Selasa, 12 Mei 2015

[Cerpen] Barisan Sakit Hati - Sang Maha Imajinatif

Hai hai haaaaiii~

Akhirnya gue kembali juga setelah kabur dua minggu dari kantor :p
Lalu sampe rumah, utang menulis pun numpuk. Oh tidaaaakk~

Waktu gue menghilang pun, ternyata anggota BARISAN SAKIT HATI belum melupakan rasa sakit hatinya karna ditinggal merit dan memanfaatkan rasa sakit hati itu untuk dituang ke dalam tulisan. Masih inget kan barisan sakit hati itu siapa aja?

Ini lhooo.....Kami bertiga ini lhooo....yang sakit hati karena ditinggal Ruru nikah....
Nah, Saa, anggota pertama barisan sakit hati, udah lebih dulu bikin cerpen berjudul "Jodoh untuk Barisan Sakit Hati". Sementara Zu, anggota kedua, juga udah bikin cerpen berjudul "Sensi", dan tentu saja masih cerita dengan tema yang sama "Sakit hati ditinggal nikah".

Lalu tibalah giliran gue, si anggota ketiga, untuk bikin cerpen bertemakan sama juga.

Setelah semedi, akhirnya jadilah satu cerpen ini *tepuk tangan dong plis....*

SANG MAHA IMAJINATIF

“Masa?” tanyaku penasaran, setengah ragu.

Iya, aku tahu sahabatku ini baru saja menikah dengan seorang laki-laki yang tidak terduga. Mereka satu SMP, bahkan satu SMA. Tapi mereka tidak pernah mengobrol sama sekali di sekolah. Lalu tahu-tahu mereka menikah. Tapi aku masih tidak terlalu percaya bahwa pertemuan mereka kembali sama sekali tak terbayangkan.

Maksudku, mereka kan satu sekolah. Sudah pasti mereka berada paling tidak di satu kota yang sama. Bukan sesuatu yang tidak wajar kalau mereka bertemu lagi, kan? Lagipula ada pepatah yang mengatakan kalau bumi hanya selebar daun kelor. Eh? Atau sebaliknya?

Pokoknya, menurutku pertemuan kembali dua orang yang tadinya saling mengenal itu bukan sesuatu yang aneh. Mungkin hanya imajinasi sahabatku saja yang tidak terlalu berkembang, berbeda denganku.

Lihat saja abang-abang penjaga es krim di salah satu stand makanan di pernikahannya ini. Dia cukup tampan untuk seorang pelayan. Dia juga kelihatan masih muda, mungkin seumuran denganku. Dalam imajinasiku sekarang, bisa saja abang-abang ganteng itu ternyata calon jodohku. Percakapan pertama kami dimulai saat ia menyerahkan setangkup es krim coklat dan mengatakan “silakan” untukku. Lalu tanpa sengaja es krim tersebut jatuh mengenai gaunku. Ia meminta maaf dan menawarkan tisu. Aku akan pura-pura tidak kesal sambil melempar senyum padanya. Lalu usai pesta pernikahan ini, ia akan menghampiriku dan meminta maaf sekali lagi, bahkan bersedia mentraktirku makan di luar.

See? Berimajinasi tidak sesulit itu.

Masa sih sewaktu bertemu teman lamanya itu, Stella tidak berpikir sama sekali kalau Ahsan adalah calon jodohnya di masa depan? Kalau aku sih pasti sudah berimajinasi ke mana-mana. Mungkin aku sudah berimajinasi bagaimana kalau punya anak bersamanya.

“Percaya deh, Sal. Skenario Allah tuh bener-bener ajaib! Dia pasti ngasih takdir yang sama sekali nggak bisa lo bayangin!” Stella masih saja antusias menceritakan kisah cintanya dengan Ahsan yang berujung di pelaminan.

Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya. Di luar aku tersenyum, tapi dalam hati masih terbesit keraguan-keraguan. Sedetik kemudian, Ahsan baru saja kembali selepas shalat dzuhur. Kali ini giliran Stella yang dipersilakan untuk shalat. Aku pun meminta izin pamit pada mereka berdua karena masih ada urusan lain.

Hari ini, aku ditinggal menikah oleh satu orang sahabatku lagi. Giliranku kapan, ya?

Sepanjang perjalanan ke toko, kepalaku berputar-putar memikirkan pertanyaan itu.

“Permisi, mbak?” Seeorang mencolek pelan pundakku. Aku pun menoleh dan mendapati seorang lelaki menjulang dengan potongan rambut cepak bak petugas militer.

“Iya?”

“Numpang tanya alamat. Jalan Kenanga di sebelah mana, ya? Katanya sih dekat mall ini,” katanya sambil menunjuk mall besar tempat tokoku berada.

“Oh. Kenanga masih lumayan jauh dari sini. Ada di balik mall itu. Lebih cepat kalau mas lewat dalam Mall aja daripada harus muter,” jawabku.

“Oke. Makasih ya, mbak.”

Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Mungkin saja orang inilah calon jodohku yang sebenarnya. Walaupun belum tahu benar atau nggak. Setidaknya harus memberikan kesan yang baik, dong. Mungkin interaksi kami akan berlanjut dan tidak hanya sekedar bertanya alamat saja. Mungkin saja setelah berjalan beberapa langkah, dia akan sadar kalau aku juga sedang berjalan menuju mall itu. Lalu setelahnya, dia akan mengajakku berjalan bareng. Obrolan kami sepanjang jalan menyenangkan sekali dan kami pun akan menyadari kalau kami cocok. Hubungan kami berlanjut dan akhirnya...

Selama memikirkan hal itu, aku tidak sadar kalau laki-laki itu telah berjalan jauh di depanku.

Hhhh.... bukan dia....

Mungkin saja jodohku bukan laki-laki seganteng dia. Mungkin jodohku hanya laki-laki biasa dengan pekerjaan biasa seperti mas-mas berkemeja biru yang lewat di depanku ini. Kantor tempatnya bekerja juga bukan kantor yang bonafid. Kalau menikah dengannya, tiap bulan aku harus pintar-pintar mengatur uang belanja. Atau malah bisa lebih parah kalau jodohku ternyata mas-mas penjaga kios rokok di pinggir jalan itu. Haduh, sepandai-pandainya aku berimajinasi, tetap sulit membayangkan kehidupan pas-pasan setelah menikah dan punya anak.

Gawat, imajinasiku sudah melayang terlalu jauh! Payah, nih. Gara-gara kerja di toko handy craft, pelangganku semuanya cewek. Kalaupun ada cowok yang masuk toko, pasti karena ingin membelikan hadiah untuk pacar atau istrinya. Interaksiku dengan cowok benar-benar terbatas. Mungkin itu yang membuatku masih sendiri hingga detik ini. Tentu saja hal itu juga berpengaruh pada imajinasiku yang semakin tidak terkendali.

Tapi sejujurnya aku takut. Aku takut dengan imajinasiku sendiri. Kalau benar seperti kata Stella bahwa takdir itu tak terduga, akan seperti apa takdirku nanti? Padahal aku sudah memikirkan semua kemungkinan yang ada dengan semua orang yang pernah kutemui, bahkan dengan teman FB yang hanya sekedar menyapa lewat dunia maya. Takdir pertemuan seperti apa yang tak terduga olehku? Apa jodohku akan datang dengan cara spektakuler seperti turun dari helikopter sambil menebar bunga mawar? Atau malah mengerikan seperti penculik yang akhirnya jatuh cinta pada perempuan yang diculiknya sendiri untuk minta uang tebusan?

Hahahaha.... pasti lebih aneh dari itu karena kedua adegan itu juga sudah pernah kupikirkan.

Aku ini sebenarnya kenapa, sih?

***

“Lama banget, mbak Sally.”

“Duh maaf ya, Ar. Keasikan ngobrol sama Stella, jadi lama. Hehehe....”

Arsa, asistenku, sedang merapikan guntingan kain perca yang berantakan saat aku datang. Selesai merapikannya, Arsa langsung menuju meja rajutnya yang mungil dan melanjutkan perkerjaannya menyelesaikan pesanan sweater.
Tapi sesaat kemudian ia berbalik padaku dan mengatakan sesuatu.

“Mbak lupa bawa HP, ya? Tadi kayaknya ada yang telpon, deh. Tapi nggak Arsa angkat, soalnya nggak enak sama mbak.”

Oh iya. Aku baru ingat kalau aku memang meninggalkan HP di toko.
Aku pun berterima kasih pada Arsa dan segera mengambil HP ku. Satu misscall dari Arya, dan satu sms darinya juga.

Arya: Kalo udah bs ditelp, sms ya.

Segera kubalas pesannya. Semenit kemudian, HP ku berdering.

“Ya, halo. Sori ya, tadi HP gue ketinggalan di toko. Kenapa?”
.....
“Sekarang? Nggak bisa di telpon aja?”
.....
“Oh. Yaudah. Bisa aja, sih. Gue nggak terlalu sibuk juga, kok. Dateng aja ke toko.”

Percakapan singkat itu pun berakhir. Arya, temanku semasa kuliah berniat datang untuk menyerahkan sesuatu langsung padaku. Dia pikir aku tidak tahu? Huh! Aku tahu, kok! Dia pasti mau memberikan undangan pernikahannya dengan Aya, langsung padaku. Kedua teman kuliahku yang memiliki nama mirip itu memang sudah pacaran sejak duduk di bangku kuliah. Tidak heran kalau cepat atau lambat mereka pasti menikah juga. Lagipula, walaupun diam-diam, aku tahu kalau dua minggu lalu mereka sudah bertunangan.

Dan lagi-lagi, aku akan ditinggal menikah oleh dua temanku sekaligus. Terus aku kapan doooong?

Arya bilang memang sedang jalan-jalan di mall tempat tokoku ini berada. Jadi, tak sampai sepuluh menit, Arya sudah berada di depan toko dan melambaikan tangannya padaku. Aku langsung memberinya senyum kecut. Habis dia sumringah sekali, sih. Aku jadi kesal.

“Aya mana?” tanyaku langsung.

“Nggak ikut, ada urusan penting katanya. Padahal katanya dia juga mau ketemu lo.”

Selesai Arya bicara, aku langsung menadahkan tangan padanya. “Mana?”

“Eh?” Arya kebingungan.

Aku mengerutkan alis. “Katanya lo mau ngasih sesuatu? Mana?”

“Ooh! Sabar dong! Gue juga belum duduk.”

Mendengar itu, aku tambah kesal. “Ih.... cuma ngasih undangan aja pake duduk segala. Udah sini, mana?”

Arya terdiam mendengar kata-kataku. Ia kemudian menarikku untuk duduk dulu.

“Gue kasih, tapi lo jangan kaget, ya?”

“Hah?”

Aku mengerutkan keningku lagi. Buat apa aku mesti kaget melihat undangan mereka. Memangnya Arya pikir pertunangannya benar-benar rahasia? Jangan remehkan kecepatan gosip cewek-cewek, deh. Atau mungkin undangan pernikahannya bersepuh emas dan perak? Kalau benar begitu, aku pasti kaget juga, sih.

Arya mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya, tapi itu bukan sesuatu yang berbentuk seperti undangan. Sama sekali bukan. Sebab, benda itu.... Aku tahu itu apa....

“Ngapain lo....ngeluarin....cincin?”

“Menurut lo?”

“Kalo lo minta pendapat gue soal cincin yang Aya suka buat nikahan nanti, lo nggak akan dapet jawaban memuaskan. Gue sama sekali belum pernah dapet cincin,” kataku jujur.

Arya menggeleng. “Ini....buat lo....”

Hah?Apa?

Wahai penghuni langit dan bumi, Arya pasti udah gila!
Dibanding tersenyum sumringah dan berkata “Ya ampun cincin cantik ini buat gue? Serius? Aryaaa....so sweet bangeeeeeeettt....”, aku lebih tertarik untuk menggamparnya.

“Bukannya lo udah tunangan sama Aya!?”

“Ssst! Berisik! Dengerin gue dulu!” Arya lalu mencubitku kencang. Duh.

Sambil mengusap-usap lenganku yang dicubitnya, aku mengulang sekali lagi pertanyaanku dengan suara yang jauh lebih pelan.

“Iya, gue udah tunangan sama Aya dua minggu lalu. Tapi nikahannya batal,” katanya dengan tampang serius.

Batal? Mereka itu udah kayak pasangan Romeo-Juliet, Rama-Sinta, Habibie-Ainun, Lebah-Bunga, bahkan kayak permen karet bekas yang nempel di bawah meja belajar! Mereka itu nggak bisa lepas. Kok bisa batal!?

“Lo....serius? Kenapa?”

Arya mengangkat bahu. “Selama dua minggu ini gue dan Aya sama-sama sadar kalau kita ternyata nggak secocok itu. Kita ribut terus. Bahkan seminggu terakhir ini kita hampir nggak pernah berhubungan via apa pun. Yang bisa gue lakuin saat itu cuma berdoa, istikharah berkali-kali. Lalu entah kenapa keputusan untuk mengakhiri semuanya malah makin mantap. Aya pun berpikiran sama, jadi kita berpisah baik-baik. Tapi, ternyata mendekatkan diri sama Allah bukan cuma ngasih gue jawaban soal itu aja....”

“Maksudnya?”

“Mmm....gue juga ngelihat lo....”

“Gue?”

“Iya. Gue ngelihat lo di pelaminan, bareng gue. Bukan gue sama Aya.”

Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah malu-malu Arya. Dan entah kenapa, aku juga ikut malu melihatnya.

Dan untuk pertama kalinya juga, aku sama sekali tidak bisa membayangkan kejadian setelah ini. Yang kutahu, Arsa mencuri dengar sambil sesekali melirik ke arah kami dengan senyum senang, sepertinya dia berharap aku segera mengambil cincin itu dan menerima lamaran Arya yang sama sekali tidak terdengar seperti lamaran pada umumnya.

Stella, jadi ini maksudnya tak terbayangkan, ya?

Aku sungguh-sungguh menyesal pernah meragukan skenario Sang Maha Imajinatif.

TAMAT

6 komentar:

  1. Wuuuuiiih....


    So..... suit.. suit..
    Haha..

    BalasHapus
  2. itu endingnya bagus lhooo..
    dapet pesan dan hikmahnya ;)
    cepat buat antologinya lah bareng kawan2 kauuu
    *panggil Zu dan Saa*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah xDD
      Biasanya tulisan gue tidak berpesan apa-apa soalnya. Wuahahahahaha~
      Ini lagi diusahakan, Mi :p

      Hapus
  3. *terpanggil*
    Udah dapet pendukung buat bikin kumcer nih, iihiiy.

    Maaf kakak, baru jalan-jalan ke blog andah~ lupa mulu mau backtracking ke blog lu. #halasan
    Ini ceritanya bagus, sungguh! Untung gue tantang lo bikin juga ya #gituajabangga

    Yaudah, yuk kita bikin xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pendukung kita lumayan banyak, men. Tapi tujuan grup kita tetep supaya cepet bubar!!
      Lo sekalinya komen ke blog gue, bererot ye..... ckckckck

      Hapus