Kamis, 10 Oktober 2013

[Book Review] Bangkok, The Journal

Judul Buku:  [Seri STPC] Bangkok (The Journal)
Pengarang: Moemoe Rizal
Penerbit: Gagas Media

Yak, mulai buku ini, gue akan mulai serius nulis review buku di blog gue. (Emang yang sebelum-sebelumnya enggak serius?) Yaa....serius, cuma agak berantakan aja. Mulai sekarang (dan selanjutnya) review gue akan jauh lebih rapi. Siap mulai? Oke? Roll aaand.... Write! (Ini apa yang digulung sih ngomong-ngomong?)



BANGKOK

Dari setiap buku STPC (Setiap Tempat Punya Cerita) yang gue perhatiin, mungkin buku ini adalah yang paling menarik minat gue. Ada beberapa alasan. Yang pertama, udah pasti karena settingnya di Bangkok, Thailand. Setting yang amat-sangat-jarang-sekali ada dalam novel. Kedua, karena gue pribadi tertarik sama bahasa Thailand, gue langsung jatuh cinta ngeliat ada aksara thailand di bagian belakang buku, dan berharap bisa belajar beberapa kata dalam bahasa thailand. (Meskipun kaka Moemoe agak ngeles gitu waktu dimintain nulis sesuatu pake aksara Thailand barengan sama tanda tangannya di buku gue. Tapi itu cerita lain, hahaha :D). Alasan yang terakhir, karena kalimat terakhir dalam sinopsis, "Bangkok mengajak pembaca memaknai persaudaraan, persahabatan, dan cinta". Semua sinopsis novel STPC selalu berkutat soal cinta, dan gue seneng novel ini sedikit berbeda. Paling enggak, ada keluarga dan persahabatannya, ahahahaha.

Novel ini  menggambarkan perjuangan Edvan mencari tujuh jurnal yang ditulis ibunya sewaktu tinggal di Bangkok. Awalnya, Edvan melakukan hal menurutnya merepotkan itu untuk melakukan permintaan terakhir ibunya sebelum meninggal. Tapi, pencarian itu tak akan berlangsung mudah jika Edvan tidak didampingi seseorang yang selalu memberinya semangat dan meyakinkannya bahwa jurna tersebut benar-benar ada.

Charm, seorang gadis Thailand yang masyaallah nama aslinya susah banget disebut, mendampingi Edvan mencari jurnal-jurnal tersebut dengan bayaran 5000 bath per jurnal yang berhasil ditemukan. Dengan pembawaannya yang sederhana, Charm mulai memikat di mata Edvan. Cowok arsitek tukang buang-buang duit itu mulai bisa mengakui kalau dirinya bisa mencintai orang lain selain dirinya sendiri, meskipun awalnya menolak fakta itu mati-matian.

Dalam perjalannya selama sekitar satu bulan di Bangkok, Edvan belajar banyak tentang hubungan keluarga, persahabatan, dan cinta. Jurnal-jurnal ibunya memberikan harta tak ternilai berupa pelajaran tak kasat mata tersebut. Edvan yang awal-awalnya menolak mati-matian keberadaan adik lelakinya yang kini menjadi adik perempuan, akhirnya bisa mengakui meski belum bisa menerima. Edvan yang awalnya membenci ibunya dan meninggalkannya selama sepuluh tahun, akhirnya menyesali tindakannya tersebut. Edvan yang dulu hanya memikirkan diri sendiri, kini bisa memikirkan kepentingan orang lain.

Jujur aja, gue enggak suka isu LGBT yang dibahas di novel ini. Edvin, adik Edvan, yang transgender dan ikut kontes waria di Pattaya. Dan scene-scene tertentu yang membuat Edvan akhirnya mengakui adiknya sebagai seorang transgender.

Scene yang paling gue enggak suka adalah, saat ada seorang ibu dan anak perempuannya masuk ke bar khusus waria. Di sana, ibu itu bilang mau melihat penampilan anaknya sebagai penari striptease. Memang sih, ibu yang sampai akhir enggak disebutin namanya ini mengaku enggak setuju anaknya operasi jadi perempuan. Menurut ajaran Budha yang dianut ibu itu, cowok enggak boleh berpenampilan seperti wanita. Tapi akhirnya ibu itu cuma pengen ngeliat anaknya bahagia. Dan anaknya bahagia jadi transgender.

Biar gue kutip langsung kata-kata Edvan, "Nyonya, anakmu mengganti kelamin dan sedang menggoda pria hidung belang di atas panggung sana. Apa menurutmu itu tidak terlalu....ekstrim?"

Gue akan lebih senang kalo Edvan mempertahankan pendapatnya yang satu ini. Tugas orangtua itu menjaga anaknya. Rasanya kalau anaknya dibiarkan bahagia dengan sesuatu yang ekstrim, gue tetep enggak setuju. Orangtua yang terlalu memanjakan anaknya supaya anaknya terus bahagia juga enggak bisa dibilang perbuatan baik, kan?

Gue bisa mengerti Edvan yang akhirnya sadar, "enggak perlu setuju dengan keputusan mereka, cukup dengan mengakui bahwa mereka ada". Gue juga punya temen gay, dan gue bilang terus terang kalau gue enggak pernah mendukung dan enggak pernah setuju apa yang dia lakukan. Tapi bukan berarti gue enggak bisa bertemen sama dia. Sama kayak yang Edvan bilang, LGBT itu seperti menentang alam. Tapi contoh yang gue sebut di atas rasanya enggak relevan sama pendapatnya Edvan di akhir cerita. Memang, selain contoh scene yang gue sebut, masih banyak scene lain yang menggambarkan masalah ini. Tapi menurut gue cuma scene itu aja yang kurang bisa gue terima.

Kalau mengesampingkan isu LGBT-nya, gue suka banget sama novel ini. Perjalanan yang digambarkan penulis rasanya begitu nyata. Gue bisa merasakan suasana di Bangkok sana, meskipun katanya si penulis belum pernah ke sana :p

Tema cinta yang awalnya enggak terlalu gue harapkan, malah menjadi daya tarik novel ini. Gue baca sampai halaman terakhir untuk tau akhir kisah Edvan dan Charm yang membuat gue sangat puas. (Sejujurnya gue khawatir kak Moemoe bakal bikin ending cerita ini Edvan jadian sama Max, adiknya Charm, karena gak boong deh, banyak scene yang menjurus ke sana). Edvan, plis jangan gampar gue, sekarang gue tau elu masih normal.
  
Yang paling gue suka dari novel ini adalah, suasana Thailand yang sangat kental. Tempat, bahasa, suasana, karakter, terbangun dengan sangat apik. Gue sampai ngebayangin kocoak goreng yang di jual di jalan. Dan yang paling gue inget adalah penggambaran orang-orang Thailandnya.

Kata-kata Edvan:
Akan kuceritakan mengapa Thailand disebut Tanah Senyuman. Dalam berbagai kondisi, orang-orang Thai biasa merespons masalah-masalah mereka dengan tersenyum. Ketika menyapa seseorang, mereka tersenyum. Ketika mereka tidak tahu jawaban sebuah pertanyaan, mereka tersenyum. Bahkan, ketika ingin menyembunyikan sesuatu, mereka juga tersenyum. Itulah yang membuat kita harus pintar mengira-ngira, apa arti sebuah senyuman orang Thailand. 

Novel yang memakai sudut pandang cowok ini beda banget dari novel kebanyakan. Humornya terasa dan kita jadi tahu pikiran cowok yang sumpah, sederhana dan mudah dimengerti.

Oke, saatnya kasih bintang!! Semua aspek punya maksimal 10 bintang dari gue. Jadi, inilah bintang-bintang yang bisa gue kasih untuk novel ini:

Tema: ★★★★
Jalan cerita: ★★★★★★
Karakterisasi: ★★★★★★
Bahasa: ★★★★★★★
Ending: ★★★★★★

Note: Tema secara keseluruhan suka, sayang isu LBGT-nya terlalu banyak dibahas. Jalan cerita oke banget meski di beberapa pencarian jurnal kesannya terlalu cepat. Karakterisasi, gak ada protes, gue suka, terutama Edvan yang narsis ampun-ampunan (FYI biasanya gue benci banget orang narsis). Bahasa, love it, ขอบคุณ. Endingnya memuaskan, karena ternyata EDVAN NORMAL!! *dihajar*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar