Senin, 28 Desember 2015

Berat Rasanya Melepas Kepergian Kalian

"Di Jepang gajinya bisa sampe 20 juta, Sensei!"

"Asik kan di Jepang. Rapi, nggak kayak di sini."

"Toko animanga di mana-mana! Surga!"

Selain tiga alasan di atas, masih ada 1000 alasan murid-murid saya pengin menapakkan kakinya di Jepang. Baik untuk sekadar jalan-jalan, ikut short course, kuliah, atau kerja di Jepang. Iya... iya... sayah ngerti banget perasaan semacam itu karena sayah juga pernah mengalami hal yang sama.

Bayangin aja, keinginan untuk pergi ke Jepang udah ada sejak saya TK. Meski alasan saya waktu itu adalah 'pengin ketemu Doraemon'. Sejak saat itu, meski alasan saya untuk ke Jepang sempat berubah-ubah, tetep aja nggak mengubah keinginan saya untuk ke sana. Intinya, saya harus ke Jepang!

Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Sekitar empat tahun yang lalu, saya dapet beasiswa untuk belajar selama satu bulan di sana. Nggak lama, memang. Tapi waktu yang sebentar itu membuat saya sadar sesadar-sadarnya.

Jepang nggak seindah bayangan saya :)

Saya nggak bermaksud ngomong gini untuk menjelek-jelekkan Jepang, kok. Negeri matahari terbit itu punya segudang kelebihan, saya mengakui itu. Tapi kekurangannya pun juga banyak. Yah sama aja kayak Indonesia, kok. Mungkin kalian ngeliatnya Indonesia itu jelek, kotor, gak teratur, pemerintahannya kacau, pejabatnya tukang korupsi, orang-orangnya banyak yang suka ikut campur. Jelas kalian tau semua yang jelek-jelek karena kalian juga orang Indonesia. Tapi pernah nggak sih sesekali nge-list apa kelebihan negara kita ini?

Begitu saya ke Jepang, jujur aja deh, saya malah jadi makin sadar kelebihan-kelebihan negara sendiri. Rasanya malah jadi pengin cepet pulang. Bahkan menurut saya, Jepang itu nggak asik untuk tempat tinggal. Untuk destinasi jalan-jalan masih okelah.

Makanya waktu ada temen saya yang ngajak sekolah lagi di Jepang, saya nggak perlu waktu lama untuk menjawab nggak. Saya nggak bisa di Jepang lama-lama, men.

Apa sih yang membuat saya enggan banget lama-lama di Jepang?

Alasan yang paling utama adalah.... agama.

Yes. Seperti yang semua orang tau, Jepang adalah negara penganut agama Shinto (meskipun pada kenyataannya lebih banyak yang ateis). Wajar dong kalau sebagai muslim, saya merasa nggak nyaman di tempat yang untuk melakukan kegiatan keagamaan jadi susah. Yang paling dasar aja, deh. Solat misalnya. Selama di asrama sih solat nggak masalah. Ada mushalla dan ada radio tape yang selalu disetel suara adzan pas waktunya solat. Masalahnya adalah ketika saya keluar dari asrama. Saya harus selalu memperkirakan apakah saya bisa solat dzuhur dan ashar di waktu yang berbeda? Atau lebih baik dijamak? Jamaknya mending pas dzuhur? atau ashar? di mana saya bisa solat? wudhunya di mana?

Yah, meskipun itu bisa dibilang tantangan, tetep aja ribet.

Alasan kedua yang menurut saya sama krusialnya kayak yang pertama adalah.... makanan.

Untuk nyari makanan halal di Jepang empat tahun lalu itu terbilang susah banget. Waktu masih di asrama sih nggak masalah, karena di kantin nyediain makanan halal. Masalahnya (lagi-lagi) pas saya di luar asrama. Empat tahun lalu, saya hanya menghindari semua makanan yang mengandung babi dan alkohol. Padahal setelah belajar lagi, yang namanya halal patokannya bukan itu doang @_@ Begitu sampe di Indonesia, saya sadar kalau tanpa sengaja udah makan makanan haram. Dan mengetahui kenyataan itu rasanya nggak enak banget, sumpah. Begitu balik ke Jepang untuk yang kedua kali, saya udah lebih banyak tau apa-apa aja yang harus dihindari. Hasilnya? Saya turun 3 kilo dalam seminggu :'D Saking susahnya nyari makanan yang 'aman'.

SUPER SEKALI

Mungkin ini diet paling efektif yang pernah saya lakukan sampai sekarang. Meskipun nggak niat diet juga, sih.

Selain soal halal atau nggaknya, rasanya juga jadi masalah. Makanan Jepang itu... uhukhambaruhuk. Bahkan untuk saya yang gak doyan pedes, makanan pedes ukuran mereka itu apa banget. Pulang-pulang dari sana rasanya pengin langsung nyantap opor ayam -_-

Alasan yang ketiga adalah... budaya.

Di Jepang ada peribahasa yang kira-kira artinya "memalu paku yang menonjol". Maksudnya, orang yang berbeda atau menonjol diantara yang lain biasanya dipalu biar jadi sama kayak yang lain. Atau dia sendiri yang mutusin untuk menahan diri dan jadi orang yang biasa-biasa aja biar gak dipandang aneh.

Sebagai orang asing yang datang ke Jepang, udah jelas saya ini aneh di mata mereka. Terutama pada kenyataan kalau saya pake hijab. Secuek-cueknya saya, nggak jarang saya nyadar kalau beberapa orang memperhatikan saya dari atas sampe bawah dengan tatapan aneh. Sebagian besar sih nggak masalah karena ngeliatinnya biasa aja, atau cuma ngeliatin murni karena penasaran. Tapi ada juga yang ngeliatin dengan pandangan menghina sampe ngomongin di belakang, tanpa tau kalo saya ngerti apa yang dia omongin. Itu bukan pengalaman yang terlalu menyenangkan, hahaha.

Alasan-alasan lainnya masih ada. Tapi rasanya masih minor dibanding tiga alasan di atas, sih.

Berhubung sekarang saya termasuk salah satu pengajar untuk ratusan calon perawat dan care worker yang nantinya mau dikirim untuk kerja di Jepang, saya jadi kepikiran untuk nulis soal ini.

Awalnya saya berpikir positif. Semakin banyak orang-orang Indonesia yang dikirim ke Jepang, akan semakin bagus. Karena mereka akan mendapat pendidikan gratis di sana secara langsung maupun nggak langsung. Bisa belajar bahasa, bisa belajar etos kerja yang baik, belajar kedisiplinan, belajar sopan santun, belajar menaati peraturan, dan banyak lagi hal-hal positif lainnya. Bagus kan kalau pas mereka pulang, mereka jadi lebih disiplin. Yang tadinya gak terlalu peduli buang sampah di mana, pas pulang akan nyari-nyari tempat sampah terdekat untuk buang sampah. Yang biasanya suka telat, begitu pulang dari sana akan berusaha untuk datang tepat waktu meski kondisi jalanan sulit diprediksi.

Tapi di sisi lain, saya juga khawatir. Gimana kalau pas di sana, ada yang pengin nyoba-nyoba sake? Gimana kalau mereka mikir 'aah... asal nggak sampe mabuk, nggak apa-apa lah' atau 'nggak enak sama atasan kalau nggak ikut minum, nggak sopan'. Gimana kalau pas di sana mereka kesulitan nyari makanan halal terus pelan-pelan mulai makan makanan yang 'syubhat' dengan alasan ketidaktahuan? Atau sebenarnya udah tau tapi mulai nggak peduli asal bisa makan. Gimana kalau misalnya mereka nggak punya waktu istirahat untuk solat? Gimana kalau mereka nggak punya tempat solat yang memadai dan milih untuk ninggalin solatnya? Gimana kalau ada yang ngerasa nggak nyaman diliatin pake hijab terus berpikir untuk membaur dengan ngelepas hijabnya?

Pikiran-pikiran semacam itu mengganggu saya, banget. Walaupun itu memang pilihan mereka, tetep aja ada rasa bersalah karena saya termasuk orang yang terlibat di dalamnya :( Kalau gini kan rasanya nggak rela ngelepas kalian semua pergi ke jepang.

Mau gimana di sana, itu memang pilihan kalian. Tapi, apa menggugurkan satu demi satu keimanan yang kalian punya itu sebanding dengan yang kalian dapet di sana? Sebesar apa pun gaji yang didapat, sebesar apa pun kesenangan yang didapat, nggak akan ada artinya kalau mengorbankan iman yang jelas lebih berharga dari itu semua. Kalau memang kalian muslim dan bangga jadi muslim, jangan pernah malu nunjukin jati diri kalian. Kalau kalian sendiri nggak menghargai diri kalian, siapa yang mau menghargai?

Sejujurnya, ini berlaku nggak pas ke Jepang aja, sih. Ke mana pun kaki melangkah, yang namanya iman dan prinsip itu harus tetep dijaga. Ye kan?

Sayangnya, yang sejauh ini saya lihat, kebanyakan kenalan yang pulang dari Jepang pada mengalami degradasi iman. Pulang-pulang, solatnya jadi jarang-jarang, atau malah nggak pernah lagi. Pulang-pulang hijabnya ditanggalkan. Pulang-pulang pindah agama. Pulang-pulang jadi ateis. Haissshh.... sedih hayati ini menghadapi kenyataan di depan mata... lebay, Na.

Ngeliat kenyataan begitu, rasanya salut sama kenalan-kenalan lain yang justru mengalami peningkatan iman begitu pulang dari Jepang. Hehe. Pasti berat banget tuh ujiannya di sana .___.

Saya mah cuma bisa mendoakan semoga kalian dijaga terus sama Allah. Semoga ke manapun kaki kita melangkah, kita tetap bisa jadi saudara sesama muslim. Aamiin...

1 komentar:

  1. No.3 gw gag mengalami sih sudah dua kali kesana. Eh pernah sih tapi sama anak kecil dan langsung lari ke mamanya tapi nyokapnya malah yang ngejelasin :)
    EHHH 3 minggu di sana gratis lagi pasti *sirik :3

    BalasHapus