Minggu, 21 Juni 2015

[Cerpen] Barisan Sakit Hati (Part 2) - Potongan Terakhir

Akhirnya selesai jugaaaa :DD

Sejujurnya ini udah selesai seminggu yang lalu. Tapi proses editingnya lama buangeeeett.... Padahal nulisnya cuma seharian. Hahahaha. Emang yang editing itu susah banget. Dan ini pun setelah diedit belum tentu jadinya sempurna. Tapi seenggaknya beberapa bagian yang kurang sreg sekarang udah jadi sreg, hahaha. Makasih buat partner-partner BSH lain, Saa & Zu, yang udah bantu kasih saran buat cerpen yang satu ini :p

Berhubung ini cerpennya direncanain, jadinya InshaAllah lebih mateng daripada yang pertama. Mateng? Emang kue?
Atau malah yang spontan itu kadang-kadang lebih tak terduga dan lebih oke? Yah, pembaca yang bisa menentukan, hehe. Jadi, setelah baca ini, ditunggu komen, saran dan kritiknya :))

Cerpen BSH yang mungkin ditunggu-tunggu! Yuk mariii~




POTONGAN TERAKHIR
(By: Nana)

“Guys, ini undangan dari Kak Cici. Dia nitip pas ketemu kemarin,” ujar Ifa dengan tampang malas seraya menyodorkan dua undangan berwarna hitam untuk kami.

“Undangan lagi?” tanyaku. “Ini undangan keempat bulan ini,” ucapku lirih, sambil geleng-geleng kepala. Harus berapa banyak lagi undangan kuterima untuk mengingatkanku kalau ini sudah saatnya giliranku menyebar undangan?

Sementara itu Azka mendesah panjang. Saking panjangnya, ia kehabisan stok udara di rongga dadanya dan terbatuk-batuk. Saat aku bertanya tanpa minat, Azka menjawab dengan hati yang bagai ditusuk seribu jarum, “Ini undangan yang kesepuluh bulan ini....”

Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Sementara Ifa memandang Azka dengan prihatin sebelum menggeplak kepalaku yang berharga, “Elo ya, liat temen sedih malah ketawa!”

Dimarahi begitu, aku malah cengengesan. “Kan kata orang, yang namanya temen baik itu pas ngeliat temen lagi susah dia ngetawain dulu, baru nolongin. Hehehe.”

Ifa manggut-manggut paham. “Hoo.... jadi harus diketawain dulu, ya? Hahahahaha!”

Kali ini Azka yang menggeplak Ifa. “Kok elo malah ikut ketawa, sih!? Emang lo udah dapet berapa undangan bulan ini?”

“Sebelas....”

Aku dan Azka pun sontak tertawa tak tertahankan hingga mengeluarkan air mata. Pengunjung warung bakso yang lain pun melirik ke arah kami dengan tatapan sebal. Mungkin mereka iri karena kami tidak berbagi kebahagiaan dengan mereka.

Tanpa perlu diperjelas, kami bertiga tahu kalau kami sedang mengalami masa-masa tergalau dalam hidup kami. Seperti kebanyakan manusia berusia seperempat abad lainnya, kami yang juga sedang menggalaukan hal yang sama, “Tuhan, di mana jodoh saya?”

Mendapat undangan pernikahan dari teman memang merupakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi apabila undangan itu terus berdatangan seolah takkan pernah berhenti, tentu akan membuat kami semakin bertanya-tanya, “Kapan giliran hamba, Tuhan....”

“Rini udah nikah tahun lalu, udah mau punya baby pula. Muli baru dua bulan kemarin. Nia belum, sih. Tapi kayaknya hubungannya lancar-lancar aja, tuh. Tinggal kita nih, Men....”

Women,” kataku memperbaiki kosakata Azka. Dia belajar bahasa Inggris di mana, sih? Cantik-cantik begini kok dipanggil ‘Men’.

“Iya, women.... Perlu gue ulang kalimatnya?”

“Nggak usah!!”

Sementara kami ribut, Ifa memelintir ujung jilbabnya dengan jari telunjuk, bibirnya manyun ke depan, pandangan matanya menerawang. Tak berapa lama kemudian, ia tersenyum-senyum sendiri. Bisa dipastikan perempuan yang satu ini sedang mengkhayalkan sesuatu yang menyenangkan.

Aku yang akhirnya sadar kalau sebentar lagi Ifa akan tenggelam sangat jauh ke dunia khayalnya, langsung menjentikkan jarinya di depan wajahnya. “Ati-ati, Fa. Kalo keseringan bengong, bukan cuma ngundang setan masuk, tapi juga bikin jodoh lo makin jauh...”

Astagfirullah!! Ema!! Iih.... naudzubilah...” Ifa merapal doa-doa dan mengaminkannya sendiri. Dia memang absurd tiada tara.

“Lo ngelamunin apa, sih?” tanya Azka curiga.

Ifa yang sudah kembali normal menoleh, “Itu lho... Kak Cici kan minta kita jadi penerima tamu atau jaga salah satu stand makanan di resepsinya. Siapa tau aja, hehe. Siapa tau aja ternyata jodoh gue di sana. Mungkin dia juga sedang menunggu jodoh yang tak kunjung datang. Nanti kita ketemu di meja penerima tamu, terus pas gue ngasih suvenir gelas, eh nggak sengaja jatoh dan pecah. Dia bantuin gue mungutin pecahan kaca yang berserakan, dan di situlah kisah kami dimulai....” Ifa masih tersenyum-senyum sendiri.

Aku dan Azka menyipitkan mata dengan malas.

Aku pun tak tahan untuk tidak mengeluarkan argumen logis yang kontroversial dengan khayalan Ifa. “Dengerin ya, Fa. Pertama, darimana lo tau kalo suvenir pernikahannya gelas? Yakin banget. Yang kedua, kalaupun suvenirnya gelas, pasti ada bungkusnya, dong. Misalkan lo jatohin dengan sengaja pun, pecahan kacanya nggak akan berserakan. Lo cuma akan jadi penerima tamu nggak becus di hadapan itu cowok.”

“Iiih....lo merusak imajinasi gue aja, Ma!” Ifa protes sambil menggerutu.

“Ngomong-ngomong, apa kabar cowok yang dikenalin tante lo kemaren, Ka?” Aku segera beralih ke Azka, sebelum Ifa menggodokku jadi mie.

Seketika Azka cemberut. “Dia cowok ‘lagi ngapain’,” katanya datar.

Aku kembali tertawa. Cowok ‘lagi ngapain’ adalah istilah kami untuk para cowok yang berusaha mendekat dengan bertanya ‘lagi ngapain?’ melalui sms, whatsapp, atau media chat lainnya. Biasanya, cowok-cowok seperti ini memang tidak menarik. Seolah tidak ada ide kreatif untuk bertanya hal-hal lain selain ‘lagi ngapain?’. Memangnya mereka tidak bisa bertanya sesuatu yang lebih kreatif seperti “Rasa mie instan apa yang kamu suka?” atau “Harga sewa tanah kuburan di Jakarta sekarang berapa, ya?” gitu? Oke, pertanyaan terakhir itu nggak rasional, tapi maksudku, masih ada jutaan pertanyaan basa-basi yang bisa ditanyakan selain “Lagi ngapain?”

Mungkin sewaktu SMP atau SMA, kita senang-senang saja menerima SMS seperti itu. Seakan-akan ada yang memperhatikan kegiatan kita. Tapi, sejujurnya itu adalah pertanyaan basa-basi yang super basi. Sebenarnya, aku pun pernah beberapa kali berurusan dengan cowok-cowok macam itu. Awalnya masih kujawab meski dengan ogah-ogahan. Tapi selepas kuliah, setiap aku menerima pesan bernada sama, pasti langsung kuhapus tanpa pikir panjang, tak peduli siapa pun yang mengirimkannya.

Pernah suatu ketika, aku tak sengaja menghapus pesan ketua panitia salah satu acara besar di kampus yang bertanya “Lo lagi ngapain?”. Beberapa menit setelahnya, aku menerima pesan yang lebih galak lagi. “WOI! Gue tanya lo lagi ngapain!? Ini udah waktunya rapat! Pasti molor lagi, ya!?” Setelah itu, aku memang menjadi lebih berhati-hati, dan selalu mengecek dari siapa pesan yang  kudapatkan sebelum dihapus.

“Jadi?”

“Yah, gue coba bales seadanya. Gue coba ngobrol. Tapi gak nyambung sama sekali, Men....”

Women....”

“Iya ah. Bawel!”

Ifa yang sudah selesai dengan rasa kesalnya tadi pun akhirnya ikut nimbrung. “Kalo lo gimana, Ma? Gue nggak pernah denger cerita apa-apa dari lo.”

Dalam hati, sejujurnya aku panik. Ngapain sih Ifa tanya-tanya soal nggak penting begitu!? Untungnya, aku jago menyembunyikan ekspresi panikku hingga tak muncul di mimik wajah. “Gue? Gue nggak kenapa-kenapa, kok,” ucapku dengan wajah sangat-sangat polos dan tanpa dosa. Mirip kucing yang ditanya majikannya, “kamu yang mecahin vas di ruang tamu, kan? Ngaku!!”

“Ifa nggak nanya keadaan lo. Dia nanya soal....yah, lo pasti tau soal apa. Nggak usah pura-pura bego, deh,” sambung Azka.

“Apa, sih? Serius nggak ada apa-apa, kok,” Aku berusaha pasang tampang datar, sedatar penggorengan martabak telor.

“Semua orang itu penasaran sama kisah cinta lo, tauk. Lo nggak pernah keliatan bareng sama cowok, nggak pernah juga keliatan naksir orang. Padahal lo sering nulis blog, tapi lo nggak pernah sekalipun nulis yang berhubungan sama cinta....atau jodoh....Lo, nggak lesbi, kan?” tuduh Azka.

“Apaan siiih! Nggaaakk!!”

Ya ampun, mereka ini sebenarnya temanku bukan, sih? Masa menuduhku lesbi segala? Separah-parahnya aku, aku masih naksir sama Owen Wilson! Atau Marc Marquez! Aku normal!

“Lo sebenernya pengin nikah nggak, sih? Lo kok nggak keliatan galau sama sekali?” Kali ini Ifa yang bertanya penuh kecurigaan. Menyebalkan sekali.

“Iiiiihh.... ya gue pengin, lah! Hhhh....” Kalau sudah sampai seperti ini sih, sepertinya aku harus mengaku. “Oke-oke gue cerita. Lo-lo pada bawel banget, sih!” Aku sedikit berdiri dan menoleh ke belakang untuk berteriak, “MANG ES KELAPANYA LAGI, YA!”

Aku pun duduk kembali. Ifa dan Azka tersenyum jahil. Tampaknya mereka mengerti, kerongkonganku mendadak kering karena gugup. Pasti mereka pikir wajahku saat ini sangat menjijikan karena terlihat malu-malu. Haduh! Aku beneran malu kalau harus cerita, tahu! Mending disuruh nari flamenco, deh!

Tapi aku harus lihat dulu tutorialnya di youtube.

Ifa dan Azka menunggu hingga es kelapa pesananku Ema datang. Namun meski aku sudah meminum beberapa teguk, aku tetap tidak menemukan kata-kata yang pas untuk memulai semua ini.

“Oi, ngomong, dong!” todong Azka.

“Ngomong apaaa?” tanyaku balik, frustasi. Aku benar-benar tak tahu harus mulai dari mana. Meski kami sudah berteman lebih dari enam tahun, ini pertama kalinya aku harus bercerita soal kisah cintaku terang-terangan, bukan lagi hanya sekedar menulis dalam diari.

“Kok pake nanya lagi? Ya soal ‘itu’ laah.... Jangan-jangan.... sebenernya lo udah lamaran, ya!?” tuduh Ifa.
“Kagaaak!” Aku menaikkan nada bicara untuk menyembunyikan panas yang tiba-tiba merayap ke kedua pipiku. Lalu aku merendahkan suara dan berkata lirih, “baru....tertarik doang, kok.”

Kedua temanku itu berpandang-pandangan dan terkekeh. “Siapaaaaa tuuhhh?” tanya Azka genit.

“Ih gue deg-degan, baru pertama kali guedenger pengakuan Ema soal cowok,” sambung Ifa. Langsung kugeplak saja kepalanya.

Aku pun akhirnya bercerita tentang salah satu tetanggaku yang bernama Aan. Karena beberapa tahun lebih tua dariku, aku memanggilnya dengan sebutan ‘Kak’. Ia aktif sebagai pengurus masjid dekat rumah, sekaligus menjabat sebagai ketua marawis.

Sejujurnya dia biasa saja. Terkadang malah terlihat menyebalkan karena nasehat-nasehatnya yang menusuk. Kalau dipikir-pikir, nasehatnya tidak salah, sih. Tapi cara dia mengungkapkannya membuatku dan beberapa anak masjid lainnya malas dekat-dekat.

Yang membuatku tertarik adalah saat ia berinteraksi dengan bocah-bocah panti yang datang ke masjid kami karena undangan. Meski lelah karena tugas panitia acara yang sangat banyak, ia masih mau bermain bersama anak-anak itu. Saat berpura-pura menjadi ninja, penutup kepalanya yang ia buat dari sarung ditarik-tarik para bocah, namun ia masih bisa tertawa-tawa. Tanpa sadar, ketika itu aku juga ikut tertawa dari jauh.
Semenjak kejadian itu, tanpa kusadari aku jadi sering memperhatikannya. Dan dari dirinya, aku melihat sosok orang dewasa yang baik dan bisa dijadikan panutan.

 “AHAHAHAHAHAHAHAHAHA!” Ifa dan Azka tertawa geli bersamaan.

“OH.MY.GOD....EMA.JATUH.CINTA.” Ifa menyentuh pipi dengan kedua tangannya, tak percaya atas pengakuanku yang super memalukan barusan.

“Kita harus tumpengan!!” tambah Azka.

Aku merengut. “Tuh, kan. Makanya gue nggak mau cerita....” bisikku malu.

Ifa menepuk-nepuk pundakku. “Nggak apa-apa kali, Ma. Jatuh cinta itu fitrah. Iya nggak, Ka?”

“Hmmm.... iya, sih. Tapi....kayak cerita cinta monyet, ya? Telat banget buat umur lo sekarang,” ujar Azka dengan nada yang ngajak berantem.

“Hush! Lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali, kan!?” sanggah Ifa.

Sementara aku sudah bersiap-siap menyambit mereka berdua. Jadi teman kok begitu-begitu amat.

Aku sadar kok kalau aku ini terlalu telat untuk jatuh cinta. Seharusnya aku sudah merasakan hal-hal semacam ini sejak SMP, paling telat SMA atau kuliah, lah. Bahkan, aku sempat mengira diriku yang tidak normal. Uintungnya, rasa ini datang juga. Rasa yang benar-benar tak tertahankan dan tidak bisa kujelaskan secara gamblang dengan kata-kata.

Meski demikian, aku sama sekali tidak berpikir kalau cinta yang kurasakan saat ini adalah cinta monyet, cinta yang main-main, cinta buta, atau apa pun namanya. Aku serius, namun aku merasa sama sekali tidak merasa kehilangan akal dan logika seperti kebanyakan orang yang sedang jatuh cinta. Aku menyukai kelebihan-kelebihan yang dimiliki Kak Aan, tetapi aku juga sadar akan kekurangan-kekurangannya.

“Kenapa nggak ngomong aja sama dia?” tanya Azka.

Aku memandang Azka dengan tatapan horor. “Ngomong...apa?”

Ifa terkikik sebelum mengangguk-angguk menyetujui pernyataan Azka. “Yah, bilang kalo lo tertarik, gitu. Atau lewat perantara juga boleh.”

Lagi-lagi aku memandang mereka berdua dengan tatapan tak percaya. Mereka menyuruhku bilang duluan? Yang benar saja!

Ini bukan soal berani bilang atau nggak, sih. Kalau ditanya, aku pasti jawab ‘berani’. Tapi apa hasilnya akan sesuai dengan harapan?

“Tapi... nanti kalo dia nolak gimana? Nanti suasananya jadi kaku...”

“AHAHAHAHAHAHAHAHAHA!” Lagi-lagi mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Memangnya aku barusan ngelawak?

“Ma, sejak kapan lo takut sama suasana kaku?” sindir Ifa. “Lo orang paling nggak peka yang pernah gue kenal, lo nggak pernah merasa kaku dalam suasana kayak apapun! Iya, kan?”

Meski kesal, apa yang Ifa bilang ada benarnya. Setengahnya. Aku tidak sebolot itu, kok!

“Coba tanya sama diri lo sendiri. Kapan lagi nemu orang kayak dia? Apa lo nggak nyesel kalo nggak ngomong apa-apa?” Kali ini Azka yang menyerangku.

Malam itu, pertanyaan-pertanyaan Ifa dan Azka terus terngiang-ngiang di benakku.

___


“Ka, lo pake crocs ke kondangan!? Lo kan jadi penerima tamu!” omel Ifa.

Azka manyun. “Gue lupaaa....udahlah nggak apa-apa. Kan nanti ketutupan meja,” elaknya.

Aku mendesah. “Susah deh ini mah dapet jodohnya.”

“Emaaaa!! Jangan ngomong gitu dooong!!” Azka mulai panik. Ia berpikir untuk mencari pinjaman sepatu. Tapi belum tentu ia akan menemukan yang sesuai dengan ukuran kakinya secepat itu.

“Ya abis lo mikir juga, dong. Masa udah cakep-cakep pake gamis sama jilbab panjang begitu sepatunya crocs,” cerocos Ifa lagi. Ema hanya bisa tertawa terbahak-bahak.

“Gue tadi buru-buru.... jadinya main ambil aja. Gue beneran lupa,” ujar Azka menyesal.

Saat sedang ramai seperti itu, seseorang menghampiri kami. “Kalian adik kelasnya Cici, ya?”

Kami bertiga langsung mengangguk. “Aku Ayu,” katanya memperkenalkan diri seraya mengangkat tangannya untuk bersalaman. “Yang mau jaga di stand es potong siapa, ya?”

“Saya, Kak!” Aku mengangkat tangan dengan antusias yang sepertinya berlebihan. Habis mau bagaimana lagi? Aku doyan banget es!

Ayu tertawa. “Tempat kamu di pojok sana,” tunjuknya ke salah satu pojokan, di sebelah stand pempek. “Es sama pisaunya udah ada di sana. Kalau ada yang bingung tanya aja.”

“Sip. Beres deh pokoknya.” Aku mengancungkan jempol.

“Hati-hati Kak, nanti esnya abis sama dia.” Azka memberikan peringatan.

Aku pura-pura tidak mendengar dan segera menuju stand es potong dengan langkah ringan. Sebelum tamu-tamu mulai berdatangan, aku duduk dan mengecek semua alat dan bahan. Saat membuka kotak es, aku terperangah. Ada es potong dengan berbagai macam rasa. Ada coklat, stroberi, durian, jeruk, anggur, bahkan kacang hijau dan ketan hitam. Melihatnya saja membuatku hampir meneteskan air liur.

“Banyak.... banget....”

“Ema! Ilernya jangan netes!” teriak Azka dari meja penerima tamu.

Aku menatap Azka dengan tatapan membunuh. ‘Nggak usah teriak-teriak juga, kali!’ seruku dalam hati. Iya sih sekarang masih sepi, belum ada tamu yang datang. Tapi pihak keluarga Kak Cici dan suaminya sudah standby sejak prosesi akad nikah pagi tadi, dan mereka kini sedang menatap geli ke arahku sambil berusaha menawan tawa. Uhh...

Tak lama kemudian, suara tepukan marawis yang tadinya terdengar sayup-sayup kini terdengar makin jelas, menandakan acara resepsi akan segera dimulai. Dari samping kiri, aku melihat iring-iringan kedua mempelai yang berjalan perlahan menuju pelaminan. Aku menatap Kak Cici tanpa berkedip. “Cantik banget....” gumamku tanpa sadar.

Aku melambai-lambai bersemangat ke arah Kak Cici, hingga kakak kelasku itu menyadari kehadiranku. Kak Cici membalas lambaianku dengan senyumannya yang manis.

Ah, aku iri....

Aku berharap bisa berada di posisi itu secepatnya.

Namun perhatianku langsung teralihkan begitu kedua mempelai berada di pelaminan. Anak-anak mulai menyerbu standku dan membuatku kewalahan. Awalnya, aku masih bisa menatap mereka satu-persatu, menanyakan es potong rasa apa yang mereka inginkan, dan menyerahkan es tersebut dengan senyuman manis. Namun tak lama, aku memutuskan untuk meninggalkan kegiatannya berbasa-basi tersebut karena harus fokus memotong es, menusukkan batang es, membuka plastik luar es, dan menaruhnya di piring yang telah disediakan, sehingga para tamu bisa langsung mengambil es potong itu dan segera memakannya. Tapi rasanya berapa kali pun batangan es itu kupotong, piring di hadapanku selalu tandas. Tamu yang datang banyak sekali.

Aku melirik stand makanan yang berada tepat di sampingku, ada pempek, siomay, dan bakso malang. Namun ketiga stand tersebut sudah hampir kehabisan makanan. Padahal aku juga ingin mencobanya. Sayangnya, dengan tangan penuh seperti sekarang, aku benar-benar tidak bisa bergerak ke mana-mana.
Es merupakan hidangan favorit hampir untuk semua kalangan, baik anak-anak maupun orang dewasa. Karenanya, stand es potong ini tak pernah sepi pengunjung. 200 batang es potong yang telah disediakan sudah hampir habis. Aku menatap kotak es dengan perasaan yang sulit diterjemahkan. Sebelum tamu-tamu berdatangan tadi, aku sudah mencoba beberapa rasa es potong itu. Toh aku juga sudah dapat izin dari Kak Ayu. Tapi aku sama sekali belum mencoba bagaimana rasa es potong durian. Bolehkah aku menyimpan satu potong untukku nanti?

“Ah, pasti boleh, lah. Cuma satu potong....” kataku pelan, tidak pada siapa-siapa.

Aku pun memotong es durian tersebut dan menyisakan potongan terakhir yang berukuran sekitar 10 cm di dalam kotak. Sisanya langsung kusajikan di piring. Dan seperti yang telah kuduga, es tersebut langsung tandas. Masih ada beberapa batang es potong dalam kotak. Namun aku memutuskan untuk memotongnya ketika ada tamu yang meminta. Hal tersebut kulakukan untuk menghindari mencairnya es di piring karena cuaca yang sangat panas.

Tak lama kemudian, seseorang menghampiri stand saat aku sedang sibuk memilih batang es berikutnya yang akan kupotong.

“Esnya masih ada?”

“Masih,” kataku yang langsung mengangkat kepala. Bola mataku membesar begitu mendapati siapa yang ada di hadapanku saat ini.

“Kak Aan? Kok...”

“Masih ada esnya, kan? Mau dong gue. Panas banget, nih.” Kak Aan tidak mempedulikanku yang masih belum bisa berkata-kata saking kagetnya.

Namun karena aku tak kunjung bergerak untuk mengambilkan es untuknya, Kak Aan akhirnya berkata, “Gue abis tugas. Tuh, anak-anak disewa untuk marawisan di sini. Gue yang malah nggak tau lo jaga di sini.”

Aku tak tahu bagaimana harus merespon info yang baru kuterima itu. Akhirnya, daripada Kak Aan menganggapku aneh karena terus-terusan mangap, aku mencoba mengalihkan pembicaraan sekalian kembali menjalankan tugasku.

“Mau yang apa? Kacang ijo? Coklat? Stroberi?” tawarku. Tanpa sadar, aku memberikan senyum sumringah. Senyum yang jauh lebih silau daripada senyumnya untuk bocah-bocah penggila es potong di awal-awal acara.

“Durian,” kata Aan tegas. “Gue mau yang durian.”

Gerakan tanganku terhenti. Padahal aku sengaja tidak mengatakan ‘Durian’ supaya tidak diminta. Aku tidak mungkin bilang duriannya habis, padahal kenyataannya masih ada satu potong yang kusimpan. Aku takut berbohong.

Aku juga sempat ragu. Apa sebaiknya kurelakan saja es potong itu untuknya? Tapi... Walaupun kuberikan es itu, belum tentu juga akan membuat Kak Aan mendadak tertarik padaku. Nggak, itu nggak logis. Lagipula, ini kan memang tugasku. Dia tak akan berpikir lebih dari itu. Kalau seperti itu, bukankah lebih menguntungkan kalau kusimpan saja esnya untukku sendiri? Toh pada akhirnya tak akan ada yang berubah.

“Nggak yang coklat aja? Enak lho...” Aku mencoba mengubah pendiriannya dengan melancarkan serangan terakhir.

“Emangnya duriannya abis?” tanya Kak Aan, lagi-lagi tidak menggubris penawaranku.

“Mmmm....” Aku kesulitan menjawab. Setelahnya aku melirik ke kanan dan kiri untuk mencari jawaban yang pas.

Namun tampaknya gelagatku yang terlihat gelisah dan bingung itu tertangkap dengan mudah olehnya. Kak Aan pun memincingkan matanya, curiga. “Ema, duriannya masih ada, kan?”

Detik itu, ada pisau tajam yang menancap di jantungku, membuatku berdegup tidak karuan. ‘Ya ampun, kenapa sih dia ngotot banget minta yang durian! Yang rasa coklat juga enak, tauk!’ rutukku dalam hati.

Aku meringis sebelum menjawab, “A...da...”

“Mana?” Kak Aan meminta dengan menyodorkan tangannya.

Dengan pasrah, aku mengambil potongan es durian yang kusisakan untuk akhir acara nanti. Aku menusukkan batang es dan menyerahkannya pada Kak Aan dengan sangat perlahan, masih sedikit tak rela.
Kak Aan langsung menyambar es durian itu selesai aku menusukkan batang esnya. Dia ini memang benar-benar, deh! Nggak tahu apa aku duduk di sini dengan hati hancur!? Itu seharusnya milikku!

Namun, sebelum Kak Aan menjilat atau membawa pergi es itu, aku langsung berdiri. Biasanya aku selalu mengandalkan logikaku sebelum bertindak. Namun, kali ini aku membiarkan sifat impulsifku mengambil alih.

“Kak, Ema mau ngomong.”

Kak Aan menatapku heran. “Apa?”

“Jangan di sini. Di sana,” tunjukku ke ujung kanan, di balik tirai merah muda tempat resepsi pernikahan berlangsung.

“Jangan lama-lama.” Sambil berkata begitu, Kak Aan mengikutiku dari belakang. Sok sibuk banget ini orang.

Begitu kami tinggal berdua saja, justru Kak Aan yang angkat bicara. Dan kata-katanya membuatku bengong.

“Gue tau lo mau ngomong apa,” katanya.

Mendengar nada bicara Kak Aan, aku sedikit kesal. Orang ini sotoynya kebangetan, deh!

Aku pun berkacak pinggang dan menaikkan sebelah alis. “Oke kalo emang kakak udah tau. Nah, Ema mau ngomong apa coba?” tantangku.

Kak Aan mendesah. Ia menatap kedua mataku sebelum berkata, “daripada ini es keburu mencair, gue ngomong terang-terangan aja, ya.”

Aku mengangguk.

“Gue tau lo naksir gue,” kata Kak Aan tegas.

Aku merasa jantungku mendapat hentakan yang cukup kuat. Dia tahu...

Aku tidak menyangka kalau rahasiaku bisa ketahuan semudah itu. Semudah tupai membuka kulit kenari, atau semudah tukang kuburan menggali kuburan. Seolah Kak Aan adalah seorang psikolog andal yang mampu membaca perasaan orang hanya dengan memperhatikan gerak-gerik dan gelagatnya. Memangnya sikapku semencolok apa, sih!?

Untungnya, aku berhasil mengendalikan diri. Aku sukses mempertahankan wajah datarku seakan-akan sama sekali tidak terkejut mendengar pengakuannya barusan. Agar tak membuatnya di atas angin, aku tersenyum penuh makna padanya.

“Oke. Ema akui itu bener. Sayangnya, yang mau Ema omongin bukan itu,” kataku dengan nada super percaya diri. Padahal detik itu aku belum tahu harus mengatakan apa padanya. Apa aku harus mengalihkan obrolan ini ke isu kenaikan BBM? Atau berita terbaru kalau lintah ternyata punya enam otak?

‘Jangan, Ema. Nanti kamu makin dianggap sinting.’ Ujarku pada diri sendiri. Sejujurnya, aku sudah bersiap angkat kaki seribu, berharap bisa menghilang dari tempat itu secepat mungkin.

Kali ini, gantian Kak Aan yang terlihat kaget. Mungkin ia sudah yakin sekali kalau aku akan mengatakan apa yang dikatakannya tadi. Huh, aku kan punya sisi tak terduga juga. Memangnya pikiranku bisa ditebak semudah itu? Nggak lah ya.

“Apa?” tanyanya dengan nada yang lebih rendah daripada tadi.

Sepertinya kini Kak Aan juga mulai penasaran.

Gawat. Aku harus bilang apa, nih!?

Aku melirik ke dalam gedung tempat resepsi yang hanya dipisahkan oleh selembar tirai dari tempat kami berdiri. Aku memperhatikan Kak Cici dan suaminya yang masih sibuk menyalami tamu-tamu yang datang. Detik itu, aku tahu harus bilang apa. Maka, aku pun menoleh kembali ke Kak Aan dan mengatakannya.

“Ema cuma mau nanya. Kira-kira mau nggak kakak ngajak Ema naik ke atas sana?” Aku berkata seraya menunjuk pelaminan yang saat ini masih diduduki oleh Kak Cici dan suaminya.

Kak Aan menoleh ke arah yang kutunjuk dan membatu seketika.

Membiarkan sifat impulsifku mengambil alih ternyata tidak buruk juga. Efeknya bisa sedahsyat itu. Mungkin Kak Aan benar-benar tidak menyangka aku akan terang-terangan menanyakan hal itu padanya.
Saat Kak Aan terdiam, aku kembali membiarkan sifat impulsifku terus berkuasa. Detik itu juga, aku menyambar es durian dari tangan Kak Aan. 

“Sori, Kak! Esnya buat Ema, ya!” Aku pun langsung berlari masuk kembali ke dalam tenda sebelum Kak Aan sadar apa yang sedang terjadi.

Kak Aan yang akhirnya sadar langsung berteriak, “EMAAAAAA!!!”

TAMAT



Nana yang lagi cosplay jadi Ema si tukang jaga es potong

4 komentar:

  1. Hahaha,,, kerennn mae cerpennya,,,
    Gue tunggu dalam bentuk bukunya yakkk...
    #gratiisssss xD

    BalasHapus
  2. Wahahahahaha

    Panjang juga ya, 10 halaman masuk blog, apalagi 11 halaman... *ngebayangin blog gue yang kotak isinya masih sempit*
    Gapapalah yaa...

    Jadi juga pov 1, tapi jadi lebih greget Na!
    Lucuk ya anak-anak itu, kelakuannya minus. Untung kita nggak.... *pura-purabego*

    Doakan punya gue mendarat di blog lebih cepat, dan lebih baik daripada yang gue kasih sebelumnya ke lo.

    BalasHapus
  3. Ini judulnya kudu pake ES POTONG DURIAN biar makin endess, wkwk...

    Bagus, Na. Apalagi deskripsi soal Kak Aan yg doyan maen sm bocah. ������

    BalasHapus
  4. Kocak banget Kak Nanaaa... Menggambarkan Kak Nana banget (lho?)

    BalasHapus