Minggu, 26 April 2020

[Story Blog Tour] CHAPTER 6 - Cold Blooded Bodyguard

Sebelum gue menyelesaikan rangkaian Story Blog Tour (SBT) ini, izinkan gue mengatakan sesuatu yang penting...

TOLONG YA KALIAN-KALIAN YANG HOBI NGASIH MISTERI SEBAGAI BUMBU CERITA, TOLONG DIPIKIRKAN JUGA PENYELESAIANNYA WALAUPUN BUKAN GILIRAN KALIAAAANNNN!!! GUE HAMPIR BOTAK NIH MIKIR BENANG MERAH DARI SEMUA CERITA CHAPTER 1-5!!

Tentang SBT:

Story Blog Tour adalah cerita yang dibuat beramai-ramai. Yang ditentukan di awal hanya genre cerita. Karakter, plot, alur cerita, konflik akan berkembang seiring cerita. Diskusi mengenai kelanjutan cerita dilakukan seminim mungkin agar tidak mengurangi keseruan, efek kejutan dan plot twist yang terjadi pada tiap chapter. Ini adalah chapter terakhir dari cerita kami yang bergenre action, thriller. Silakan baca chapter sebelumnya di sini.

Chapter 3 : (Sai) Mystery
Chapter 4 : (Dhira) Am I Lucifer?
Chapter 5 : (Kenti) Revenge

CHAPTER 6
COLD BLOODED BODYGUARD


Aku mencoba membuka mata dengan susah payah. Namun meski mengerjap beberapa kali, hanya gelap yang terlihat. Napasku juga terasa sesak. Sepertinya kepalaku dibungkus dengan semacam kain hitam. Yang kutahu pasti, tangan dan kakiku diikat. Selain itu aku juga bisa mendengar suara mobil menderu halus. Ketika mulai menyadari keadaan di sekelilingku, perasaan takut langsung menyergapku. Seseorang menculikku dan entah akan membawaku ke mana. Semua kejadian akhir-akhir ini langsung berkelebat di benakku. Kematian demi kematian, tertembaknya Gabia, orang-orang yang menakutkan sekaligus mencurigakan, sampai fakta terakhir yang dibeberkan ayahku lewat telepon. Mungkinkah penculikan ini berhubungan dengan semua kejadian menakutkan belakangan ini?

Aku masih tidak bisa percaya seseorang mengincar jantungku hanya karena ingin balas dendam pada ayahku. Maksudku, itu terlalu absurd, kan? Memangnya dia yakin tidak akan kena tindak pidana setelahnya?

Selagi mobil melaju kencang, aku berusaha menggerakkan tangan dan kakiku, berharap ikatan talinya melonggar. Tapi sepertinya sia-sia.

Tiba-tiba saja terjadi hentakan keras dari bagian sampping mobil dan mobil ini mengerem keras sebelum akhirnya berhenti total. Gara-gara hentakan itu aku hampir terhempas dari jok mobil. Lalu terdengar suara ribut dan orang berkelahi. Aku berusaha sedapat mungkin memperbaiki posisiku supaya terduduk lalu menggesek-gesekkan tanganku yang terikat pada kain yang menutupi wajahku. Membukanya tidak semudah perkiraanku. Meski begitu, aku berhasil menyingkirkan sebagian kain itu sehingga sebelah mataku bisa melihat lagi.

Mobil yang kunaiki sudah kosong. Sepertinya si pengemudi diseret keluar dan dihajar oleh seseorang. Jantungku berdentam sangat keras melihat adegan perkelahian di balik kaca mobil. Aku tidak bisa di sini lama-lama. Aku harus kabur!

Dengan panik aku mencari pegangan pintu dan mencoba membukanya dengan tanganku yang masih belum bisa bergerak bebas. Namun, sebelum berhasil, seseorang telah terlebih dahulu membuka pintu itu. Kebalikan dari keadaan sebelumnya, rasanya jantungku justru berhenti berdetak sama sekali. Apa lagi kali ini?

Sosok laki-laki yang membuka pintu mobil lalu berusaha mengeluarkanku dari mobil. Namun karena aku kesulitan bergerak, ia terpaksa membuka ikatan tangan dan kakiku terlebih dahulu.

"Kamu..." seruku dalam keterkejutan.

"Kagetnya nanti saja! Cepat keluar!"
Ia lalu menarik tanganku dengan kuat dan membawaku ke mobil lain yang berada tidak jauh dari mobil yang kunaiki tadi. Aku duduk di kursi tengah sementara dia duduk di depan, di kursi penumpang. Aku mengusapkan telapak tangan ke pergelangan tanganku yang satunya untuk meredakan nyeri karena ikatan tali yang begitu kuat.

"Ada apa ini sebenarnya?" tanyaku masih dalam kepanikan.

Namun sebelum orang itu menjawab, laki-laki yang menghajar penculikku barusan akhirnya masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi pengemudi. Ia membanting pintu sambil ngedumel tidak jelas. Di wajahnya terdapat percikan darah dari orang yang dihajarnya. Aku bisa melihat wajahnya lewat spion tengah mobil. Namun karena ia memakai kacamata hitam, aku tidak tahu pasti siapa dia.

"Goblok!! Rencananya jadi kacau semua gara-gara lo!" seru laki-laki itu sambil menunjuk-nunjuk laki-laki di sebelahnya dengan kesal. Ia segera tancap gas dan segera meninggalkan tempat itu.

Laki-laki di sebelahnya, yang biasanya memasang tatapan tajam, kini tertunduk bersalah tanpa menjawab apa-apa.

"Udah tau posisi dia lagi bahaya! Bisa-bisanya lo bawa dia ke klinik umum!" omelnya lagi. Sepertinya ia membicarakan soal aku.

"Aku udah boleh tanya ini ada apa?" seruku menyela mereka.

Laki-laki di sebelah Xander akhirnya berhenti mengomel dan menoleh ke belakang. Ia membuka kacamatanya dan tersenyum getir padaku. "Halo El. Lama nggak ketemu."

"Kak Tian!!"
  
Aku memegangi kepalaku yang tiba-tiba sakit. Ini semua terlalu tiba-tiba dan membingungkan. Kak Tian masih hidup, aku harusnya senang. Tapi rasa senang tersebut segera terhapus dengan kegelisahan karena bertambahnya misteri baru.

"Sekarang kita ke mana?" tanya Xander.
Kak Tian sudah kembali ke posisinya semula dan menjawab, "Rumah El."

Mendengar nada bicara mereka yang begitu tenang, kekesalanku tiba-tiba memuncak. Aku menarik kerah baju mereka dari belakang kuat-kuat. Mereka berdua panik karena tidak menduganya sama sekali. "Kalian hutang penjelasan padaku!"

"Oke, El! Lepasin! Tenang dulu, nanti mobilnya nabrak!" seru Kak Tian sebal.
Setelah aku melepasnya, Kak Tian kembali berkata, "Biar si kunyuk ini yang jelasin."

Xander menoleh cepat dan memberikan Kak Tian tatapan membunuh. Tapi akhirnya ia buka mulut. "Nyawamu diincar."
Seolah aku tidak bisa menyimpulkan sendiri dari kejadian belakangan ini, dan juga penculikan barusan. "Tolong katakan lebih spesifik. Aku ini dokter, aku nggak sebodoh itu."

Xander akhirnya menjelaskan bahwa sejak awal memang aku yang diincar. Dia adalah bodyguard yang disewa ayahku untuk menjagaku. Sebagai ketua KPK, ancaman memang makanan sehari-hari ayah. Ancaman terbesar datang dari gubernur kota yang sekarang berkuasa, Pak Kusuma. Menurut pengakuan Xander, kasus korupsi Pak Kusuma sebelum menjadi gubernur sudah banyak tercium oleh ayahku. Namun ayah belum bisa menangkapnya karena tidak cukup bukti. Bukti rekaman Tirta dengan Pak Indra sebagai pejabat pemerintah yang sengaja dimasukkan Xander ke tas Gabia hanya bagian kecilnya saja. Tidak bisa menjadi bukti kuat untuk menahan Pak Kusuma karena hubungannya dengan Pak Indra tidak bisa dijelaskan. Meskipun, sudah jelas pengadaan perumahan mewah yang dimaksud Pak Indra adalah di wilayah kekuasaannya.

"Jadi cerita di klinik itu semua bohong?" rugi aku sudah sempat merinding mendengar kisah tragis sekaligus caranya membunuh orang-orang tanpa turun tangan langsung.

"Sebagian benar," sela Kak Tian. "Yang belum kamu tahu. Kunyuk ini juga kerja untuk Pak Kusuma."

"Hah? Gimana..." aku menoleh pada Xander dengan cepat dan kembali menuntut penjelasan. Saat di rumah sakit, memang aku sempat melihat di TV kalau dia mendampingi Pak Kusuma pada kasus terbarunya.

"Lucifer, ya? Memang sebutan yang sangat cocok untuk pengkhianat!" seru Kak Tian kesal sembari mendekatkan wajahnya pada Xander saat berteriak.

"Hanya orang bodoh yang enggak tau kalau informasi adalah senjata terbaik di dunia yang mulai membusuk ini," balas Xander.

Aku tak terlalu peduli dengan perdebatan mereka. 

"Bia..." seruku lirih. "Aku mau ke tempat Bia!"

Informasi yang kuserap hari ini terlalu banyak. Dan rasanya aku tidak sanggup kalau harus dibawa pulang ke rumah untuk berhadapan dengan ayahku. Dengan ini sudah berapa kebohongan yang disumpalkan ayah padaku? Ingatan soal Kak Tian yang hilang? Keberadaan Kak Tian saat ini? Bodyguard? Ancaman pembunuhan? Donor jantung?

Bisakah aku percaya begitu saja padanya setelah semua kebohongannya selama ini?

Xander yang bekerja untuk dua pihak yang bersebrangan juga sulit dipercaya. Bagaimana kalau sebenarnya kesetiaan justru untuk Pak Kusuma dan menceritakan ini semua untuk menjebakku? Lalu Kak Tian? Kak Tian yang dulu memang bisa dipercaya. Tapi aku tidak tahu Kak Tian yang sekarang. Dia jelas sudah bekerjasama dengan ayah supaya aku tidak tahu menahu soal keberadaannya. Dan selama 20 tahun, dia bahkan tidak mau repot-repot memberitahukan soal dirinya yang selamat dari penculikan.

Sejak awal, hanya Gabia yang bisa kupercaya. meskipun dia keras kepala, jahat, semaunya sendiri dan seringkali tak punya hati, hanya dia yang selalu menceritakan segalanya padaku tanpa ada yang ditutupi. Sekarang dia tak berdaya di rumah sakit.

"Tenang, El. Gabia aman," kata Kak Tian yang sejujurnya sama sekali tidak menenangkan. "Kita benar-benar harus ke rumahmu sekarang."

"Ya. Sekarang semuanya sudah terbongkar. Posisimu yang paling tidak aman. Rumahmu adalah tempat teraman saat ini," ucap Xander.

Aku mencium rahasia yang lain. Dan sebelum sempat aku berpikir lebih jauh, suara tembakan membuat kaca mobil bagian belakang pecah. Kami otomatis merunduk. Kak Tian membanting setir ke kiri, berusaha menghindari tembakan susulan.

Kalau memang mereka enggan untuk memberi tahu, maka akan kucari tahu sendiri.

Tapi sebelum itu, orang-orang brengsek ini harus diberi pelajaran.

Aku memajukan badanku ke jok bagian depan dengan cepat dan merebut pistol dari pinggang Xander. Sejak tadi aku perhatian bagian yang agak menyembul dari jasnya itu. Sebagai seorang bodyguard, tidak aneh kalau dia membawa senjata. Aku lalu membalikkan badan dan mengarahkan tembakan pada mobil di belakang kami. Sasaranku terlihat jelas karena kaca belakang mobil sudah pecah. Satu tembakan sudah cukup meremukkan kaca bagian depan mobil itu dan membuat orang yang di dalamnya merunduk.

"EL!" teriak Xander yang tak bisa mencegah saat pistolnya kuambil.
"JALAN!" teriakku pada Kak Tian. Kak Tian segera menanggapi dengan melepas rem tangan dan menarik persneling lalu tancap gas. Aku masih dalam posisi siap menembak ke arah mobil belakang. Ketika menyadari orang di mobil itu mengangkat kepalanya, aku menembak sekali lagi, memberikan jeda yang cukup untuk kami mengambil jarak dari mobil itu.

"Aku gak tau kamu bisa pakai pistol," ujar Kak Tian dengan nada memuji.

"Aku juga gak tau Kakak masih hidup," balasku dengan nada menyindir.

Aku sebenarnya ingin berusaha menyembunyikan pistol itu di balik baju untuk berjaga-jaga. Sayangnya Xander tidak mungkin tidak menyadari kalau pistol itu sangat berbahaya jika terus dipegang olehku. Dengan agak memaksa, ia meminta pistolnya kembali.

"Ngomong-ngomong, pengejar kita sudah jauh. Boleh minggir ke toilet dulu sebentar?" pintaku.

Kak Tian dan Xander bertukar pandang ragu, namun akhirnya mengiyakan juga permintaanku. Kami berhenti di pom bensin terdekat. Selagi aku ke toilet, mereka sekalian menyempatkan diri untuk isi bensin. Diam-diam, aku menyelinap keluar dari wilayah pom bensin tersebut dan kabur sejauh mungkin.

___

Kunci misteri ini ada dalam genggamanku. Aku selalu menaruh flashdisk yang kuterima dari Gabia di sakuku. Untungnya, tidak ada yang mengambil flashdisk ini. Aku merutuki kebodohan diriku karena tidak terpikirkan untuk melihat isi flashdisk itu bahkan setelah Gabia tertembak. Semua kejadian ini membuat otakku tiba-tiba tumpul.

Aku mencari warnet terdekat dan mengambil bilik yang paling ujung. Setelah yakin aman, aku mendengarkan isi rekaman suara Gabia sepanjang lima menit yang ada di dalam flashdisk tersebut.

"El, kalau kamu mendengar rekaman ini, pastikan kamu sedang sendiri."

Aku menoleh ke sekeliling, memastikan kembali tidak ada yang tertarik dengan apa yang kulakukan. Suara Gabia kembali terdengar. "Ini fakta yang mengerikan. Masahiro membayarnya langsung dengan nyawanya. Kalau kamu terlalu takut untuk mendengarnya, serahkan langsung rekaman ini ke polisi."

Lalu rekaman berhenti sejenak. Aku ragu fakta apa pun bisa lebih mengerikan dari kondisi sekarang. Saat nyawaku memang sudah diujung tanduk. Pergi ke kantor polisi pun belum tentu aku akan selamat di jalan. Suara rekaman berlanjut.

"Sudah kuduga kamu akan tetap mendengarkan, ya. Kamu memang senekat itu. Oke, kumulai ya. Kejadian ini ada setelah pesta pernikahan yang kukacaukan waktu itu. Aku tidak tahu Tirta dapat informasi dari mana, tapi Masahiro dan aku mendapat ancaman pembunuhan berkali-kali. Kami lalu mencari informasi lebih jauh soal Tirta. Dia ternyata bukan penipu kelas teri yang bisa diserang hanya dengan membuka aibnya di pernikahan. Dia pemain kelas kakap yang selalu berhubungan dengan orang pemerintah dan terlibat kasus-kasus besar. Salah satunya dengan Pak Kusuma, ayah Yunita. Seperti yang kamu tahu, aku juga kemudian mendapatkan bukti kuat berupa rekaman suara Tirta dan Pak Indra. Kami tidak tahu itu info dari siapa. Yang jelas, orang itu pasti sudah mengawasi kami sejak lama. Mendapatkan bukti secara cuma-cuma justru membuat kami takut. Jangan-jangan kami memang sengaja dijebak untuk membocorkan informasi itu. Kalau kami membocorkannya, entah apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya.

Masahiro terus membantuku mencari informasi. Namun semakin digali, kami mendapatkan kenyataan yang lebih mengerikan lagi. Tirta dan Pak Kusuma ternyata berniat mengancam ayahmu yang sudah mulai menangkap ekor mereka. Mereka berencana menculik dan mengancam ayahmu dengan mengambil jantungmu agar ayahmu tidak bisa macam-macam. Tapi... Masahiro juga mendapat info besar bahwa data yang akan digunakan untuk mengancam ayahmu, bukan informasi tentang dirimu. Itu adalah informasi pribadiku. Sepertinya ayahmu sengaja melenyapkan keberadaan dirimu untuk menyelamatkanmu dan mengganti informasi soal anaknya dengan dataku."

Jantungku serasa diremas kuat. Jadi itu alasan ayah membuatku lupa keberadaan Kak Tian, tidak berusaha membuatku kembali ke rumah setelah kejadian penculikan itu, dan melarang Kak Tian menghubungiku sama sekali? Aku akhirnya paham mengapa Gabia menerima segala ancaman sampai membahayakan nyawanya seperti ini. Juga soal pernyataan Kak Tian bahwa Gabia sudah aman. Sebab, musuh pun tahu siapa yang seharusnya mereka incar sekarang.

"Masahiro terpaksa membunuh Tirta untuk mendapatkan semua informasi itu. Setelah itu, kami berdua mendapat ancaman dari orang yang berbeda. Yang pertama jelas dari Pak Kusuma, yang masih menganggap aku adalah anak ayahmu. Yang satu lagi... kamu tahu orangnya. Masahiro membunuh Tirta dan dia dendam. Aku tahu Masahiro tak akan bertahan lama karena dia juga punya kuasa. Mungkin saat aku membuat rekaman ini, Masahiro sudah mati. Aku juga mendapat ancaman jelas kalau setelah Masahiro, akulah yang selanjutnya. Dia orang yang sewaktu 2 SMA dulu pernah ku-hack dan kubongkar aibnya. Ingat?"

Kata-kata Gabia masih terus terdengar. Ya, tentu saja aku ingat siapa cewek itu. Cewek yang memanfaatkan kuasanya untuk mengeluarkan Gabia dari sekolah, yang kemudian hidupnya hancur karena Gabia membalas dendam dengan me-hack semua akun sosial media sebagai sumber penghasilan utamanya sebagai seorang influencer. Caci maki yang diterima cewek itu di dunia maya membuat ketenarannya habis dalam sekejap mata.

Yunita.

Kami berdua tentu saja mengenalinya di pesta pernikahannya dengan Tirta. Tapi itu justru membuat Gabia lebih bersemangat menjatuhkan Tirta. Aku sedikit kasihan pada Yunita karena masalahnya dengan Gabia sudah lama berlalu. Kupikir, dia berhak untuk bahagia juga. Saat Gabia berkata kalau ia menyelamatkan Yunita dari kejahatan Tirta, dalam hati aku tahu, Gabia tidak sepenuhnya berniat seperti itu. Melempar dua burung dengan satu batu, itulah yang sebenarnya dipikirkan Gabia.

Cerita Xander memang sebagian benar. Siapa yang dibunuh, siapa yang membunuh. Hanya saja dia membalutnya dengan cerita cinta picisan supaya terdengar meyakinkan. Dia tidak bisa memberitahu alasan Gabia bilang akulah yang sebenarnya diincar karena mungkin dia sendiri yang mengusulkan pemalsuan informasi itu pada ayahku. Bekerja untuk dua pihak, manipulasi, kebohongan, entah apa lagi sebenarnya yang telah dia lakukan sejauh ini? Apa tujuan dia sebenarnya?

Flashdisk dari Gabia tidak hanya berisi rekaman suaranya, ia juga menyertakan semua informasi yang telah ia kumpulkan bersama Masahiro. Aku melihatnya satu-persatu. Aku membuka akses facebook dan mengirim pesan pada Yunita dengan melampirkan salah satu bukti yang dikirim Gabia.

"Temui aku di Jembatan Timah jam 5 kalau tidak ingin info ini kusebar. Datang sendiri."

Setelah menulis itu, aku meninggalkan warnet dan bersiap-siap pergi.

Saat ini Gabia tidak berkutik, dan yang bisa kupercayai sekarang hanyalah diriku sendiri. Aku akan mengurus soal pemalsuan data yang membuat sahabatku hampir mati nanti. Satu-persatu.

___

Aku memilih jembatan agar lebih mudah mengintai lawan. Selain itu, jembatan ini hampir tidak pernah dilalui orang. Dari bawah jembatan, dan tempat yang agak tersembunyi, aku menunggu sosok Yunita. Tak perlu menunggu lama, Yunita berjalan menuju jembatan. Walau dari seberang jalan, aku bisa mengenali sosoknya yang memakai dress sangat norak itu. Aku memperhatikan sekelilingnya. Ketika kurasa aman dan Yunita juga sudah naik ke atas jembatan, aku naik dan menemuinya.

"Apa maumu?" tembaknya langsung.

"Menyerahkan dirimu ke polisi adalah jalan tercepat," kataku santai.

Ekspresi Yunita mengeras, menahan amarahnya. "Temanmu yang seharusnya menyerahkan diri! Di mana dia!?"

Aku tersenyum. Dia belum bisa menemukan Gabia. Setidaknya Gabia aman. Untung sejak awal aku membawa Gabia ke Rumah Sakit kecil di pinggir kota. Rumah Sakit yang aku tahu masih melakukan pendataan pasien secara manual, sehingga Gabia tak akan mudah untuk dilacak.

"Temanku mungkin merugikanmu. Tapi kamu membunuh satu orang dan melakukan percobaan pembunuhan juga," tegasku.

"DIA MEMBUNUH CALON SUAMIKU!"

"Aku tidak datang ke sini untuk berdebat. Serahkan saja dirimu kalau tidak ingin buktinya kusebar sekarang."

Yunita tertawa. "Dengan apa? Ini?" ia mengeluarkan HPku dari sakunya. HP-ku dirampas saat diculik, dan benar dugaanku, pelakunya adalah orang-orangnya juga.

"Aku tidak tahu Papa punya urusan denganmu juga," katanya sembari memutar-mutar HPku di tangannya. "Pagi ini Papa memberiku kabar baik. Papa akhirnya menemukan donor jantung untukku," ia lalu menunjukku sambil tersenyum. "Jantung seorang dokter pastinya lebih sehat dari orang kebanyakan, ya. Beruntungnya aku."

Kali ini wajahku yang mengeras. Aku mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah.

"Loh, kenapa? Takut, ya? Tenang, jantungmu akan terus berdetak, kok. Di sini..." ujarnya seraya menunjuk posisi jantungnya sendiri.

Setelah posisiku cukup jauh darinya, aku mengeluarkan alat rekam kecil dari sakuku dan menunjukkan lampu kecil yang berpendar merah, menandakan rekaman sudah berjalan sejak tadi. Semakin senyumku mengembang, wajah Yunita berubah merah menahan marah. Aku memang tidak bisa mencari HP pengganti dalam kondisi darurat seperti hari ini. Tetapi kalau hanya alat rekam kecil seperti ini sangat mudah untuk didapatkan. Aku menukarnya dengan kalung yang kupakai, seharga 10 kali lipat dari alat rekam sialan ini. Walaupun begitu aku sangat membutuhkannya. Bukti dari Gabia sama sekali tidak cukup kuat meski aku membawanya ke polisi. Aku harus menciptakan bukti itu sendiri.

Aku berbalik dan berlari secepat mungkin untuk menjauh dari situ. Di balik gedung di samping jembatan ini, sudah ada taksi yang kupanggil dan kuminta menunggu.
Sayangnya, langkahku terhenti karena suara desingan terdengar dan tak sampai satu detik, lengan atasku tertembus timah panas.

"Jangan sampai kena badannya! Goblok! Kita masih butuh jantungnya!" maki Yunita pada salah seorang suruhannya. Tampaknya saat kami berdebat, orang itu naik tangga jembatan dan bersembunyi di ujung jembatan.

Walaupun lenganku terasa panas membakar dan nyeri luar biasa, aku menggigit bibir untuk menahan sakit dan memaksakan diri untuk kembali berlari. Aku tidak menyangka Yunita akan menyuruh orangnya melakukan hal itu di ruang terbuka seperti ini. Terlalu berisiko.

Aku hampir sampai ujung jembatan ketika desingan kedua terdengar dan kali ini betisku yang kena. Aku jatuh terjerembab dan tak mampu bangkit melanjutkan lariku.

"ELIANAAAAA!!" itu suara Xander. Dia yang berada di bawah jembatan langsung mengarahkan pistolnya pada penyerangku dan menembak langsung. Aku bisa mendengar teriakan keras dari sasarannya. Tembakannya tepat. Walaupun sepertinya dia belum mati.

Kak Tian naik ke atas jembatan dan segera membopongku yang sudah roboh tak berdaya. Napasku memburu dan keringat dingin mengucur deras. Wajahku pasti sudah sepucat orang mati karena banyak mengeluarkan darah. Setelah itu semuanya kembali gelap.

_____

"El! udah sadar!?"

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Hanya perlu waktu sedetik untuk tersenyum setelah mendengar suara yang begitu akrab di telingaku itu. "Gabia..."

"Wah! Gila sih! Heroik banget lo! Sumpah apa yang gue lakuin gak ada apa-apanya dibanding apa yang lo lakuin kemarin!" Gabia nyerocos tanpa henti. Sejujurnya aku ingin menutup kedua telingaku. Tapi satu tanganku masih belum bisa digerakkan, sehingga aku hanya melakukan perbuatan sia-sia dengan menutup sebelah telingaku.

Sekali ini, saja. Aku justru berharap Gabia masih sakit dan nggak banyak omong.

Keributan Gabia memancing tiga orang laki-laki memasuki kamar ini. Kak Tian, Xander, dan... ayahku.

"Eliana..." suara ayah lirih menyebutkan namaku. "Maafkan Ayah. Ayah sudah—"

"Gak usah minta maaf. Yang seharusnya minta maaf dia, kan?" Aku mengangkat daguku untuk menunjuk seseorang. "Cuma kamu yang bisa memikirkan rencana segila itu," seruku sembari menatapnya tajam.

Xander membalas tatapanku sama tajamnya. "Ya," katanya dingin. "Untuk melindungi nyawamu, cara apa pun akan kulakukan. Itu tugasku."

Mataku menyipit sebal. Entah ayah mendapat bodyguard berdarah dingin ini dari belahan dunia mana.

"Udah-udah," kata Gabia menenangkan. Di luar dugaan, dia menanggapinya biasa saja. Padahal nyawanya berkali-kali terancam karena Xander.

"Dia udah minta maaf waktu gue di rumah sakit, kok. Lagian, walaupun berkali-kali diancam, tapi gue nggak pernah sampai mati karena ternyata selama ini Tian ngelindungin gue. Hahaha. Baru tau gue rasanya jadi orang penting, tuh."

Manusia gila ini. Nyawanya di ujung tanduk masih sempat-sempatnya mikir begitu. Tapi akhirnya aku menghela napas lega. Mungkin ini salah satu sifat Bia yang kusukai. Asal bisa memaklumi alasannya, dia bisa dengan mudah memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain padanya.

"Berkat kamu, kami berhasil memenjarakan Yunita dan Bapaknya, lho. Walaupun kamu sampai babak belur gitu, ternyata semuanya nggak sia-sia." Kak Tian mengatakan itu dengan wajahnya yang sumringah. Lalu kedua sisi perutnya langsung disikut bersamaan oleh Xander dan ayahku.

Gabia tertawa keras dan aku terkikik kecil karena badanku masih sakit semua kalau terlalu banyak menggunakan urat di wajah untuk tertawa.

Beberapa saat kemudian, ketiga laki-laki itu keluar dan membiarkanku lanjut beristirahat. Gabia masih setia menemaniku di kamar. Setelah suasananya agak tenang, Gabia mendekatkan wajahnya padaku dengan menopang dagu, dengan posisi sikut di atas kasur. "Beruntung ya elo tuh..." katanya sambil tersenyum penuh arti.

"Apaan, sih!?"

"Bertindak sejauh itu buat ngelindungin elo. Gue rasa bodyguard nggak dibayar semahal itu, deh..."

"Maksud lo apa, sih?"

"Dia mempertaruhkan nyawa loh waktu pura-pura kerjasama sama Pak Kusuma. Bayangin aja kalau sampai ketauan. Dia juga datang langsung ke klinik lo, kan? Kasih peringatan supaya lo menjauh dari gue sama Masahiro yang posisinya lagi gawat. Supaya lo tetep aman."

Aku mengerutkan kening. Kalo pernyataannya dia yang bikin merinding itu adalah tanda untuk membuatku menjauh, dia perlu belajar lagi bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan benar.

"Gue tetep nggak paham."

Gabia tersenyum lagi. "Kode etik bodyguard kayak dia itu menyembunyikan diri supaya yang dilindungi nggak terlibat lebih jauh sama masalah apa pun yang ada. Kayak Tian, gue mana tau dia ternyata ngelindungi gue dari belakang. Dia akhirnya terpaksa buka identitasnya setelah gue terlibat terlalu jauh gara-gara kebodohan gue sendiri. Yah, sama Masahiro juga, sih. Tapi dalam kasus lo, beda. Dia melanggar kode etik itu demi lo, tau nggak?"

Omongan Gabia terputus saat seseorang masuk ke kamar. Xander masuk dan membawakan beberapa botol jus buah yang sepertinya ia beli dari minimarket lantai bawah.

"Oke, gue capek, mau pulang duluan. Lo gantiin gue jaga El, ya! Awas kalau dia sampai kenapa-napa!" ancam Gabia sambil menunjuk Xander. Gabia bangkit dari kursinya dan menyambar tasnya. Ia keluar dari kamar tanpa aku sempat mengucapkan apa-apa.

Xander menatap kepergian Gabia dengan wajah datarnya. Ia lalu meletakkan jus buah itu di atas meja dan duduk di kursi tempat Gabia duduk tadi. Aku menatapnya dan dia balik menatapku—masih dengan wajah datarnya. Kami sama-sama diam, tidak tahu harus mengatakan apa, atau mulai dari mana.

TAMAT 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar