Rabu, 22 November 2017

[Movie Review] Marlina - Si Pembunuh dalam Empat Babak


Jenis Film : Thriller
Produser : Rama Adi, Fauzan Zidni
Sutradara : Mouly Surya
Penulis : Rama Adi
Produksi : Cinesurya Production


Sinopsis:
Suatu hari di sebuah padang sabana Sumba, Indonesia, sekawanan tujuh perampok mendatangi rumah seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy). Mereka mengancam nyawa, harta dan juga kehormatan Marlina dihadapan suaminya yang sudah berbentuk mumi duduk di pojok ruangan. Keesokan harinya dalam sebuah perjalanan demi mencari keadilan dan penebusan, Marlina membawa kepala dari bos perampok, Markus (Egi Fedly), yang ia penggal tadi malam. Marlina kemudian bertemu Novi (Dea Panendra), yang menunggu kelahiran bayinya, dan Franz (Yoga Pratama), yang menginginkan kepala Markus kembali. Markus yang tak berkepala juga berjalan menguntit Marlina.

WARNING: SOFT SPOILER


Review: 

Akhirnya muncul lagi ke permukaan, salah satu film Indonesia bergenre thriller yang menurut review beberapa orang, bagus. Yah, pastinya gue juga nggak mau ketinggalan nonton thiller yang bagus, apalagi buatan asli anak bangsa.

Tapi sayangnya, ini bukan jenis film yang sesuai dengan selera gue. Ada beberapa alasan yang membuat gue kurang puas sama film ini. Tapi yang paling utama adalah....

Oke, apa unsur utama film thriller yang dinanti-nanti penonton?

Yak.... TWIST sodara-sodara. Itu kata R.L. Stine, sih. Tapi setuju, kan? Kaaaaan?

Yang nggak yaudah. Nggak apa-apa.

Jadi intinya, nggak ada twist apapun dalam film ini. Nggak ada unsur kejutan apapun. Alurnya maju, nggak ada kilas balik yang membuka rahasia apa gitu yang bisa bikin ceritanya lebih.... mmm...spektakuler. Apalah.

Film Marlina ini termasuk salah satu film sastra (oke, gue nggak tau sebutannya, tapi kira-kira begitu) yang sejenis sama pasir berbisik atau banyu biru. Dan gue bukan penikmat film sastra. Karena buat gue, film sejenis itu mirip film bisu. Kebanyakan diemnya. Dan gue nggak tau apa yang harus gue pikirkan selama adegan 'diam' itu. Terlalu banyak pertanyaan yang ada di otak gue. Kenapa begini? Kenapa nggak begitu? Kenapa nggak begini lalu begitu? Atau begitu lalu begini? Ini kenapa adegannya masih di sini-sini aja, sih? Kapan ganti scene?

Yah, begitulah kira-kira. Oke, kalau banyu biru gue NGGAK NGERTI SAMA SEKALI arahnya mau ke mana. Kalau pasir berbisik, ceritanya masih lumayan bisa dimengerti meskipun biasa banget. Dan di antara semua film sastra, harus gue akui, Marlina ini cerita yang paling bagus. Setidaknya gue paham ceritanya dari awal sampai akhir.

Baiklah, mungkin sebelum gue korek-korek kekurangan dari film ini, mungkin ada baiknya gue jabarkan kelebihannya.

1. Unsur budaya yang kental
Yap, jarang-jarang film kayak gini. Film Marlina menunjukkan budaya Sumba yang sangat kental. Bukan cuma kebiasaan-kebiasaan orang Sumba, tapi juga bahasa yang dipakai dari awal sampai akhir. Sampai gue berpikir, film ini bisa jadi sumber penelitian untuk mendeskripsikan bahasa Sumba, baik dari segi fonologi, semantik, ataupun sintaksisnya. Dari beberapa yang gue tangkep, sih, banyak verba yang merupakan pemotongan dari bahasa Indonesia. Contoh: punya jadi pu, pergi jadi pi, dll. Praktis kali.

2. Sinematografi yang Indah
Kalau dilihat dari sinematografinya, gue kasih jempol empat. Pengambilan gambarnya bagus banget. Hampir tiap adegan di luar rumah memperlihatkan keindahan daerah Sumba yang pastinya membuat tiap traveler pengin banget pergi ke sana. Walaupun kenyataannya, pasti mahal banget mengunjungi wilayah-wilayah itu karena transportasi yang sangat terbatas.

Sepanjang film dikasih pemandangan Sumba yang super kece

3. Banyak nilai moral yang bisa diambil
Kalau udah nonton film ini, akan terlihat jelas ketimpangan derajat antara laki-laki dan perempuan. Film ini menggambarkan dengan baik bagaimana perjuangan perempuan dalam menghadapi ketimpangan derajat itu. Dua tokoh utama perempuan juga memiliki karakter yang kuat sehingga bisa membawa penonton untuk mendukung perjuangan mereka mempertahankan kehormatan diri. Dalam bioskop tadi sampai ada beberapa orang yang tepuk tangan gara-gara ini.

Oke, kayaknya itu sisi film yang bisa gue bilang bagus dari film ini. Menurut gue, film ini bagus banget dari segi artistik. Sayangnya, artistik nggak berbanding lurus dengan jalan cerita. Cerita yang bagus secara artistik belum tentu punya jalan cerita yang bagus, begitu pula sebaliknya. Dan menurut gue, jalan cerita film ini biasa aja.

Marlina didatangi tiba-tiba oleh tujuh orang perampok yang masuk dengan sopan (menurut mereka), minta makan, dan bilang terang-terangan niat untuk merampok, dan meniduri Marlina. Kurang ajar banget sumpah. Tapi meskipun dibilang terang-terangan begitu, Marlina nggak bisa apa-apa. Rumah dia jauh dari mana-mana, kayak kebanyakan rumah di Sumba. Kabur bukan pilihan. Dan satu-satunya cara adalah membunuh diam-diam para perampok itu. Singkat kata, Marlina berhasil membunuh mereka dengan cara meracuni makanannya dan memotong kepala salah satu pemerkosanya.

Oke, sampai situ sih gue masih menganggap film ini bagus. Tapi setelahnya, gue kayak kehilangan arah. Marlina ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian itu, dengan bawa-bawa kepala salah satu pemerkosanya.

Buat apaaa?

Bawa-bawa kepala orang ke kantor polisi yang nun jauh di sana cuma ngerepotin diri sendiri. Terlebih, walaupun di sini Marlina jelas jadi korban dan membunuh untuk membela diri, dia tetap akan kena hukuman karena membunuh orang. Ini udah umum. Apalagi bawa-bawa kepala orang. Menunjukkan bukti yang jelas kalau dia udah ngebunuh. Ini mah nyerahin bukti untuk nyerahin diri ke polisi namanya.

"Mbak, bawa-bawa kepala mau mampir ke mana?"
Apalagi, dua orang perampok yang paling muda masih hidup (karena disuruh balik ke kota untuk menjual hasil rampokan) dan kemungkinan besar....ah, nggak...PASTI akan nyari-nyari Marlina untuk balas dendam.

Harusnya yang paling utama dipikirin sih bagaimana menghindari dua orang itu. Kalau gue sih pasti nyembunyiin dulu bukti-bukti pembunuhan yang ada di rumah. Abis itu menghilang. Pergi ke mana, kek. Nyebrang laut dikit, ke Madura gitu juga pasti aman. Dua orang itu pasti lebih fokus nyari lima temennya yang hilang ketimbang nyariin Marlina.  Abis itu Marlina bebas deh makan sate madura, dan mencari calon suami baru.

Atau yang lebih seru, dibuat adegan suspense antara Marlina sama dua orang perampok yang masih hidup itu. Ya gimanalah gitu supaya ceritanya lebih seru.

Pada akhirnya, cerita ini nggak berakhir di mana-mana. Iya, Marlina berhasil membunuh para perampok itu. Tapi terus apa? Ending cerita ini terbuka banget. Tipikal sastra atau novel Jepang gitu, deh. Dan gue nggak suka ending cerita yang terlalu terbuka.Semacam, buat apa gue ngikutin ceritanya kalau nggak ada endingnya?

Tambah lagi, menurut gue cerita yang bagus adalah yang punya benang merah, dan tiap kejadian punya peran yang penting untuk keseluruhan cerita. Sayangnya, menurut gue banyak kejadian yang sebenernya nggak penting-penting banget untuk cerita secara keseluruhan dalam film ini. Dan kalau dihilangkan pun nggak mengubah inti ceritanya. Buat apa Marlina diikuti sama bayangan hantu Markus tanpa kepala? Bikin dia ketakutan? Nggak, tuh. Bikin dia bimbang? Nggak juga. Intinya, walaupun adegan-adegan hantu tanpa kepala itu cukup horor, tapi tetep nggak ngaruh apa-apa. Buktinya di tengah film, bayangan hantu itu hilang dan nggak muncul lagi sampai akhir cerita. Terus buat apa?

Ada juga kisah Marlina yang ketemu anak perempuan yang punya nama sama kayak anaknya yang nggak pernah terlahir ke dunia. Setelah berinteraksi dan jadi akrab sama anak itu, Marlina akhirnya kembali ke rumahnya. Terus apa yang tersisa dari interaksi itu? Nggak ada. Gue masih paham deh kalau endingnya Marlina ketemu lagi sama anak ini untuk sekadar ngobrol soal dirinya, anaknya, atau apa. Atau malah endingnya Marlina kerja di rumah makan itu, atau bahkan kalau penjahatnya jadiin anak ini sandera juga. Ini juga bagian cerita yang kalau dihilangkan nggak akan mengganggu jalan utama cerita sih menurut gue. 

Selain itu, sisanya adalah permainan logika dasar. Ada beberapa--oke, banyak--adegan yang menurut gue kurang masuk akal.

1. Adegan keracunan makanan yang seolah-olah kayak obat tidur. Nggak ada teriak kesakitan atau tenggorokan tercekat, sakit perut, atau apalah. Terlalu kalem untuk racun.
2. Adegan bawa-bawa kepala yang diikat tali, seolah-olah lagi bawa semangka atau duren. Emang nggak ada kain atau semacamnya buat nutupin itu kepala untuk menghindari kecurigaan orang lain, apa? Masukin ke tas juga muat.
3. Baju Marlina yang kayak baru beli dari butik mahal. Bagus banget! Beda jauh sama pemeran yang lain.
4. Kotak kayu misterius yang tiba-tiba muncul setelah Marlina sadar kalau kepala dengan tali terlalu menarik perhatian.
5. Supir truk yang mati sia-sia. Tanpa cerita, dan tanpa tujuan.
6. Teman Franz yang tiba-tiba balik arah dan menghilang setelah mukulin Franz karena sanderanya kabur. Mau ke mana, Bang? Mengaku dosa ke gereja karena sadar udah berbuat salah?
7. Adegan Novi setelah ketubannya pecah, lalu ngambil pedang, diliat-liat, dipandang-pandang, kesakitan, lalu naruh pedangnya lagi (membuat gue bertanya-tanya, mau ngapain dia sama pedang itu? Mau nusuk diri sendiri, apa gimana? Penjelasan ei, gue butuh penjelasaan...). Lalu dia ngambil pedangnya lagi, ngintip Franz dalam kamar seolah mau ngebunuh. Terus nggak jadi, balik ke dapur lagi naro pedang, lalu kesakitan lagi. Tirai dapur ditutup, lalu ganti baju. (APA SIH INTINYAAAAA????) 
8. Marlina yang dengan sukarela dan tanpa rencana apa-apa, menyerahkan diri di hadapan Franz. Siap-siap apa, kek. Kan udah tau dia penjahat.
9. Bayi yang langsung bersih begitu lahiran. 

Intinya, banyak adegan yang membuat gue bertanya-tanya, "Apa, sih? Kenapa, sih?". Tapi nggak ada jawaban yang memuaskan karena kebanyakan adegan diam.

Ini mah kayaknya ampe kapan juga gue nggak paham sama film semacam ini. Yah, bukan berarti film ini jelek, sih. Ini cuma soal selera. Kalau gue pribadi sih, mungkin ngasih nilai 6 dari 10 buat film ini. Kalau buat buku, istilahnya "not my cup of tea".

1 komentar:

  1. Wah, ulasan seru meski spoiler namun bisa bantu penulis agar paham soal logika dalam cerita.
    Yah, memang itu bisa jadi kelemahan jika penulisnya seakan melompat tanpa ada alur dan benang merah yang menautkan.
    Belum nonton, sih. :D

    BalasHapus