Kamis, 08 Oktober 2015

Tantangan Menulis DUET

Yak, karena banyak yang nagih tantangan dari Ruru & Nana sejak 30 September yang lalu, jadi kami berdua memutuskan untuk benar-benar memberikan tantangan menulis. Tantangan menulis ini berbeda dari biasanya looh. Kalo sebelumnya hanya ditentuin tema, untuk tantangan kali ini ada beberapa ketentuan yang harus diikuti oleh challenger. Hehehehe :D

Tadinya kita mau bagi jenis tulisan untuk fiksi-nonfiksi. Tapi berhubung kami berdua akan merasa tidak adil kalau harus menilai nonfiksi (karena nonfiksi jelas bukan bidang kami yang kebanyakan ngayal xD), jadi kami memutuskan kalau ini adalah tantangan MENULIS FIKSI.

Ketentuan challenge:
1. Terbuka untuk anggota OWOPLand saja.
2. Membuat tulisan fiksi (flashfic, cerpen, & sejenisnya) dengan cara DUET
3. Tuliskan SATU cerita dengan DUA sudut pandang (PoV) yang berbeda. (karena ini duet, masing-masing menulis satu sudut pandang)
4. Tema tulisan adalah "menulis"
5. Genre dan panjang tulisan bebas
6. Harus memasukkan minimal 2 nama dari anggota OWOPLand
7. Hasil tulisan dipoting di grup WA LinKar OWOP DAN di komen blog ini. Satu tulisan (karya dua orang) dipost oleh satu orang saja. Jangan lupa beri judul dan nama penulisnya
8. Tulisan diposting paling lambat hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015 pukul 23.59

Hadiahnya? Hadiahnya WOW banget dong pastinya :D

2 antologi Lima Teguk Kopi
1 novel Sepotong Hati yang Baru karya Tere Liye
1 novel Heroes of the Valley karya Jonathan Stroud

+ hadiah tambahan lainnya untuk dua pasang pemenang

Behubung kami nggak tau siapa aja yang udah punya buku antologi, pasangan pemenang pertama BERHAK MEMILIH HADIAH BUKU YANG MEREKA INGINKAN.

Ini pasangan duet yang sudah terdaftar:

Daftar pasangan duet. Jreng jreng~

1. Kiki - Vaarida
2. Zu - Ria
3. Depi - Erma
4. Nifa -Dee
5. Ana - Imron
6. Dini - Izzy
7. Mimi - Iim
8. Rini - Mumu
9. Roida - Yuli

Yang masih mau nyusul di detik-detik terakhir juga dipersilakan lho.... Ahahahaha... itu juga kalo masih sempet nulis :p

Contoh hasil tulisan DUET Ruru & Nana:




BUKU AJAIB 
By: Ruru & Nana

Ruru PoV

Di sekolah ini ada legenda. Konon katanya, ada sebuah buku hitam yang berkelana dari laci meja yang satu ke meja yang satunya untuk mengabulkan permintaan. Peraturannya, buku ditemukan setelah petang di laci meja, lalu akan menghilang kalau kau menaruhnya di laci meja lagi. Kupikir itu semua hanya legenda saja, tapi malam itu, aku memastikan bahwa itu bukan sekadar legenda….
.
"Akhirnya rapat selesai!" ucapan lega mengalir dari bibir Saa. "Udah pegel banget gue. Yuk pulang!" ajaknya.
Aku mengangguk. "Iya, gue juga capek. Yuk pu--" ucapanku terhenti saat teringat sesuatu. Kayaknya ada yang ketinggalan. Cepat-cepat aku mengecek isi tasku. Tuh kan betul!
"Bentar, Saa. Temenin gue ambil barang ke kelas," kataku seraya menarik tas Saa.
"Hah?! Gile lu, Ndro! Lampu udah pada dimatiin, serem! Ogah! Gue mau pulang!" Saa buru-buru meronta berusaha melepaskan diri, tapi aku menggenggam tasnya erat-erat. Untungnya temanku yang satu ini kurus, jadi gampang bagiku menariknya menyusuri tangga sekolah yang sudah gelap.
Lampu yang menyala hanya di lantai dasar. Itu pun tidak semuanya. Pemandangan yang sudah biasa bagi kami yang sering rapat atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, tapi tetap saja ini kali pertama bagi kami untuk naik ke lantai satu setelah lampu dimatikan. Sebetulnya yang jadi masalah hanya tangga dan koridor saja. Begitu sampai di kelas kan kami bisa menyalakan lampu.
Kutekan saklar lampu kelas. Seketika itu juga lampu kelas menyala dan Saa menghela napas lega.
"Cepetan, Ru! Lagian lo ketinggalan apaan sih? PR? Emang lo ngerjain PR di rumah, bukan di sekolah?" tanyanya. Aku tahu dia banyak omong begitu untuk meminimalisir rasa takutnya saja.
"Bukan. Kalo yang ketinggalan PR sih gue nggak bela-belain naik. Ketinggalan buku ide gue," kataku seraya berjalan menuju mejaku.
"HAH?! Buku ide??" Saa berseru nyaring.
"Iya, buku coret-coretan buat gue nulisin ide-ide gue. Itu buku penting," jawabku sambil melongok ke arah meja.
Ketemu. Eh? Lho kok...?
Saa misuh-misuh begitu mendengar aku mengajaknya menerobos kegelapan cuma demi buku ide saja, tapi aku tidak terlalu mendengarkan. Pasalnya, ada satu buku lagi yang kutemukan di laci selain buku ideku.
"Buruan, Ru! Ada nggak bukunya?!" Saa akhirnya berseru tidak sabar. Aku tidak punya pilihan lain selain membawa dua buku yang kutemukan itu dan menuruti keinginannya untuk segera pulang.
Begitu aku mematikan lampu, gerutuan Saa segera berhenti. Ia segera merapat di punggungku hingga kami menuruni tangga. Saat itu aku tidak memikirkan banyak tentang buku itu.
.
Aku tidak dapat melihat bagaimana rupa wajahku, tapi aku nyaris yakin bahwa aku sudah sangat pucat saat menelepon Nana. Oke, mungkin tidak yakin-yakin amat, karena orang-orang bilang wajahku nyaris selalu datar. Tapi tolong diabaikan.
"Lo tau legenda buku hitam yang bisa ngabulin harapan ga?" Saking paniknya, aku langsung nyerocos begitu mendengar suara 'halo' milik sahabatku itu.
"Ha?" Sudah kuduga, reaksi pertamanya pasti begitu. "Hm… Maksud lo yang katanya suka muncul tiba-tiba di laci orang itu?" tanyanya setelah akhirnya memahami arah pertanyaanku.
"Iya! Yang itu! Gue pegang bukunya!!" semburku. Kurasakan suaraku campuran semangat dan ngeri. Iya, ngeri. Karena baru saja terjadi hal yang mengerikan di rumahku.
Segera saja kuceritakan pada Nana perihal buku yang kutemukan di laci mejaku, lalu juga....
"Kecelakaan?!" tanyanya dengan suara nyaring.
"Iya! Gue awalnya nggak ngeh sama sekali kalo yang gue pegang ini buku legenda itu! Ya udah, gue pake buat nulis cerita...." jelasku.
"Pfft." Kudengar suara di seberang menahan tawa. Resek.
Ya wajar dong kupakai untuk nulis cerita? Namanya juga calon penulis. Mana kutahu kalau tulisanku yang berbunyi,
'Malam itu, aku sedang duduk di kamar saat tiba-tiba suara keras menyapa telingaku.
Brak!
Cepat-cepat aku melongok ke luar jendela dan mendapati bahwa terjadi kecelakaan mobil di depan rumahku.'
bisa jadi kenyataan?!
"Besok bawa ke sekolah bukunya. Jangan ditaro di laci, nanti ilang," pesan Nana. Aku hanya mengangguk walaupun ia tidak bisa melihat, lalu mematikan telepon tanpa berkata apa-apa lagi. Kemungkinan Nana misuh-misuh di ujung sana.
Kutatap kembali si buku legenda. Betul nggak sih, itu buku legenda? Atau kecelakaan di depan rumahku tadi hanya kebetulan saja?
Hm.... Bagaimana kalau kucoba lagi sedikit?
.
Nana PoV

"NANA!" Dengan tampang horor Ruru berlari ke arahku sambil memeluk buku bersampul hitam yang ia bicarakan kemarin.
Ia berlari dari ujung koridor sekolah ke ujung satunya karena jarak kami berdua cukup jauh. Dan aku diam saja menunggu Ruru menghampiri karena aku capek kalau harus ikutan lari juga. Aku baru selesai kelas olahraga bersama Mister Izzy. Heran, dia guru bahasa Inggris tapi mengajar olahraga juga. Gaji satu guru kurang cukup, apa?
"Ini buku yang gue ceritain kemarin," kata Ruru.
Kok dia nggak ngos-ngosan ya? Aneh.
"Kok lo ngeliatin gue begitu?" Ternyata Ruru sadar.
"Hah? Oh, nggak kok."
Ruru pun kembali meyakinkanku bahwa buku yang katanya ajaib itu mampu mengabulkan semua yang ditulis di dalamnya. Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. Namun dari penjelasan itu aku tak paham mengapa Ruru terlihat begitu khawatir dan ketakutan.
"Kalau bisa ngabulin permintaan, bagus dong! Kenapa tampang lo kayak keabisan jatah roti pizza di kantin gitu?"
Kepalaku langsung digeplak. Ruru yang katanya berpembawaan tenang kenapa aslinya ringan tangan begini?
"Lo nggak mikir ini aneh?" tanyanya.
"Hmm...aneh, sih. Tapi kalau menguntungkan, yaudah sih."
"Bukan ituuu. Lo nggak ngerti hukum kesetaraan, ya?"
"Ngerti kok! Kesetaraan gender, kan? Gue menolak!"
"Bukan!" serunya kesal. Kepalaku digeplak lagi. Kali ini pakai buku. Aku nggak akan heran kalau setelah ini digeplak pakai sepatu.
"Ada harga ada barang. Kalau kita mendapat sesuatu, kita harus membayar dengan harga yang sama. Gue takut abis kejadian kemarin gue harus bayar dengan sesuatu yang mahal..."
Aku ngerti kok. Maksud Ruru itu hukum kesetaraan yang pernah disinggung-singgung Edward dan AlPhonse dalam anime Fullmetal Alchemist. Karena mencoba menghidupkan kembali orangtua mereka, mereka harus membayarnya dengan kehilangan anggota tubuh masing-masing. Yang tadi itu kan aku cuma bercanda. Habisnya tampang Ruru ngeselin banget.
"Oke, gue coba deh," kataku seraya menyambar buku hitam itu dari tangan Ruru.
Aku melihat-lihat ke sekeliling sekolah yang sudah mulai sepi. Kira-kira siapa yang bisa kujadikan sasaran, ya?
Nah.
"Lo nulis apaan, Na?" Ruru menahan tawanya.
'Zu kejedot tembok'
"Kalau permintaannya begini doang pasti bayarannya juga nggak akan berat-berat banget, kan?"
Sambil sama-sama menahan tawa, kami memperhatikan Zu yang sedang berjalan di ujung koridor. Dia berjalan pelan-pelan karena sedang serius memperhatikan HP yang ia genggam. Lalu dia tertawa sendiri, pasti lagi main game. Tak lama, ia semakin tidak sadar sedang berjalan mengarah ke tembok penyangga gedung. Dan...
'DUAKK!' Dia pun kejedot.
"Wah! Ini bukunya asli!" seruku kaget.
"Tuh kan!"
Kami berdua heboh sendiri, tidak mempedulikan Zu yang terjatuh karena kepalanya terantuk cukup keras.
Entah kenapa, kami tak lagi mempedulikan soal hukum kesetaraan yang tadi sempat disinggung. Sampai sekarang tidak ada yang terjadi pada Ruru atau padaku yang baru saja menulis permintaan. Jadi, rasanya tidak masalah.
"Kita harus minta sesuatu yang positif," kataku sok bijak.
"Gue nggak percaya kalimat itu keluar dari mulut orang yang bikin temennya sendiri kejedot tembok buat percobaan," sindir Ruru.
Aku ketawa garing. "Itu kan cuma iseng."
Setelah berdiskusi, kami pun memutuskan untuk menulis sesuatu yang akan berguna untuk umat manusia, terutama Indonesia.
'Pembakaran hutan berhenti dan asap yang mengganggu masyarakat hilang'
Tadinya kami mau menulis 'Ganti presiden yang sekarang jadi Ridwan Kamil', tapi tampaknya masalah itu tidak sekrusial masalah asap yang menimpa saudara-saudara kami di belahan barat sana.
"Gimana cara ngeceknya?" tanya Ruru.
"Telpon Cici!" kataku seolah menemukan ide brilian. Cici adalah teman menulis kami yang tinggal di Pekanbaru.
Tak lama kemudian, Ruru menelepon Cici dan menanyakan kabarnya serta keadaan di Pekanbaru sana. Selesai menelepon, Ruru menatapku dengan pandangan sedih dan menggeleng.
"Hmmm... mungkin permintaan yang terlalu susah nggak bisa kali, ya?" kataku berspekulasi.
Akhirnya kami kembali berdiskusi soal apa yang akan kami tulis di buku itu. Setelah bertukar pendapat, akhirnya kami setuju untuk menulis satu kalimat.
'Ruru dan Nana jadi penulis novel terkenal'
Namun beberapa detik setelah aku menuliskan kalimat itu, Ruru merebut buku itu dari tanganku dan merobek lembaran tersebut. Aku terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba, namun sama sekali tak ada niatan untuk menghentikannya.
"Kita harus nulis novel sendiri, bukannya nulis di buku aneh begini," tegasnya.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Tapi rasanya kalau dirobek doang nggak bakal berpengaruh."
Aku mengeluarkan pematik dari kantong dan membakar buku itu hingga tak mungkin dipakai lagi. Kami berdua sepakat untuk meraih cita-cita kami bersama tanpa mengandalkan buku itu.
"Tapi seharusnya tadi kita minta duit aja..."
Kepalaku digeplak lagi.

32 komentar:

  1. Danau yang Memanggil

    (Tally)

    'Tally, Tallllllyyyyyyy! Kemari, Sayaaaang. Mari ceritakan semua masalahmu padaku. Bukankah sudah tak ada lagi yang peduli padamu?'

    Tally yang sedang duduk di teras rumahnya terkesiap mendengar ada suara orang yang memanggilnya. Aliran darahnya mengalir lebih cepat dari sebelumnya. Jantungnya berdebar lebih kencang. Otaknya berpikir keras. Dari mana sumber suara itu? Sepertinya dari hutan belakang rumah. Tally menggelengkan kepala. Tidak mungkin, pikir Tally.
    ***
    'Tally, Sayaaaang. Mengapa tak kautemui aku di sini? Takkah kau ingin menjumpaiku?'

    Hampir tiap malam Tally mendengar suara-suara yang memanggilnya. Sumber suara itu dari hutan. Ya! Tak salah lagi. Biasanya logika Tally yang tinggal sisa-sisa mampu menepisnya. Tak mungkin ada orang di dalam sana! Tengah malam pula.

    Hanya saja ... perasaan sedih, sepi yang menderanya kali ini, lebih dominan. Hingga logikanya terpinggirkan. Tally dengan rasa penasaran yang membuncah, masuk ke dalam hutan. Mencari sumber suara.

    Danau!

    Tally melihat air danau yang tenang di sana. Ada sesosok makhluk berwarna hitam yang tak lain ialah bayangannya miliknya sendiri. Tally tak melihat ada yang aneh. Sampai ...

    'Tally? Akhirnya kau datang. Kemarilah. Duduk dan ceritakan keluh kesahmu ...'

    Tally terperanjat. Tubuhnya menjauh dari danau seketika. Namun perlahan, ia mulai mendekati bayangan hitam yang muncul di permukaan air danau.

    'Tak perlu takut padaku. Kau sedang rindu sekali pada ayah, ibu serta adikmu kan? Mereka kini baik-baik saja, Tally.'

    "Bagaimana kau tahu kalau aku sedang memikirkan mereka?" tanya Tally ragu.

    'Aku ini sama sepertimu. Kesepian. Ah, hidupmu sudah hancur bukan? Karena asap telah merenggut oksigen, lalu merampas semua orang yang kau sayang. Sudahlah, kita tak perlu mengutuk orang-orang yang memegang jabatan di atas sana. Mereka memang sudah terkutuk. Tak peduli dengan nasib orang macam kita ini.'

    Alis Tally bertaut. Ia bingung. Darimana bayangan hitam itu tahu apa yang Tally tengah pikirkan?

    'Apalagi hubunganmu dengan Suhail tak berkahir indah. Suhail terlalu pengecut untuk memperjuangkan dirimu dihadapan orang tuanya.'

    "B ... bagaimana kau bisa tahu?" Tally ketakutan setengah mati mendengar si bayangan hitam bercerita tentang hidupnya.

    'Aku ini, ya kau, Tally! Kau lupa?'

    Tally pun akhirnya menceritakan semua beban yang menghimpit hatinya. Kelapangan dalam jiwanya seolah sudah tergusur oleh bangunan ujian yang Gusti Allah berikan. Dan semua ini terjadi berulang, hampir tiap malam. Tally baru keluar saat subuh. Ia pun masih sama. Menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Menjadi guru honorer yang gajinya tak seberapa. Namun lama-lama, ia makin malas. Gairahnya mengajar menghilang. Idealisme yang ayahnya tanam sedari kecil -pahlawan tanpa tanda jasa- tergerus oleh waktu. Akhirnya bukan hanya malam Tally pergi ke danau, tapi juga saat ia harusnya menjalankan kewajibannya sebagai seorang guru.
    ***

    BalasHapus
    Balasan
    1. (Said)

      Di malam yang sepi hanya berteman suara jangkrik dan katak. Ada seseorang di sudut kamar rumahnya yang melamun, memandang langit-langit kamar. Dalam bayangannya penuh dengan gambar sesosok perempuan cantik dengan seribu pesonanya. Teman dari masa kecilnya hingga sekarang, di saat usia mereka sudah memasuki seperempat abad. Sosok perempuan yang memenuhi semua doa-doa dalam setiap sujud.

      "Apa iya aku harus mengungkapkan rasa ini, rasa yang tumbuh dengan sendirinya bersamaan dengan kebersamaan kita, sahabat jadi cinta?" gumam Said sambil menghela napas panjang seperti ada beban perasaan yang dia lepaskan.

      Greeeeeek ...

      Terdengar suara pintu dibuka dari tetangga depan rumahnya -yang tak lain rumah gadis pujaannya- telah membuyarkan semua bayangannya.

      "Mau kemana Tally tengah malam begini, apa iya dia kelaparan jam segini?" tanya Said penasaran sambil mengintip dari gorden kamarnya.

      "Ah sudahlah, mungkin dia mau beli nasi goreng diujung gang, aku tanyakan besok saja pas ketemu."

      Said beranjak tidur. Dalam hitungan sekian detik dia sudah terlelap dalam mimpi yang indah.

      Keesokan harinya, di sekolah tempat mereka sama-sama menjadi guru honorer, Said sama sekali tidak melihat batang hidung Tally. Entah kemana dia hari ini. Setelah ditanyakan ke staff TU, ternyata Tally tidak datang saat jam mengajar.
      ***
      Menjelang tengah malam, seperti sudah menjadi hobi baru bagi Said. Sebelum pergi tidur, dia selalu membayangkan gadis impiannya. Hampir semua barang yang ada di kamar berubah menjadi gambar wajah gadis pujaannya.

      "Aku bisa gila dengan menjadi pemuja rahasiamu seperti ini," bisik Said.

      Greeeekkk ...

      Itu suara pintu rumah Tally, mau kemana lagi dia? Di sekolah tak ada. Tengah malam gini pergi? Aku coba ikuti saja kemana dia pergi, pikir Said.

      Dengan berbekal senter, Said berusaha mengikuti Tally.

      "Ini bukan jalan menuju penjual nasi goreng. Tapi ini kan, jalan menuju hutan dan ke danau. Mau ngapain dia ke sana? Aku harus terus mengikutinya," gumam Said dalam keremangan.

      Sampai danau, Said melihat Tally tengah bercakap-cakap sendiri. Said terperangah. Tak percaya dengan apa yang ia lihat.
      ***

      Hapus
    2. (Tally dan Said)

      Said berlari, ia mencoba mendekati Tally untuk memastikan apa yang sebenarnya Tally lakukan di tepi danau. "Tally, sedang apa malam malam begini di danau?"

      Tally terperanjat. "S ... Said, sedang apa kau di sini? Kau mengikutiku? Aa ... aku... sedang berbicara dengan dia," ucap Tally sambil menunjuk ke arah danau.

      "Dia siapa?Aku dari tadi tidak melihat siapa-siapa selain kita berdua disini!" teriak Said sambil menoleh ke kanan-kiri. Memastikan kalau memang tidak ada orang lain, selain mereka berdua.

      "Kau tak melihat? Hahahaha." Tally tiba-tiba tertawa keras sekali, lalu ada katarsis yang ia hempaskan di kegelapan malam. "Kau memang takkan bisa tahu. Kesedihanku pun kau tak bisa merasakannya 'kan? Teman macam apa kau?"

      Ada keinginan Said untuk menilisik lebih jauh tentang lawan bicara Tally. Said mengembuskan napas. Ia merasa ada yang tak beres pada diri Tally. "Aku tahu semua kesedihanmu Tally, aku paham semua yang kau rasakan, tapi jelaskan kepadaku siapa yang kau ajak bicara itu?"

      "Aku bicara dengan siapa? Hahaha," lagi, Tally hanya tertawa keras. Namun sepasang matanya melukis kesedihan mendalam.

      Said menggamit lengan kanan Tally. Menggandengnya untuk pergi meninggalkan danau dan hutan.

      "Tally sadarlah! Sejak kepergian orang tua, adik ditambah lagi Suhail yang tak punya nyali melamar, kamu berubah. Kamu bukan Tally yang aku kenal," Said kembali mengembuskan napasnya. "Lihat di sekelilingmu, masih banyak orang-orang yang membutuhkan dirimu. Banyak orang yang sangat sayang padamu. Kalau kamu merasa sendiri, tak ada teman atau siapapun, ingat Tally! Kamu masih punya Allah. Dia tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Kamu gak sendirian di dunia ini,"

      "Ayah, ibu, serta adikmu sudah pergi, bukan berarti kamu juga harus pergi bukan? Kamu masih punya kehidupan yang layak diperjuangkan. Suhail gak usah kamu pikirkan ... dia tak pantas buatmu. Kamu akan mendapatkan orang yang jauh lebih baik dari Suhail ... " lanjut Said sambil menelan ludahnya. Ada debaran kencang di dadanya. Tentang perasaan yang lama Said pendam untuk gadis di sampingnya.

      Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan rumah Tally. Mereka berdua duduk di teras rumah. Semenjak dari danau tadi, Tally diam tanpa sepatah kata pun.

      Semoga dia mendengar apa yang aku katakan, batin Said.

      "Tally, sengingtaku kamu dulu suka menulis bukan? Kenapa semua rasa yang kau rasakan tidak kamu tulis saja, daripada kamu ngobrol sendirian di danau." Said masih berpetuah. "Tally, istighfarlah. Kamu harus bisa menerima semua keadaan ini."

      Tally mencerna dengan baik semua yang Said ucapkan. Nasehatnya mengaliri hatinya yang kosong. Hampir saja balok es yang besar memenuhinya. Untunglah Gusti Allah masih menyayangi Tally.

      "Maaf, Id, aku ingin istirahat. Aku masuk dulu ke dalam rumah." Ada ucapan terima kasih yang tertahan di kerongkongan Tally.

      "Baiklah, aku juga mau pulang, selamat istirahat dan sampai ketemu besok di sekolah."

      Ah, Tally, ingin rasanya aku mengatakan semua perasaanku padamu, bisik hati Said.
      ***

      Hapus
    3. Tally berangsur pulih dari halusinasi yang ia ciptakan sendiri. Ada sepercik semangat yang Said hadirkan. Tally mulai aktif mengajar lagi di sekolah. Ia tak lagi mendengar suara yang memanggil namanya dari arah hutan. Ada dzikir yang ia lafadzkan lirih tiap kali bayangan keluarga serta Suhail hadir dalam benaknya. Ia tidak ingin lagi terjebak dalam labirin masa lalu.

      Tally pun kembali menulis, merangkai kata. Ia ikuti saran dari Said. Ia kirimkan tulisan-tulisan miliknya ke banyak media. Ada yang ditolak, ada pula koran yang menerbitkan cerita pendek dan puisinya. Baginya kini, aksara adalah kanvas yang menampung curahan hatinya.
      ***
      Dari kejauhan, tampak Tally berjalan menuju ke arah Said. Kini senyuman itu selalu menghiasi wajah Tally.

      Aku akan selalu menjagamu dan membuatmu bahagia, ucap Said dalam hati.

      Said melambaikan tangannya ke arah Tally. "Sudah siap pergi ke toko buku sekarang? Selamat ya, Nona penulis. Karya-karyamu best seller semua."

      Tally menyungging senyum bahagia. Hatinya belum dapat melupakan Suhail seutuhnya. Said memang baik ... tapi biarlah hubungan mereka berjalan apa adanya. Sahabat sejak kecil. Seperti saat kita menikmati eloknya bunga mawar. Mawar memang indah, namun tak perlu dipetik untuk menikmati keindahannya. Ada duri yang jika tak sengaja menusuk jari, malah menjadikan luka yang berdarah.

      -Varida pembuat Said
      -Kiki pembuat Tally.
      (Kalau yang 'Tally dan Said' itu bikin bareng).

      Terinspirasi dari novel Afifah Afra : Nun Pada Sebuah Cermin.

      Hapus
  2. Hai kakak2... Berhubung eik gagal mulu mau entry ceritanya, ini linknya yaaaa....

    http://nanonikki.blogspot.co.id/2015/10/surat-pendekat-jarak.html?m=1

    Terima kasiiih...

    BalasHapus
  3. [bag.1]

    GR2 TLSN

    'Hr yg crah!!'

    Aku mengupdate status di twitterku. Rasanya tiada hari tanpa update.

    Aku suka teknologi masa kini. Aku bisa menulis apapun sesukaku dimanapun aku berada. Mungkin karena terbawa arus juga. Siapa tak punya media sosial di jaman ini. Apalagi untuk anak sekolah seperti aku. Bisa-bisa aku dikatain kudet alias kurang update.

    Sebuah notifikasi masuk di hapeku. Satu mention dari Nana.
    '@Rurupururu Semangat bwt qt! (^-^)/ '
    Aku tersenyum.

    "Na, kita sebangku aja pake main mention-mentionan. Gaya banget kamu." Aku menepuk pundak Nana.

    "Biar eksis Ru. Apa gunanya hp kalo nggak dipake." Nana tersenyum lebar.

    Aku dan Nana adalah teman sebangku. Kami sekelas semenjak kelas satu. Kegemaran kami sama. Salah satunya aktif di media sosial.

    "Eh Na, kamu udah belajar buat ulangan sejarah besok?"

    "Belum Ru, aku bingung. Aku nggak suka hafalan." Nana menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

    'Udh kpikiran bwt ulangan bsk T.T'
    Tulisku di twitter

    'Nanti malem hrs bljr! Cemungudh bwt qt ~('o'~)(~'o')~'
    Lagi-lagi nana membalas

    'Suip (^-^)d'
    Balasku

    'Bljr sjrh!'
    Tulisku pada note alarm di hpku.
    ***
    'mlm2 gni kdu bljr sjrh. ampun dh.'

    Ku tatap buku sejarah di depanku dengan muak, setelah update status di twitter. Astaga aku lupa membuatnya jadi status facebook juga! Ih ini pasti gara-gara pelajaran sejarah ini nih. Pelajaran apaan sih ini? Kenapa juga kita harus belajar sejarah? Yang lalu kan biarlah berlalu! Ya nggak sih?
    Zzrrtt
    Ada notif masuk di smartphone ku.
    'gw jg udh muak bc ni pljran =.= @Nanabanana'
    Oh Ruru ternyata, membalas twitku tadi. Haha, dia juga lagi stress. Baguslah, ada teman stress.

    Esok paginya aku menunggu Ruru berangkat sekolah. Aku menunggunya didepan kelas sambil 'bergaya' belajar. Nah itu Ruru!
    "Ru! Sini deh!"
    Aku melambaikan tanganku padanya.
    "Apa?"
    "Selfie dulu lah... Keluarin buku sejarahnya!" Aku mengeluarkan HP dari saku bajuku. Dan kami sudah bersiap jeprat jepret dengan bermacam pose. Setelah selesai, satu foto kami dengan gaya muka kucel bawa buku sejarah aku pilih untuk di upload di instagram, facebook, twitter, path, dan line. Nulis caption dulu.
    'muka llah bljr smlemn. Mri bjuang! With @Rurupururu'
    Sip!
    Tak lama bel berbunyi. Saatnya bertemu pak Imron guru sejarah. Aku dan Ruru bergegas masuk kelas dan menuju tempat duduk kami. Saatnya pasrah pada kemampuan mengingat kami. Meski sangat tidak bisa mengerjakan, kami akan memilih dapat nilai jelek daripada harus nyontek. Harga diri lah yak taruhannya, dan badung-badung gini kan aku juga rajin sholat rajin ngaji. Tahulah begituan termasuk kejahatan! KEJAHATAN!
    Pak Imron membuka kelas hari ini sambil menyiapkan soal ulangan. Pak guru satu ini punya kebiasaan aneh, suka ngelus-elus kumisnya yang mirip kumis pak Raden. Kayaknya sih ni bapak merasa ganteng dengan kumis lebat bak hutan belantara begitu, padahal asli nggak sama sekali!

    Pak Imron mulai membagikan soal ke semua penghuni kelas sambil wanti-wanti jangan coba-coba nyontek. Aku dan Ru berpandangan, siap menaklukan soal didepan kami.
    ***

    BalasHapus
    Balasan
    1. [bag.2]

      Kzl, psrh >.< km gmn @Nanabanana
      Tulisku di twitter.

      Ulangan sejarah telah usai. Aku dan Nana diam seribu bahasa. Menatap layar handphone masing-masing.

      Ga tau @Rurupururu. Sdh2, sjrh tinggal sjrh. Mr qt mlangkah k ms dpn :))
      Nana membalas mentionku.

      "Hahaha..." Aku menepuk pundak Nana tertawa membaca balesan mentionnya. Nana ikut tertawa.

      Seminggu berlalu.
      Sekarang ulangan sejarah akan diumumkan. Pak imrin masuk kelas. Sepatu fantovelnya terdengar menggema mengetuk lantai. Beliau duduk. Kumisnya melambai bak nyiur pohon kelapa karena Pak Imron duduk di bawah kipas angin.

      "Ehm, sekarang bapak akan membacakan hasil ulangan kalian. Tapi ada dua orang yang ingin Bapak panggil maju ke depan." Pak Imron mengusap kumisnya.

      Seisi kelas hening.
      "Ruru dan Nana maju ke depan!" Perintah Pak Imron.

      Deg. Jantungku serasa mau copot. Aku dan Nana saling bertatapan. Ada apa? Aku merasa tidak mencontek. Kami maju ke depan kelas. Pak Imron menyerahkan kertas ulangan kepada kami.

      "Coba baca jawaban no.1" perintah Pak Imron.

      "Ceritakan asal nama Majapahit! Nama Majapahit diambil dari kata Maja dan Pahit. Pada waktu itu Raden Wijaya menemukan sebuah pohon yaitu pohon Maja dan rasanya pahit. Karena itu kerajaan yang didirikan dinamkan Majapahit." Aku mengikuti perintah Pak Imron.

      Pak Imron mengerutkan dahinya.
      "Tulis jawabanmu di papan persis sama dengan yg ada di kertas ulanganmu!" Perintah Pak Imron.

      Aku mengambil spidol menuliskannya sesuai dengan perintah Pak Imron.

      Nm Mjpht d'ambl dr kt Maja n Pahit. Pd wkt itu R. Wijaya mnemukan sbuah phn y/ phn Maja n rsx pht. Krn itu krajaan yg ddirikn dnmkan Majapahit.

      "Hwakakakakakak..." Seisi kelas tertawa terpingkal melihatku menulis jawabanku di papan. Sampai ada temanku yang keluar air matanya karena tak bisa berhenti tertawa.
      Mukaku merah padam.
      Nana? Ah jangan tanya, keringatnya sudah menetes deras sederas hujan kemarin pagi.
      "Nulis tuh yang bener, bisa kan?" Gerutu pak Imron setelah menyuruh Nana melakukan hal yang sama sepertiku.
      "Besok tulis makalah tentang tata bahasa indonesia, masing-masing dari kalian sepuluh lembar!"
      APAAA?!
      Aku dan Nana serasa mau pingsan, terbenam diantara lebatnya kumis pak Imron.

      Erma-Depi
      09102015

      Hapus
  4. Si Bude

    Entah apa yang salah denganku. Hari ini berjalan buruk sekali. Sangat buruk.

    Aku bangun kesiangan, terburu-buru berangkat ke kantor sampai meninggalkan berkas penting, dan aku dimarahi pak bos, karena akan dipakai untuk rapat penting siang nanti.

    Dan sekarang, saat aku terburu-buru kembali ke rumah mengambil berkas yang tertinggal itu, aku tersandung kakiku sendiri di depan kamarku. Ndelosor mencium lantai. Sakit sekali.

    “Aduuuh…”

    Aku bisa mencium bau kebesi-besian. Aih, aku berdarah.

    Sambil berusaha berdiri aku meraba-raba wajahku,mencari-cari si sumber darah. Ternyata dari daguku. Lumayan banyak sepertinya. Sampai bleber kemana-mana.

    "Ya ampun, pake berdarah pula ini.", sungutku sebal.

    Sungguh sial aku hari ini.

    Sambil menahan nyeri aku menempelkan plester sekenanya didagu. Tak ada waktu untuk lama-lama memikirkan luka ini.

    Aku harus cepat-cepat kembali ke kantor. Kalau tidak bisa bahaya. Pak Suhel sedang keluar 'tanduk' nya. Nasib gajiku bisa terancam.
    -----
    "Ini mba Mimi, berkas kita tercinta tersayang. Sudah kubawa dengan selamat."

    Kuberikan amplop berisi berkas pada Mimi, senior sekaligus sahabat kantorku.

    "Taruh aja disini, Im.", tanpa melihatku, Mimi menunjuk meja di sampingnya. Ia sedang sibuk dengan toto, laptopnya.

    Setelah meletakkan amplop aku berjalan ke mejaku. Ruangan ini hanya berisi kami berdua, tim divisi kreatif.

    "Bau apaan nih? Kok macam darah-darah gini?", Mimi tiba-tiba mendongak. Hidungnya kembang kempis mengendus-endus udara. Mencari bau yang dicarinya.

    "Ehehehe, emang bau banget ya mba?", sahutku tanpa dosa. Aku sedang membuka jaket yang dari tadi kupakai. Bagian atasnya terkena darahku yang nampaknya belum kering benar.

    "Ya ampun, Iim! Habis ngapain lo?!? Itu dagu kenapa? Kenapa darahnya netes-netes? Lo luka? Astagfirullah, ni anak! Kenapa lo ga ke rs? Kenapa malah ke kantor? Nanti kalo darah lo habis gimana? Ntar kalo lo pingsan gimana?".

    Mimi tiba-tiba jadi gawat. Ribut sendiri. Berlari ke arahku dan menarikku ke sofa tengah ruangan. Lalu sibuk sendiri seperti setrikaan. Sedangkan aku terpaksa duduk manis sambil melap sisa-sisa darah yang menempel didagu.

    "Lo tadi habis ngapain sih, Im?", ujarnya dengan nada khawatir. Mimi duduk disamping, tiba-tiba jadi dokter dadakan memeriksaku.

    "Jatuh di kamar mba. Ndelosor ke lantai. Ehehe.", ujarku sambil nyengir menahan perih.

    Entah dari mana Mimi mendapatkan kapas beralkohol. Ia sibuk membersihkan lukaku sambil mengomel. Sementara aku hanya memasang wajah tanpa dosa. Pura-pura tidak mendengar. Padahal memang tidak memperhatikan.

    "..... Luka didagu kaya gini ngingetin gue sapa dorama apa gitu, yang bikin mewek abis. " Ucapan Mimi akhirnya ada yang nyangkut di kupingku.

    "Dorama? Nangis? Buku Harian Aya?", tanyaku balik.

    "Nah itu dia. Ichi rittoru. Itu kan awalnya lukanya kaya lo, Im.".

    Tiba-tiba mataku dan mata Mimi bertatapan. Seakan-akan kami sedang satu pikiran.

    "Jangan... Jangan...", Mimi dan aku bergumam bersama. Jari-jari Mimi terhenti membersihkan lukaku. Berpandangan sepersekian detik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagian 2

      Kemudian kami berdua terbahak bersama.

      "Wkwkwkwkwk..."

      "Lu pasti lagi mikirin hal yang sama kek gue. Ya kan?", sembur Mimi. Tampangnya geli-geli gimana gitu. Walau begitu tangannya masih cekatan membersihkan luka di daguku.

      “Penyakitnya si Aya!”, ujar kami berbarengan. Aku dan Mimi memang mirip, terutama dalam keabsurdan dan khayal-mengkhayal.

      "Apa ya nama penyakit si Aya?”. Mimi terlihat berpikir, sambil mengaduk-aduk kotak obat yang entah kapan dan dari mana sudah ada ditangannya.

      “Penyakit itulah pokoke. Panjang dan susah bener.", jawabku sekenanya.

      “Naudzubillah deh lo kena penyakit kek gitu, Im.” Sahut Mimi sambil menempelkan plester di daguku.

      “Tapi ada yang aku mau banget mirip si Aya.” Gumamku. “Aku mau tulisanku terkenal trus menginspirasi banyak orang. Kan keren banget tuh.” Ah, itu tentu harapan semua yang hobi menulis. Tulisan yang bisa menginspirasi.

      “Awwwawawwwa, sakit mba.” TIba-tiba Mimi memencet daguku yang baru di bersihkannya

      “Ini anak dikhawatirin malah ngimpi. Selesaiin dulu gih si Bude!”, seru Mimi sebal.

      “Iyeee.”, setengah merasa bersalah aku menjawab.

      “Eh btw yang bawa si Bude, mba kan?”, tanyaku polos sambil mengelus daguku yang baru dipencet Mimi.

      -----

      Mendengar pertanyaan Iim, aku yang pikunan ini sontak kaget. "Astaghfirulloh!"

      "Ada apa, Mbak?" Iim ikut panik.

      "Bude kecelakaan! Maaf banget, Im. Ini semua gara-gara gue. Huwaaang~" Panik bercampur sedih jadi satu.

      "Kecelakaan gimana maksudnya?" Iim pasang tampang polos, antara linglung dan miris melihat kelakuanku yang aneh.

      "Di kereta.. tadi pagi.. ada ibu hamil.. jatuh dari pangkuan gue.." Urutan kata-kataku mulai nggak jelas. Iim makin linglung. "Maksud gue, tadi pagi pas berangkat ke kantor, Bude gue bawa dan gue taruh di pangkuan gue. Terus ada ibu-ibu hamil, gue berdiri dan lupa lagi mangku Si Bude. Lalu, nampaknya dia jatuh di kereta."

      Bude adalah buku mimpi kami. Dream Book, disingkat paksa menjadi Bude. Aku dan Iim adalah pencetus sekaligus penulisnya. Karena kadang tukar-menukar buku harian, kenapa tidak sekalian bikin buku bareng? Walaupun isinya antara curhat dan khayalan tingkat tinggi kami.

      "Ooh. Ya ampun, iya sih itu bisa dibilang kecelakaan yah. Eh, tapi gue yakin Bude bakal balik lagi deh, Mbak. Entahlah, firasat aja sih."

      Lima detik kemudian, HPku berdering. Telihat di layar nomor orang tak dikenal. Aku beranjak ke dapur umum sambil menarik ujung kemeja Iim.

      "Halo! Selamat siang. Ini Mimi atau Iim?" Terdengar suara berat seorang pria di seberang sana.

      "Siang. Saya Mimi. Siapa ya?"

      "Saya menemukan buku kalian di kereta tadi pagi. Sepertinya penting. Mau saya antarkan?" Sopan sekali tutur katanya, luar bias pula niat baiknya. Jarang-jarang ada pria begini, apalagi kalau ditambah tampang keren, rajin, sholeh dan berbakti pada orangtua. Khayalanku mulai mengawang-awang.

      "Mbak Mimi? Halo, Mbak? Gimana, mau diantarkan?"

      "Oh, ya boleh Mas. Alamatnya.."

      "Alamat kantor Mbak ada di buku ini kan? Gedung BRI 2, Benhil? Deket dari tempat saya."

      "Oh, iya benar, Mas."

      Hapus
    2. Bagian 3

      "Oke, nanti jam 7 malam ketemu di bawah jembatan busway depang BRI 2 ya. Sampai nanti."

      Klik.

      Aku memegang kedua bahu Iim, menatap matanya, lalu berkata, "Im, Bude selamat! Tadi yang nemuin nelpon gue. Mau nganter malam ini, jam 7. Kita mesti ketemu sama tu cowok!"

      "Bentar, bentar. Cowok siapa? Malam ini?"

      "Cowok yang tadi nelpon gue. Lo inget kan? Kita nulis alamat dan nomor HP. Nah, tu cowok pasti tau dari situ.."

      "Dan itu berarti cowok itu baca tulisan kita di Bude!" Selak Iim yang membuatku hampir tersedak air liur sendiri.

      "OH NO!" Tampangku saat itu mungkin bagai orang kena tipes ditambah dehidrasi akut plus anemia jadi satu. Komplit. "Terus gimana dong, Im?"

      "Menurut Mbak Mimi dari suaranya cowok itu kayak gimana?" Iim pasang tampang 'kepo' serius.

      "Suara berat, tegas, tulus, memanipulasi, memonopoli, 'seme'.. Eh, koq jadi ke situ?" Jawabanku tidak fokus.

      "Mbak, plis deh jangan random dulu. Fokus, Mbak. Fokus! Inget Salman dan suami di rumah."

      "Baik sih kayaknya. Buktinya mau balikin Si BUDE. Pokoknya nanti kita ketemu aja dulu, Im. Btw, dagu lo belum selesai gue perban."

      Pukul 7 kurang 15 menit, aku dan Iim keluar kantor menuju halte busway. Jalan Sudirman seperti biasa macet, apalagi di area persimpangan Semanggi ini. Ada banyak juga pegawai kantoran yang bersepeda pulang pergi dan parkir di area halte busway Bendungan Hilir.

      Aku dan Iim berjalan cukup cepat, takut terlambat bertemu cowok itu. Kami hampir saja telat, terhambat ketika mau turun dari lantai 21. Lift selalu penuh. Keluar dari BRI 2, kami sudah mulai berlari. Iim yang kurang konsentrasi menabrak 5 deret sepeda yang berjejer di dekat halte. Dagunya yang diperban kena pedal sepeda dan lututnya lecet mencium 'paving block'. Sepeda yang parkir jatuh semua. Orang-orang di sekitar kami hanya bengong, melihat Iim jatuh, kecuali satu orang.

      "Mbak, nggak apa-apa?" Pria itu bertanya sembari membantu membereskan sepeda.

      Aku membantu Iim berdiri, "Ya Allah, Iim! Lo kenapa bisa nabrak sepedaaa?"

      "Nggak ngeliat, Mbak Miii!" Iim menyeka dagunya yang berdarah lagi dan terpaku di depan pria yang tadi membantunya, "Ma.. Makasih, Mas."

      "Ini saya ada plester, Mbak."

      Aku berani sumpah, pria ini pernah kulihat entah di mana. Siapa yah? Tak asing. Duh, pikun hilanglah!

      "Oh, iya. Mbak Iim ya namanya? Yang ini Mbak Mimi?"

      "Lho kok, Mas tau?" Aku heran.

      "Saya yang mau mengembalikan buku kalian. Ini bukunya." Pria itu mengeluarkan Bude dari tas punggungnya.

      "Ya ampun, makasih banyak ya, Mas. Kami bingung harus balas budi pakai apa.."

      "Nggak usah bilang soal balas budi. Saya nggak pernah berharap itu. Oke, bukunya dijaga baik-baik ya. Jangan ceroboh lagi." Ternyata ucapan pria itu ada pedasnya juga.

      "Oh, iya. Sekali lagi makasih ya." Aku mencolek Iim, memberi kode supaya dia juga berterima kasih.

      Pria itu pergi menjauh. Iim masih terpaku. Setelah beberapa saat, Iim kembali ke dunia dan mulai berbicara, "Mbak, sadar nggak tadi siapa?"

      "Oh iya! Gue nggak nanya namanya. Aduh, sayang banget ya, Im. Kali aja dia bisa jadi jodoh lo. Lumayan juga tampangnya, kayak nggak asing. Pernah liat di mana ya.."

      "Mbak Miii! Kita baru aja ketemu Asou-kun! Sumpah, dia mirip banget sama Nishikido Ryo. Mana tadi ada adegan gue nabrak sepeda! Ya ampun. Apa yang terjadi padaku, ya Allah" Iim menatap langit dengan mata nanar.

      "Ya ampun, baru sadar gue! Pantesan kayak kenal. Eh, iya Im. Lo izin besok, cek ke dokter aja. Mudah-mudahan nggak ada apa-apa."

      Hari ini berakhir dengan penuh drama yang tak terlupakan.

      -----

      Hapus
    3. Bagian 4


      Rasa gemetar ini belum hilang juga. Hari ini sungguh sesuatu sekali.

      Aku mengingat-ingat kejadian hari ini. Untungnya tidak ada marah-marah tambahan dari Pak Suhail. Mungkin karena luka cantikku ini. Sepertinya malah dia setengah merasa bersalah.

      Begitu sampai rumah tadi, aku langsung menelpon CIci, temanku yang seorang dokter. Berjanji untuk tidak hanya sekedar periksa, tapi juga check up.

      “Check up gara-gara jatoh?”. Aku masih ingat nada suara CIci. Seakan-akan bilang, ‘hello iim, cuman gara-gara jatuh aja, lo lebay banget sih.. Kebanyakan duit ya mba?’

      Tapi rasa khawatir tidak mau hilang juga. Entah ini karena terlalu menghayati drama Aya sampai tersugesti atau… Memang aku yang terlalu lebay?

      Aku memandangi BUDE di tanganku. Hari ini jatahku untuk menulisnya. Besok harus sudah kembali ke Mimi.

      Panggilan kasur sungguh menggoda untuk dituruti. Apalagi rama hari ini sungguh melelahkan.

      Tapi akhirnya, kubuka lembaran Bude paling belakang dan mulai menulis.

      -----

      Jam makan siang. Hpku bordering. Iim menelpon.

      "Gimana hasil cek ke dokter, Im? Positif?" Pertanyaanku semacam tes kehamilan saja.

      "Mbak, lo nggak bakal percaya apa yang gue temuin. Serius, gue merinding!"

      "Im, lo nggak kena penyakit Aya kan?"

      "Nggaaaak! Cowok yang semalem itu nulis sesuatu di Bude!!!"

      "Apaaaah!? Dia komentar yang nggak-nggak ya?"

      "Gue ketik dan kirim lewat WA aja yah."

      -Dear Mimi dan Iim,
      Saya kagum dengan kalian. Buku ini benar-benar ajaib. Halaman demi halaman saya baca tanpa jeda, dan setiap halaman selalu membuat saya menitikkan air mata. Ya, air mata tawa. Kisah kalian di kantor, keluarga, atasan yang hobi ngupil, khayalan, mimpi-mimpi kalian, semuanya luar biasa. Teruslah menulis dan terbitkanlah buku. Saya akan jadi salah satu pembelinya.

      PS: Jangan sampai jatuh lagi di kereta, ya!

      A.S-

      Mulutku menganga. Belum kering air liur di dalamnya, Iim menelpon lagi.

      "Mbak Mimiii! Barusan ibunya Kang Asep nelpon."

      "Siapa lagi itu Kang Asep, Im? Kok lo jadi random? Yang random kan gue!"

      "Kang Asep meninggal kecelakaan kemaren jam 7 malem! Kang Asep itu yang nulis di Bude, Mbaaak. Ibunya nemuin catatan kecil di saku bajunya Kang Asep, isinya nomer HP kita. Barusan ibunya nelpon untuk ngabarin, kalau Kang Asep punya hutang, tagih ke ibunya aja atau minta diikhlasin."

      Dan aku bisa merasakan tubuhku merinding.

      Iim dan Mimi

      09 Oktober 2015 #TantanganDuetRuruNana

      Hapus
  5. Terajam Diam

    "Ma… Anna kan sudah 25 tahun. Kapan mama setuju Anna menikah?" Tanyaku di sore hari saat aku melihat mama membaca buku. Kebiasaan mama sore-sore adalah membaca.
    Aku bangga padanya yang telah mewariskan darah kepenulisan padaku. Mama seorang wartawan koran nasional di masa mudanya dan memilih resign setelah menikah. Bersama papa yang bekerja sebagai dosen dan juga seorang penulis, mama menerbitkan buku-buku karyanya. Di situlah aku kemudian banyak belajar sendiri dari apa yang kulihat dari tulisan-tulisan mama dan papa.
    Mereka berdua adalah penulis idolaku. Kelak, aku ingin sekali menikah dengan seorang penulis juga. Hmmm, rasanya indah dan menyenangkan. Pasti romantis… setiap hari akan dapat puisi dari pujaan hati. Seperti papa ke mama.
    Hanya…. Memang mama banyak berubah setelah papa meninggal 1 tahun ini. Mama tak lagi menulis. Dan sepertinya sangat kehilangan sosok pria romantis yang selalu ada di sisinya. Itu sih dugaanku. Aku tak tahu pasti apa yang mama risaukan.
    Pasca papa meninggal, kehidupan kami berubah. Aku harus bekerja untuk penuhi kehidupan sehari-hari. Aku sangat bahagia bisa menghidupi keluarga dari keringatku sendiri. Tapi…. Apakah ini alasan mama belum bersuara tentang pernikahanku. Mama takut kehilanganku….
    Di kamar mama terlihat santai, namun pertanyaanku seketika mengubah raut mukanya yang tenang.
    Mama diam, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku di kamarnya sendirian. Sepertinya aku masih salah memilih momen. Entah kapan waktu yang tepat bicara pada mama. Aku pun diam. Tak tahu harus apalagi. Kupikir aku sudah bicara pelan-pelan, tapi mama tetap tidak mau bersuara.
    Aku merasa sudah dewasa, dan pantas untuk menikah. Kenapa sih, mama selalu bungkam kalau kutanya tentang pernikahan. Kapan aku mengakhiri masa lajang ini. Pikiranku kacau. Aku memilih merebahkan badanku di kasur empuk ini, sampai terpejam, berharap mimpi mama sudah setujui keinginanku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku berangkat ke Cafe, tempatku bekerja. Hatiku yang galau masih berkecamuk. Tapi aku berusaha jalankan pekerjaan tanpa terganggu dengan otakku yang meracau.
      "Mba Anna, kata papa tolong siapkan tiga porsi pempek kapal selam dan tiga cappuccino ya. Sebentar lagi akan ada tamu. Makasih." Pinta said, putra kedua Bu Ennie, pemilik Cafe ini. Ia tersenyum sebelum meninggalkanku untuk duduk di sudut cafe. Aku sengaja memperhatikannya yang sibuk dengan buku dan pulpen. Ya, dia sedang menulis, yang entah tentang apa.
      Tempat ini sangat luas. Cafe berada di beranda rumah dan tepat di depan jalan raya. Mereka tinggal pula di sini. Oleh karena rumahnya luas dan bertingkat, setiap hari akan ada adegan aku berpapasan dengan lelaki itu, sepulangnya bekerja atau ketika ia keluar rumah entah ke mana. Atau bahkan jika ia menyengajakan diri duduk di cafem
      "Baik Mas." Jawabku sesingkat mungkin. Agar mempersingkat degup jantungku yang tak keruan.
      Aku segera menyiapkan permintaannya.
      Seusai itu, hatiku melambung. Aku terlalu banyak galau. Kapan move on nya sih. Gerutuku dalam hati.
      "Mbak. Aku boleh minta bikinin menu kesukaanku?" Hatiku berdegup lagi tak keruan.
      "M menu apa ya, Mas?" Ucapku ragu
      "Kamu nggak tau apa yang aku suka?" Oh. Kenapa dia harus banyak bertanya. Aku menggeleng.
      "Kupikir kamu inget semua yang kamu bikin buat aku." Deg. Aku mengangkat kepalaku heran, dan kaget.
      "Eh mmm yaudah kamu bikin aja creamy late. Jangan terlalu manis. Dan jangan pahit." Dia berlalu
      Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya disaat jantungku hampir copot karena percakapan singkat itu.
      "Ini, Mas.. Silahkan…" ujarku singkat padat jelas dan pergi begitu saja tanpa ingin ada perbincangan lagi.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Beberapa hari setelah kejadian itu, aku berangkat ke cafe seperti biasa dan kali ini berpapasan dengan mas Said. Ia terlihat tergesa keluar cafe dan sepertinya tidak melihatku. Tapi lihat, bahkan hanya sekedar berpapasan beberapa detik saja jantungku berdegup tak karuan.

      Oh! Kapankah penderitaanku ini berakhir.

      Untung saja mba Nana memanggilku, memintaku membereskan meja yang sudah ditinggalkan pengunjung. Menjelang petang begini, biasanya pengunjung semakin ramai. Aku membereskan meja dan menemukan sebuah buku tergeletak. Sepertinya milik pengunjung sebelumnya yang tertinggal. Judul bukunya Ja(t)uh. Unik sekali judul buku ini. Di halaman pertama, tertulis nama Said. Oh, buku milik Mas Said. Aku melihat beberapa sticky note menempel di beberapa bagian.

      Halaman 69
      Kita berjumpa
      Saling memandang dan menyapa.
      Meski jarang dan bukan sekarang
      Setidaknya, kita bisa bertegur sapa
      Tapi aku,
      Aku hanya merindumu dalam aksara
      Aku hanya merindu bagian darimu yang hadir dalam rentetan kata-kata yang kau tulis untuk ku baca
      Menatap membuatku terkesiap tak siap
      Menyapa memicu gejolak tak berupa
      jadi, cukupkan jiwa kita bercengkerama dalam aksara
      Di hadapanmu aku beku
      Didekatmu aku ragu
      Hanya dalam aksara aku bebas jatuh cinta
      Dan disana pula, aku bisa gila

      Ah, sebuah puisi cinta. Mengapa Mas Said menandai bagian ini? Apa Mas Said sedang jatuh cinta? Pada siapa? Pastinya ia adalah orang yang sering ditemui mas Said. Mungkinkah teman kerjanya? Aku membuka halaman yang ditandai lainnya

      Halaman 86
      Kamu ingin tahu bagaimana rasanya seketika lupa cara bicara? Jadilah aku. Lalu, temuilah dirimu. Esok, lusa, atau kapanpun kamu bersedia. Maka, kamu akan merasakan getar-getar itu: gempa bumi pribadi yang membuat jiwamu seolah luluh tanpa daya.

      Jadi, mas Said benar-benar mencintai wanita ini. Ada yang terasa tersayat. Hatiku tiba-tiba terasa perih hingga seakan fisikku bisa merasakannya. Aku kembali membalik halamannya, kali ini aku langsung membuka halaman terakhir.

      Hapus
    4. Halaman 163
      Kita telah belajar banyak dari s p a s i, bahwa hadirnya jarak telah mencipta begitu banyak makna. Namun, rasanya teramat naif bila kini aku berkata: aku begitu menikmati keterpisahan ini –detik-detik ketika hanya bisa bicara pada udara. Waktu memang terlalu angkuh untuk mengerti betapa jahatnya rindu yang mendera. Hingga bila kita mau jujur melihat ke balik jiwa, ada luka di sana, yang tak pernah butuh pemulihan apa-apa kecuali jumpa.
      Apa yang semalam turun bersama hujan –apakah harapan atau sekadar kenangan? Barangkali hanya waktu yang benar-benar tahu. Tapi bukankah waktu ada di pihak kita? Jadi tak ada lagi yang perlu kita takutkan kecuali Tuhan. Tidak badai, tidak juga gempa. Terlebih hanya angin biasa.
      Aku akan menjemputmu disebuah taman tanpa bunga. Di taman itu, mungkin juga tak ada kolam air mancur, patung-patung artistik, atau hiasan apa saja sebab kehadiranmu saja sudah mengindahkan semuanya.

      Mas Said akan segera menikahi wanita ini. Hatiku semakin bergemuruh. Tepat saat itu, mba Nana menepukku dari belakang, “Kenapa ga segera dibereskan, Na?”
      “Oh, iya mba. Eh ini ada buku yang ketinggalan. Kayaknya punya mas Said.”, kataku gugup sembari sebisa mungkin mengendalikan air mata yang sudah menggenang
      “Oh, sini biar aku simpan. Nanti aku bilang ke Mas Said kalo dia udah balik.” Jawab Nana
      “Iya mba.” Jawabku singkat dan segera membereskan meja.
      “Anna, kamu sakit? Kok wajahmu pucat gini?” Pertanyaan mba Nana membuat pertahananku runtuh. Seketika itu, aku berhamburan.
      Aaah. Aku ingin menikah. Menikah dengan siapapun, yang membuatku tenang dan terjaga. Ingin rasanya menikah dengan orang yang menarik hatiku. Tapi rasanya tak mungkin. Dia berada dalam strata yang memisahkan diriku dan dirinya. Apalagi, sekarang aku tahu bahwa dia sudah mencintai seorang wanita dan akan segera menikahinya.
      Ya, seperti kata orang bijak. Menikah dengan orang kita cintai adalah anugerah. Tapi mencintai orang yang kita nikahi adalah kewajiban. Detik ini, aku memilih pasrah. Siapapun jodohku, aku ikhlas. Toh hingga saat ini mama juga belum buang suara. Beliau seolah masih menganggapku anak kecil.
      ***

      Hapus
    5. Aku mengobrak-abik ranselku. “Aaargh dimanaa buku itu?” Aku mengumpat dalam hati. Disaat yang sama, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari mba Nana, kepala pelayan di cafe mama. “Mas, bukunya mas Said ketinggalan di cafe. Sudah saya simpankan. Hanya memberi tahu biar mas Said ga bingung nyari2.” Ah, ternyata ketinggalan di cafe. Ah iya, tadi aku terburu-buru pergi karena melihat Anna datang. Aku bukannya tidak ingin bertemu Anna. Bagaimana mungkin aku tidak ingin bertemu dengan wanita yang berbulan-bulan ini membuatku tersenyum dan merutuki diri disaat yang bersamaan. Tapi, saat ini aku sedang berusaha berdamai dengan hatiku. Karena aku tahu, dia tidak pernah peduli denganku. Bagaimana mungkin dia peduli, bahkan minuman favorit yang sering aku pesan di cafe mama saja ia tidak ingat. Dia selalu berbicara singkat padaku. Sepertinya memang tidak ada hal yang menurutnya menarik untuk dibicarakan denganku. Maka, aku putuskan untuk berhenti. Aku tiba-tiba menjadi pria paling pengecut di dunia. Biar saja.
      Aku kembali ke cafe beberapa hari setelah itu. Kesibukan kantor membuatku berangkat saat cafe belum buka dan pulang setelah cafe tutup. Di satu sisi, aku bersyukur karena tidak perlu bertemu Anna walau hatiku mengiba, meminta untuk sekedar menatap wajahnya, atau mendengar suaranya. Biarlah. Nanti juga terbiasa.
      “Mba Nana, saya mau ambil buku saya yang kemarin ketinggalan.” Kataku setelah sebelumnya menyapa dan berbasa-basi dengan Mba Nana.
      “Ini, mas.” Mba Nana menjawab sambil menyerahkan bukuku. Disaat yang sama, seorang pelayan keluar dari dapur.
      “Pelayan baru, mba?” tanyaku
      “Iya mas. Ngegantiin Anna.” Jawab Mba Nana
      Deg. Anna sudah ga kerja disini lagi
      “Lho, emang kenapa Anna mba, kok berhenti?” Tanyaku sambil berdehem karena tiba-tiba saja suara ku tercekat
      “eemm. Anu mas. Apa.. Itu.. dia mau kerja di dekat rumahnya biar ga kelamaan ninggalin mamanya. Kebetulan toko buku di deket rumahnya pas buka lowongan juga.”
      “Oh yasudah, Mba. Saya masuk dulu ya.” Aku sudah tidak fokus dengan jawaban Mba Nana dan memilih untuk segera pergi.
      Aku kembali ke kamar dengan hati penuh lebam. Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Tapi tetap saja, aku ingin sekali-kali bertemu agar hatiku tidak meronta-ronta, walaupun disaat bersamaan, jantungku berdegup kencang seperti habis ikut lomba lari.

      All I want is nothing more
      To hear you knocking at my door
      Cause if I could see your face once more
      I could die as happy man I’m sure
      Lagu Kodaline terputar secara otomatis di kepala
      Aku sudah tahu jika Anna tidak suka denganku. Tapi sebelum hari ini, aku merasa masih punya harapan. Harapan bahwa suatu saat aku akan menjadi pria pemberani dan mengungkapkan perasaanku pada Anna, tak peduli ia akan menjawab apa.
      Tapi Anna sudah pergi. Ya Tuhaaan apa yang harus aku lakukan?

      When you say your last goodbye
      I died a little bit inside
      I lay in tears in bed all night
      Alone without you by myside
      *

      Hapus
    6. Lima tahun berlalu sejak Anna meninggalkan cafe. Tidak ada yang berubah kecuali dua hal. Pertama, mama dan papa yang sudah mulai bawel untuk memintaku menikah. Kedua, aku mulai sering keluar kota untuk menghadiri undangan bedah buku. Ya, tanpa kusangka, buku pertamaku yang aku terbitkan secara mandiri laris. Bahkan siang ini, aku akan meluncurkan novel pertama sekaligus buku ketiga yang kali ini lewat sebuah penerbit ternama nasional. Ah, aku tiba-tiba merasa serupa Zainudin yang menjadi pujangga karena ditinggal Hayati.

      “Acaranya dimana, mas?” pesan singkat dari mama masuk. Aku membalas dengan menyebutkan lokasi peluncuran bukuku.
      “Maaf ya mas, mama dan papa gabisa dateng hari ini. Tapi mama udah bilang ke semua pelayan biar dateng ke peluncuran bukumu, mas. Cafe sengaja mama suruh tutup hari ini. ” Pesan dari mama masuk lagi
      Heu, mama. Buat apa sih.. Aku menggerutu dalam hati. Tapi, biarlah. Mungkin mama saking bahagianya karena novelku dilirik oleh penerbit nasional.
      *

      Hapus
    7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    8. Acara peluncuran novelku berjalan lancar. Novelku ini memang berbeda dari biasanya. Novel sad ending. Tiba saat moderator membuka sesi tanya jawab, seseorang dari gerombolan siswa berseragam putih abu-abu bertanya, “Kak, kok novelnya sad ending sih kak? Pengalaman pribadi ya kak?”
      Pertanyaannya membuatku tercekat. Sudah lima tahun tapi perasaanku tidak berubah. Nama Anna tidak pernah bergeser seinchi pun dari tempat pertama kali ia ku letakkan.
      “Eemm. Yaah bisa dibilang begitu.” Jawabku sekenanya yang langsung membuat gerombolan anak SMA itu ber-ciye ria. “Hadeeh anak SMA, seneng banget kalo udah baper-baperan gini.” Aku membatin
      “Kak, ceritain dong kak kisah cinta sad ending kakak. Sama kayak yang di novel ga kak?” Anak lain di gerombolan itu masih memberondong pertanyaan
      “Eem. Kisah sad ending saya, sudah lima tahun yang lalu. Saat itu, saya menyukai seorang pelayan di cafe milik mama saya. Tapi, tiba-tiba saja dia menghilang sebelum saya mengungkapkan perasaan saya.” Entah ada angin apa, aku menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Hal yang sudah lebih dari lima tahun aku sembunyikan dari siapapun.
      “Sekarang masih menyimpan rasa nggak kak?” Seseorang yang lain nyeletuk dari belakang.
      “Masih” Jawabku ringan terbawa suasana. Suara gerombolan anak SMA itu makin riuh rendah. Tapi dipojok lain, ada yang rusuh juga. Oh my God! Pelayan cafe mama! Bagaimana bisa aku benar-benar lupa kalau mama menyuruh mereka datang kesini! Aaah..
      *
      Beberapa hari setelah itu, aku ke cafe dan langsung disambut Mba Nana. “Mas, anak-anak nanya tu, siapa pelayan cafe yang dimaksud mas Said pas dipeluncuran buku kemarin.” Katanya sambil nyengir.
      “Ish, apa sih, mba. Gausah dibahas. Haha” Jawabku kikuk.
      “Anna ya mas.” Mba Nana bertanya singkat. Aku hanya diam saja.
      “Saya mau ngaku sesuatu mas.” Tiba-tiba nada bicara Mba Nana serius
      “Apa mba?”
      “Sebenernya, pas Bu Ennie nyuruh kita dateng ke peluncuran novelnya Mas Said itu, saya ngabarin Anna. Dan.. Anna dateng. Dia sengaja ga duduk di acaranya Mas Said. Tapi dia menyimak acara itu dari awal sampe akhir, termasuk pas Mas Said bilang tentang sad ending-nya mas Said...”
      Saat itu, aku rasanya rela ditabrak kereta dan mati seketika daripada menerima kenyataan bahwa pengakuan atas perasaanku yang sederhana berubah menjadi serumit ini.
      “Dan... Anna mengajak bertemu setelah itu, meminta saya ngasihin ini ke Mas Said.” Lanjut Mba Nana sambil menyerahkan secarik kertas
      Aku membacanya, mencoba menguasai diri lalu bertanya pada Mba Nana, “Terus bagaimana?”
      “Bagaimana apanya mas?” Nana bingung
      Aku juga tidak tahu maksud pertanyaanku. Aku hanya merasa perlu mengatakan sesuatu untuk menetralisir perasaanku saat ini.
      “Sebenernya mas..“ Lanjut Nana. “Anna dulu suka sama Mas Said. Tapi pas baca buku Mas Said yang ketinggalan dulu, Anna ngiranya mas Said lagi jatuh cinta sama orang lain. Anna patah hati dan memutuskan keluar dari cafe. Katanya dia ga akan kuat kalau tiap hari harus ketemu Mas Said.” Setelah lima menit berlalu tanpa satu katapun keluar dari mulutku, Mba Nana memutuskan untuk beranjak. Aku kembali membaca surat singkat dari Anna
      “Seandaikan aku tahu dulu kamu mencintaiku, aku pasti akan kuat seberapapun beratnya. Seandainya dulu kamu berani memintaku, aku pasti akan bertahan seberapapun lamanya. Tapi sekarang, aku sudah hidup dengan orang lain. Dengan lelaki baik yang mencintaiku lebih dari mencintai dirinya sendiri. Lelaki yang telah berhasil meluluhkan hati mamaku. Maka, tidak ada gunanya kamu menunggu. Carilah perempuan lain yang mencintaimu. Biarlah kisah kita berdua menjadi kisah dalam bukumu saja. Tentang tragedi dua anak manusia yang terkungkung oleh kepengecutannya.

      Lagu Dewi (Dee) Lestari terputar tanpa sengaja dari playlist cafe. Membuat semua tragedi ini terasa semakin sempurna
      Lepaskanku, segenap jiwamu
      Tanpa harus ku berdusta
      Karna kaulah satu yang kusayang
      Dan tak layak kau didera...

      Tantangan duet RuNa
      09102015 Rini-Mumu

      Hapus
  6. Momen

    Jemariku menari-nari di tombol keyboard laptop, mengolah imajinasi liar di kepalaku ke dalam sebuah tulisan. Mataku memandang lurus ke arah layar monitor, memperhatikan kata per kata yang kuketik rapi. Aku terus saja mengetik, menuliskan apa yang kuinginkan. Mengikuti alur plot yang telah kubayangkan sebelumnya. Tokoh laki-laki yang kusebut-sebut dalam tulisanku seperti memanggil namaku untuk terus melanjutkan kisahnya di sana hingga tuntas, sayangnya kepalaku mendadak berat. Imajinasiku buyar semua. Aku kehabisan ide.

    Nafasku menghelakan desahnya. Lelah menjadi satu kata yang mendominasi rasaku saat ini. Kebingungan melanda pikiranku. Aku mencari-cari untaian kata yang tepat untuk melanjutkan tulisanku, tapi tak satupun ada yang kutemukan. Mataku yang sayu memandang pesona luar jendela yang berbingkai kecoklatan. Tirai putih tipis yang dibuka dan diikat pada kedua sisi jendela berkibar disapa angin yang masuk pelan-pelan. Senyumku tiba-tiba mengembang saat satu sosok yang kukenal muncul dari sisi jalan yang kulihat dari jendela. Seketika berat kepalaku menghilang.

    "Zha, liat apa kamu?" Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Memutuskan kontak mataku pada objek yang kupandang.

    "Bukan apa-apa." Aku menyembunyikan kebenaran yang entah tadi terlihat olehnya atau tidak. "Kenapa ke sini?"

    "Jangan mengalihkan pembicaraan, Zha. Aku tadi lihat kamu senyum-senyum ke arah jendela." Yang berkata mendongakkan kepalanya ke arah jendela yang terhalang olehku. "Ayolah, katakan yang sebenarnya pada sepupumu tercinta ini." Matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menggelengkan kepala mengelak untuk mengatakannya. "Eh, jangan-jangan kamu lagi liatin laki-laki yang lagi duduk di taman itu?"

    Mataku membulat saat mendengar ucapannya. Aku memperhatikan laki-laki yang ditunjuk oleh sepupuku itu dan kaku sejenak begitu tahu laki-laki yang dimaksud. Lidahku kelu, tapi aku harus mengelak. Ya, aku harus mengelak. Tidak mungkin mengatakannya. Aku terlalu malu untuk jujur.

    "Kamu itu bicara apa, Ria." Aku memasang raut wajah tak suka. Menutupi rasa malu yang menghampiriku.

    "Ih Tyzha, kamu mau ngelak dariku ya? Tidak bisa loh." Ria mencubit pipiku pelan. "Kamu tu nggak pinter bohong."

    "Sudahlah, Ria. Kamu hobi sekali mengangguku."

    "Habis kamu serius banget di depan laptop. Setiap aku datang ke sini selalu diabaikan."

    "Aku mengejar deadline tulisanku, Ri. Kalau tidak diangsur sekarang nanti keteteran di akhir. Bisa stress aku."

    "Tapi nggak bosen seharian ini di depan laptop terus? Ayo kita ke taman depan. Refreshing sebentar sebelum kamu ngelanjutin buat novelnya. Siapa tahu bisa dapet inspirasi di sana." Ria memengang lenganku, menariknya pelan.

    "Eh tapi..." aku memandang laptop, Ria dan jendela kamarku bergantian. "itu..."

    "Ayolah, Zha."

    "Baiklah-baiklah." Dan akhirnya aku mengalah.

    Aku mematikan laptopku setelah menyimpan dokumen ceritaku. Ria senang sekali melihat aku menurutinya. Mungkin aku memang butuh jalan-jalan sejenak untuk menyegarkan pikiranku. Berada di kamar seharian memang membosankan. Ah Ria ini, tahu saja yang aku butuhkan.

    ***

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sore menjelang seiring angin bertiup membelai lembut dedaunan pohon-pohon. Taman masih cukup sepi seperti biasanya. Aku berjalan pelan menuju bangku taman tempat biasanya aku menghabiskan sore di akhir pekan sambil menyalurkan hobiku menggambar sketsa. Sudah hampir setahun kegiatan rutin akhir pekan ini aku jalani, bangku taman yang menjadi tempatku menghabiskan sore ini juga menjadi salah satu tempat favoritku dikala jenuh atau penat.

      Aku mengeluarkan buku sketsa yang hanya tinggal tiga lembar kosong dan berbagai peralatan yang lainnya dari dalam tas, menatanya di atas meja taman, bersiap memulai menggambar. Aku memandang sekeliling, memperhatikan satu persatu benda sekitar taman yang bisa kulihat dan bisa jadi inspirasi untuk sketsa selanjutnya. Salah satu sudut yang menjadi favoritku adalah salah satu rumah yang tepat berada di seberang jalan taman, tepat di depan bangku tempatku duduk kini. Taman mini sederhana mengelilingi rumah tersebut yang semakin membuatnya enak dipandang karna pagar tanaman yang tak terlalu tinggi. Disudutnya nampak jelas sebuah ruangan berbingkai gorden putih yang tersibak, menampilkan sebuah sosok perempuan berjilbab yang sibuk berkutat di depan laptopnya. Perempuan yang menarik perhatianku akhir-akhir ini, entah kenapa.

      Aku mengalihkan pandangan dari sosok yang tiba-tiba juga memandangku dari kejauhan, diikuti pandangan seorang perempuan lain yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Ah, tingkahku kenapa jadi tak jelas begini? Merasakan gugup tanpa alasan.

      Demi menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba menyerang, aku memulai menggambar sketsaku. Sebuah inspirasi tiba-tiba menyeruak dalam otakku, memaksa tangan bergerak menggambarkannya.
      Tak berapa lama menggambar, hp di kantong celanaku bergetar. Tertera nama Faizi di layarnya. Aku mendesah pelan sebelum akhirnya mengangkat telepon dari sahabatku yang rada cerewet satu itu.

      "Essa, dimana lu? Gue depan rumah lu nih tapi gak ada orang. Gue lagi bete nih, butuh temen" Cerocos orang diseberang tanpa basa basi, sesuai perkiraan.

      "Kamu tuh ya, Zi, bukannya assalamu'alaikum dulu, malah nyerocos aja" Faizi tertawa pelan mendengar teguranku.

      "Iya maaf. Assalamu'alaikum Essa, sekarang lagi dimana sobat?" Tanya Essa lagi.

      "Waalaikumsalam.. Lagi di taman, tempat biasa aku menggambar sketsa. Tau kan?"

      "Taman kompleks? Jangan bilang kamu menggambar sketsa cewek dibalik jendela itu lagi. Gak bosan apa lu?"

      "Hush, apaan sih lu, Zi. Gue lagi bikin sketsa rumah kok." Bantahku alakadarnya.

      "Iya, rumah cewek itu kan?" Godanya lagi

      "Lu tuh ya! Udah ah gue tutup telponnya, keburu ide gue mandek ngobrol ama lu." Protesku kesal mendengar godaannya.

      "Eh, tunggu dulu, jangan ngambek dong. Gue kesitu ya, lagi bete nih, butuh temen."

      "Ya udah, tapi gak pake gangguin gue pas lagi menggambar ya. Awas aja ntar kalo..."

      "Enggak kok, gue cuma pengen ketemu lu aja, gak pake acara ngegodain lagi deh, sumpah!"

      "Oke, gue tunggu." Jawabku menutup pembicaraan.

      Aku menoleh lagi ke sudut rumah yang berada tepat beberapa meter di depanku, sosok perempuan itu sudah tidak ada. Aku menghela napas pelan, karena tiba-tiba ide yang sebaru tadi menyeruak, menghilang begitu saja. Entah karna telpon Faizi, entah karna perempuan itu tak lagi dalam pandanganku. Entahlah..

      Hapus
    2. Ria memegang tanganku dengan erat saat kami menyebrang jalan di depan rumah. Aku sedikit heran, tapi ya sudahlah kalau Ria memang ingin memegang tanganku. Tidak terlalu aneh juga kalau dua orang perempuan saling bergandengan tangan. Sah dan wajar. Lain halnya kalau laki-laki, yah bisa dibayangkan bagaimana ekspresi orang-orang. Tangan kami masih saling bertautan sampai tiba di taman. Mataku terpaku pada sosok laki-laki itu yang duduk pada bangku taman dengan sebuah buku dan pensil di tangannya. Wajahnya tampak serius dengan apa yang dilakukannya. Aku terus memperhatikannya sampai tidak sadar bahwa langkah kakiku terhenti dan tubuhku sedikit tertarik begitu Ria terus berjalan.

      "Eh?" Ria memandangku bingung. Wajar saja, aku memilih berhenti di tengah jalan. "Kenapa? Ada sesuatu?"

      Aku mengalihkan pandanganku dan menatap ke arah Ria sepenuhnya dengan senyum simpul. "Tidak ada apa-apa. Ayo!" Kali ini aku menarik Ria yang tangannya masih menggandeng dengan tanganku.

      Ria sepertinya tidak terlalu penasaran dengan tingkahku tadi. Buktinya dia dia saja dan memandang suasana ramai taman kompleks ini. Angin segar, suasana yang menyenangkan, kurasaka aku benar-benar bisa mendapatkan ide baru di sini. Siapa tahu aku juga mengalami kejadian tak terduga yang bisa menambah jalan ceritaku nanti. Semoga saja.

      "Melamun terus, Zha." Suara Ria memecahkan kesunyian di antara kami berdua. "Padahal maksud ngajakin kamu ke sini bukan untuk didiamin loh."

      "Eee maaf deh, Ria." Aku mengeluarkan cengiran bersalahku. "Tiba-tiba aja masuk ke taman ini aku ngerasa seneng. Kayaknya aku bakalan dapet banyak ide untuk novelku nanti." Ungkapku jujur.

      Aku menangkap hela lega dan senyum senang di wajah Ria. Mungkin memang tujuannya untuk menyenangkanku. "Syukurlah kalau begitu. Aku ikutan seneng juga. Entar kalau novelmu udah jadi aku yang jadi pembaca pertamanya."

      "Pastilah. Dari sebelum novelku dibuat juga kamu udah bilang mau jadi orang pertama yang baca novel ini." Aku dan Ria tertawa setelah aku menyelesaikan kalimatku barusan.

      Hapus
    3. Keseruan obrolanku dan Ria tiba-tiba saja terhenti saat seseorang datang menghampiri kami. Aku memandang heran, tidak mengenal dengan sosok laki-laki itu. Berbeda dengan Ria yang mengekspresikan kegembiraan dengan senyum di wajahnya. Rupanya ini teman Ria. Aku melepas gandengan tangan kami yang ternyata masih bertaut.

      "Assalamualaikum, Ria. Apa kabar?" Salam sapa si laki-laki itu ramah.

      "Waalaikumsalam. Kabar baik, Zi." Balasan Ria juga terdengar ramah. Sepertinya mereka berteman baik. "Lama tidak ketemu ya. Kabarmu pasti baik."

      "Ya begitulah." Laki-laki itu terdiam sejenak.

      "Oh iya, Zi. Ini sepupuku, namanya Tyzha." Ria memegang pundakku dan kemudian mengalihkan pandangnya menatap ke arahku. "Zha, ini temen SMAku. Faizi."

      "Oh, salam kenal." Ujarku.

      "Salam kenal juga." Balas Faizi sambil tersenyum. "Kalian ke sini jalan-jalan? Emang tinggal di dekat sini?"

      "Iya. Rumahku agak jauh sih dari taman ini, rumahnya Tyzha yang paling dekat. Itu rumahnya persis depan taman." Ria menunjukkan rumahku pada Faizi. Dasar Ria seenaknya saja memberitahu rumah orang. "Kamu ngapain ke sini? Rumahmukan jauh dari sini."

      "Oh itu tadi mau ke rumah teman gue di kompleks sini. Ternyata dia ada di taman dan nyuruh gue nyusulin dia ke sini."

      "Temen? Cowok apa cewek?" Ria memandang jahil ke arah temannya itu.

      "Cowok temen gue itu. Lu curigaan, Ri." Wajah Faizi mendadak kesal. "Itu dia, yang lagi duduk mandangin buku sketsa di pojokkan bangku sana."

      Ria tiba-tiba tertawa pelan mendengar jawaban faizi. Sepertinya dia puas menjahili temannya itu. Baru bertemu setelah lama berpisah sudah keluar sifat aslinya Ria dengan teman-temannya. Berbeda dengan Ria yang sibuk meredakan tawa itu, aku sedikit terkejut dengan teman Faizi yang ia tunjuk tadi. Aku menganggap ini sebuah takdir, entah kenapa bisa berkaitan seperti ini. Temannya teman Ria adalah laki-laki di taman yang sering kuperhatikan. Aku shock, tapi aku senang."

      "Namanya Essa. Dia teman kuliah satu jurusan di kampus." Faizi menjelaskan si temannya itu pada kami. Lebih tepatnya ke Ria yang masih tertawa, tapi aku merasa bahwa ini adalah informasi penting yang takdir berikan padaku. "Eh, gue ke sana dulu. Kasian juga dia lama nunggu."

      "Oh iya." Jawab Ria. Kali ini normal tanpa tawanya.

      Hapus
    4. Kami memandang tubuh Faizi yang mulai menjauh dan menghampiri temannya itu. Aku memandang sejenak wajah laki-laki itu yang baru kuketahui namanya Essa, sebelum lengannya Ria mengapit lenganku dan menarikku. Ria berceloteh tentang temannya barusan. Ternyata Ria senang sekali bertemu dengan teman SMAnya itu. Aku turut senang juga, selain karena Ria yang senang, aku bisa mengetahui nama si sosok perhatianku itu tadi. Tak terasa aku tersenyum sendiri.

      Ria mengajakku ke kumpulan penjual jajanan. Lapar katanya tadi dan aku menurut saja, toh sepertinya aku juga ingin memakan sesuatu untuk mengisi perutku. Seorang penjual siomay memanggil kami dan menawarkan jualannya. Aku dan Ria setuju untuk membeli di sana. Senyum ramah dari penjualnya cukup menyenangkan saat dia memberikan dua kursi untuk kami duduki.

      "Kayaknya ini takdir deh, Zha." Ujar Ria tiba-tiba. Aku mengerutkan kening tanda bingung dengan ucapannya. "Soalnya aku nggak nyangka kalau temannya Faizi itu laki-laki yang sering kamu perhatiin dari jendela kamar."

      Aku benar-benar terkejut dengan ucapan Ria. Bagaimana Ria bisa tahu, aku tidak pernah sekalipun memberitahu itu padanya. Sekalipun dia sepupuku, aku terlalu malu untuk mengatakannya. Ria tersenyum saat melihat ekspresiku, tapi dia tidak memandang jahil seperti biasanya.

      "Aku tahu loh kalau tokoh dalam novel kamu itu si Essa. Laki-laki taman dengan buku yang selalu menjadi temannya." Lanjut Ria memaparkan pikirannya padaku. Itu membuatku semakin malu dan salah tingkah. "Zha, kamu suka sama diakan?"

      "Sudahlah, Ri. Aku tidak mau membahas itu. Kita kemari untuk mencari inspirasi novelku." Elakku dan syukurnya siomay yang kami pesan sudah datang. Penjual itu sedikit menginterupsi obrolan kami.

      "Baiklah." Ria berhenti berucap dan mulai menikmati makanannya.

      Aku menatap siomay di tanganku, kemudian saat kuangkat kepalaku mataku terhenti ke arah dua laki-laki yang kukenal. Mereka terlihat akrab dan entah obrolan apa yang mereka bicarakan sampai Essa terlihat kesal dengan Faizi. Merasa tak paham, aku melahap siomayku dan tatapan Ria yang lurus padaku membuatku sedikit terkejut.

      "Kamu benar-benar menyukainya." Seru Ria dan aku membelalakkan mataku padanya. Anak ini benar-benar tidak bisa jaga mulut. "Kamu tidak bisa mengelak, Tyzha." Ria menyebut namaku dengan penekanan. Aku terintimidasi dengan ucapannya.

      "Terserah." Kuabaikan Ria yang memberikan cengirannya. Menikmati siomayku yang jadi terasa hambar, karena ulah Ria. Rasa malu mulai menguasaiku. Dasar Ria.

      Hapus
    5. Mulutku masih penuh dengan makanan begitu Faizi tiba-tiba datang lagi. Aku dan Ria memandang heran. Wajah Faizi kali ini lebih ceria dari yang tadi. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh, tapi aku tidak bisa memastikannya.

      "Hai, kebetulan kalian masih di sini. Teman gue mau kenalan dengan kalian." Katanya langsung. Mendengarnya aku jadi kesulitan menelan siomay yang masih ada di mulutku. Belum lagi si Ria yang justru dengan senangnya menerima tawaran itu. Ugh Ria kamu ini.

      Dan akhirnya di sinilah kami berempat. Duduk di bangku taman dengan sebuah meja yang menyekat di antara kami. Kalau bisa digambarkan aku malu sekali saat ini. Ini adalah pertemuan langsung dengan laki-laki yang kukagumi selama ini untuk pertama kalinya. Aku harus apa? Berbicara biasa pun kurasa tak sanggup.

      Obrolan biasa, yang mendominasi percakapan hanya Faizi dan Ria. Mereka memang teman akrab dan aku. Ah, kenapa aku jadi merasa tak pantas ada di sini. Essa terluhat juga bisa mengusai keadaan meski belum sepenuhnya mengenal Ria. Mungkin karena Ria yang mudah akrab dengan orang lain dan pertanyaan pancingan Ria ke Essa membuat mereka bisa mengobrol layaknya teman. Aku pasti bakalan diam saja kalau bukan karena Ria yang meminta pendapatku atau Faizi yang tiba-tiba bertanya tentangku, sedangkan Essa tak sekalipun mengatakan apa-apa denganku. Kecewa? Tidak juga, aku sadar denganku yang tidak banyak bicara ini. Setidaknya dari ini aku mendapat banyak informasi tentangnya dan inspirasi novelku.

      "Eh Zha, lu lagi nulis novelkan? Emang cerita tentang apa yang lu buat?" Tanya Faizi, sukses membuatku terkejut.

      "Itu cerita tentang..." belum selesai aku meneruskan ucapanku, Ria sudah lebih dulu melanjutkannya.

      "Cerita romance gitu. Inspirasinya dari orang yang sering ke taman ini." Dan dengan seenaknya saja dia bicara.

      "Eh." Aku menaikkan alisku mendengar jawaban Ria.

      "Bener nih, Zha? Wah sama dong dengan Essa, dia itu suka buat sketsa dan inspirasinya juga dari seseorang yang ia lihat dari taman ini."

      "Eh?"

      "Eh."

      Suara dari mulutku dan Essa keluar berbarengan. Kami saling menatap sebentar sebelum melihat ke arah dua orang sekawan yang tersenyum penuh arti. Aku tidak mengerti dengan maknanya, tapi aku sadar ada sesuatu yang aneh di sini. Di antara mereka.

      ***

      Hapus
    6. "Eh Zha, lu lagi nulis novelkan? Emang cerita tentang apa yang lu buat?" Tanya Faizi pada sepupu temannya yang bernama Tyzha beberapa saat setelah kami mengobrol.

      "Itu cerita tentang..."

      "Cerita romance gitu. Inspirasinya dari orang yang sering ke taman ini." Lanjut Ria memotong jawaban sepupunya.

      "Eh" Tyzha melirik Ria tajam, seolah tak rela akan jawaban sok tau sepupunya itu. Sedikit banyak aku juga kaget dengan jawaban Ria yang entah kenapa membuatku tersenyum tanpa alasan.

      "Bener nih, Zha?" Tanya Faizi memastikan. Namun belum dijawab dia lalu melanjutkan "Wah sama dong kayak Essa, dia suka buat sketsa dan inspirasinya juga dari seseorang yang ia lihat sari taman ini."

      "Eh?"

      "Eh." Pernyataan Faizi membuatku kaget setengah mati.

      Tanpa sadar aku menatap Tyzha yang berada tepat di depanku, merasa sedikit malu dan tiba-tiba rasa gugup menggelayuti seluruh tubuhku. Aku menoleh ke arah Faizi, meliriknya tajam, penuh tanda protes, namun yang dilirik justru malah tersenyum penuh arti.

      Sahabatku yang satu itu memang sering sekali menyebalkan dan membuatku kesal, seperti saat itu yang tiba-tiba dia berbicara tentangku seenaknya. Tapi, jauh lebih dari itu, dia benar-benar sahabat yang pengertian dan bisa diandalkan. Karna mungkin tanpa celotehannya dulu, mungkin tidak akan pernah ada hari ini, hari paling istimewa dalam hidupku.

      Takdir itu tak bisa ditebak. Skenario-Nya berjalan dari sisi yang kadang tak bisa di sangka. Hari ini, hari paling istimewa bagiku, juga bagi Tyzha. Ya, hari ini adalah hari pernikahan kami berdua.

      Masih lekat dalam ingatan, momen dimana kami bertemu dan bertatap muka untuk pertama kalinya, dimana sebelumnya hanya bisa memandang dari jarak yang cukup jauh, momen dimana kami berkenalan dan saling berbincang pertama kali, dan momen dimana Faizi dan Ria seenaknya bicara masing rahasia dari kami. Momen itu menjadi awal dari semuanya, menjadi awal kisah kami sesungguhnya di dunia nyata, bukan hanya kisah yang tertuai dalam novel yang Tyzha buat atau sketsa-sketsa yang tergambar oleh tanganku...

      Sebuah buku sketsa aku persembahkan pada Tyzha dan Tyzha juga memberikanku sebuah novel karyanya yang sudah diterbitkan. Kami tersenyum memandang pemberian masing-masing. Faizi yang berada di sampingku dan Ria yang berada di samping Tyzha langsung berseru, "ciiieeeeeeee......." dan kami tertawa bersama....

      Roida~Yuli
      Tantangan Duet OWOP
      091015

      Hapus
  7. http://diniriyani.blogspot.co.id/2015/10/misstulis-tantangan-menulis-duet-runa.html

    Dini-Cici

    BalasHapus
  8. http://diniriyani.blogspot.co.id/2015/10/kdi-kisah-dara-dan-izzy.html

    Dini-Izzy

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. http://zu-chocoaizu.blogspot.co.id/2015/10/fiction-irama-puisi-cinta.html

    BalasHapus