Dedicated to
Bank. Because he deserved a good ending....
….dan nama
panggilan yang lebih normal.
KEMBALI KE
AWAL
Di hadapan Lynn
kini terpampang toko laundry “Mister Bank” yang sebelumnya sama sekali tidak
bisa dikenali. Toko laundry tersebut berubah drastis sejak beberapa minggu yang
lalu. Dari yang tadinya sangat sederhana dan cenderung kumuh, kini terlihat
modern dan bersih. Lynn hanya pernah mengunjungi tempat ini sekali, saat
Bank—pemiliknya—memintanya datang kemari untuk menawarkan kerjasama yang
akhirnya terpaksa ia tolak.
Ia tak menduga
harus datang kembali ke sini setelah kejadian itu.
“Sibuk?” tanya
Lynn basa-basi.
Bank
menggeleng. “Kamu?”
Yang ditanya
ikut menggeleng.
“Jadi,
bagaimana akhirnya?” lanjut Bank.
Lynn langsung
mengetahui arah pembicaraan yang merujuk pada interogasinya di gedung dewan
pendidikan kemarin. Interogasi mengenai kecurangannya yang ia lakukan bersama
Bank. Interogasi yang berlangsung selama beberapa jam dan membat tenggorokannya
benar-benar kering. Meski begitu, Lynn merasa lega. Satu beban yang mengganjal
kuat di pikirannya kini menghilang.
Ia mengangkat
bahu dan mengulum bibirnya. “Sama sepertimu,” jawabnya singkat, namun
menjelaskan segalanya.
Bank menatap
matanya dalam-dalam, lalu medesah keras, berusaha mengurangi apa yang masih
mengganjal dalam dirinya. Ia tidak menyangka Lynn akan menyerahkan diri dan mengakui
semua kecurangannya waktu ujian, menyebabkan dirinya di-blacklist dari semua
universitas di luar negeri. Dengan kemampuan otak seperti Lynn, dihukum tidak
boleh belajar di tempat yang ia inginkan adalah tamparan yang sangat keras.
Sama seperti yang ia rasakan beberapa minggu lalu.
“Kenapa—” Bank
menghentikan pertanyaannya karena ragu.
Lynn mengangkat
bahu. “Kita berdua curang, tidak adil kalau hanya kau yang menerima hukumannya,
kan?”
Bank bertambah
bingung. Memang mereka berdualah yang melakukan kecurangan itu. Tapi ini semua
gara-gara Pat dan Grace! pikir Bank kesal. “Lalu Pat? Grace?”
Bola mata Lynn
kembali terarah pada Bank meski sebelumnya sedang sibuk memperhatikan mesin
cuci-mesin cuci baru yang sedang bekerja. “Bukan urusanku,” katanya acuh.
“Lagipula mereka pasti akan di-DO kalau tidak belajar 100 kali lebih keras dari
sekarang. Anggap saja nilai ujian mereka kemarin itu hadiah terakhir dariku.”
Mau tak mau,
Bank tersenyum—meski ia berusaha setengah mati menahan diri untuk
menyembunyikannya dari hadapan Lynn, dan hanya menghasilkan cengiran yang
justru lebih aneh. Mendengar kemungkinan kalau mereka berdua akan di-DO
membuatnya sedikit senang. “Apa yang membuatmu memutuskan untuk berubah, bu
guru Lynn yang terhormat?”
Lynn berdecak
kesal. “Sudahlah, tidak ada waktu untuk membahas itu. Kamu mau kopi gratis?”
tanya Lynn tiba-tiba, mengganti topik yang sedang mereka bahas.
Lynn
menyerahkan secarik kertas putih bertuliskan ‘special coupon, free coffee and others*'.
“Apa ini?”
tanya Bank heran. Kupon itu tak seperti kupon pada umumnya. Hanya kertas putih
polos dengan cetakan tulisan hitam. Tak ada nama café, alamat, atau petunjuk
apa pun untuk mendapat kopi yang Lynn maksud.
“Café mahal
tidak akan memberikan kopinya secara cuma-cuma,” ujar Lynn yang mengerti
kebingungan Bank, dan segera membalik kupon tersebut untuk menunjukkan tulisan
lain di belakangnya.
Bank membalik
kupon tersebut dan menemukan deretan angka dan huruf yang aneh.
ABBFFF
447766779999444776666 ABFO
“Kode? Alamat?”
tanya Bank langsung—mengeluarkan gagasan yang ada di otaknya. Yah, tidak perlu
menjadi jenius untuk tahu bahwa kode tersebut menunjukkan alamat.
Lynn
mengangguk.
“Sudah kau
pecahkan?” tanya Bank lagi.
“Setengah
jalan…” ucap Lynn ragu. “Atau mungkin buntu,” tambahnya lagi.
“Pfft—” Bank
tertawa meremehkan. “Sekarang aku tahu kenapa kau datang ke mari.”
Lynn cemberut.
____
Setelah itu, Bank mempersilakan Lynn masuk ke dalam rumahnya, lalu segera menuju kamar Bank yang ada di lantai dua. Selain menambah banyak
mesin cuci untuk tokonya, rupanya uang hasil usahanya juga cukup untuk
merenovasi rumahnya yang reyot.
“Ngomong-ngomong,
dari mana kau dapat kupon ini?”
Lynn
mengedikkan bahu. “Salah satu orang dari dewan
pendidikan. Katanya hadiah. Katanya, satu kupon lagi bisa
kuberikan pada orang yang kupercaya.”
Bank melengkungkan bibirnya ke bawah,
dan menunjuk dirinya sendiri beberapa kali untuk memastikan. Lynn pun tertawa.
Tampang Bank benar-benar lucu.
Namun beberapa detik kemudian tampang Lynn justru berubah sedih. Gara-gara
dirinya, Bank berubah. Dia benar-benar menyesal atas apa yang sudah dilakukannya. Dan yang menjadi penyesalan terbesarnya
adalah melihat Bank yang dulu polos dan jujur, justru perlahan mengikuti
dirinya yang mudah dibujuk dengan uang.
“Oke, aku tidak
tahu apa sebenarnya ‘kopi’ yang dimaksud. Tapi kode ini menarik,” ucap Bank
jujur. “Terutama
soal ‘others’ ini,” tunjuk Bank di
kupon yang ia pegang.
“Punya ide
untuk memecahkannya?”
“Hmmm…” Bank menggumam. Ia menarik
kursi di depan meja belajarnya dan meraih pulpen di atas meja. Kertas bekas ia
jadikan coret-coretan untuk membuktikan beberapa cara memecahkan kode yang ada
di otaknya.
Beberapa menit kemudian, Bank
terlihat stress. “Fibonacci tidak berguna, bilangan berpola juga salah….” Ia
lalu menggaruk-garuk kepalanya yang mulai gatal karena berkeringat. “Aaaakhhh!
Kode ini sama sekali tidak berpola!” serunya stress.
“Reaksimu sama saja denganku,” ujar
Lynn mendesah kecewa. Ternyata memecahkan kode memang tidak semudah itu.
Lynn memperhatikan kode di balik
kupon itu lekat-lekat. Yang akan mereka dapatkan jika berhasil memecahkan kode
ini pasti bukan hanya sekadar kopi.
“Sampai mana
kau berhasil memecahkan ini?” sahut Bank sambil mengibaskan kupon yang ia
pegang.
“Melihat huruf
dan angka itu, aku menduga kalau huruf adalah simbol untuk angka dan
sebaliknya. Lagipula alamat pasti memiliki dua unsur itu. Aku mencoba mengubah
huruf menjadi angka, dan angka menjadi huruf. Namun hanya mendapatkan hasil
yang sama sekali tidak beraturan.”
Bank
menengadahkan tangannya, “coba kulihat hasil coretanmu.”
Lynn
menyerahkan kertas hasil coret-coretannya. Kebanyakan hanya huruf dan angka
tidak berarti. Namun ada satu deret huruf yang membuat otak Bank bekerja.
H Q N Q Z I Q O
“Deret huruf
ini,” tunjuk Bank pada coretan Lynn. “Dari mana kau dapat ini?”
Lynn segera
mengeluarkan HP-nya dan membuka notes hingga keluar keyboard telepon genggamnya. “Banyak angka berulang dalam deret angka di balik
kupon. Dan kupikir, yang paling cocok untuk membuat huruf dari angka berulang
adalah cara mengetik di HP. Ingat keyboard HP dengan 9 tombol, kan? Jika kau
menekan angka 2 satu kali maka akan muncul huruf ‘a’, tekan dua kali akan
muncul huruf ‘b’ dan seterusnya. Itu deret huruf yang keluar ketika aku
mengetikkan angka-angka itu.”
“Keyboard ya…. Hmmm…” Bank kembali
memutar otak.
Namun tak lama setelahnya, pupil
mata Bank membesar. Perlu beberapa detik sebelum Bank mengeja kata yang cukup familier di
telinga mereka berdua. “Pa....ya....thai.…” bisik Bank.
Lynn mengedipkan matanya tiga-empat
kali—meski tidak
mungkin disadari siapa pun karena matanya yang sipit. Belum lagi kenyataan bahwa
ia memakai kacamata yang cukup tebal.
“Dari mana….”
Tanya Lynn terbata-bata.
“Ini kode
dengan pola bertingkat, Lynn. Mungkin bagimu ‘HQNQZIQO’ tidak berarti
apa-apa. Tapi coba ubah huruf tersebut dengan sistem keyboard yang lain, sistem qwerty. Apa yang akan muncul?”
“h untuk p, q
untuk a, n untuk y….” Lynn menganalisis deretan huruf tersebut setelah mengubah
pengaturan keyboard di telepon genggamnya.
Ia terdiam beberapa saat sebelum membisikkan
kata-kata yang sama. “Payathai…” katanya takjub sendiri.
Ia menatap bola
mata Bank dalam-dalam, lalu tersenyum.
“Bagaimana
bisa?” tanya Lynn heran.
“Ingatan adalah keahlianku, ingat? Aku bisa dengan mudah
mengingat deretan huruf yang ada di keyboard HP atau laptop.”
“Kalau sudah
tahu tempatnya, berarti sisanya tinggal nomor dan kode pos. Tapi…” Lynn
memperhatikan sekali lagi kode di kuponnya dan coret-coretan yang sudah dia
buat, bergantian. “Kalaupun ini diubah menjadi deret angka, akan ketemu 6 dan 4
deret angka. Sementara kode pos hanya 5 angka.”
“Bank
mengerutkan dahinya. Yang benar saja, Lynn. Masa kamu nggak ingat rumus dasar memecahkan
bilangan berpola, sih?”
Lynn kembali
tersentak. “Ah, harus diturunkan lagi.”
Lynn
mendekatkan kertas coret-coretan itu ke depan wajahnya dan mencoba
berkonsentrasi. Dengan mudah, ia menangkap maksud Bank. Enam angka pertama yang
sudah ia pecahkan menggunakan penggantian huruf sederhana, bisa menjadi lima
angka jika melihat beda angka pertama dan kedua, kedua dan ketiga, dan
seterusnya. Sehingga dari deret 1,2,2,6,6,6 didapatlah angka 1,0,4,0,0 dan dari
deret 1,2,6,15 didapatlah angka 1,4,9.
Lynn bersorak.
Kode itu kini terpecahkan dengan mudah berkat Bank.
10400, PAYATHAI 149
“Aku
benar-benar bingung Bank. Kenapa anak sepertimu berakhir di toko laundry,” Lynn
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.
Garis wajah
Bank tidak memperlihatkan perubahan, namun pipinya sedikit bersemu dan terasa
hangat. “A..aku cuma mengira-ngira cara memecahkan kode angka itu setelah
mengingat kode pos berapa saja yang ada di wilayah Payathai,” katanya gugup.
“Kemampuanku hanya untuk mengingat saja…” kini ia justru merendah.
Lynn kemudian
berdiri dan menerjang Bank dengan pelukan erat.
“Lynn…LYNN!!”
seru Bank terbata-bata karena mendapat serangan mendadak.
Lynn
mengendurkan pelukannya. “Maafkan aku sudah melibatkanmu dalam semua
kecuranganku waktu ujian. Aku pasti akan bertanggungjawab bagaimanapun
caranya.”
Bank menjauhkan
Lynn dengan kedua tangannya. Ia menunduk. “Sudahlah, aku juga bersalah….”
“Yah, kita
berdua salah. Tapi itu sudah berlalu…” bisik Lynn. “Kita sudah menerima
hukumannya….”
“Aku… merasa
bersalah telah melibatkan banyak orang, terutama kau. Tapi tiap orang tetap
punya kesempatan untuk berubah selama masih hidup. Dan aku ingin bangkit lagi,
meski harus memulai dari dasar,” aku Lynn seraya mencengkram kuat tali tas
selempangnya—berusaha mengurangi rasa sakit yang mendera hatinya.
Tiba-tiba, Lynn
merasakan tangan Bank yang menyentuh telapak tangannya. “Kalau begitu, ajak aku
juga.”
Lynn terdiam
sebentar sebelum akhirnya mengangguk.
“Ngomong-ngomong,
kau bersedia bertanggung jawab bagaimana pun caranya, kan?” tanya Bank.
Lynn kini
kebingungan. Memang dia baru saja berkata seperti itu, sih. Dan itu bukan
ucapan yang ia keluarkan hanya untuk mengurangi perasaan bersalahnya. Dia
memang bermaksud seperti itu. Tapi apa tepatnya yang Bank ingin dia lakukan.
Dia sendiri tak tahu.
Bank lalu
mengeluarkan telepon genggam dari sakunya. “Foto bareng. Kali ini dengan
HP-ku.”
Setelah bunyi ‘klik’, terpampanglah
wajah canggung mereka berdua di layar telepon genggam milik Bank.
____
Café yang
mereka datangi tidak terlalu besar. Hanya tempat minum kopi berukuran tidak
lebih dari 100 meter. Pengunjungya juga tidak terlalu banyak, namun aroma kopi
yang khas mulai tercium begitu mereka melangkah ke depan pintu café.
“Benar ini
tempatnya?” Bank ragu.
Lynn mengangkat
bahu. “Alamatnya sih benar.”
“Permisi, maaf.
Apa kupon ini bisa dipakai di sini?” tanya Lynn pada salah satu karyawan.
Karyawan
laki-laki yang tadinya sedang sibuk mengelap meja itu kini berhenti melakukan
kegiatannya, dan meminta Lynn memberikan kuponnya agar ia bisa memeriksanya. Ia
tampak bingung karena belum pernah melihat kupon itu sebelumnya. Kemudian, ia
pun bertanya pada teman sesama karyawan yang ada di balik meja kasir. Karyawan
tersebut kemudian menelepon seseorang. Dari wajahnya, Bank dan Lynn tahu kalau
karyawan-karyawan di sini tidak pernah melihat kupon seperti itu, dan bermaksud
memastikannya pada orang lain—pemilik café itu, mungkin.
“Manajer akan
segera datang ke sini, silakan menunggu di sebelah sana,” pinta karyawan yang
tadi menelepon dan telah mendapat perintah dari atasannya.
Dengan otak
yang masih bertanya-tanya, Bank dan Lynn duduk di sofa yang agak terpisah dari
kursi-kursi yang lain. Mereka juga dipersilakan memesan minuman apa pun secara
gratis. Lynn meminta americano, dan café latte untuk Bank.
Tak lama
kemudian, manajer yang disebutkan oleh karyawan café itu pun datang. Dia adalah
wanita paruh baya dengan rambut sebahu.
“Ah!” seru Lynn
tertahan saat menyadari bahwa wanita itulah yang memberikan kupon itu padanya.
Dia juga merupakan salah satu saksi saat Lynn menjalani interogasi di kantor dewan pendidikan Thailand.
Bank menoleh
pada Lynn dengan bingung. Namun langsung mengerti begitu Lynn mengacungkan
kuponnya.
“Aku tidak
menyangka kalian akan datang secepat ini,” sapa perempuan itu sambil menyalami
Lynn dan Bank. “Kopinya enak?”
Dua anak muda
di hadapannya mengangguk—tanpa mengalihkan tatapan mata darinya.
“Tanpa
basa-basi, kuucapkan selamat untuk kalian berdua,” kata perempuan yang kini
diketahui bernama Nattasha tersebut.
Lynn dan Bank
bertukar pandang, saling bertanya-tanya.
“Kalian secara
resmi diterima menjadi bagian dari International
School of Intellegence (ISI) dengan beasiswa
penuh dari negara. Yah, walau dibilang beasiswa, sejujurnya memang tidak ada
siswa yang bisa membayar untuk masuk sekolah ini. Satu-satunya jalan adalah
dengan mendapat beasiswa langsung dari pemerintah Thailand. Semua yang belajar
di sana adalah murid beasiswa,” terang
Nattasha panjang lebar—hanya membuat kebingungan Lynn dan Bank bertumpuk.
“Apa maksud
anda? Kami tidak pernah mendaftar apa pun,” kata Lynn meminta penjelasan lebih
lanjut.
“Tidak pernah
ada yang mendaftar untuk masuk ke sana, Lynn.” Nattasha menggeleng.
“Kami memilihnya secara langsung. Dan kalian berdua terpilih. Jadi sekali lagi,
selamat.”
“Tapi
bagaimana....”
Lynn kembali
bertanya. Ia tidak paham mengapa dirinya yang baru saja diblacklist untuk masuk perguruan tinggi di luar negeri justru
mendapat beasiswa yang tidak terduga seperti ini.
“Kalian
mengikuti ujian STIC. Kalian melakukan kecurangan, dan
nilai kalian berdua dibatalkan. Pihak penyelenggara ujian di Australia
mengirimkan kertas ujian kalian sebagai bukti kasus kemarin, dan kami membuat
salinannya. Ini hasil ujian kalian.” Nattasha menyerahkan beberapa lembar
kertas ujian dan lembar jawaban.
Lynn melihat
kesamaan jawabannya dan jawaban milik Bank. Meski Bank berhenti setelah ujian
sesi dua, nilai ujian sesi pertama dan keduanya sempurna. Begitu juga miliknya.
“Kemampuan
kalian terlalu luar biasa untuk disia-siakan. Terlebih,
tak pernah ada yang terpikir untuk melakukan kecurangan dengan cara yang kalian
lakukan. Membutuhkan kemampuan luar biasa untuk memikirkan cara itu, menurutku.
Meski tentu saja sebagian besar anggota dewan melihatnya sebagai kelakuan yang
memalukan. Memang, penilaian kami hanya minus di satu hal, yaitu kemampuan kalian untuk membedakan sikap yang benar dan yang salah. Tapi
pada akhirnya kami memberikan tiket itu pada Nona Rinrada Thilnep karena berani datang dan
mengakui semua kecurangan yang telah dilakukannya. Untuk Tuan Phatphon Vityakul, kami meberikan
kepercayaan sepenuhnya pada nona Rinrada. Kalau ia mengajakmu, artinya ia percaya
padamu. Kehadiranmu di sini membuktikan bahwa kau juga berhak atas beasiswa
tersebut.”
Lynn dan Bank
sama-sama bengong mendengar penjelasan Nattasha.
“Ngomong-ngomong,
karena kalian diterima lebih lambat daripada murid yang lain. Kami harus
melakukan tes khusus apa kalian benar-benar pantas untuk pergi ke sana,” lanjut
Nattasha.
“Kami harus tes
lagi?” tanya Lynn.
Nattasha
menggeleng. “Kalian baru saja menyelesaikannya.” Ia menunjuk kupon yang diberikan pada
Lynn. Memecahkan kode tersebut adalah tes tersembunyi untuk mereka berdua.
“Aku tidak menyangka kalian bisa memecahkan kode itu secepat
ini. Dokumen kalian baru siap tiga hari lagi. Untuk sementara aku hanya bisa
memberikan selamat dan penjelasan langsung seperti ini. Begitu
dokumen siap, kalian juga harus sudah siap untuk berangkat ke ISI di Nongsa,
Batam, Indonesia. Dan yang bisa membatalkan beasiswa ini hanya
keputusan kalian. Jadi, pikirkan baik-baik. Setelah itu silakan menghubungi saya
di nomor ini,” kata Nattasha seraya menyerahkan dua lembar kartu nama.
“Ingat, segala
sesuatu mengenai sekolah ini dirahasiakan. Kalian hanya boleh mengabarkan pada
orangtua dan keluarga inti,” tutupnya.
___
Keluar dari
café, Lynn menepuk kedua pipinya keras-keras. Ia tidak percaya akhirnya mendapat
beasiswa penuh, meski belum mendapat gambaran secara penuh mengenai sekolahnya
nanti. Yang ia tahu, murid-murid se-ASEAN dengan beasiswa yang sama akan
belajar di sana. Dan mereka akan mempelajari banyak cabang ilmu sesuai
peminatan. Apa yang akan mereka pelajari tak terbatas. Sebab, semakin banyak
ilmu yang mereka serap, semakin banyak pula yang bisa mereka lakukan untuk
negara.
“Aduuh…” keluh
Lynn begitu sadar tepukannya terlalu keras.
Ia masih
meringis dan menggosok-gosok kedua pipinya untuk mengurangi rasa sakit ketika
menoleh kea rah Bank dan menyadari bahwa anak itu tidak mengatakan apa-apa
sejak tadi.
“Bank, kamu
kenapa?”
Bank
menghentikan langkahnya dan menoleh pada Lynn. Namun tatapan matanya tidak
sepenuhnya pada Lynn, seolah sedang menerawang jauh ke depan.
“Kamu oke?
Nggak sakit, kan?” Lynn menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah
Bank.
Bank
menyingkirkan tangan Lynn dari depan wajahnya. Kini pikirannya kembali.
“Aku tidak tahu
harus menerima tawaran tadi atau tidak,” ucap Bank jujur.
Lynn terkejut.
“Kamu nggak mau? Di sana kamu bisa belajar apa pun, lho. Maksudku, APAPUN! Kamu nggak tertarik?”
“Bukan soal
itu, Lynn. Mrs. Nattasha memberikan kesempatan itu padamu
karena kamu mengakui kesalahanmu. Tapi aku—” Bank tidak sanggup meneruskan
kalimatnya. Ia hanya ikut karena Lynn meminta bantuan memecahkan kode. Sama
sekali tidak ada sangkut pautnya soal kemampuan membedakan sikap yang benar
atau salah, seperti yang telah disinggung Nattasha. Dan
sejujurnya, sampai sekarang pun Bank belum bisa memaafkan dirinya sendiri sejak
insiden itu. Lebih buruk lagi, ia sempat berpikir untuk sekalian terjun lebih
dalam karena sudah terlanjur basah. Benar-benar pemikiran yang memalukan.
“—aku bahkan
mengancam untuk melaporkanmu saat terakhir kita bertemu,” lanjut Bank akhirnya.
Lynn kini paham
apa yang mengganjal di hati Bank. Ia pun melangkah mendekat, dan perlahan
menunduk lalu mengaitkan jemari Bank dengan jemarinya. “Tapi….Pada akhirnya kau
tidak mengatakan apa-apa, kan? Padahal aku sudah bersiap-siap menerima
panggilan dari dewan pendidikan selama seminggu penuh.”
Sedetik
kemudian, Bank mengeratkan tautan jemari mereka dan memeluk Lynn. Ia
menenggelamkan kepalanya di leher Lynn dan terisak. “Maafkan aku…. Aku sama
sekali tidak berniat mengancammu seperti itu….Hiks…. Aku, hanya tidak tahu apa
yang harus kulakukan dengan hidupku setelah itu Lynn….”
Lynn membalas
pelukan itu dan menepuk punggung Bank perlahan. “Aku tahu…” bisik Lynn di
telinga Bank, membuat isakan Bank semakin kencang. “Karena itulah aku
menemuimu, bukan orang lain.”
“Kalaupun
mereka hanya memberikan beasiswa itu hanya untuk satu orang, kau lebih berhak
menerimanya daripada aku, Bank,” aku Lynn setelah isak tangis Bank mereda.
“Kaulah yang membuatku sadar kalau apa yang kulakukan selama ini salah….”
Suara isak
tangis menghilang, keraguan di hati mulai pudar, dan hati yang terluka mulai
menyembuhkan dirinya sendiri. Perasaan
mengganjal yang selama ini ada di dalam hati mereka berdua mulai menghilang. Jalan
hidup mereka berdua pun mulai terlihat. Meski tidak mengungkapkannya satu sama
lain, mereka berdua tahu kalau mereka sama sekali tidak boleh menghancurkan
kesempatan baik yang diterima.
Lynn dan Bank
berjalan beriringan menuju stasiun terdekat, belum mau melepaskan tautan
tangannya satu sama lain.
“Jadi, tawaran
beasiswanya diterima?” tanya Lynn.
Bank kini
tersenyum lebar. “Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk yang kedua
kalinya, Lynn!”
END
Waaahh mereka ke Indonesiaaaaa. #salahfokus
BalasHapusUntuk romens krn nyambung sama cerita sebelumnya, gue cukup puas. Meskipun gue pengen banget romensnya lebih keliatan lagi #maruk #bikinsendiriwoy wakaka
Tapi gue kasih 10 jempol buat lo yang udh berusaha mengubah ending buat Bank yang lebih menyejukan di hati :* My Bank.... account #eh#plak
Anak jenius mah romensnya nggak kayak romens kebanyakan yang menye2, ju :v
HapusYang kayak gini harusnya udah cukup buat mereka berdua yang sama-sama canggung. Akakakaka xD
Iya, intinya gue nulis ini cuma biar Bank dapet beasiswa dan bisa sekolah :'( Dan lagi, ISI itu beneran ada di Batam, lho. Kan gue research dulu. Masalahnya aslinya itu proyek milyaran yang terlantar di zamannya mama mega #ups
Waaahh mereka ke Indonesiaaaaa. #salahfokus
BalasHapusUntuk romens krn nyambung sama cerita sebelumnya, gue cukup puas. Meskipun gue pengen banget romensnya lebih keliatan lagi #maruk #bikinsendiriwoy wakaka
Tapi gue kasih 10 jempol buat lo yang udh berusaha mengubah ending buat Bank yang lebih menyejukan di hati :* My Bank.... account #eh#plak
Huhu epilog terbaek, nyambung dan masuk akal sama film sebelumnya, cukup mengobati rasa kepengen liat perkembangN hubungan mereka😭😭😭😭👍
BalasHapusGilasiii author nya...jgn2 kamu juga jenius squad kayak lynn dn bank ya?..makasih banget udh bikin Bank endingnya happy gini...dia kyk banyak bgt gitu dicurangi sama temen2 sekolahannya...duhh
BalasHapusthanks a lot udah bikinin happy end buat bank���� he deserves a good end! dari awal bank muncul udah kuship sama lynn, tapi endingnya bank malah..ya pokonya makasi bangett pengen banget akutu liat hubungan romantis bank sama lynn ����
BalasHapus