Jumat, 11 Maret 2011

That game is stole my brother

Mungkin saya nggak berhak ngomong gini karena saya sendiri aslinya bukan gamer. Game yang biasanya saya mainin itu cuma game cetek macemnya minesweeper, pinball, dan lain lain. Game paling susah yang saya mainin itu parampaa & machinarium. Dan dari game-game yang saya sebut barusan, enggak ada sejarahnya deh bikin kecanduan. Paling juga seneng karena penasaran. Oh, mari coret kata 'seneng', yang ada stress sambil jambak-jambak rambut gara-gara tingkat kesulitan soal di game parampaa & machinarium yang enggak manusiawi. Tapi seenggaknya, game itu membantu untuk mengasah otak.

Saya enggak bilang game yang lain nggak perlu mengasah otak kok. Saya tau rata-rata para gamer RPG itu menggunakan bahasa Inggris sebagai media berkomunikasi. Saya juga tau untuk mainin game model begitu harus punya strategi yang bagus. Iya, saya akui game itu nggak selamanya buruk. Nggak, kalau saja si gamer itu tidak bermain terus-terusan selama 24 jam dan melupakan hal-hal penting lainnya. Baik, kalau game itu bisa membuat si gamer terlatih dalam bahasa Inggris dan membuat nilai pelajarannya naik. Luar biasa kalau game itu menjadi pemacu si gamer untuk menciptakan sesuatu, misalkan saja ia membuat game baru dengan hasil imajinasinya sendiri.

Tapi sayang sekali, saya cuma bisa mimpi adik saya yang terakhir bisa mendapat manfaat dari game yang selama ini dia mainkan. Nilai-nilai nya turun jauh jika dibandingkan sebelum ia mengenal game itu. Seluruh perhatiannya teralihkan sehingga terkesan sama sekali tidak peduli dengan keadaan sekitar. Yang dipedulikannya hanya bagaimana ia bisa terus memainkan game itu. Ketika keluarga gue belum membeli modem baru selain untuk provider terkenal yang 'katanya' super cepat itu, dia rela keluar rumah setiap hari untuk bermain di warnet. Sekarang, saat saya akhirnya memutuskan untuk beli modem sendiri, dia selalu saja pinjam dengan alasan kalau ia selalu ikut menyumbang untuk membayar pulsa internet. Saya sendiri memang enggak bisa membantah untuk hal yang satu itu. Tapi, apa wajar kalau dia bayar terus dia bisa main sepuasnya, bahkan sampai 24 jam penuh? Bukan hanya kesehatan fisik seperti minus pada matanya yang semakin bertambah saja yang saya khawatirkan, tapi juga kesehatan yang lain-lain, termasuk kesehatan jiwanya. Mungkin bukan kesehatan jiwa yang parah seperti gila atau kepribadian ganda, tetapi tidak adanya rasa peduli sama sekali juga merupakan masalah yang cukup mengkhawatirkan.

Berbagai cara telah kami lakukan untuk mengurangi kecanduannya bermain game. Mulai dari menasihatinya setiap kali, membatasi waktu bermainnya, sampai akhirnya sama sekali tidak memperbolehkannya bermain game apapun. Tapi ternyata keadaan itu kembali seperti semula, seolah tidak ada usaha apapun. Padahal kakak dan adik saya yang satu lagi dulunya pun gamer. Namun sudah sejak lama mereka tidak lagi kecanduan bermain game karena kesadaran diri masing-masing.

Tidak adakah cara yang ampuh untuk membuatnya berhenti? atau paling tidak mengurangi itensitasnya berada di depan komputer/laptop.


gue masih serius soal nuker adek sampe sekarang....
karena sampai detik inipun gue belom nemu satu hal positif dari dia....

x-posted to nananotechou.multiply.com

2 komentar:

  1. aahhh~ seorang gamer yang kecanduan, layaknya seorang yang kecanduan komik. Game dan komik sama-sama nyenengin, dia bakal jadi positif karena kita bisa ngambil pelajaran dari situ. Tapi kalo berlebihan, itu bisa jadi negatif juga...
    Emang sesuatu yang berlebihan gak baik..
    Kalo gak diawali dari kesadaran yang punya badanpun agak susah.
    Semoga ade lo dapet petunjuk deh, adek gue juga..Amien #numpang doa

    *ditabokin karena gak ngasih solusi komennya XD*

    BalasHapus
  2. kakak gue nantangin adek gue, kalo dia bisa 'menghasilkan' sesuatu yang positif dari main game itu, kk gue bakal ngakuin dia. Toh adek gue yang satu lagi udah berhasil dengan nunjukin prestasinya. Nah yang satu ini? hadeeeehhh~ gue nyerah ngadepinnya....

    yah, kita cuma bisa berdoa aja zu... >.<

    BalasHapus