TOLONG YA KALIAN-KALIAN YANG HOBI NGASIH MISTERI SEBAGAI BUMBU CERITA, TOLONG DIPIKIRKAN JUGA PENYELESAIANNYA WALAUPUN BUKAN GILIRAN KALIAAAANNNN!!! GUE HAMPIR BOTAK NIH MIKIR BENANG MERAH DARI SEMUA CERITA CHAPTER 1-5!!
Tentang SBT:
Story Blog Tour adalah cerita yang dibuat beramai-ramai. Yang ditentukan di awal hanya genre cerita. Karakter, plot, alur cerita, konflik akan berkembang seiring cerita. Diskusi mengenai kelanjutan cerita dilakukan seminim mungkin agar tidak mengurangi keseruan, efek kejutan dan plot twist yang terjadi pada tiap chapter. Ini adalah chapter terakhir dari cerita kami yang bergenre action, thriller. Silakan baca chapter sebelumnya di sini.
Chapter 1 : (Zu) Capable of Destroying Anything
Chapter 2 : (Saa) The One Who’s Watching From Afar
Chapter 3 : (Sai) Mystery
Chapter 4 : (Dhira) Am I Lucifer?
Chapter 5 : (Kenti) Revenge
CHAPTER 6
COLD BLOODED BODYGUARD
Aku mencoba membuka mata dengan susah payah. Namun meski
mengerjap beberapa kali, hanya gelap yang terlihat. Napasku juga terasa sesak.
Sepertinya kepalaku dibungkus dengan semacam kain hitam. Yang kutahu pasti,
tangan dan kakiku diikat. Selain itu aku juga bisa mendengar suara mobil
menderu halus. Ketika mulai menyadari keadaan di sekelilingku, perasaan takut
langsung menyergapku. Seseorang menculikku dan entah akan membawaku ke mana.
Semua kejadian akhir-akhir ini langsung berkelebat di benakku. Kematian demi
kematian, tertembaknya Gabia, orang-orang yang menakutkan sekaligus
mencurigakan, sampai fakta terakhir yang dibeberkan ayahku lewat telepon.
Mungkinkah penculikan ini berhubungan dengan semua kejadian menakutkan
belakangan ini?
Aku masih tidak bisa percaya seseorang mengincar jantungku
hanya karena ingin balas dendam pada ayahku. Maksudku, itu terlalu absurd, kan?
Memangnya dia yakin tidak akan kena tindak pidana setelahnya?
Selagi mobil melaju kencang, aku berusaha menggerakkan
tangan dan kakiku, berharap ikatan talinya melonggar. Tapi sepertinya sia-sia.
Tiba-tiba saja terjadi hentakan keras dari bagian sampping
mobil dan mobil ini mengerem keras sebelum akhirnya berhenti total. Gara-gara
hentakan itu aku hampir terhempas dari jok mobil. Lalu terdengar suara ribut
dan orang berkelahi. Aku berusaha sedapat mungkin memperbaiki posisiku supaya
terduduk lalu menggesek-gesekkan tanganku yang terikat pada kain yang menutupi
wajahku. Membukanya tidak semudah perkiraanku. Meski begitu, aku berhasil menyingkirkan
sebagian kain itu sehingga sebelah mataku bisa melihat lagi.
Mobil yang kunaiki sudah kosong. Sepertinya si pengemudi
diseret keluar dan dihajar oleh seseorang. Jantungku berdentam sangat keras
melihat adegan perkelahian di balik kaca mobil. Aku tidak bisa di sini
lama-lama. Aku harus kabur!
Dengan panik aku mencari pegangan pintu dan mencoba
membukanya dengan tanganku yang masih belum bisa bergerak bebas. Namun, sebelum
berhasil, seseorang telah terlebih dahulu membuka pintu itu. Kebalikan dari keadaan
sebelumnya, rasanya jantungku justru berhenti berdetak sama sekali. Apa lagi
kali ini?
Sosok laki-laki yang membuka pintu mobil lalu berusaha
mengeluarkanku dari mobil. Namun karena aku kesulitan bergerak, ia terpaksa
membuka ikatan tangan dan kakiku terlebih dahulu.
"Kamu..." seruku dalam keterkejutan.
"Kagetnya nanti saja! Cepat keluar!"
Ia lalu menarik tanganku dengan kuat dan membawaku ke mobil
lain yang berada tidak jauh dari mobil yang kunaiki tadi. Aku duduk di kursi
tengah sementara dia duduk di depan, di kursi penumpang. Aku mengusapkan
telapak tangan ke pergelangan tanganku yang satunya untuk meredakan nyeri
karena ikatan tali yang begitu kuat.
"Ada apa ini sebenarnya?" tanyaku masih dalam
kepanikan.
Namun sebelum orang itu menjawab, laki-laki yang menghajar
penculikku barusan akhirnya masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi
pengemudi. Ia membanting pintu sambil ngedumel tidak jelas. Di wajahnya
terdapat percikan darah dari orang yang dihajarnya. Aku bisa melihat wajahnya
lewat spion tengah mobil. Namun karena ia memakai kacamata hitam, aku tidak
tahu pasti siapa dia.
"Goblok!! Rencananya jadi kacau semua gara-gara
lo!" seru laki-laki itu sambil menunjuk-nunjuk laki-laki di sebelahnya
dengan kesal. Ia segera tancap gas dan segera meninggalkan tempat itu.
Laki-laki di sebelahnya, yang biasanya memasang tatapan
tajam, kini tertunduk bersalah tanpa menjawab apa-apa.
"Udah tau posisi dia lagi bahaya! Bisa-bisanya lo bawa
dia ke klinik umum!" omelnya lagi. Sepertinya ia membicarakan soal aku.
"Aku udah boleh tanya ini ada apa?" seruku menyela
mereka.
Laki-laki di sebelah Xander akhirnya berhenti mengomel dan
menoleh ke belakang. Ia membuka kacamatanya dan tersenyum getir padaku.
"Halo El. Lama nggak ketemu."
"Kak Tian!!"
Aku memegangi kepalaku yang tiba-tiba sakit. Ini semua
terlalu tiba-tiba dan membingungkan. Kak Tian masih hidup, aku harusnya senang.
Tapi rasa senang tersebut segera terhapus dengan kegelisahan karena
bertambahnya misteri baru.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Xander.
Kak Tian sudah kembali ke posisinya semula dan menjawab,
"Rumah El."
Mendengar nada bicara mereka yang begitu tenang, kekesalanku
tiba-tiba memuncak. Aku menarik kerah baju mereka dari belakang kuat-kuat.
Mereka berdua panik karena tidak menduganya sama sekali. "Kalian hutang
penjelasan padaku!"
"Oke, El! Lepasin! Tenang dulu, nanti mobilnya
nabrak!" seru Kak Tian sebal.
Setelah aku melepasnya, Kak Tian kembali berkata, "Biar
si kunyuk ini yang jelasin."
Xander menoleh cepat dan memberikan Kak Tian tatapan
membunuh. Tapi akhirnya ia buka mulut. "Nyawamu diincar."
Seolah aku tidak bisa menyimpulkan sendiri dari kejadian
belakangan ini, dan juga penculikan barusan. "Tolong katakan lebih
spesifik. Aku ini dokter, aku nggak sebodoh itu."
Xander akhirnya menjelaskan bahwa sejak awal memang aku yang
diincar. Dia adalah bodyguard yang disewa ayahku untuk menjagaku. Sebagai ketua
KPK, ancaman memang makanan sehari-hari ayah. Ancaman terbesar datang dari
gubernur kota yang sekarang berkuasa, Pak Kusuma. Menurut pengakuan Xander,
kasus korupsi Pak Kusuma sebelum menjadi gubernur sudah banyak tercium oleh
ayahku. Namun ayah belum bisa menangkapnya karena tidak cukup bukti. Bukti
rekaman Tirta dengan Pak Indra sebagai pejabat pemerintah yang sengaja
dimasukkan Xander ke tas Gabia hanya bagian kecilnya saja. Tidak bisa menjadi bukti
kuat untuk menahan Pak Kusuma karena hubungannya dengan Pak Indra tidak bisa
dijelaskan. Meskipun, sudah jelas pengadaan perumahan mewah yang dimaksud Pak
Indra adalah di wilayah kekuasaannya.
"Jadi cerita di klinik itu semua bohong?" rugi aku
sudah sempat merinding mendengar kisah tragis sekaligus caranya membunuh
orang-orang tanpa turun tangan langsung.
"Sebagian benar," sela Kak Tian. "Yang belum
kamu tahu. Kunyuk ini juga kerja untuk Pak Kusuma."
"Hah? Gimana..." aku menoleh pada Xander dengan cepat
dan kembali menuntut penjelasan. Saat di rumah sakit, memang aku sempat melihat
di TV kalau dia mendampingi Pak Kusuma pada kasus terbarunya.
"Lucifer, ya? Memang sebutan yang sangat cocok untuk
pengkhianat!" seru Kak Tian kesal sembari mendekatkan wajahnya pada Xander
saat berteriak.
"Hanya orang bodoh yang enggak tau kalau informasi
adalah senjata terbaik di dunia yang mulai membusuk ini," balas
Xander.
Aku tak terlalu peduli dengan perdebatan mereka.
Aku tak terlalu peduli dengan perdebatan mereka.
"Bia..." seruku lirih. "Aku mau ke tempat
Bia!"
Informasi yang kuserap hari ini terlalu banyak. Dan rasanya
aku tidak sanggup kalau harus dibawa pulang ke rumah untuk berhadapan dengan
ayahku. Dengan ini sudah berapa kebohongan yang disumpalkan ayah padaku?
Ingatan soal Kak Tian yang hilang? Keberadaan Kak Tian saat ini? Bodyguard?
Ancaman pembunuhan? Donor jantung?
Bisakah aku percaya begitu saja padanya setelah semua
kebohongannya selama ini?
Xander yang bekerja untuk dua pihak yang bersebrangan juga
sulit dipercaya. Bagaimana kalau sebenarnya kesetiaan justru untuk Pak Kusuma
dan menceritakan ini semua untuk menjebakku? Lalu Kak Tian? Kak Tian yang dulu
memang bisa dipercaya. Tapi aku tidak tahu Kak Tian yang sekarang. Dia jelas
sudah bekerjasama dengan ayah supaya aku tidak tahu menahu soal keberadaannya.
Dan selama 20 tahun, dia bahkan tidak mau repot-repot memberitahukan soal dirinya
yang selamat dari penculikan.
Sejak awal, hanya Gabia yang bisa kupercaya. meskipun dia
keras kepala, jahat, semaunya sendiri dan seringkali tak punya hati, hanya dia
yang selalu menceritakan segalanya padaku tanpa ada yang ditutupi. Sekarang dia
tak berdaya di rumah sakit.
"Tenang, El. Gabia aman," kata Kak Tian yang
sejujurnya sama sekali tidak menenangkan. "Kita benar-benar harus ke
rumahmu sekarang."
"Ya. Sekarang semuanya sudah terbongkar. Posisimu yang
paling tidak aman. Rumahmu adalah tempat teraman saat ini," ucap Xander.
Aku mencium rahasia yang lain. Dan sebelum sempat aku
berpikir lebih jauh, suara tembakan membuat kaca mobil bagian belakang pecah.
Kami otomatis merunduk. Kak Tian membanting setir ke kiri, berusaha menghindari
tembakan susulan.
Kalau memang mereka enggan untuk memberi tahu, maka akan
kucari tahu sendiri.
Tapi sebelum itu, orang-orang brengsek ini harus diberi
pelajaran.
Aku memajukan badanku ke jok bagian depan dengan cepat dan
merebut pistol dari pinggang Xander. Sejak tadi aku perhatian bagian yang agak
menyembul dari jasnya itu. Sebagai seorang bodyguard, tidak aneh kalau dia
membawa senjata. Aku lalu membalikkan badan dan mengarahkan tembakan pada mobil
di belakang kami. Sasaranku terlihat jelas karena kaca belakang mobil sudah
pecah. Satu tembakan sudah cukup meremukkan kaca bagian depan mobil itu dan
membuat orang yang di dalamnya merunduk.
"EL!" teriak Xander yang tak bisa mencegah saat
pistolnya kuambil.
"JALAN!" teriakku pada Kak Tian. Kak Tian segera
menanggapi dengan melepas rem tangan dan menarik persneling lalu tancap gas.
Aku masih dalam posisi siap menembak ke arah mobil belakang. Ketika menyadari
orang di mobil itu mengangkat kepalanya, aku menembak sekali lagi, memberikan
jeda yang cukup untuk kami mengambil jarak dari mobil itu.
"Aku gak tau kamu bisa pakai pistol," ujar Kak
Tian dengan nada memuji.
"Aku juga gak tau Kakak masih hidup," balasku
dengan nada menyindir.
Aku sebenarnya ingin berusaha menyembunyikan pistol itu di
balik baju untuk berjaga-jaga. Sayangnya Xander tidak mungkin tidak menyadari
kalau pistol itu sangat berbahaya jika terus dipegang olehku. Dengan agak
memaksa, ia meminta pistolnya kembali.
"Ngomong-ngomong, pengejar kita sudah jauh. Boleh
minggir ke toilet dulu sebentar?" pintaku.
Kak Tian dan Xander bertukar pandang ragu, namun akhirnya
mengiyakan juga permintaanku. Kami berhenti di pom bensin terdekat. Selagi aku
ke toilet, mereka sekalian menyempatkan diri untuk isi bensin. Diam-diam, aku
menyelinap keluar dari wilayah pom bensin tersebut dan kabur sejauh mungkin.
___
Kunci misteri ini ada dalam genggamanku. Aku selalu menaruh
flashdisk yang kuterima dari Gabia di sakuku. Untungnya, tidak ada yang
mengambil flashdisk ini. Aku merutuki kebodohan diriku karena tidak terpikirkan
untuk melihat isi flashdisk itu bahkan setelah Gabia tertembak. Semua kejadian
ini membuat otakku tiba-tiba tumpul.
Aku mencari warnet terdekat dan mengambil bilik yang paling
ujung. Setelah yakin aman, aku mendengarkan isi rekaman suara Gabia sepanjang
lima menit yang ada di dalam flashdisk tersebut.
"El, kalau kamu mendengar rekaman ini, pastikan kamu
sedang sendiri."
Aku menoleh ke sekeliling, memastikan kembali tidak ada yang
tertarik dengan apa yang kulakukan. Suara Gabia kembali terdengar. "Ini
fakta yang mengerikan. Masahiro membayarnya langsung dengan nyawanya. Kalau
kamu terlalu takut untuk mendengarnya, serahkan langsung rekaman ini ke
polisi."
Lalu rekaman berhenti sejenak. Aku ragu fakta apa pun bisa
lebih mengerikan dari kondisi sekarang. Saat nyawaku memang sudah diujung
tanduk. Pergi ke kantor polisi pun belum tentu aku akan selamat di jalan. Suara
rekaman berlanjut.
"Sudah kuduga kamu akan tetap mendengarkan, ya. Kamu
memang senekat itu. Oke, kumulai ya. Kejadian ini ada setelah pesta pernikahan
yang kukacaukan waktu itu. Aku tidak tahu Tirta dapat informasi dari mana, tapi
Masahiro dan aku mendapat ancaman pembunuhan berkali-kali. Kami lalu mencari informasi
lebih jauh soal Tirta. Dia ternyata bukan penipu kelas teri yang bisa diserang
hanya dengan membuka aibnya di pernikahan. Dia pemain kelas kakap yang selalu
berhubungan dengan orang pemerintah dan terlibat kasus-kasus besar. Salah
satunya dengan Pak Kusuma, ayah Yunita. Seperti yang kamu tahu, aku juga
kemudian mendapatkan bukti kuat berupa rekaman suara Tirta dan Pak Indra. Kami
tidak tahu itu info dari siapa. Yang jelas, orang itu pasti sudah mengawasi
kami sejak lama. Mendapatkan bukti secara cuma-cuma justru membuat kami takut.
Jangan-jangan kami memang sengaja dijebak untuk membocorkan informasi itu.
Kalau kami membocorkannya, entah apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya.
Masahiro terus membantuku mencari informasi. Namun semakin
digali, kami mendapatkan kenyataan yang lebih mengerikan lagi. Tirta dan Pak
Kusuma ternyata berniat mengancam ayahmu yang sudah mulai menangkap ekor
mereka. Mereka berencana menculik dan mengancam ayahmu dengan mengambil
jantungmu agar ayahmu tidak bisa macam-macam. Tapi... Masahiro juga mendapat
info besar bahwa data yang akan digunakan untuk mengancam ayahmu, bukan
informasi tentang dirimu. Itu adalah informasi pribadiku. Sepertinya ayahmu
sengaja melenyapkan keberadaan dirimu untuk menyelamatkanmu dan mengganti
informasi soal anaknya dengan dataku."
Jantungku serasa diremas kuat. Jadi itu alasan ayah
membuatku lupa keberadaan Kak Tian, tidak berusaha membuatku kembali ke rumah
setelah kejadian penculikan itu, dan melarang Kak Tian menghubungiku sama
sekali? Aku akhirnya paham mengapa Gabia menerima segala ancaman sampai
membahayakan nyawanya seperti ini. Juga soal pernyataan Kak Tian bahwa Gabia
sudah aman. Sebab, musuh pun tahu siapa yang seharusnya mereka incar sekarang.
"Masahiro terpaksa membunuh Tirta untuk mendapatkan
semua informasi itu. Setelah itu, kami berdua mendapat ancaman dari orang yang
berbeda. Yang pertama jelas dari Pak Kusuma, yang masih menganggap aku adalah
anak ayahmu. Yang satu lagi... kamu tahu orangnya. Masahiro membunuh Tirta dan
dia dendam. Aku tahu Masahiro tak akan bertahan lama karena dia juga punya
kuasa. Mungkin saat aku membuat rekaman ini, Masahiro sudah mati. Aku juga
mendapat ancaman jelas kalau setelah Masahiro, akulah yang selanjutnya. Dia
orang yang sewaktu 2 SMA dulu pernah ku-hack dan kubongkar aibnya. Ingat?"
Kata-kata Gabia masih terus terdengar. Ya, tentu saja aku
ingat siapa cewek itu. Cewek yang memanfaatkan kuasanya untuk mengeluarkan
Gabia dari sekolah, yang kemudian hidupnya hancur karena Gabia membalas dendam
dengan me-hack semua akun sosial media sebagai sumber penghasilan utamanya
sebagai seorang influencer. Caci maki yang diterima cewek itu di dunia maya
membuat ketenarannya habis dalam sekejap mata.
Yunita.
Kami berdua tentu saja mengenalinya di pesta pernikahannya
dengan Tirta. Tapi itu justru membuat Gabia lebih bersemangat menjatuhkan
Tirta. Aku sedikit kasihan pada Yunita karena masalahnya dengan Gabia sudah
lama berlalu. Kupikir, dia berhak untuk bahagia juga. Saat Gabia berkata kalau
ia menyelamatkan Yunita dari kejahatan Tirta, dalam hati aku tahu, Gabia tidak
sepenuhnya berniat seperti itu. Melempar dua burung dengan satu batu, itulah
yang sebenarnya dipikirkan Gabia.
Cerita Xander memang sebagian benar. Siapa yang dibunuh,
siapa yang membunuh. Hanya saja dia membalutnya dengan cerita cinta picisan
supaya terdengar meyakinkan. Dia tidak bisa memberitahu alasan Gabia bilang
akulah yang sebenarnya diincar karena mungkin dia sendiri yang mengusulkan pemalsuan
informasi itu pada ayahku. Bekerja untuk dua pihak, manipulasi, kebohongan,
entah apa lagi sebenarnya yang telah dia lakukan sejauh ini? Apa tujuan dia
sebenarnya?
Flashdisk dari Gabia tidak hanya berisi rekaman suaranya, ia
juga menyertakan semua informasi yang telah ia kumpulkan bersama Masahiro. Aku
melihatnya satu-persatu. Aku membuka akses facebook dan mengirim pesan pada
Yunita dengan melampirkan salah satu bukti yang dikirim Gabia.
"Temui aku di Jembatan Timah jam 5 kalau tidak ingin
info ini kusebar. Datang sendiri."
Setelah menulis itu, aku meninggalkan warnet dan
bersiap-siap pergi.
Saat ini Gabia tidak berkutik, dan yang bisa kupercayai
sekarang hanyalah diriku sendiri. Aku akan mengurus soal pemalsuan data yang
membuat sahabatku hampir mati nanti. Satu-persatu.
___
Aku memilih jembatan agar lebih mudah mengintai lawan.
Selain itu, jembatan ini hampir tidak pernah dilalui orang. Dari bawah
jembatan, dan tempat yang agak tersembunyi, aku menunggu sosok Yunita. Tak
perlu menunggu lama, Yunita berjalan menuju jembatan. Walau dari seberang
jalan, aku bisa mengenali sosoknya yang memakai dress sangat norak itu. Aku
memperhatikan sekelilingnya. Ketika kurasa aman dan Yunita juga sudah naik ke
atas jembatan, aku naik dan menemuinya.
"Apa maumu?" tembaknya langsung.
"Menyerahkan dirimu ke polisi adalah jalan
tercepat," kataku santai.
Ekspresi Yunita mengeras, menahan amarahnya. "Temanmu
yang seharusnya menyerahkan diri! Di mana dia!?"
Aku tersenyum. Dia belum bisa menemukan Gabia. Setidaknya
Gabia aman. Untung sejak awal aku membawa Gabia ke Rumah Sakit kecil di pinggir
kota. Rumah Sakit yang aku tahu masih melakukan pendataan pasien secara manual,
sehingga Gabia tak akan mudah untuk dilacak.
"Temanku mungkin merugikanmu. Tapi kamu membunuh satu
orang dan melakukan percobaan pembunuhan juga," tegasku.
"DIA MEMBUNUH CALON SUAMIKU!"
"Aku tidak datang ke sini untuk berdebat. Serahkan saja
dirimu kalau tidak ingin buktinya kusebar sekarang."
Yunita tertawa. "Dengan apa? Ini?" ia mengeluarkan
HPku dari sakunya. HP-ku dirampas saat diculik, dan benar dugaanku, pelakunya
adalah orang-orangnya juga.
"Aku tidak tahu Papa punya urusan denganmu juga,"
katanya sembari memutar-mutar HPku di tangannya. "Pagi ini Papa memberiku
kabar baik. Papa akhirnya menemukan donor jantung untukku," ia lalu
menunjukku sambil tersenyum. "Jantung seorang dokter pastinya lebih sehat
dari orang kebanyakan, ya. Beruntungnya aku."
Kali ini wajahku yang mengeras. Aku mundur selangkah, dua
langkah, tiga langkah.
"Loh, kenapa? Takut, ya? Tenang, jantungmu akan terus
berdetak, kok. Di sini..." ujarnya seraya menunjuk posisi jantungnya
sendiri.
Setelah posisiku cukup jauh darinya, aku mengeluarkan alat
rekam kecil dari sakuku dan menunjukkan lampu kecil yang berpendar merah,
menandakan rekaman sudah berjalan sejak tadi. Semakin senyumku mengembang,
wajah Yunita berubah merah menahan marah. Aku memang tidak bisa mencari HP
pengganti dalam kondisi darurat seperti hari ini. Tetapi kalau hanya alat rekam
kecil seperti ini sangat mudah untuk didapatkan. Aku menukarnya dengan kalung
yang kupakai, seharga 10 kali lipat dari alat rekam sialan ini. Walaupun begitu
aku sangat membutuhkannya. Bukti dari Gabia sama sekali tidak cukup kuat meski
aku membawanya ke polisi. Aku harus menciptakan bukti itu sendiri.
Aku berbalik dan berlari secepat mungkin untuk menjauh dari
situ. Di balik gedung di samping jembatan ini, sudah ada taksi yang kupanggil
dan kuminta menunggu.
Sayangnya, langkahku terhenti karena suara desingan
terdengar dan tak sampai satu detik, lengan atasku tertembus timah panas.
"Jangan sampai kena badannya! Goblok! Kita masih butuh
jantungnya!" maki Yunita pada salah seorang suruhannya. Tampaknya saat
kami berdebat, orang itu naik tangga jembatan dan bersembunyi di ujung
jembatan.
Walaupun lenganku terasa panas membakar dan nyeri luar
biasa, aku menggigit bibir untuk menahan sakit dan memaksakan diri untuk
kembali berlari. Aku tidak menyangka Yunita akan menyuruh orangnya melakukan
hal itu di ruang terbuka seperti ini. Terlalu berisiko.
Aku hampir sampai ujung jembatan ketika desingan kedua
terdengar dan kali ini betisku yang kena. Aku jatuh terjerembab dan tak mampu
bangkit melanjutkan lariku.
"ELIANAAAAA!!" itu suara Xander. Dia yang berada
di bawah jembatan langsung mengarahkan pistolnya pada penyerangku dan menembak
langsung. Aku bisa mendengar teriakan keras dari sasarannya. Tembakannya tepat.
Walaupun sepertinya dia belum mati.
Kak Tian naik ke atas jembatan dan segera membopongku yang
sudah roboh tak berdaya. Napasku memburu dan keringat dingin mengucur deras.
Wajahku pasti sudah sepucat orang mati karena banyak mengeluarkan darah.
Setelah itu semuanya kembali gelap.
_____
"El! udah sadar!?"
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Hanya perlu waktu
sedetik untuk tersenyum setelah mendengar suara yang begitu akrab di telingaku
itu. "Gabia..."
"Wah! Gila sih! Heroik banget lo! Sumpah apa yang gue
lakuin gak ada apa-apanya dibanding apa yang lo lakuin kemarin!" Gabia
nyerocos tanpa henti. Sejujurnya aku ingin menutup kedua telingaku. Tapi satu
tanganku masih belum bisa digerakkan, sehingga aku hanya melakukan perbuatan
sia-sia dengan menutup sebelah telingaku.
Sekali ini, saja. Aku justru berharap Gabia masih sakit dan
nggak banyak omong.
Keributan Gabia memancing tiga orang laki-laki memasuki
kamar ini. Kak Tian, Xander, dan... ayahku.
"Eliana..." suara ayah lirih menyebutkan namaku.
"Maafkan Ayah. Ayah sudah—"
"Gak usah minta maaf. Yang seharusnya minta maaf dia,
kan?" Aku mengangkat daguku untuk menunjuk seseorang. "Cuma kamu yang
bisa memikirkan rencana segila itu," seruku sembari menatapnya tajam.
Xander membalas tatapanku sama tajamnya. "Ya,"
katanya dingin. "Untuk melindungi nyawamu, cara apa pun akan kulakukan.
Itu tugasku."
Mataku menyipit sebal. Entah ayah mendapat bodyguard
berdarah dingin ini dari belahan dunia mana.
"Udah-udah," kata Gabia menenangkan. Di luar
dugaan, dia menanggapinya biasa saja. Padahal nyawanya berkali-kali terancam
karena Xander.
"Dia udah minta maaf waktu gue di rumah sakit, kok.
Lagian, walaupun berkali-kali diancam, tapi gue nggak pernah sampai mati karena
ternyata selama ini Tian ngelindungin gue. Hahaha. Baru tau gue rasanya jadi
orang penting, tuh."
Manusia gila ini. Nyawanya di ujung tanduk masih
sempat-sempatnya mikir begitu. Tapi akhirnya aku menghela napas lega. Mungkin
ini salah satu sifat Bia yang kusukai. Asal bisa memaklumi alasannya, dia bisa
dengan mudah memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain padanya.
"Berkat kamu, kami berhasil memenjarakan Yunita dan
Bapaknya, lho. Walaupun kamu sampai babak belur gitu, ternyata semuanya nggak
sia-sia." Kak Tian mengatakan itu dengan wajahnya yang sumringah. Lalu
kedua sisi perutnya langsung disikut bersamaan oleh Xander dan ayahku.
Gabia tertawa keras dan aku terkikik kecil karena badanku
masih sakit semua kalau terlalu banyak menggunakan urat di wajah untuk tertawa.
Beberapa saat kemudian, ketiga laki-laki itu keluar dan
membiarkanku lanjut beristirahat. Gabia masih setia menemaniku di kamar.
Setelah suasananya agak tenang, Gabia mendekatkan wajahnya padaku dengan
menopang dagu, dengan posisi sikut di atas kasur. "Beruntung ya elo
tuh..." katanya sambil tersenyum penuh arti.
"Apaan, sih!?"
"Bertindak sejauh itu buat ngelindungin elo. Gue rasa
bodyguard nggak dibayar semahal itu, deh..."
"Maksud lo apa, sih?"
"Dia mempertaruhkan nyawa loh waktu pura-pura kerjasama
sama Pak Kusuma. Bayangin aja kalau sampai ketauan. Dia juga datang langsung ke
klinik lo, kan? Kasih peringatan supaya lo menjauh dari gue sama Masahiro yang
posisinya lagi gawat. Supaya lo tetep aman."
Aku mengerutkan kening. Kalo pernyataannya dia yang bikin
merinding itu adalah tanda untuk membuatku menjauh, dia perlu belajar lagi
bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan benar.
"Gue tetep nggak paham."
Gabia tersenyum lagi. "Kode etik bodyguard kayak dia
itu menyembunyikan diri supaya yang dilindungi nggak terlibat lebih jauh sama
masalah apa pun yang ada. Kayak Tian, gue mana tau dia ternyata ngelindungi gue
dari belakang. Dia akhirnya terpaksa buka identitasnya setelah gue terlibat
terlalu jauh gara-gara kebodohan gue sendiri. Yah, sama Masahiro juga, sih.
Tapi dalam kasus lo, beda. Dia melanggar kode etik itu demi lo, tau
nggak?"
Omongan Gabia terputus saat seseorang masuk ke kamar. Xander
masuk dan membawakan beberapa botol jus buah yang sepertinya ia beli dari
minimarket lantai bawah.
"Oke, gue capek, mau pulang duluan. Lo gantiin gue jaga
El, ya! Awas kalau dia sampai kenapa-napa!" ancam Gabia sambil menunjuk
Xander. Gabia bangkit dari kursinya dan menyambar tasnya. Ia keluar dari kamar
tanpa aku sempat mengucapkan apa-apa.
Xander menatap kepergian Gabia dengan wajah datarnya. Ia
lalu meletakkan jus buah itu di atas meja dan duduk di kursi tempat Gabia duduk
tadi. Aku menatapnya dan dia balik menatapku—masih dengan wajah datarnya. Kami
sama-sama diam, tidak tahu harus mengatakan apa, atau mulai dari mana.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar