Selasa, 04 Agustus 2015

Leo & Alfa - Chapter 6 Hidup Sempurna



"Hidup sempurna itu, kalau Papa beliin aku sepuluh bola pas ulang tahunku bulan depan. Tamat." Leo menutup buku tulisnya dan memegangnya dengan tangan kanan.

"Buat apaan sepuluh bola? Emangnya satu nggak cukup?" sela Alfa dari tempat duduknya yang tepat berada di depan Leo yang masih berada di depan kelas.

"Yee Alfa... Mikir dong. Mainin satu bola aja udah seru, pasti tambah seru dong kalo mainnya pake sepuluh bola!" seru Leo tanpa berpikir panjang.

Sontak seisi kelas pun tertawa, tak terkecuali kepala sekolah yang meminta mereka menuliskan apa makna kehidupan yang sempurna serta membacakannya satu persatu di depan kelas.

"Bukan seru itu mah! Rusuuuh!" seru Kiki dengan nada mencemooh. Kelas kembali riuh.

Leo cemberut. Ia lalu dipersilakan kembali ke tempat duduknya.

Berkat perintah pak kepala sekolah, kelas Leo dan Alfa hari ini ramai. Sejak tadi tak henti-hentinya ocehan para murid begitu mendengar teman sekelasnya membacakan hasil tulisannya. Halimah bilang hidupnya bakal sempurna kalau dia jadi artis sinetron. Tuti bilang hidupnya sempurna kalau dia jadi istri pejabat, atau minimal dokter lah. Kiki bilang hidupnya sempurna kalau mainan robot-robotan yang dibelikan ibunya dua bulan lalu ketemu. Soalnya sewaktu main di luar, robot-robotannya hilang dibawa kabur anjing tetangga. Amir bilang hidupnya sempurna kalau kepala sekolah mereka diganti, dan dia tidak selamat dari jitakan pak kepala sekolah.

Sekarang giliran Alfa.

"Ehem. Oke teman-teman, sekarang saya akan membacakan hasil tulisan saya tentang hidup yang sempurna." Alfa membenarkan letak dasi merahnya yang berujung karet celana. "Hidup adalah bergerak, sebab semua makhluk hidup pasti bergerak. Sementara sempurna adalah segala hal yang berjalan mulus atau sesuatu yang tanpa cacat. Maka hidup yang sempurna bagi manusia adalah bisa bernapas, makan, minum, dan terutama berkembang biak. Selesai."

Seisi kelas terdiam.

"Pak guruuu... berkembang biak apaan siih?" tanya Tuti dengan muka mau nangis karena nggak ngerti.

Pak kepala sekolah tidak menjawab pertanyaan Tuti dan langsung menyuruh Alfa untuk duduk sehingga tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan rumit lainnya. Bapak kepala sekolah pun bingung kenapa sekolahnya memiliki anak yang kelebihan otak seperti Alfa. Mungkin seharusnya anak itu masuk kelas akselerasi empat atau lima kali berturut-turut sampai ketahuan kelas mana yang akan menjadikan Alfa berkemampuan rata-rata kelas.

"Kalau hidup sempurna menurut pak guru apa?" tanya Leo sambil mengangkat tangannya.

Pak kepala sekolah pun kembali berdiri di tengah kelas sambil berpikir jawaban apa yang sebaiknya ia berikan pada murid-muridnya.

"Pasti kalau punya rambut ya, Pak?" kata Halimah nyari mati.

"Hush! Nggak boleh gitu Halimah! Pak Guru kan pasti tersinggung kalo rambutnya--eh, kepalanya dibahas!" sela Alfa berusaha memperbaiki keadaan. Sayangnya tidak bagi pak kepala sekolah.

Sambil menahan guratan-guratan kekesalan yang timbul di dahinya, pak kepala sekolah akhirnya berkata, "Hmm... menurut bapak, hidup sempurna itu... bisa mengajar anak-anak seperti kalian."

Seisi kelas kembali terdiam.

Apa mereka semua diam saking terharunya? pikir pak kepala sekolah.

"Ah, klise!" seru Halimah.

"Bapak ngomong gitu supaya kita-kita seneng, kan? Gombal..." sela Tuti.

"Jawabannya kurang ilmiah dan logis, Pak!" Ini pasti Alfa.

Pak kepala sekolah geleng-geleng kepala menghadapi kelakuan murid-muridnya. Ia mendesah pelan, namun di tengah desahan itu, ia juga tersenyum. Memang, anak-anak SD Mars membuatnya sakit kepala tiap ia mengajar, juga membuatnya mengalami kebotakan dini karena celotehan mereka yang mengesalkan. Tetapi di sisi lain, pak kepala sekolah juga bisa selalu tersenyum karena kelakuan anak-anak.

Ia pikir hidupnya tak akan pernah sempurna karena diusianya yang sekarang ia dan sang istri belum juga dikaruniai seorang anak. Namun jika melihat dari sisi yang lain, ia sudah memiliki anak yang jumlahnya sangat banyak. Anak-anak SD Mars adalah anak-anak kesayangannya. Meski ia bukan orangtua kandung mereka, pak kepala sekolah tetaplah guru mereka, orangtua kedua mereka. Pak kepala sekolah tak bisa meminta lebih karena ini adalah karunia yang sangat besar yang diberikan padanya.

Hidup yang sempurna bukanlah soal seperti apa dan bagaimana, tapi soal cara seseorang melihat hidupnya dari sudut pandang yang berbeda.

END

Seri Leo & Alfa
Chapter 1 Bola Magnet
Chapter 2 Teh Gelas Botol Kotak
Chapter 3 Sushi Palembang
Chapter 4 Empat Akar Dua
Chapter 5 Amal Gula

___________________________________________________

Tjieeee.... cerita Leo & Alfa akhirnya punya makna juga!!!
Wahahahahahahaha :))


Padahal sebelumnya iseng aja bikin ini cerita. Tapi minggu lalu ada member OWOP (a.k.a Mbak Depiiiii~) yang ngasih tantangan untuk bikin cerita tentang "Hidup Sempurna". Jadilah gue pake karakter-karakter anak-anak yang lucu, imut, sekaligus mengesalkan ini sebagai bahan. Dan tanpa disangka-sangka, tulisan ini menang karena jadi favorit Mbak Depi yang bikin sayembara itu. Ahahahahahaha. Makasih Leo, Alfa, Halimah, Tuti, Kiki, Amir, dan tentu saja Pak Kepala Sekolah!! Aku cinta kalian :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar