Akhirnya gue kembali juga setelah kabur dua minggu dari kantor :p
Lalu sampe rumah, utang menulis pun numpuk. Oh tidaaaakk~
Waktu gue menghilang pun, ternyata anggota BARISAN SAKIT HATI belum melupakan rasa sakit hatinya karna ditinggal merit dan memanfaatkan rasa sakit hati itu untuk dituang ke dalam tulisan. Masih inget kan barisan sakit hati itu siapa aja?
Ini lhooo.....Kami bertiga ini lhooo....yang sakit hati karena ditinggal Ruru nikah.... |
Lalu tibalah giliran gue, si anggota ketiga, untuk bikin cerpen bertemakan sama juga.
Setelah semedi, akhirnya jadilah satu cerpen ini *tepuk tangan dong plis....*
SANG MAHA IMAJINATIF
Iya, aku tahu sahabatku ini baru saja menikah
dengan seorang laki-laki yang tidak terduga. Mereka satu SMP, bahkan satu SMA. Tapi mereka tidak pernah
mengobrol sama sekali di sekolah. Lalu tahu-tahu mereka menikah. Tapi aku masih
tidak terlalu percaya bahwa pertemuan mereka kembali sama sekali tak
terbayangkan.
Maksudku, mereka kan satu sekolah. Sudah pasti
mereka berada paling tidak di satu kota yang sama. Bukan sesuatu yang tidak
wajar kalau mereka bertemu lagi, kan? Lagipula ada pepatah yang mengatakan
kalau bumi hanya selebar daun kelor. Eh? Atau sebaliknya?
Pokoknya, menurutku pertemuan kembali dua
orang yang tadinya saling mengenal itu bukan sesuatu yang aneh. Mungkin hanya
imajinasi sahabatku saja yang tidak terlalu berkembang, berbeda denganku.
Lihat saja abang-abang penjaga es krim di
salah satu stand makanan di pernikahannya ini. Dia cukup tampan untuk seorang
pelayan. Dia juga kelihatan masih muda, mungkin seumuran denganku. Dalam
imajinasiku sekarang, bisa saja abang-abang ganteng itu ternyata calon jodohku.
Percakapan pertama kami dimulai saat ia menyerahkan setangkup es krim coklat
dan mengatakan “silakan” untukku. Lalu tanpa sengaja es krim tersebut jatuh
mengenai gaunku. Ia meminta maaf dan menawarkan tisu. Aku akan pura-pura tidak
kesal sambil melempar senyum padanya. Lalu usai pesta pernikahan ini, ia akan
menghampiriku dan meminta maaf sekali lagi, bahkan bersedia mentraktirku makan
di luar.
See? Berimajinasi tidak sesulit itu.
Masa sih sewaktu bertemu teman lamanya itu,
Stella tidak berpikir sama sekali kalau Ahsan adalah calon jodohnya di masa
depan? Kalau aku sih pasti sudah berimajinasi ke mana-mana. Mungkin aku sudah
berimajinasi bagaimana kalau punya anak bersamanya.
“Percaya deh, Sal. Skenario Allah tuh
bener-bener ajaib! Dia pasti ngasih takdir yang sama sekali nggak bisa lo
bayangin!” Stella masih saja antusias menceritakan kisah cintanya dengan Ahsan
yang berujung di pelaminan.
Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya.
Di luar aku tersenyum, tapi dalam hati masih terbesit keraguan-keraguan.
Sedetik kemudian, Ahsan baru saja kembali selepas shalat dzuhur. Kali ini
giliran Stella yang dipersilakan untuk shalat. Aku pun meminta izin pamit pada
mereka berdua karena masih ada urusan lain.
Hari ini, aku ditinggal menikah oleh satu
orang sahabatku lagi. Giliranku kapan, ya?
Sepanjang perjalanan ke toko, kepalaku
berputar-putar memikirkan pertanyaan itu.
“Permisi, mbak?” Seeorang mencolek pelan pundakku.
Aku pun menoleh dan mendapati seorang lelaki menjulang dengan potongan rambut
cepak bak petugas militer.
“Iya?”
“Numpang tanya alamat. Jalan Kenanga di
sebelah mana, ya? Katanya sih dekat mall ini,” katanya sambil menunjuk mall
besar tempat tokoku berada.
“Oh. Kenanga masih lumayan jauh dari sini. Ada
di balik mall itu. Lebih cepat kalau mas lewat dalam Mall aja daripada harus
muter,” jawabku.
“Oke. Makasih ya, mbak.”
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Mungkin
saja orang inilah calon jodohku yang sebenarnya. Walaupun belum tahu benar atau
nggak. Setidaknya harus memberikan kesan yang baik, dong. Mungkin interaksi
kami akan berlanjut dan tidak hanya sekedar bertanya alamat saja. Mungkin saja
setelah berjalan beberapa langkah, dia akan sadar kalau aku juga sedang
berjalan menuju mall itu. Lalu setelahnya, dia akan mengajakku berjalan bareng.
Obrolan kami sepanjang jalan menyenangkan sekali dan kami pun akan menyadari
kalau kami cocok. Hubungan kami berlanjut dan akhirnya...
Selama memikirkan hal itu, aku tidak sadar
kalau laki-laki itu telah berjalan jauh di depanku.
Hhhh.... bukan dia....
Mungkin saja jodohku bukan laki-laki seganteng
dia. Mungkin jodohku hanya laki-laki biasa dengan pekerjaan biasa seperti
mas-mas berkemeja biru yang lewat di depanku ini. Kantor tempatnya bekerja juga
bukan kantor yang bonafid. Kalau menikah dengannya, tiap bulan aku harus
pintar-pintar mengatur uang belanja. Atau malah bisa lebih parah kalau jodohku
ternyata mas-mas penjaga kios rokok di pinggir jalan itu. Haduh, sepandai-pandainya
aku berimajinasi, tetap sulit membayangkan kehidupan pas-pasan setelah menikah
dan punya anak.
Gawat, imajinasiku sudah melayang terlalu
jauh! Payah, nih. Gara-gara kerja di toko handy craft, pelangganku semuanya
cewek. Kalaupun ada cowok yang masuk toko, pasti karena ingin membelikan hadiah
untuk pacar atau istrinya. Interaksiku dengan cowok benar-benar terbatas.
Mungkin itu yang membuatku masih sendiri hingga detik ini. Tentu saja hal itu
juga berpengaruh pada imajinasiku yang semakin tidak terkendali.
Tapi sejujurnya aku takut. Aku takut dengan
imajinasiku sendiri. Kalau benar seperti kata Stella bahwa takdir itu tak terduga,
akan seperti apa takdirku nanti? Padahal aku sudah memikirkan semua kemungkinan
yang ada dengan semua orang yang pernah kutemui, bahkan dengan teman FB yang
hanya sekedar menyapa lewat dunia maya. Takdir pertemuan seperti apa yang tak
terduga olehku? Apa jodohku akan datang dengan cara spektakuler seperti turun
dari helikopter sambil menebar bunga mawar? Atau malah mengerikan seperti
penculik yang akhirnya jatuh cinta pada perempuan yang diculiknya sendiri untuk
minta uang tebusan?
Hahahaha.... pasti lebih aneh dari itu karena
kedua adegan itu juga sudah pernah kupikirkan.
Aku ini sebenarnya kenapa, sih?
***
“Lama banget, mbak Sally.”
“Duh maaf ya, Ar. Keasikan ngobrol sama
Stella, jadi lama. Hehehe....”
Arsa, asistenku, sedang merapikan guntingan
kain perca yang berantakan saat aku datang. Selesai merapikannya, Arsa langsung
menuju meja rajutnya yang mungil dan melanjutkan perkerjaannya menyelesaikan
pesanan sweater.
Tapi sesaat kemudian ia berbalik padaku dan
mengatakan sesuatu.
“Mbak lupa bawa HP, ya? Tadi kayaknya ada yang
telpon, deh. Tapi nggak Arsa angkat, soalnya nggak enak sama mbak.”
Oh iya. Aku baru ingat kalau aku memang
meninggalkan HP di toko.
Aku pun berterima kasih pada Arsa dan segera
mengambil HP ku. Satu misscall dari Arya, dan satu sms darinya juga.
Arya:
Kalo udah bs ditelp, sms ya.
Segera kubalas pesannya. Semenit kemudian, HP
ku berdering.
“Ya, halo. Sori ya, tadi HP gue ketinggalan di
toko. Kenapa?”
.....
“Sekarang? Nggak bisa di telpon aja?”
.....
“Oh. Yaudah. Bisa aja, sih. Gue nggak terlalu
sibuk juga, kok. Dateng aja ke toko.”
Percakapan singkat itu pun berakhir. Arya,
temanku semasa kuliah berniat datang untuk menyerahkan sesuatu langsung padaku.
Dia pikir aku tidak tahu? Huh! Aku tahu, kok! Dia pasti mau memberikan undangan
pernikahannya dengan Aya, langsung padaku. Kedua teman kuliahku yang memiliki
nama mirip itu memang sudah pacaran sejak duduk di bangku kuliah. Tidak heran
kalau cepat atau lambat mereka pasti menikah juga. Lagipula, walaupun
diam-diam, aku tahu kalau dua minggu lalu mereka sudah bertunangan.
Dan lagi-lagi, aku akan ditinggal menikah oleh
dua temanku sekaligus. Terus aku kapan doooong?
Arya bilang memang sedang jalan-jalan di mall
tempat tokoku ini berada. Jadi, tak sampai sepuluh menit,
Arya sudah berada di depan toko dan melambaikan tangannya padaku. Aku langsung
memberinya senyum kecut. Habis dia sumringah sekali, sih. Aku jadi kesal.
“Aya mana?” tanyaku langsung.
“Nggak ikut, ada urusan penting katanya.
Padahal katanya dia juga mau ketemu lo.”
Selesai Arya bicara, aku langsung menadahkan
tangan padanya. “Mana?”
“Eh?” Arya kebingungan.
Aku mengerutkan alis. “Katanya lo mau ngasih
sesuatu? Mana?”
“Ooh! Sabar dong! Gue juga belum duduk.”
Mendengar itu, aku tambah kesal. “Ih.... cuma
ngasih undangan aja pake duduk segala. Udah sini, mana?”
Arya terdiam mendengar kata-kataku. Ia
kemudian menarikku untuk duduk dulu.
“Gue kasih, tapi lo jangan kaget, ya?”
“Hah?”
Aku mengerutkan keningku lagi. Buat apa aku
mesti kaget melihat undangan mereka. Memangnya Arya pikir pertunangannya
benar-benar rahasia? Jangan remehkan kecepatan gosip cewek-cewek, deh. Atau
mungkin undangan pernikahannya bersepuh emas dan perak? Kalau benar begitu, aku
pasti kaget juga, sih.
Arya mengeluarkan sesuatu dari kantong
jaketnya, tapi itu bukan sesuatu yang berbentuk seperti undangan. Sama sekali
bukan. Sebab, benda itu.... Aku tahu itu apa....
“Ngapain lo....ngeluarin....cincin?”
“Menurut lo?”
“Kalo lo minta pendapat gue soal cincin yang
Aya suka buat nikahan nanti, lo nggak akan dapet jawaban memuaskan. Gue sama
sekali belum pernah dapet cincin,” kataku jujur.
Arya menggeleng. “Ini....buat lo....”
Hah?Apa?
Wahai penghuni langit dan bumi, Arya pasti
udah gila!
Dibanding tersenyum sumringah dan berkata “Ya
ampun cincin cantik ini buat gue? Serius? Aryaaa....so sweet
bangeeeeeeettt....”, aku lebih tertarik untuk menggamparnya.
“Bukannya lo udah tunangan sama Aya!?”
“Ssst! Berisik! Dengerin gue dulu!” Arya lalu
mencubitku kencang. Duh.
Sambil mengusap-usap lenganku yang dicubitnya,
aku mengulang sekali lagi pertanyaanku dengan suara yang jauh lebih pelan.
“Iya, gue udah tunangan sama Aya dua minggu
lalu. Tapi nikahannya batal,” katanya dengan tampang serius.
Batal? Mereka itu udah kayak pasangan
Romeo-Juliet, Rama-Sinta, Habibie-Ainun, Lebah-Bunga, bahkan kayak permen karet
bekas yang nempel di bawah meja belajar! Mereka itu nggak bisa lepas. Kok bisa
batal!?
“Lo....serius? Kenapa?”
Arya mengangkat bahu. “Selama dua minggu ini
gue dan Aya sama-sama sadar kalau kita ternyata nggak secocok itu. Kita ribut
terus. Bahkan seminggu terakhir ini kita hampir nggak pernah berhubungan via
apa pun. Yang bisa gue lakuin saat itu cuma berdoa, istikharah berkali-kali.
Lalu entah kenapa keputusan untuk mengakhiri semuanya malah makin mantap. Aya
pun berpikiran sama, jadi kita berpisah baik-baik. Tapi, ternyata mendekatkan
diri sama Allah bukan cuma ngasih gue jawaban soal itu aja....”
“Maksudnya?”
“Mmm....gue juga ngelihat lo....”
“Gue?”
“Iya. Gue ngelihat lo di pelaminan, bareng
gue. Bukan gue sama Aya.”
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah
malu-malu Arya. Dan entah kenapa, aku juga ikut malu melihatnya.
Dan untuk pertama kalinya juga, aku sama
sekali tidak bisa membayangkan kejadian setelah ini. Yang kutahu, Arsa mencuri
dengar sambil sesekali melirik ke arah kami dengan senyum senang, sepertinya
dia berharap aku segera mengambil cincin itu dan menerima lamaran Arya yang sama
sekali tidak terdengar seperti lamaran pada umumnya.
Stella, jadi ini maksudnya tak terbayangkan,
ya?
Aku sungguh-sungguh menyesal pernah meragukan skenario Sang Maha Imajinatif.
Wuuuuiiih....
BalasHapusSo..... suit.. suit..
Haha..
Sweet... kayak akoh~
Hapusitu endingnya bagus lhooo..
BalasHapusdapet pesan dan hikmahnya ;)
cepat buat antologinya lah bareng kawan2 kauuu
*panggil Zu dan Saa*
Alhamdulillah xDD
HapusBiasanya tulisan gue tidak berpesan apa-apa soalnya. Wuahahahahaha~
Ini lagi diusahakan, Mi :p
*terpanggil*
BalasHapusUdah dapet pendukung buat bikin kumcer nih, iihiiy.
Maaf kakak, baru jalan-jalan ke blog andah~ lupa mulu mau backtracking ke blog lu. #halasan
Ini ceritanya bagus, sungguh! Untung gue tantang lo bikin juga ya #gituajabangga
Yaudah, yuk kita bikin xD
Pendukung kita lumayan banyak, men. Tapi tujuan grup kita tetep supaya cepet bubar!!
HapusLo sekalinya komen ke blog gue, bererot ye..... ckckckck