Jumat, 08 Mei 2020

Story Blog Tour: CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY

Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)

Ep 1 : Ep 1 : An Unspeakable Word by Saa | http://smilingsaachii.blogspot.com/2020/04/an-unspeakable-word.html
Ep 2 : A New Journey: Love? by Kenti | https://handken.blogspot.com/2020/04/a-new-journey-love.html
Ep 3 : Longing For You by Dhira | http://www.nadhiraarini.com/2020/04/story-blog-tour-ep-3-longing-for-you.html?m=1

CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY

"Ja, giliran lo tuh..." seru Aziel mengingatkan.

"Apa? Ooh... tebakan, ya? Okee. Nah, kalian coba tebak, ya. Daerah mana di Indonesia yang ceweknya gak sabaran?"

"Hahaha, mana, yak? Jakarta?" jawab Yayat asal tebak.

"Bukan. Hahaha, hayo apaa?"

"Apa sik? Seluruh Indonesia, ya? Semua cewek gak sabaran. Hahaha," tebak Adit.

"Salah!"

"Apa dong?" Aziel dan yang lainnya menyerah.

"Jawabannya cikarang," sebut James bangga.

"Hah? Kok Cikarang?" Yayat penasaran.

"Iya, soalnya gak mau entar, maunya cikarang." Jawaban garing dari James disambut gelak tawa dari laki-laki di kamar kosannya yang cukup luas itu.

Hanya Yayat yang terlambat tertawa.

"Wah, Yayat gak bakal lulus probation kalo gini caranya nih," sindir Aziel.

"Tapi yang tadi emang garing." Yayat melakukan pembelaan diri yang sungguh sangat tidak penting.

"Perlu beberapa tahun lagi sampe Yayat bisa lulus jadi bapak-bapak ya, Gaes. Hahahaha."

"Liat noh James, umur baru 30 tapi pembawaan dah bapak-bapak," ujar Adit, sesepuh kumpulan bapak-bapak dan bapak-bapak wanna be di ruangan itu.

"Iya, ya. Kalo Jaja nikah bentar lagi kan langsung jadi bapak-bapak. Bisa membuncit dengan segera." Kali ini Aziel nimbrung. "Eh iya, dia lagi deket tuh sama anak bosnya dulu, si Bia. Ciee... bentar lagi, nih."

"Hahaha, bisa aja Pak." Meski sambil tertawa, dalam hati James ketar-ketir memikirkan kejadian saat Bersama Gabia baru-baru ini.
___

James harus datang ke pertemuan pejabat kota hari ini. Harus.

Kepalanya pening memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hari ini Gabia akan bertugas di desk politik. Semua reporter baru selalu dirotasi agar bisa merasakan menulis berita di semua bidang, baru setelah itu diberikan desk tetap sesuai kemampuannya. Inilah yang membuat James khawatir. Orang-orang di dunia politik adalah orang yang sangat sensitif. Ia takut jika pertanyaan yang diajukan Bia terlalu menyudutkan politikus tertentu yang akan berujung reporter dari perusahaannya diblacklist oleh orang-orang penting.

Presdir Asia Associated Press itu tahu kalau dia telah membuat keputusan yang sangat berisiko dan sedikit berbau kkn. Ya, dia telah menerima Gabia—putri tersayang atasannya dulu—di kantornya sejak dua minggu yang lalu. James bukannya menganggap Gabia tidak kompeten dan tidak pantas untuk menjadi karyawannya. Hanya saja, karakter Gabia memang agak spesial.

Beberapa hari yang lalu, ia dan Gabia pergi jalan-jalan ke taman untuk menikmati udara segar—Iya, salah satu usaha payahnya untuk mendekati anak mantan bosnya dulu. Saat itu di taman ada penjual gula-gula kapas dan James berpikir membelikan Gabia gula-gula kapas adalah ide yang sangat brilian.

"Bia, mau gula-gula kapas, nggak?" tanya James dengan senyum paling manis yang dia bisa.

Gabia yang sedang menyilangkan tangannya di depan dada sambil menikmati pemandangan di taman itu akhirnya menoleh pada James sebelum melihat penjual gula-gula kapas yang berada tak jauh dari mereka. "Dibayarin, gak?" tanyanya gak tau malu.

"Jadi mau nih? Iya abang yang beliin," tambah James.

Sebelum James sempat berbalik dan berjalan ke arah tukang gula-gula kapas itu, Gabia sudah berlari ke arah sana mendahuluinya. Ternyata dia mau mengantri sendiri.

James tidak merasakan ada pertanda akan terjadinya petir di siang bolong saat itu. Sehingga dia biasa saja memperhatikan Gabia yang wajahnya berubah menjadi seperti anak-anak ketika tukang gula-gula kapas di depannya memasukkan gula berwarna ke dalam mesin dan menangkap serat-serat kapas dengan satu batang kayu yang cukup tebal. Malah, James sempat senyum-senyum sendiri melihatnya. Namun senyumnya tiba-tiba menghilang ketika ada seorang ibu yang menghampiri tukang gula-gula kapas itu dan berkata pada anaknya yang masih kecil, "diri di sini ya, Dek," sembari memosisikan anaknya di samping anak yang mengantri di depan Gabia, dan bukannya menyuruh si anak berdiri di belakang.

Senyum di wajah Gabia menghilang. Ia mulai menatap punggung ibu dari anak itu dengan tatapan tajam.

"Tapi, Ma..." anak si ibu itu seolah ingin mengatakan bahwa dia seharusnya ikut mengantri. Walaupun masih anak-anak, dia bisa merasakan aura kebencian yang sangat pekat mengarah padanya.

"Udah gapapa di sini aja," kata ibunya lagi. "Kamu kan masih kecil."

Orang lain yang masih mengantri merasa keki, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka ingat prinsip utama hidup dalam tatanan masyarakat Indonesia--jangan ngelawan emak-emak. Sayangnya Gabia menganut prinsip yang berbeda.

Sebelum James sempat mencegah, Gabia sudah meraup gula berwarna-warni—bahan dasar gula-gula kapas—dengan tangan kanannya dan melemparnya ke muka ibu di sampingnya.

Jantung James berhenti.

Jantung orang-orang yang mengantri di sekeliling tukang gula-gula kapas ikut berhenti.

Tangan terampil tukang gula-gula kapas berhenti bergerak dan wajahnya mendadak pucat melihat kejadian itu.

Anak laki-laki berumur sekitar empat tahun di depan Gabia, mencomoti gula-gula kapas yang sudah mulai menumpuk di mesin pemutar. Dia belum bisa membaca situasi.

Orang-orang di sekeliling taman mulai ngeh ada sesuatu dan mengeluarkan HP mereka. Kalau video rekaman ini viral, lumayan bisa untuk pansos—pikir mereka.

"KURANG AJAR KAMU!! NGAPAIN LEMPAR-LEMPAR!? KENA MATA SAYA TAU GAK!?"

Mendengar lontaran makian itu, Gabia tetap berwajah datar. Ia mengambil botol minuman berukuran kecil dari tas selempangnya dan meminumnya dengan santai, sama sekali mengabaikan amukan emak-emak di hadapannya.

"MALAH MINUM!! DENGER GAK KAMU HEI!!"

Tanpa tedeng aling-aling, Gabia menyiram air dari botolnya ke wajah ibu itu. "BERISIK!!"

"Udah tau salah, gak usah sok marah-marah! ANTRI!!" tunjuk Gabia ke antrian belakangnya.

Ibu itu sepertinya akan meledak lagi, tapi dia sadar kalau orang-orang di sekeliling mulai memperhatikannya. "Udah, Dek. Kita cari jajanan lain, ngapain sama orang gila di sini!" Ia menarik lengan anaknya dan mulai menjauh.

"Daripada cari jajanan, sana cari sekolah yang bener! Asramain aja anaknya! Soalnya didikan orangtuanya cuma bikin anaknya jadi sampah masyarakat yang ngantri aja gak bisa! DASAR TOL*L!"

Setelah situasi mulai mereda, Gabia minta maaf kepada tukang gula-gula kapas karena sudah membuang-buang gulanya untuk mengusir hama. Tukang gula-gula kapas yang masih takjub dengan kejadian tadi bicara dengan tergagap, "Ga...gapapa, Neng. Gula murah, kok. Ini saya kasih dua buat Neng dah..."

"Wah! Asyik! Makasih ya, Bang!"

"Gapapa Neng... jangan lempar saya pake gula ya, Neng..." kata si abang lirih, hampir tidak terdengar.

_____

"Bang Jamees! Bang Jameeeees! Mana sih tu orang?" Gabia celingak-celinguk mencari sosok bosnya.

Dari balik pohon besar, wajah James yang pucat nongol setengah.

"Kenapa, Bang?" tanya Gabia polos.

"Ada badai lokal barusan," katanya.

Hari itu, James mulai membayangkan hidupnya kalau pada akhirnya menikah dengan Gabia. Mungkin dia yang bakal kena semprot setiap hari. Mulai hari ini dia harus belajar cara meminta maaf walaupun tidak salah. Mungkin di youtube ada tutorialnya. James mengingat kembali kata-kata Pak Sarwani tempo hari, 'dia hanya sedikit temperamen bukan kelainan mental'.

INI SIH KELAINAN MENTAL AKUT!

James membayangkan seperti apa Gabia sebelum kenal temannya yang psikiater. Mungkin mulutnya lebih pedas dari Chef Juna dan Chef Arnold digabung jadi satu. Kalau kata Bapak Menteri cabai mahal, lebih baik tanam sendiri. James merasa tidak perlu repot-repot menanam cabai. Makan saja dengan bumbu bacotan Gabia. Gratis dan bisa menghemat anggaran biaya rumah tangga masa depan mereka.

___

Acara yang diadakan di hotel yang tak jauh dari Balai Kota hari ini adalah sebagai peresmian terpilihnya satu perusahaan kontraktor sebagai tender yang akan mengerjakan taman kota baru. Sebagai gubernur, keberadaan Aditya Ismail di acara hari ini akan menjadi sorotan.

Lalu, orang yang menjadi sorotan itu saat ini berada di kamar mandi hotel.

"Pak, acaranya udah mau mulai... Masih lama? Bapak udah sejam di dalam, lho," ujar Shania, baby sitter kepercayaannya yang selalu menemani dia untuk menjaga Tio, anak laki-lakinya yang baru berusia lima tahun.

"Sebentar... 10 menit lagi," respon Aditya.

Shania memperhatikan jam tangannya dan mulai khawatir majikannya itu akan terlambat turun. Karena itu ia terpaksa membuka pintu kamar mandi yang ia tahu memang tidak terkunci. Ia sudah cukup terbiasa dengan kebiasaan Aditya.

"Udah ngacanya, Pak. Nanti kacanya pec—Eh, nanti Bapak terlambat," ucap Shania dengan wajah datar.

Aditya tidak menggubris hinaan Shania yang buru-buru diralat. Ia masih sibuk merapikan beberapa helai rambutnya yang masih mencuat. Wajah tampannya hari ini harus sempurna.

Di dunia ini banyak orang yang sadar kalau diri mereka tampan, termasuk salah satunya Aditya Ismail. Shania cukup maklum dengan hal itu. Mungkin sejak kecil majikannya itu selalu mendapat pujian bertubi-tubi karena wajahnya. Tapi berkaca sampai satu jam lebih memang agak tidak normal, sih. Pertama kali Shania bekerja lima tahun yang lalu, waktu rata-rata Aditya berkaca hanya 10 menit. Waktu ia berkaca bertambah 2 detik setiap harinya selama 5 tahun sehingga sekarang waktu rata-rata berkacanya sampai lebih dari satu jam. Shania cukup kagum dengan kekonsistenan majikannya itu menambah jadwal bersoleknya secara rutin. Ia berharap kenaikan gajinya juga bisa berbanding lurus dengan bertambahnya waktu Aditya mengagumi parasnya sendiri.

"Udah cakep, belum?" tanya Aditya yang akhirnya menoleh.

"Udah, Pak. Kalau Narcissus lihat muka bapak, dia pasti minder." Shania mengancungkan dua jempolnya. Masih dengan wajah datar. Kalau bapak lahir duluan, mungkin yang bakal kecebur danau dan meninggal gara-gara kelamaan ngaca di permukaan air juga bapak. Bahkan istilah narsis mungkin akan diganti dengan Adit, lanjut Shania dalam hati. "Selfie mulu! Adit banget sih lo!" Shania membayangkan dialog imajinasi tersebut dan tertawa dalam hati. Di luar, dia masih tersenyum manis menanggapi Aditya. Ya, demi keutuhan gajinya bulan ini.

"Hahaha, bisa aja kamu! Narcissus itu siapa? Teman kamu yang ganteng, ya?" ocehnya.

Tahan... tahan... ujar Shania berulang-ulang dalam hati. Bibirnya sudah mulai merapat, menahan tawa.

"Iya, Pak," jawabnya dengan susah payah.

"Gak salah memang kamu saya pilih jadi baby sitter. Gaji kamu bulan ini saya naikin!"

Shania bersorak riang dalam hati. "Makasih bapak gubernur yang tampaaan..." katanya sambil berharap gajinya bakal naik lagi.

Sayangnya tidak.
___

Eliana tiba di hall Hotel Mutiara ketika sudah ramai tamu undangan. Untuk kesekian kalinya, ia mendapat undangan langsung dari sang gubernur. Sebenarnya ia ingin menolak undangan ini. Hanya saja, Eliana berpikir ini adalah kesempatan yang tepat untuk memberikan jawabannya pada sang gubernur.

Xander berjalan tidak jauh di belakang Eliana. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Xander tidak lagi merasa ragu. Ia berhasil mengungkapkan hal yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Dan walaupun Eliana tidak menjawabnya secara jelas, entah bagaimana ia yakin Eliana merasakan hal yang sama. Terutama setelah menangkap pandangan mata perempuan itu ketika ia berbicara pada ayahnya. Meski demikian, datang ke acara di mana laki-laki saingannya berada bukanlah suatu rekreasi.

"Gabia! Ngapain di sini?" seru Eliana ketika melihat sosok Gabia dengan kemeja dan celana bahan. Agak terlalu formal dibandingkan Gabia yang biasa.

"Kerja, nih," katanya seraya menunjukkan name tag reporter yang ia kalungkan.

James yang melihat itu langsung bergabung dengan mereka. "Teman kamu?" tanyanya seraya menoleh pada Gabia.

Yang ditanya mengangguk. "El, kenalin ini atasan gue yang baru, James." Ia menoleh pada bosnya dan memperkenalkan Eliana. "Bang, kenalin ini Eliana. Dia psikiater, lho. Kalo abang ada masalah kejiwaan, bisa konsultasi ke dia. Murah."

Mata James menyipit. Yang butuh konsultasi itu kamu! teriaknya dalam hati. Tapi ia tahan karena tidak mau jadi sasaran bacotnya Gabia.

"Wah-wah, tamu-tamu kehormatan. Sudah dicoba hidangannya?" Tiba-tiba, Aditya menghampiri mereka berempat untuk menyapa. Ia tentu saja ingin menghampiri Eliana. Tapi ia juga mengenali presdir Asia Associated Press di situ. Menurut jadwalnya, ia sudah bersedia diwawancara secara eksklusif oleh pihak Asia Associated Press sebelum acara dimulai.

Eliana, Gabia, dan James membalas sapaan bapak gubernur dengan senyuman. Sementara satu manusia lagi menarik ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman meski matanya sama sekali tersenyum. Ia terlalu malas menanggapi Aditya dengan jenis respon apa pun.

"Saya dengar perusahaan kontraktor yang menerima tender pengadaan taman ini kualitasnya sangat terjamin ya, Pak?" kata Gabia membuka pembicaraan.

"Pastinya. Nggak mungkin kan proyek sebesar ini diserahkan ke perusahaan abal-abal? Ngomong-ngomong kamu..."

"Ah, maaf saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Gabia," ucap Gabia seraya menyerahkan kartu namanya. "Saya reporter baru di Asia Associated Press."

Aditya mengangguk. "James bisa juga ya nyari reporter yang cantik begini. Biasanya perwakilan dari Asia Associated Press semuanya bapak-bapak."

James tertawa garing.

"Mendapat tender proyek besar bukan hal yang mudah. Apalagi dengan cara-cara yang bersih. Iya kan, Pak?" Xander tiba-tiba melanjutkan obrolan soal tender dengan nada sedikit menyindir.

Aditya memperhatikan Xander. Ia merasa pernah melihat Xander sebelumnya namun tidak yakin. "Iya, benar. Justru karena tidak mudah, saya yakin mereka akan berusaha keras membuat proyek ini berhasil," jawabnya dengan tenang dan diplomatis.

"Memang jaminan apa yang bisa bapak berikan? Sudah ada dua proyek besar yang mandek di bawah pimpinan bapak, padahal bapak belum lama menjabat, kan?"

Aditya ingat sekarang. Xander adalah pengacara yang sempat disewa oleh Pak Kusuma, mantan gubernur yang ia gantikan posisinya. "Mungkin maksud kamu proyek pengadaan Rumah Sakit Daerah dan Rumah Susun, ya? Saya bisa saja membela diri dengan memberikan banyak alasan. Tapi berhentinya dua proyek itu memang fakta—"

'BRUK!'

Tiba-tiba seorang anak menabrak kaki Xander dan mengotori celana hitam laki-laki itu dengan es krim vanilla yang ia bawa.

"Tio!" seru Aditya yang kaget dengan kemunculan anaknya yang tiba-tiba. "Aduh, maaf ya. Celananya jadi kotor. Tio! cepat minta maaf!"

Anak yang dipanggil Tio itu menatap Xander dengan wajah sebal. "Week!" Ia menjulurkan lidahnya lalu kabur.

Aditya salah tingkah dengan perlakuan anaknya. "Aduh, maaf ya. Anak saya bandel."

"Nggak apa-apa, cuma celana. Ngomong-ngomong, Pak Aditya ada waktu? Saya ingin bicara secara pribadi." El angkat bicara.

"Oh, maaf ya Eliana. Mungkin setelah acara ini selesai. Saya sudah janji wawancara dengan mereka dulu," jawabnya sembari membuka telapak tangannya pada James dan Gabia.

Eliana mengangguk mengerti. "Iya, nggak apa-apa, Pak. Saya tunggu."

Tak lama kemudian James, Gabia, dan Aditya meninggalkan ruangan untuk melakukan wawancara di tempat terpisah. James berharap mimpi buruknya tidak jadi kenyataan hari ini.
___

"TOS! YEAYY!" seru Shania di sudut ruangan.

Tio ikut merayakan keberhasilannya membalas dendam dengan wajah sumringah. "Om itu jaat sama Papa. Gak suka!"

"Iya. Papa kamu memang orang hebat. Pasti banyak yang mau jahat sama dia," jelas Shania. "Hebat kamu, bisa belain Papa kamu!" ujar Shania bangga.

Meskipun narsis dan banyak tingkah, Shania tahu persis bahwa Aditya adalah sosok pahlawan bagi anaknya. Dan demi apa pun, Shania tidak ingin imej itu tercoreng. Sebab, Shania tahu tidak mudah bagi Aditya untuk menjadi sosok yang bisa selalu dibanggakan oleh Tio. Terutama karena ia terpaksa ditinggal mati istrinya setelah melahirkan Tio. Demi anaknya, Aditya berusaha bangkit dari keterpurukan dan menyimpan kesedihannya dalam-dalam.

BERSAMBUNG
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar