Rabu, 31 Agustus 2016

Malam Narasi OWOP - OASIS



"Paman, aku mau ikut berjihad."

Seorang anak menarik ujung seragamku dan menunjukkan kesungguhan atas ucapannya tersebut dengan mimik wajahnya yang keras. Meski demikian, dari wajah yang sama, aku juga melihat kelelahan yang teramat sangat. Tubunya pun kurus kering.

Aku pun menunduk dan mengusap kepalanya. "Mana ayahmu, Nak?" tanyaku padanya.

"Ayah belum pernah pulang sejak dia bilang ingin pergi berjihad," katanya.

Dan aku pun langsung mengerti maksudnya. Dengan segenap rasa iba, aku memeluk anak itu dan mengusap-usap punggungnya. "Pulang ya, Nak. Kamu boleh kembali berjihad saat baligh nanti..."

Mata anak itu menyorotkan kebingungan yang teramat  sangat. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh berjihad sekarang? Aku juga mau masuk surga seperti ayahku!" teriaknya.

Aku mengelus kepalanya lagi untuk meredakan emosinya. Aku juga tersenyum padanya dan mencoba bicara dengan nada yang lebih lembut. Walaupun tidak bisa melakukan apa-apa soal ayahnya yang mungkin telah gugur di medan perang, semoga aku bisa mengalahkan perhatiannya dari keinginan berjihad sekarang.

"Memangnya kalau masuk surga kamu mau minta apa?"

"Kata ayah, semua yang kita mau ada di surga. Jadi, aku mau minta roti..." ia menundukkan kepalanya. Dan rasanya aku tidak mampu lagi membendung air mataku.

Aku tahu kehidupan kami saat ini sangat menyedihkan. Tapi entah kenapa aku bahagia. Di tanah ini, tumbuh banyak anak-anak berhati polos dan selalu berpikir positif akan Tuhannya. Tak seperti kebanyakan manusia yang berpaling ketika mendapatkan cobaan, anak-anak seperti yang di hadapanku ini justru semakin percaya dan menggantungkan nasib mereka kepada Allah. Apalagi yang kami--orang-orang dewasa--bisa selain bersyukur memiliki generasi muda seperti mereka?

Karena tak tahan lagi, aku pun memberikan roti jatahku hari itu. Kami memang hanya mendapatkan jatah sekerat roti untuk sehari. Tapi rasanya hari ini aku cukup kuat untuk menahan lapar hingga esok hari. Lagipula, nyawa anak muda seperti dirinya jauh lebih berharga daripada nyawaku. Dialah salah satu anak yang akan menjadi harapan negeri kami.

Saat menerima roti itu, senyumnya merekah lebar dan matanya seakan tak percaya oleh apa yang baru saja ia dapat. Tapi lagi-lagi anak ini membuatku begitu kagum karena ia tidak langsung pergi dan justru membagi roti itu untuk kami berdua.

"Terima kasih, Paman. Aku minta sedikit saja karena perutku lebih kecil dari Paman." Lalu ia memberikan potekan roti yang lebih besar padaku.

Melihat senyum bahagianya, rasanya seperti melihat ia mandi di oasis yang berada di tengah-tengah gurun yang membakar. Meski negeri kami sedang luluh lantak, ternyata masih ada anak-anak yang bisa tersenyum seperti dirinya.

Terima kasih, Nak. Kamu memberikan alasan lebih bagiku untuk terus berjuang. Berjuang melindungi senyum-senyum lain yang masih tersisa di negeri ini. Serta mengembalikan senyuman-senyuman yang telah lama hilang dari negeri ini.

-nana-
30/8/2016


Gambarnya bikin baper...
Susah nulis ini tanpa mewek....
Semoga adik-adik di sana masih bisa tersenyum gimana pun keadaan mereka sekarang :'(
Aamiin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar