Senin, 09 Januari 2017

Cara Menulis Cerita Komedi

Ginian kok nanya ke gue, sih? Gue kan bukan pelawak. Gue terlalu bersahaja dan terlalu cendikiawan untuk jadi seorang pelawak. Cendikiawan itu apa, sih? 

Tapi kalo emang pada maksa, yaudah deh...

I'll try my best.

Sejujurnya, gue nulis komedi itu karena terpaksa. Dulu, awal-awal mau jadi penulis, maunya sih nulis horor/thriller, misteri, detektif, atau genre-genre yang nyerempet itu lah. Kenapa? Udah jelas karena itu KEREN! Gue juga akan terlihat lebih jenius daripada seharusnya kalau bisa nulis cerita macam begitu. Masalahnya, setelah nyoba nulis beberapa lembar, gue baru sadar kalau... IQ gue nggak nyampe. 

IQ gue cuma sampe buat menikmati bacaan dan tontonan yang begitu aja. Kalau untuk bikinnya, angkat tangan, deh. 

Jadi gue mencari cara lain untuk terlihat pintar selain nulis cerita-cerita dengan genre dan cerita yang njelimet --> Pake kacamata dan selalu bawa buku ke mana-mana

Yang udah mulai menyangka kalau gue ini pintar atau malah jenius, berarti kalian masuk perangkap psikologis yang gue pasang sejak lama.

Lepas dari genre sulit itu, gue sempet merambah ke genre romance.

And it became pretty much like this....

Karena hilang harapan, yaudah ke komedi aja, deh. 

Tapi untuk nulis komedi pun awalnya pasti melalui kegaringan-kegaringan yang tidak menyenangkan. Bayangin dong, udah nulis susah-susah sampe ketawa-tawa sendiri, terus berasa dilempar ke jurang hanya dengan satu kata "jayus", dari orang lain. Kadang-kadang disamarkan dengan tawa terpaksa, padahal dahinya berkerut, bingung lucunya di mana.

Tapi emang begitulah hidup, deritanya tiada akhir.... 
(original quote by: Ti Pat Kai)

Perlu dipahami bahwa sah-sah aja orang lain bilang karya kamu jayus, garing, nggak lucu. Mungkin emang selera humornya beda jauh. Ya tapi realistis juga, sih. Kalo 80% bilang nggak lucu, berarti emang selera humormu yang aneh. 

Menulis komedi itu sebenernya ada formulanya. Tapi sebelumnya, kamu harus menemukan dulu formula yang KAMU SUKA. Kalau gue sendiri, setuju dengan dasar komedi yang mengutamakan SET-UP dan PUNCH LINE. (Set-up: keterangan pembuka yang mengarah menuju PUNCH LINE: pemutarbalikan apa yang biasanya dipikirkan orang kalau membaca set-up). Tapi, nggak semua set-up dan punch line bisa berhasil. Gue paling suka punch line yang membuat orang sedikit berpikir. Biasanya, agak mengarah ke sindirian/sarkas tapi nggak sampai satire. Karena kalau satire terlalu kejam. Dan hatiku terlalu rapuh. 

Selain itu, tipikal komedi yang memperdebatkan kejadian nyata dengan logika juga menarik.

Ini contoh artikel yang ditulis salah satu penulis komedi favorit sayah 

Tahu Mbulet by Isman H. Suryaman

Di daerah perumahan kota-kota besar di Jawa Barat dan Jabodetabek kini lagi bermunculan penjual tahu bulat. Biasanya dua orang dalam satu mobil bak terbuka. Karena dua mobil dengan satu orang bakal terlalu akrobatik. 
Satu orang tentunya pegang setir. Seorang lagi duduk di bak mobil, siap sedia di depan wajan penggorengan. Sampai saat ini sih, saya belum pernah memergoki ada penjual yang multi-talenta sampai bisa nyetir sambil goreng tahu. Kalau ada yang lihat, tolong fotoin. 
Seperti penjaja makanan komplek tradisional, mereka jualan sambil teriak. Ada yang cukup menyetel rekaman. Namun, ada juga yang teriak secara manual menggunakan pengeras suara seadanya.
Nah, saya heran dengar teriakan para penjual tahu bulat ini. Bukan karena intonasi dan jedanya yang ajaib. Melainkan karena informasi yang mereka teriakin itu gak runut.
Saya bahas yang sering keliling di komplek perumahan saya deh. Kalimat pertama: "Tahu. ...Bulat." Oke, wujud produk. Jelas.
Kedua: "Digoreng. ...Dadakan." Ini cara sekaligus nilai jual, sepertinya. Padahal nggak beda kok dengan penjual gorengan lain. Ada tahu yang sedang digoreng, ada yang sudah beres; nongkrong di kotak samping wajan. Kadang kita dikasih dari yang nongkrong kok. 
Dan nggak akan ada juga yang aneh-aneh. Misalnya, tahu yang cuma diajak jalan-jalan sama penjualnya, lalu kaget karena mendadak mereka digoreng.
"Tadi bilangnya gak gitu!" protes para tahu.
"Nggak dibilangin pun, kalian tetap tahu kok," balas sang mamang penjual dengan dingin.
Dan para tahu pun tewas karena mendengar joke Om-om. Mengenaskan.
Oke, lanjut kalimat ketiga, "Di atas mobil." Ini udah semi penipuan nih. Digorengnya di dalam bak mobil kok. Kalo di atas, harusnya di atap mobil, lah.
Padahal saya buru-buru keluar karena pengin lihat mamang-mamang nongkrong di atap sambil bawa wajan. Huh.
Terus lanjutannya, "...Lima ratus."
Makin membingungkan. Kenapa tiba-tiba ada angka di situ? Apanya yang lima ratus? Harga per biji (tapi apakah tahu memiliki biji?)? Atau jumlah tahu yang dijual?
Saya takutnya pas tergoda keluar, mamangnya ganti teriak, "Lima ratus satu." Ternyata ngehitung yang ketipu istilah "di atas mobil". Hih!
Saya sempat ragu beli karena bertanya-tanya: apa kita kalo beli harus manggil dengan nada serupa, ya?
Jadi manggilnya, "Tahu. ...Bulat. ...Mau beli. ...Sekarang. ...Di pinggir jalan. ...Sepuluh ribuan."
Mobilnya sudah keburu jauuuuh.
Bisa jadi nanti penjual tahu tradisional juga nggak mau kalah sama tahu bulat. Di pasar mereka teriak, "Tahu. ...Kotak. ...Digoreng. ...Belakangan. Di lapak. ...Lima ratus."
Pas saya mendekat, dia ganti teriak, "Lima ratus satu!" 

Gimana? Gue sih ngakak jungkir balik baca artikel itu. Kalau menurut kamu nggak lucu-lucu amat, ya mungkin emang formula komedinya beda. 
Nah, selain tipe komedi yang begini, gue juga suka komedi receh. Terutama yang menekankan keragaman kata-kata bahasa Indonesia. Biasanya yang jarang dipakai dan jadi lucu kalau dipakai di situasi tertentu.
Contoh paling baik untuk diksi-diksi ajaib, mungkin akan kalian temukan dalam novel seri The Chronicles of Audy karyanya Orizuka. Berkenalanlah dengan Audy, si pelamun purnawaktu, maka kalian akan tahu apa yang gue maksud :) Atau untuk yang suka nonton, The Big Bang Theory mungkin adalah referensi komedi paling ajib yang bisa ditemukan.
Nah, kalau udah nemu formula yang  pas untuk diri sendiri, mulailah menulis. Karena penulis itu kan hanya 10% bakat, sisanya latihan. Awal-awalnya mungkin akan terkesan 'ngikutin' penulis-penulis komedi lain. Tapi nggak apa-apa, itu belajar. Ya pokoknya asal jangan sama persis aja, sih. Nanti ke belakang-belakangnya juga akhirnya bisa nulis komedi dengan formula dan gaya masing-masing.
Tapi siapalah gue pake ngasih-ngasih tips untuk nulis komedi. Novel satu aja belum kelar-kelar. Lagian, selera komedi gue itu receh banget. Jadi nggak sulit nulis komedi. Secara kalo nulis gampang ketawa sendiri. (Tenang, nulisnya nggak di tempat umum, kok.) Sisanya tinggal berharap aja yang lain ketawa kalau baca tulisan gue. Kalo nggak, yaudah, mungkin bibirnya kaku karena bacanya sambil maskeran.

Pada dasarnya tulisan gue ini nggak menjelaskan apa-apa :v Jadi, yang baca postingan blog ini sampai akhir, lagi-lagi kalian masuk ke perangkap psikologis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar