Aku benci naik gunung!
Kenapa sih mau liburan saja harus bersusah-susah naik gunung
segala? Daripada naik-naik ke puncak gunung—tolong jangan mengucapkannya dengan
nada lagu super menyebalkan yang jadi lagu wajib anak-anak—bukankah lebih baik
ke pantai atau tempat wisata lainnya? Pemandangan bagus kan bukan hanya di atas
gunung.
Oke, mungkin menurut orang lain aku ini berlebihan. Apa
salahnya naik gunung? Toh bisa sekalian olahraga sambil melihat pemandangan
indah di sekeliling saat naik ke puncak.
Nggak.
Mungkin salah satu alasan kenapa aku benci sekali gunung
adalah karena aku tidak mendapat kesenangan seperti orang-orang lain saat
pertama kali aku menanjak naik ke salah satu pegunungan Gede yang berada di
Jawa Tengah. Saat naik ke atas, beberapa kali kakiku kram hingga tertinggal
rombongan. Cuaca kala itu juga kurang mendukung sehingga kami terpaksa memakai
jas hujan yang membuat penglihatan semakin kabur. Belum lagi pijakan tanah yang
menjadi licin karena air hujan, membuat kami harus ekstra hati-hati agar tidak
tergelincir. Sesampainya di atas gunung pun aku harus bertahan tidur menggigil
di dalam tenda, menunggu matahari terbit. Sayangnya, aku gagal mendapat foto
matahari terbit yang indah karena tertutup awan nakal. Rasanya detik itu aku
ingin membanting kamera mahal yang sudah susah-susah kubawa sepaket dengan
tripodnya. Tapi nggak jadi karena sayang. Setelah itu, yang kuinginkan hanya pulang
dan makan mi instan.
Sudah susah-susah naik ke atas, ternyata apa yang kudapat
tidak sebanding dengan apa yang kuusahakan. Aku malah heran dengan fenomena
‘menyatakan cinta di atas gunung’ yang sedang melanda anak-anak muda Indonesia.
Memangnya menyatakan cinta pada orangnya langsung kurang romantis apa? Dekorasi
bunga mawar dan lilin juga sudah cukup untuk mempermanis suasana. Kenapa juga
harus susah-susah naik ke ribuan kaki di atas laut? Repot.
Itulah mengapa aku agak sensitif saat mendengar kata
‘gunung’.
“Lin, kita udah susah-susah ke Jepang. Kenapa harus ke
gunung, sih?” protesku.
“Shen, kamu dengerin penjelasanku dulu dong. Nama tempatnya
emang Wakayama (Gunung Waka), tapi
tempat yang kita tuju bukan gunung, kok.” Alina memberi jeda pada penjelasannya
saat aku mengerutkan kening karena tak percaya. “Hmm... oke, emang gunung sih.
Tapi bukan naik gunung kayak yang kamu bayangin. Percaya deh...”
Aku meliriknya dengan
curiga, “bener?”
Alina cepat-cepat mengangguk.
“Yang kita akan kunjungi itu Wakayamajo (Kastil Gunung
Waka). Memang letaknya agak naik gunung, sih. Tapi kita ke sana naik tangga,
kok. Nggak seperti yang kamu bayangin deh, pokoknya,” terang Alina seraya
meyakinkanku kalau perjalanan ini tidak seburuk apa yang kupikirkan.
Alina memang sudah tinggal di Jepang selama beberapa bulan
untuk melanjutkan studinya di salah satu universitas di Osaka. Dulu kami satu
universitas di Jakarta. Sayangnya, Alina lebih beruntung hingga mendapat
beasiswa untuk belajar di negeri matahari terbit ini. Sementara aku hanya bisa
kemari selama seminggu untuk liburan. Itu pun setelah aku menabung
bertahun-tahun. Alina memang lebih paham daerah ini dibandingkan aku, itu sudah
pasti. Aku coba percaya saja padanya. Semoga perjalanan kali ini tidak
mengecewakan.
***
Hari ini kami bangun lebih pagi karena jarak dari Osaka ke
Wakayama cukup jauh. Kami harus naik kereta kurang lebih satu setengah jam
sebelum sampai di sana.
Perjalanan kami berlalu tanpa masalah yang berarti. Kami
tiba di sana sepuluh menit lebih cepat dari perkiraan. Begitu selesai
mengumpulkan informasi di tourist information center, kami langsung menuju
tempat yang dimaksud dengan bus, kurang lebih sepuluh menit. Aku senang karena
akhirnya bisa mempraktekkan kemampuan bahasa Jepangku saat bertanya tadi.
Petugas di tourist information center tampaknya sedikit terkejut saat orang
asing sepertiku bertanya dalam bahasa Jepang yang cukup lancar. Sebelum pergi
dari ruangan itu pun, ia sempat memuji bahasa Jepangku.
“Nah, sampai deh. Dari sini kita jalan,” terang Alina.
“Waw!” Aku terkagum-kagum melihat gerbang kayu yang begitu
besar di hadapanku. Untuk masuk ke dalam pun kami harus melewati jembatan yang
cukup besar yang di bangun di atas kolam besar. Aku dapat melihat ikan-ikan
besar yang berebut makanan saat ada seseorang yang melempar potongan roti atau
kue. Ikan-ikan tersebut benar-benar besar! Lebih besar daripada gurame yang
disajikan restoran mahal di Indonesia. Melihatnya saja membuatku ingin nyebur
ke kolam.
Err... Nggak juga, sih. Aku cuma bercanda.
“Ayo!”
Aku pun berlari kecil menyusul Alina yang telah melalui
gerbang dan masuk ke dalam. Sepanjang jalan, di sebelah kiri kami terdapat
pepohonan rindang serta taman yang cukup indah. Sementara di sebelah kanan kami
terdapat tembok batu yang menjulang tinggi ke atas. Sepertinya kastil yang
dimaksud oleh Alina berada di atas tebing batu buatan manusia itu.
Kami berjalan dan terus berjalan di jalanan yang menanjak
landai tersebut. Aku tak merasa terlalu lelah karena kami sesekali berhenti
untuk foto dengan bunga-bunga indah yang ada di taman. Namun ketika sampai di
ujung, aku mulai mengeluh.
“Perasaan udah jalan jauh banget, tapi kok belum
sampai-sampai, ya?” Aku berhenti dan mengatur nafasku yang mulai tak teratur.
“Ini belum ada setengahnya. Lihat kan di tebing batu depan
itu ada tangga? Kita harus naik tangga itu untuk sampai di atas.”
Aku melihat tangga itu tak percaya. “Setinggi itu!?”
“Yah... namanya juga kastil di gunung...”
Dasar Alina penipu! Naik tangga sih naik tangga, tapi kalau
tangganya setinggi bukit begitu ya sama saja capeknya dengan naik gunung!
Menyebalkan!
Namun karena Alina dengan super tega meninggalkanku di bawah
dan langsung naik sendirian ke atas, mau tak mau aku juga ikut naik. Alina juga
tahu aku tidak akan bisa pulang sendiri ke apartemennya. Dia tidak memberiku
pilihan lain.
Anak tangga demi anak tangga kunaiki, namun sepertinya
tangga itu tak akan pernah berakhir. Jalan ke atas juga semakin menyempit dan
membuatku kesulitan berjalan. Tambah lagi, turis-turis yang berjalan turun di
sebelah kanan juga menambah sempit tangga itu.
Setelah kurang lebih satu jam, kami akhirnya tiba di satu
taman yang dibatasi oleh pagar yang tak terlalu tinggi. Bunga-bunga di sini
lebih indah, dan pemandangan dari atas bukit tampak sangat menawan. Aku yang
kelelahan setengah mati meminta Alina untuk duduk-duduk dulu di taman.
“Mana kastilnya?” tanyaku.
Alina diam sebentar sebelum menjawab, “mmm... masih naik
lagi...” Ia menunjuk tangga berukuran 1-1,5 meter yang dibagi dua untuk jalan
naik dan turun. Tangga itu jauh lebih curam daripada yang kami lewati sebelum
ini. Benar-benar seperti jalan setapak.
“Alina...” kataku parau. Rasanya ingin aku mencekiknya saat
itu juga.
“Hehehe.” Alina tertawa tanpa menunjukkan wajah
bersalah.
Kami menghabiskan waktu yang cukup lama di taman itu. Oke,
lebih tepatnya, aku. Sejak tadi Alina sudah mulai menarik-narik tanganku untuk
naik lagi. Namun aku menolak dan memintanya istirahat lagi selama beberapa
menit ke depan. Saat Alina menyerah dan membiarkanku, di depan kami berdua
lewat seorang nenek yang sudah amat renta. Punggungnya bungkuk dan ia berjalan
perlahan menggunakan dua tongkat. Kami terus saja memperhatikan nenek itu
berjalan melewati kami. Lama kemudian, nenek itu mulai menanjak naik tangga
yang sejak tadi terus kuhindari. Mulutku menganga lebar.
“Astaga...” ujarku terkejut, setengah takjub.
Alina terkekeh. “Lansia di sini kuat-kuat, lho. Karena
mereka tiap hari jalan, nggak heran di umur segitu masih bisa naik gunung.”
Detik itu juga aku merasa malu. Masa kalah sama
nenek-nenek!?
“Ayo jalan!”
Alina terkekeh lagi.
***
Setelah bersusah payah, peluh tertumpah, dan napas tinggal setengah, kami
akhirnya sampai di atas. Kastil Wakayama berbeda jauh dengan Kastil Osaka yang
begitu besar. Kastil ini memang kecil. Di sekelilingnya masih banyak pohon dan
tumbuhan yang tumbuh secara alami. Jika melihat ke bawah, masih banyak hutan
yang membentang luas hingga ke bawah. Pemandangan ini memang sederhana, tak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan hutan dan gunung yang ada di Indonesia.
Namun rasanya ini juga tak kalah menakjubkan.
Kami menikmati waktu santai kami di bangku-bangku depan
kastil sambil memakan es krim yang kami beli dari mesin penjual otomatis. Hanya
ada beberapa toko kecil di sekitar kastil ini. Sisanya adalah mesin penjual
otomatis yang menyediakan macam-macam seperti minuman dingin dan es krim.
Benar-benar cocok di musim panas seperti ini.
Seperti yang telah kusebutkan tadi, kastil ini tidak ada
apa-apanya dibanding Kastil Osaka. Namun Kastil Wakayama memiliki keunikan
tersendiri. Para guide yang tersebar di sekitar kastil, semuanya menggunakan
kostum ninja, lengkap dengan senjata yang biasa digunakan para ninja seperti
shuriken dan pedang yang tak terlalu panjang. Mereka menjelaskan informasi
mengenai Kastil Wakayama dengan wajah riang pada turis-turis mancanegara yang
datang ke sini. Beberapa diajak untuk berfoto bersama. Beberapa diminta untuk
berpose layaknya ninja. Kami pun akhirnya menghampiri salah satu guide
perempuan dan memintanya berfoto bersama kami. Suasana yang benar-benar
menyenangkan.
Setelah melewati beberapa waktu di atas, kami akhirnya turun
gunung. Tangga yang tadi begitu berat kulalui, tak terlalu terasa panjang
begitu kami turun. Tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di bawah lagi.
Ketika kami akan melangkah menuju gerbang, pandanganku
terpaku pada satu guide berpakaian ninja yang sedang bermain bersama tiga bocah
Jepang. Kakak ninja yang kutaksir berumur kepala dua itu menunjukkan beberapa
teknik ninja pada bocah-bocah yang mengerubunginya. Bocah-bocah itu terlihat
sangat senang. Lalu tiba-tiba kakak ninja itu mengeluarkan kain berwarna
abu-abu yang cocok dengan dinding batu di belakangnya. Ia pun menunjukkan
teknik ninja bersembunyi di balik kain tersebut. Tanpa sadar aku tertawa
terbahak-bahak karena kain motif batu itu benar-benar terlihat palsu. Mau
sembunyi seperti apa pun dia pasti akan ketahuan.
Ketiga bocah dan kakak ninja itu sontak menoleh padaku.
Bocah-bocah itu menatap padaku heran, mungkin karena aku sama sekali tidak
mirip orang Jepang. Sementara si kakak ninja tersenyum padaku dan menundukkan
kepalanya sedikit untuk memberi salam. Aku terkejut dan ikut memberinya salam
dengan menundukkan kepalaku. Saking gugupnya, aku lupa untuk membalas
senyumannya dan melangkah meninggalkan tempat itu.
“Kakak ninjanya cakep, ya. Mau foto deh...” kataku dengan
suara pelan.
Alina melirikku dengan pandangan curiga. “Naksir ya? Dasar!
Kalo mau foto bilang dong. Mau balik lagi?”
Aku berhenti melangkah, menatap mata Alina, lalu berbalik.
Akan tetapi sebelum sempat berjalan kembali ke tempat tadi, aku berjongkok dan
menutup kedua wajahku dengan telapak tangan. “Tapi maluuu....”
Kepalaku digeplak Alina. “Payah!” ejeknya sadis.
“Kapan lagi bisa foto sama dia, kan? Lo kan nggak lama-lama
di sini...” ujarnya persuasif.
Diiringi kalimat-kalimat Alina yang menantang, kami
benar-benar melangkah kembali ke tempat tadi. Aku melangkah dengan lambat dan
ragu-ragu karena tak yakin berani untuk meminta foto dengan ninja tadi.
Begitu sampai di tempat tadi, kakak ninja yang begitu ramah
pada bocah-bocah itu sudah tidak ada. Dia pasti sudah naik kembali ke kastil
dan menjalankan tugasnya. Aku dan Alina pun memutuskan untuk pulang.
Saat itu, terdengarlah sayup-sayup suara musik dari
kejauhan. Karena penasaran, kami pun melangkah mendekati suara. Sepertinya ada
pesta terbuka atau semacamnya. Begitu kami tiba di tempat musik itu berasal,
ternyata memang ada pesta. Semua pesertanya lansia dan tampaknya mereka
bersenang-senang di sana. Tapi pesta itu telah berakhir. Mereka memang masih
mengobrol dengan gembira diiringi alunan musik tradisional yang diputar dengan
menggunakan sound system modern. Bangku-bangku yang tak terpakai mulai
dibereskan oleh para guide yang berpakaian ninja. Disitulah aku melihat kembali
kakak ninja yang barusan.
“Itu dia!” kataku tak mampu menyembunyikan kebahagiaan.
“Mana?” Alina mencari-cari lewat sudut matanya. “Oh iya!
Ayok samperin!”
Alina melangkah maju dengan cepat, namun aku menarik
tangannya. “Jangan!” kataku panik. “Nanti ketahuan banget dong gue
ngejar-ngejar dia...”
“Yaelah, masih gengsi aja. Kapan lagi, kan? Malu cuma
sekali, ini. Nanti pas lo balik juga nggak akan ada yang inget...”
“Tapi...”
Waktu kami berdua tarik-tarikan, seorang nenek menghampiri
kami. Dia nenek dengan dua tongkat yang tadi kami lihat naik ke atas kastil
dengan semangat.
“Ada apa?” katanya dengan bahasa Jepang yang agak sulit
ditangkap telingaku.
“Temanku mau foto sama ninja,” ujar Alina tanpa tedeng
aling-aling seraya menunjuk ke arah pesta lansia itu.
“Ooh... mau foto? Ayo saya antar ke sana,” ucapnya seraya
tersenyum ramah.
Aku masih malu, namun akhirnya tetap mengekor di belakang si
nenek dan Alina yang terlalu bersemangat.
Kami bertiga menghampiri kumpulan guide yang masih sibuk.
Tetapi begitu si nenek meminta mereka untuk berfoto denganku, semuanya langsung
berhenti mengerjakan apapun. Kakak ninja yang kami temui tadi, kembali tersenyum
padaku. Dia masih ingat. Hahaha. Siapa sih yang nggak inget cewek aneh yang
tiba-tiba tertawa saat kau sedang menghibur anak-anak?
Tujuanku berfoto dengan kakak ninja tadi akhirnya tercapai.
Meski pada kenyataannya kami bukan foto berdua, melainkan berfoto bersama seluruh
guide yang ada di situ, juga bersama nenek dan kakek yang masih ada di tempat.
Kakak ninja yang akhirnya aku tahu bernama Kentou, menanyakan asal negaraku.
Sementara yang lain juga ikut bertanya macam-macam hal. Kami jadi mengobrol
cukup lama dengan orang-orang Jepang yang ada di situ sebelum akhirnya
benar-benar pamit dan pulang.
“Hati-hati pulangnya ya. Kapan-kapan main ke sini lagi!”
seru Kentou seraya melambaikan tangannya.
Aku pulang dengan hati berbunga-bunga.
Di perjalanan, Alina menyenggol lenganku dan berkata, “gimana
rasanya pergi ke gunung?”
“Asyik!” jawabku dengan senyum lebar.
THE END
Ini kisah nyata yang akhirnya gue tulis dalam bentuk cerpen dengan tambahan disana-sini. Ehehehehe. Aslinya, gue nggak jadi foto sama si kakak ninja ganteng itu saking malunya nyamperin dia lagi cuma buat minta foto. Pada akhirnya, keinginan gue yang nggak tersampaikan itu malah gue wujudkan dalam bentuk cerpen. Asalkan ada khayalan dan imajinasi, semuanya bisa terjadi. Ahahahahahahahaha. Malu deh jadinya.... tapi beneran nyesel kenapa waktu itu nggak minta foto dia sama anak-anak Jepang yang lagi main itu....
Setsu, Dewi, kenapa kalian nggak nyeret-nyeret gue sekalian biar jadi foto. Uhuhuhuhuhu~
*menyesaaaallll*
Kapan-kapan kalau ada kesempatan ke Jepang lagi, pasti gue main ke Wakayamajo lagi :))
Setsu, Dewi, kenapa kalian nggak nyeret-nyeret gue sekalian biar jadi foto. Uhuhuhuhuhu~
*menyesaaaallll*
Kapan-kapan kalau ada kesempatan ke Jepang lagi, pasti gue main ke Wakayamajo lagi :))
Deket dinding batu tempat si kakak ninja cakep mainan sama bocah-bocah |
Saya nyesel nggak ke Wakayamaaaa....
BalasHapusMalah lebih milih kuil-kuil apalah itu di Nara dan Kyoto.....
*mau puter balik nggak bisa
*pundung