Harusnya sih, chapter 1 ini gue post Rabu kemarin, tapi berhubung judul belum nemu dan ada beberapa plot hole, akhirnya terpaksa gue tahan sampai hari ini. Makasih buat Ruru yang ngasih ide buat judul cerita ini :) Berhubung kalo ditahan-tahan di folder lepi, orific (original fiction) gue banyak yang enggak jalan, akhirnya gue putuskan untuk diposting di blog aja. Semoga banyak yang bisa kasih masukan, sekaligus nagih gue lanjutan ceritanya, biar terpacu nulis cepet tiap minggu.
Judul: Air Ball
Rating:Yang udah apal 26 abjad, boleh baca
Genre: Humor, Friendship, Family, Romance? (enggak tau deh jadi romens apa enggak, cari tahu aja sendiri, ahahahaha)
Chapter: 1
AIR BALL - CHAPTER 1
“Madep sini, Hong!”
Anak laki-laki lengkap dengan seragam olahraganya akhirnya
menghadap teman yang manyahutinya barusan. “Gini?”
“Bukan, kaku amat. Kepalanya aja, badan lo tetap ke arah
ring basket. Pegang bola basketnya juga yang agak keren sedikit, jangan letoy
gitu. Dan enggak usah pasang tatapan sok sangar gitu deh, enggak cocok.” Teman
yang diberikan instruksi akhirnya garuk-garuk rambut, frustasi.
“Gini deh gini, ikutin instruksi gue satu-satu. Hadap ke
ring basket, pegang bola pakai tangan kiri, jepit di paha kiri lo. Nah, terus
tengok ke kiri, lihat lantai. Oke, sip!”
‘KLIK!’
“Udah, Yo? Mana, gue mau lihat,” kata anak yang dipanggil
Ahong pada temannya, Satrio.
Nama aslinya Yudha Wiryawan, tapi anak lelaki yang cukup
tinggi tersebut sangat jarang dipanggil dengan nama aslinya. Berhubung dia
memiliki mata sipit dan kulit putih, semua teman memanggilnya dengan sebutan
‘Ahong’. Yudha sendiri tidak mengerti mengapa semua anak lelaki sipit selalu
dipanggil dengan sebutan itu. Bukannya itu namanya ‘rasis’? Yang membuatnya
lebih bingung adalah, dia bukan turunan China.
“Wis uapik tenan! Aku pasang iki ndek propil pesbukku, yo!”
Dia asli Jawa.
Yudha pun asik dengan handphonenya. Ia mengunggah foto
tersebut dan mengetik status di facebooknya. Ia mengeja satu-persatu kata yang
ditulisnya, “Debut pemain basket SMA Kartika….Yudha Wiryawan!”
“Main juga belum, Hong,” timpal Satrio seraya membenarkan
letak kacamatanya.
“Sebelum main, yang penting itu semangat, Yo! Semangat!”
kata Yudha.
Kedua anak ini memang
tidak ada kerjaan. Mereka mendatangi lapangan basket dengan harapan bisa
memulai latihan pertama di klub basket. Namun sudah 20 menit menunggu, tak ada
satu senior pun yang datang untuk bermain basket.
Yudha dan Satrio memang sama-sama mendaftarkan diri untuk
mengikuti ekskul basket di SMA Kartika. Mereka baru berkenalan selama 20 menit,
berhubung baru seminggu masuk sekolah dan belum mengenal banyak teman. Semua
kegiatan ekskul memang baru berlangsung seminggu setelah masa orientasi siswa
selesai.
Sementara Yudha masih asyik dengan bola basket, Satrio
justru asyik mengutak-atik kamera miliknya. Kamera tersebut adalah model baru
yang ia beli dengan mengumpulkan uang jajan selama satu tahun. Memiliki kamera
yang sekaligus memiliki fungsi layar touchscreen dan internet tersebut adalah
impiannya sejak lama. Berbagai macam fitur yang menggiurkan menggoda Satrio
untuk membelinya, meski mengorbankan makanan-makanan kesukaannya di kantin SMP
dulu. Puas mengutak-atik kamera, Satrio memperhatikan dribble bola yang
dilakukan Yudha. Bola baru memantul dua-tiga kali, Yudha malah tak sengaja
menendangnya. Bola pun menggelinding ke kaki Satrio.
“Dribble lo jelek amat,” kata Satrio yang memperhatikan bola
tersebut hingga menyentuh ujung sepatunya. “Lo enggak bisa main basket, ya?”
katanya lagi. Sekarang ia sudah menatap Yudha yang sedang cengar-cengir tidak
jelas.
“Yaa, karena gue mau jadi jago makanya masuk ekskul basket,
tho? Kalau udah jago mah, gue masuk NBL*,” ujar Yudha dengan logat Jawa yang
khas.
Tak lama kemudian, seseorang berjalan ke pinggir lapangan
dan mendekati mereka. Satrio merasa tidak mengenali anak perempuan itu,
sementara Yudha tidak menyadari kedatangan anak yang tengah diperhatikan
Satrio.
“Eh, ada cewek ke sini. Ahong, lo kenal enggak?”
Yudha pun akhirnya menoleh, dengan cepat ekspresi wajahnya
berubah. “CICIIIII!!” seru Yudha antusias dan berlari menghampiri anak
perempuan itu. Yudha terlihat seperti hendak memeluk Cici, namun dengan ekspresi
hampir tidak berubah, Cici menunduk untuk menghindar. Hanya memeluk udara
kosong, Yudha tak menyerah dan berusaha lagi. Sayang kali ini Cici menahan
kepala Yudha dengan satu tangannya, hingga kedua tangan cowok Jawa berwajah
oriental tersebut menggapai-gapai angin dengan sia-sia.
‘Mereka ngapain sih? Ngelawak?’ gumam Satrio.
“Ko Yudha ngapain? Katanya mau pulang bareng?” tanya Cici
kemudian.
‘Ya ampun, mereka pacaran ya? Mesra banget panggilannya,
koko sama cici,’ pikir Satrio lagi. Kini Satrio memperhatikan Cici yang
tampaknya memiliki rambut cukup panjang. Ia tidak yakin, sebab Cici mencepol
rambutnya ke atas dan mengikatnya menggunakan tusuk konde berwarna cerah. Wajah
Cici cukup manis, memiliki tipikal orang Jawa, asli. Matanya bulat dan besar,
dihiasi bulu mata yang lentik dan alis yang sedikit tebal. Tingginya tak jauh
berbeda dengan cewek kebanyakan, namun terlihat jauh lebih pendek jika
dibandingkan dengan Yudha yang tinggi menjulang. Wajar kalau Satrio mengansumsikan
Cici merupakan panggilan Yudha saja, sebab cewek itu sama sekali tidak memiliki
ciri fisik warga keturunan.
“Nanti, kan ada ekskul basket dulu,” jawab Yudha yang
kemudian menarik lengan Cici ke arah Satrio. “Nih, teman satu ekskul, namanya
lengkapnya Satrio Kusuma, panggilannya Satrio, si kacamata juga boleh. Yo, ini Cici,
teman main dari kecil,” terang Yudha.
“Namanya Cici?” tanya Satrio yang masih belum percaya. ‘Cici
itu bukan panggilan?’ tambahnya dalam hati.
Cici yang sudah mengulurkan tangan untuk bersalaman, menarik
kembali tangannya dan mengacak-acak isi tas. Satrio menatapnya dengan pandangan
tak mengerti. Cici kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu.
Satrio kenal kartu itu, kartu tanda pelajar SMA Kartika.
“Namaku Cici, lengkapnya Cici Faramida.”
Satrio menerima kartu tanda pelajar tersebut dan kembali
menyeletuk, “Bukan harusnya Cici Paramida?”
“Iya, orangtuaku memang niat ngasih nama kayak penyanyi
dangdut itu. Mereka kira orang-orang salah sebut ‘Faramida’ jadi ‘Paramida’,
semacam orang Sunda gitu,” jelas Cici. Entah kenapa, Satrio menatapnya dengan
kasihan.
Setelah mengembalikan kartu tanda pelajar itu, Yudha
berkata, “Dia ini ikut ekskul basket juga, lho. Calon menejer!” seraya
menepuk-nepuk bahu Cici.
“Iya, soalnya pilihan ekskul-ku yang pertama ditolak mentah-mentah
sama wali kelas. Terus, dipaksa Ko Yudha ikut ekskul basket, yaudah,” kata
Cici. Satrio sama sekali tidak bisa menebak ekspresi Cici, senang, sedih, atau
biasa saja.
“Kenapa bisa ditolak?” tanya Satrio, penasaran.
“Aku mau ikut ekskul masak. Tapi enggak mau masak, susah.
Aku mau jadi tukang cicipnya, sekalian jadi komentator juga oke.”
“Hah? Yaiyalah ditolak! Kalau jadi tukang cicip, semua juga
mau!” kata Satrio sedikit emosi.
“Tapi bukan itu yang bikin Pak Panca nolak,” lanjut Cici.
“Jadi, sebenarnya boleh jadi tukang cicip? Emangnya alasan
ditolaknya kenapa?”
Cici memberi sejenak sebelum menjawab, “Enggak ada ekskul
masak di sini.”
Satrio bengong. Kini ia merenungi kembali pilihannya kembali
untuk masuk ekskul basket. Kalau diteruskan, ia akan terus berinteraksi dengan
pasangan China super bodoh itu. Lihat saja, sekarang mereka sudah duduk
bersila, saling berhadapan dan main sabung ayam menggunakan ibu jari. Satrio ingin
pulang saat itu juga.
Bersambung....
Bagaimana ketiga anak ini melalui masa SMA-nya di ekskul basket? Bagaimana Satrio bisa bertahan menghadapi kedua teman barunya? Bagaimana hubungan Koko Yudha dan Cici selanjutnya? Siapa yang menang main sabung ayam? Nantikan kisah selanjutnya.....
catatan:
*National Basketball League, gampangnya, NBA-nya Indonesia
Tokoh yang mirip sama Yudha. Udah pasti tingkat kekonyolan sama kemampuannya beda jauh.... |
Wakakakakak... Serius dikasih judul Air Ball? XDDDDD
BalasHapusLol. Jadi ini karakter yang kau sebut-sebut bertampang Chinese tapi berlogat Jawa? XDD
Belom bisa komen apa-apa karena belom ada ceritanya(?). Tapi gaya komikalnya oke~
Hem... Ru ikutan nggak yaa...