Minggu, 08 Januari 2017

[Review Novel] La Tansa (Male Cafe)

La Tansa (Male Cafe), By: Nurul F. Huda

Pernah denger ‘La Tansa’? (dulu sering kebalik sama La Tahzan :v) Untuk anak-anak ROHIS seangkatan gue pasti pernah tau novel ini meski nggak baca, atau lupa ceritanya gimana. Jaman gue SMP, novel-novel islami itu populer banget, terutama di kalangan anak ROHIS. Tanya semua judul novel Gema Insani, DAR!Mizan, atau Forum Lingkar Pena. Kebanyakan semuanya tau. Terutama seri-seri populer macam Double F Team, atau Catatan Harian Olin.

Olin yang ini bukan beli diskonan, tapi beli baru karena cetak ulang. Lebih kece pula covernya. Hehehehe :3

Nah, La Tansa (Male Cafe) ini salah satu seri novel populernya Gema Insani. Seinget gue, DULU GUE PUNYA NOVELNYA KOOOOK! Terus raib ke mana yah itu novel? (;____;)

Sejak mulai aware sama buku-buku yang gue koleksi, entah bagaimana novel atau nomik (novel komik) gue yang keluaran Gema Insani sama FLP itu raib. Ada sih yang masih awet sampe sekarang. Tapi itu malah yang ceritanya kurang seru. Hiks.

Akhirnya, waktu nggak sengaja nemu novel La Tansa ini di diskonan Pasaraya Manggarai, gue langsung beli. Yah, buat mengingat bacaan-bacaan masa lalu gitu, deh. LOL. Mumpung harganya murah juga. Hehehe.

Setelah berbulan-bulan diendapin di rak buku, akhirnya hari ini di baca juga. Juju raja, gue nggak inget blas ini ceritanya tentang apa. Cuma inget ada ikhwan-ikhwan gaul bikin café. Udah. Iya, salahkan short memory syndrome yang gue derita dari kecil.


Ada lima ikhwan gaul yang punya ide untuk bikin café di salah satu sudut kota Jogja. Tujuan utama mereka bikin café ini adalah untuk menjaring anak-anak muda sekitar mereka supaya lebih banyak main ke café dengan banyak kegiatan yang bermanfaat di dalamnya. Maunya sih ngajak mereka ke masjid, gitu. Tapi mereka adalah ikhwan-ikhwan realistis yang tau kalau sasaran mereka ini masih susah banget kalau tiba-tiba langsung diajak ke masjid.

Jadilah di café ini mereka pelan-pelan mengajak mereka ke arah kebaikan. Tujuan paling utamanya emang untuk menghindarkan mereka dari kegiatan-kegiatan nggak manfaat di luar, macam nongkrong-nongkrong nggak jelas sampe pagi, mabok, sampe nge-drugs. Mungkin emang nggak bisa narik pengunjung yang ekstrim gitu juga sih sebenernya. Tapi target mereka cukup berhasil karena bisa ngajak temen-temen dan pemuda-pemuda lain yang kebanyakan menjalani hidup dengan kesia-siaan.

Di café ini pengunjung dipersilakan untuk coret-coret sesukanya di bilik ekspresi. Selain itu juga ada fasilitas internet gratis. Ada panggung tempat Fely dkk bernasyid ria (kadang-kadang nyanyi lagu populer tapi dijadiin acapella juga). Sesekali ada acara talk show, dengan pembicara mantan tukang minum yang akhirnya tobat. Dan kegiatan-kegiatan lain yang mereka rasa bermanfaat untuk mengajak pengunjung cafenya ke arah yang lebih baik.

Gue ngerti kenapa gue dulu lumayan suka novel ini, makanya judulnya masih membekas sampai sekarang. Kisah-kisah dalam novel ini sederhana. Cara penceritaannya juga sederhana dan mudah dimengerti. Satu konflik hanya dibahas dalam 1-2 chapter. Dan secara keseluruhan, dalam satu novel ada sekitar 10 konflik yang berbeda. Jadi novel ini semacam cerita berbingkai gitu sebenarnya.
Untuk anak SMP, termasuk gue yang dulu baca novel ini, pastinya enak banget dibaca karena emang nggak terlalu rumit.

Sayangnya, untuk gue yang sekarang, rasanya beda. Saking sederhananya, konflik dan penyelesaian dalam novel ini jadi terkesan naif dan berjalan terlalu mulus. (Iyalah, otak udah terkontaminasi sama bacaan-bacaan berat yang isinya kebohongan, kekejaman, kelicikan umat manusia yang bahkan sulit untuk dibayangkan) Duh, aku rindu diriku yang polos….. :v #hoeekk

Selain itu, begitu baca novel ini pasti ketara banget kalau yang nulis perempuan. Kenapa? Karena semua karakter di sini cowok, tapi kok rasanya kurang tulen gituuuh….

Ada beberapa adegan yang rasanya ‘nggak cowok banget’. Termasuk ada karakter cowok yang digambarkan manja, sensitif, takut sama tikus, dan kalau ada masalah sedikit bisa teriak-teriak, ngambek, bahkan sampai nangis. Nggak berhenti di situ, cowok ini bahkan punya kebiasaan untuk selalu bawa sabun pembersih muka lengkap, satu set. Buset, gue yang perempuan aja nggak gitu-gitu amat….

Okelah kalau si penulis mau menggambarkan dia punya sedikit sisi ‘feminin’ gitu yak. Tapi ini mah bukan sedikit lagiiih, ini kebanyakaaann :v Gue malah curiga kalo si cowok ini digambarkan ‘normal’ dari awal sampai akhir, meskipun sifatnya begitu.

Tapi di luar itu semua. Novel ini masih worth it untuk di baca para remaja. Iya, ini karena faktor gue udah melalui masa-masa itu aja, jadi rasanya agak kurang greget gimanaaa… gitu. Eh sebentar, ini kok gue jujur amat….

Selain itu, banyak pelajaran moral yang bisa diambil dari novel ini. Jadi, tetep cuco buat koleksi lah gituuu :) Lagian buku ini kan salah satu kenang-kenangan akyuh waktu masih SMP dan imut-imut getoh. Wakakakakaka. Udah ah :v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar