kami hanya buang-buang duit di restoran. Saking stresnya, aku kembung bir pletok.
。・゚・('∀'*)゚・・。

"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Rita dari dalam kamar.
Aku memandang sekeliling. Sepatu pink yang biasa dipakai Rita untuk pergi ke luar tidak terletak rapi di rak sepatu, melainkan tergeletak begitu saja di sampingnya. Itu menandakan kalau ia baru saja dari luar. Rita pergi agak jauh, karena jika pergi ke dekat rumah, ia akan memakai sendal crocs yang lebih simpel dan nyaman dipakai meski tampilannya nggak ada bagus-bagusnya. Lampu dapur tidak dinyalakan, menandakan ia tak sempat memasak makan malam.
Tak lama kemudian, Rita keluar dengan wajah bersih dan sedikit lembab, menandakan ia baru saja mencuci wajahnya dengan sabun muka. Ia hanya mencuci wajahnya sebelum tidur atau untuk menghapus make-up. Sementara ini baru jam setengah delapan.
Wajahnya yang lembab itu manis sekali. Rambutnya sedikit basah hingga beberapa helai masih menempel di pipinya. Aku senang sekali bisa menjadi satu-satunya orang selain keluarganya yang boleh menikmati pemandangan ini. Rita selalu melindungi dirinya dengan hijab yang pantas saat keluar rumah. Tapi meski demikian, aku tetap tak rela berbagi Rita seujung kuku pun dengan orang lain.
Aku tak tahan lagi dengan ketidakjelasan ini. Semuanya harus diperjelas, apa pun yang terjadi.
"Neng, tolong katakan pada Aa ada apa sebenarnya. Siapa yang berani-beraninya membegal cinta Eneng yang tadinya cuma buat Aa?"
Eneng...eh, Rita menatapku heran. "Kak, sejak kapan bahasa kamu jadi begitu?"
Aku memberikan Rita tatapan paling sedih, "Eneng berubah. Eneng bikin Aa sedih. Makanya tadi Aa nonton lenong sambil minum bir pletok buat ngelepas stres. Eh, tahu-tahu logatnya kebawa sampe rumah."
"Tapi itu logat sunda, bukan betawi...."
Loh, iya juga. "Tapi di restorannya ada peyeum, Neng. Jadi kebawanya logat sunda." Sebagai suami, harus memberikan jawaban yang logis lagi jenius.
"Udah, jangan diterusin," kata Rita dengan nada serius.
Aku terkejut. Entah kenapa, aku makin sedih mendengar reaksinya. Mana Rita yang biasa? Sejauh ini kah ia berubah untuk orang lain? "Kenapa, Neng?"
Dengan wajah cemberut, Rita menjawab, "jangan diterusin, Kak. Nanti Eneng....eh, Adek jadi ikut-ikut. Duh, baru aja diomongin. Geli tau, A....eh, Kak. Duh! Udah aaah...." Dia kesal sendiri karena terbawa-bawa juga.
Mendengar itu mau tak mau aku tersenyum. Mungkin Rita berubah. Tapi dia tetap Rita yang kukenal. Rita yang selera humornya mirip denganku.
Melihatku tersenyum, Rita pun ikut tersenyum. Kami berdua terkikik pelan. Suasana mulai mencair. Lalu, aku yang sudah tidak terlalu sedih pun berniat melanjutkan hingga semuanya jelas. Kalau Rita memang tak lagi cinta padaku, apa mau dikata. Terkadang cinta memang tidak bisa dipaksakan. Terkadang hadirnya memang tak terencana, begitu pula perginya. Satu yang ingin kuperjuangkan adalah pernikahan kami. Tak masalah jika kali ini hanya aku yang cinta padanya.
"Cerita semuanya, Dek. Kakak tahu waktu itu kamu bohong," kataku tegas, namun tetap lembut.
Mendengar kata-kataku, Rita menunduk. Kata maaf yang sangat pelan yang keluar dari bibirnya menggambarkan seluruh penyesalannya atas tindakannya waktu itu.
"Ada orang lain?" tanyaku lagi, lebih hati-hati.
Rita bimbang sebentar, terlihat ragu saat akan menjawab. Namun setelah menghela napas, ia mengangkat kepalanya, dan memandang mataku dalam-dalam. Detik itu, aku sudah tahu jawabannya.
"Iya."
Pisau kedua kembali menancap di ulu hatiku. Kali ini lebih dalam.
"Kamu.... mau pisah?" tanyaku sok tegar. Laki-laki pantang menangis.
Rita terkejut, itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. "Pisah?" Sedetik kemudian Rita terlihat menahan tawa. "Kakak pasti salah paham, deh. Orang lainnya bukan kayak yang Kakak pikirin, kok."
Eh? Bukan selingkuhan? Jangan-jangan, benar dugaanku yang pertama kalau Rita sedang gandrung artis. Artis Korea nih pasti. Apa dia bosan dengan aku yang berwajah macho mirip Minho, dan nyari yang lebih imut? Atau dia mencari wajah cowok yang lebih cantik, barangkali.
"Terus, siapa maksudnya?" tanyaku bego.
Rita masih tersenyum, "Kakak mau lihat fotonya, nggak?"
Meski ragu, akhirnya aku mengangguk juga. Selagi Rita mengubek-ubek tasnya untuk mencari foto, aku menebak-nebak artis mana yang kira-kira disukai Rita sampai ia berani nyuekin aku akhir-akhir ini.
"Nih." Rita menyodorkan lembaran foto berwarna hitam yang cukup besar.
Itu lembaran foto yang sangat familier. Aku membuka mulut tak percaya. Airmata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah juga. Aku memandang Rita dan foto itu bergantian.
"Dek, kamu....?"
"Emang belum keliatan bentuknya, sih. Tapi jelas, dia orang lain yang kumaksud, hehehe. Anak kita..." Rita menunjukkan cengirannya yang paling lebar.
Istriku yang paling manis ini memang tahu caranya ngerjain suaminya sendiri. Jadi ini alasan dia selalu terlihat capek akhir-akhir ini? Mungkin dia periksa ke dokter sendiri karena tidak ingin membebani aku yang sedang banyak kerjaan. Dia sengaja membuat semuanya ambigu untukku demi datangnya hari ini. Hari di mana ia mengatakan langsung bahwa ada jiwa lain di tubuhnya. Jiwa yang tak ternilai hingga mampu membuat istriku sok lupa padaku.
Anakku sendiri, darah dagingku sendiri, membegal cinta istriku untukku. Tapi kalau begini sih bukan hanya cinta istriku saja, cintaku juga pasti akan terbegal olehnya, meski saat ini ia berukuran tak lebih dari kepalan tanganku.
"Kakak nangis? Cowok nggak boleh nangis, tau." Meski berkata begitu dengan niat menggodaku, pada kenyataannya Rita juga menangis.
Aku mengusap airmata yang terus keluar dengan lengan baju. "Ini gara-gara kamu, tau!" Aku bergerak seolah ingin mencubitnya dengan kedua tanganku.
Tapi saat Rita menutup mata, aku justru memeluknya dengan erat.
Cintaku, sayangku, kekasih hatiku, dia membuatku hampir gila karena cemburu, tapi juga membuatku melayang karena hadiah yang tak terduga-duga.
Malam itu kami berpelukan lama sekali.
(つ≧▽≦)つ⊂(・ヮ・⊂)
END

3 komentar: