Ep 1 : Ep 1 : An Unspeakable Word by Saa | http://smilingsaachii.blogspot.com/2020/04/an-unspeakable-word.html
Ep 2 : A New Journey: Love? by Kenti | https://handken.blogspot.com/2020/04/a-new-journey-love.html
Ep 3 : Longing For You by Dhira | http://www.nadhiraarini.com/2020/04/story-blog-tour-ep-3-longing-for-you.html?m=1
CHAPTER 4 : TROUBLESOME PERSONALITY
"Apa? Ooh...
tebakan, ya? Okee. Nah, kalian coba tebak, ya. Daerah mana di Indonesia yang
ceweknya gak sabaran?"
"Hahaha,
mana, yak? Jakarta?" jawab Yayat asal tebak.
"Bukan.
Hahaha, hayo apaa?"
"Apa sik?
Seluruh Indonesia, ya? Semua cewek gak sabaran. Hahaha," tebak Adit.
"Salah!"
"Apa
dong?" Aziel dan yang lainnya menyerah.
"Jawabannya
cikarang," sebut James bangga.
"Hah? Kok
Cikarang?" Yayat penasaran.
"Iya,
soalnya gak mau entar, maunya cikarang." Jawaban garing dari James
disambut gelak tawa dari laki-laki di kamar kosannya yang cukup luas itu.
Hanya Yayat yang
terlambat tertawa.
"Wah, Yayat
gak bakal lulus probation kalo gini caranya nih," sindir Aziel.
"Tapi yang
tadi emang garing." Yayat melakukan pembelaan diri yang sungguh sangat
tidak penting.
"Perlu
beberapa tahun lagi sampe Yayat bisa lulus jadi bapak-bapak ya, Gaes.
Hahahaha."
"Liat noh
James, umur baru 30 tapi pembawaan dah bapak-bapak," ujar Adit, sesepuh
kumpulan bapak-bapak dan bapak-bapak wanna be di ruangan itu.
"Iya, ya.
Kalo Jaja nikah bentar lagi kan langsung jadi bapak-bapak. Bisa membuncit
dengan segera." Kali ini Aziel nimbrung. "Eh iya, dia lagi deket tuh
sama anak bosnya dulu, si Bia. Ciee... bentar lagi, nih."
"Hahaha,
bisa aja Pak." Meski sambil tertawa, dalam hati James ketar-ketir
memikirkan kejadian saat Bersama Gabia baru-baru ini.
___
James harus
datang ke pertemuan pejabat kota hari ini. Harus.
Kepalanya pening
memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hari ini Gabia akan bertugas
di desk politik. Semua reporter baru selalu dirotasi agar bisa merasakan
menulis berita di semua bidang, baru setelah itu diberikan desk tetap sesuai
kemampuannya. Inilah yang membuat James khawatir. Orang-orang di dunia politik
adalah orang yang sangat sensitif. Ia takut jika pertanyaan yang diajukan Bia
terlalu menyudutkan politikus tertentu yang akan berujung reporter dari
perusahaannya diblacklist oleh orang-orang penting.
Presdir Asia
Associated Press itu tahu kalau dia telah membuat keputusan yang sangat
berisiko dan sedikit berbau kkn. Ya, dia telah menerima Gabia—putri tersayang
atasannya dulu—di kantornya sejak dua minggu yang lalu. James bukannya
menganggap Gabia tidak kompeten dan tidak pantas untuk menjadi karyawannya.
Hanya saja, karakter Gabia memang agak spesial.
Beberapa hari
yang lalu, ia dan Gabia pergi jalan-jalan ke taman untuk menikmati udara segar—Iya,
salah satu usaha payahnya untuk mendekati anak mantan bosnya dulu. Saat itu di
taman ada penjual gula-gula kapas dan James berpikir membelikan Gabia gula-gula
kapas adalah ide yang sangat brilian.
"Bia, mau
gula-gula kapas, nggak?" tanya James dengan senyum paling manis yang dia
bisa.
Gabia yang sedang
menyilangkan tangannya di depan dada sambil menikmati pemandangan di taman itu
akhirnya menoleh pada James sebelum melihat penjual gula-gula kapas yang berada
tak jauh dari mereka. "Dibayarin, gak?" tanyanya gak tau malu.
"Jadi mau
nih? Iya abang yang beliin," tambah James.
Sebelum James
sempat berbalik dan berjalan ke arah tukang gula-gula kapas itu, Gabia sudah
berlari ke arah sana mendahuluinya. Ternyata dia mau mengantri sendiri.
James tidak
merasakan ada pertanda akan terjadinya petir di siang bolong saat itu. Sehingga
dia biasa saja memperhatikan Gabia yang wajahnya berubah menjadi seperti
anak-anak ketika tukang gula-gula kapas di depannya memasukkan gula berwarna ke
dalam mesin dan menangkap serat-serat kapas dengan satu batang kayu yang cukup
tebal. Malah, James sempat senyum-senyum sendiri melihatnya. Namun senyumnya
tiba-tiba menghilang ketika ada seorang ibu yang menghampiri tukang gula-gula
kapas itu dan berkata pada anaknya yang masih kecil, "diri di sini ya,
Dek," sembari memosisikan anaknya di samping anak yang mengantri di depan
Gabia, dan bukannya menyuruh si anak berdiri di belakang.
Senyum di wajah
Gabia menghilang. Ia mulai menatap punggung ibu dari anak itu dengan tatapan
tajam.
"Tapi,
Ma..." anak si ibu itu seolah ingin mengatakan bahwa dia seharusnya ikut
mengantri. Walaupun masih anak-anak, dia bisa merasakan aura kebencian yang
sangat pekat mengarah padanya.
"Udah gapapa
di sini aja," kata ibunya lagi. "Kamu kan masih kecil."
Orang lain yang
masih mengantri merasa keki, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka ingat
prinsip utama hidup dalam tatanan masyarakat Indonesia--jangan ngelawan
emak-emak. Sayangnya Gabia menganut prinsip yang berbeda.
Sebelum James
sempat mencegah, Gabia sudah meraup gula berwarna-warni—bahan dasar gula-gula
kapas—dengan tangan kanannya dan melemparnya ke muka ibu di sampingnya.
Jantung James
berhenti.
Jantung
orang-orang yang mengantri di sekeliling tukang gula-gula kapas ikut berhenti.
Tangan terampil
tukang gula-gula kapas berhenti bergerak dan wajahnya mendadak pucat melihat
kejadian itu.
Anak laki-laki
berumur sekitar empat tahun di depan Gabia, mencomoti gula-gula kapas yang
sudah mulai menumpuk di mesin pemutar. Dia belum bisa membaca situasi.
Orang-orang di
sekeliling taman mulai ngeh ada sesuatu dan mengeluarkan HP mereka. Kalau video
rekaman ini viral, lumayan bisa untuk pansos—pikir mereka.
"KURANG AJAR
KAMU!! NGAPAIN LEMPAR-LEMPAR!? KENA MATA SAYA TAU GAK!?"
Mendengar
lontaran makian itu, Gabia tetap berwajah datar. Ia mengambil botol minuman
berukuran kecil dari tas selempangnya dan meminumnya dengan santai, sama sekali
mengabaikan amukan emak-emak di hadapannya.
"MALAH
MINUM!! DENGER GAK KAMU HEI!!"
Tanpa tedeng
aling-aling, Gabia menyiram air dari botolnya ke wajah ibu itu.
"BERISIK!!"
"Udah tau
salah, gak usah sok marah-marah! ANTRI!!" tunjuk Gabia ke antrian
belakangnya.
Ibu itu sepertinya
akan meledak lagi, tapi dia sadar kalau orang-orang di sekeliling mulai
memperhatikannya. "Udah, Dek. Kita cari jajanan lain, ngapain sama orang
gila di sini!" Ia menarik lengan anaknya dan mulai menjauh.
"Daripada
cari jajanan, sana cari sekolah yang bener! Asramain aja anaknya! Soalnya
didikan orangtuanya cuma bikin anaknya jadi sampah masyarakat yang ngantri aja
gak bisa! DASAR TOL*L!"
Setelah situasi
mulai mereda, Gabia minta maaf kepada tukang gula-gula kapas karena sudah
membuang-buang gulanya untuk mengusir hama. Tukang gula-gula kapas yang masih
takjub dengan kejadian tadi bicara dengan tergagap, "Ga...gapapa, Neng.
Gula murah, kok. Ini saya kasih dua buat Neng dah..."
"Wah! Asyik!
Makasih ya, Bang!"
"Gapapa
Neng... jangan lempar saya pake gula ya, Neng..." kata si abang lirih,
hampir tidak terdengar.
_____
"Bang
Jamees! Bang Jameeeees! Mana sih tu orang?" Gabia celingak-celinguk
mencari sosok bosnya.
Dari balik pohon
besar, wajah James yang pucat nongol setengah.
"Kenapa,
Bang?" tanya Gabia polos.
"Ada badai
lokal barusan," katanya.
Hari itu, James
mulai membayangkan hidupnya kalau pada akhirnya menikah dengan Gabia. Mungkin
dia yang bakal kena semprot setiap hari. Mulai hari ini dia harus belajar cara
meminta maaf walaupun tidak salah. Mungkin di youtube ada tutorialnya. James
mengingat kembali kata-kata Pak Sarwani tempo hari, 'dia hanya sedikit
temperamen bukan kelainan mental'.
INI SIH
KELAINAN MENTAL AKUT!
James
membayangkan seperti apa Gabia sebelum kenal temannya yang psikiater. Mungkin
mulutnya lebih pedas dari Chef Juna dan Chef Arnold digabung jadi satu. Kalau
kata Bapak Menteri cabai mahal, lebih baik tanam sendiri. James merasa tidak
perlu repot-repot menanam cabai. Makan saja dengan bumbu bacotan Gabia. Gratis
dan bisa menghemat anggaran biaya rumah tangga masa depan mereka.
___
Acara yang
diadakan di hotel yang tak jauh dari Balai Kota hari ini adalah sebagai
peresmian terpilihnya satu perusahaan kontraktor sebagai tender yang akan
mengerjakan taman kota baru. Sebagai gubernur, keberadaan Aditya Ismail di
acara hari ini akan menjadi sorotan.
Lalu, orang yang
menjadi sorotan itu saat ini berada di kamar mandi hotel.
"Pak,
acaranya udah mau mulai... Masih lama? Bapak udah sejam di dalam, lho,"
ujar Shania, baby sitter kepercayaannya yang selalu menemani dia untuk menjaga
Tio, anak laki-lakinya yang baru berusia lima tahun.
"Sebentar...
10 menit lagi," respon Aditya.
Shania
memperhatikan jam tangannya dan mulai khawatir majikannya itu akan terlambat
turun. Karena itu ia terpaksa membuka pintu kamar mandi yang ia tahu memang
tidak terkunci. Ia sudah cukup terbiasa dengan kebiasaan Aditya.
"Udah
ngacanya, Pak. Nanti kacanya pec—Eh, nanti Bapak terlambat," ucap Shania dengan wajah datar.
Aditya tidak
menggubris hinaan Shania yang buru-buru diralat. Ia masih sibuk merapikan
beberapa helai rambutnya yang masih mencuat. Wajah tampannya hari ini harus
sempurna.
Di dunia ini
banyak orang yang sadar kalau diri mereka tampan, termasuk salah satunya Aditya
Ismail. Shania cukup maklum dengan hal itu. Mungkin sejak kecil majikannya itu
selalu mendapat pujian bertubi-tubi karena wajahnya. Tapi berkaca sampai satu
jam lebih memang agak tidak normal, sih. Pertama kali Shania bekerja lima tahun
yang lalu, waktu rata-rata Aditya berkaca hanya 10 menit. Waktu ia berkaca
bertambah 2 detik setiap harinya selama 5 tahun sehingga sekarang waktu
rata-rata berkacanya sampai lebih dari satu jam. Shania cukup kagum dengan
kekonsistenan majikannya itu menambah jadwal bersoleknya secara rutin. Ia
berharap kenaikan gajinya juga bisa berbanding lurus dengan bertambahnya waktu
Aditya mengagumi parasnya sendiri.
"Udah cakep,
belum?" tanya Aditya yang akhirnya menoleh.
"Udah, Pak.
Kalau Narcissus lihat muka bapak, dia pasti minder." Shania mengancungkan
dua jempolnya. Masih dengan wajah datar. Kalau bapak lahir duluan, mungkin
yang bakal kecebur danau dan meninggal gara-gara kelamaan ngaca di permukaan
air juga bapak. Bahkan istilah narsis mungkin akan diganti dengan Adit,
lanjut Shania dalam hati. "Selfie mulu! Adit banget sih lo!" Shania
membayangkan dialog imajinasi tersebut dan tertawa dalam hati. Di luar, dia
masih tersenyum manis menanggapi Aditya. Ya, demi keutuhan gajinya bulan ini.
"Hahaha,
bisa aja kamu! Narcissus itu siapa? Teman kamu yang ganteng, ya?" ocehnya.
Tahan...
tahan... ujar Shania
berulang-ulang dalam hati. Bibirnya sudah mulai merapat, menahan tawa.
"Iya,
Pak," jawabnya dengan susah payah.
"Gak salah
memang kamu saya pilih jadi baby sitter. Gaji kamu bulan ini saya naikin!"
Shania bersorak
riang dalam hati. "Makasih bapak gubernur yang tampaaan..." katanya
sambil berharap gajinya bakal naik lagi.
Sayangnya tidak.
___
Eliana tiba di
hall Hotel Mutiara ketika sudah ramai tamu undangan. Untuk kesekian kalinya, ia
mendapat undangan langsung dari sang gubernur. Sebenarnya ia ingin menolak
undangan ini. Hanya saja, Eliana berpikir ini adalah kesempatan yang tepat
untuk memberikan jawabannya pada sang gubernur.
Xander berjalan
tidak jauh di belakang Eliana. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu,
Xander tidak lagi merasa ragu. Ia berhasil mengungkapkan hal yang selama ini ia
pendam dalam-dalam. Dan walaupun Eliana tidak menjawabnya secara jelas, entah
bagaimana ia yakin Eliana merasakan hal yang sama. Terutama setelah menangkap
pandangan mata perempuan itu ketika ia berbicara pada ayahnya. Meski demikian,
datang ke acara di mana laki-laki saingannya berada bukanlah suatu rekreasi.
"Gabia!
Ngapain di sini?" seru Eliana ketika melihat sosok Gabia dengan kemeja dan
celana bahan. Agak terlalu formal dibandingkan Gabia yang biasa.
"Kerja,
nih," katanya seraya menunjukkan name tag reporter yang ia kalungkan.
James yang
melihat itu langsung bergabung dengan mereka. "Teman kamu?" tanyanya
seraya menoleh pada Gabia.
Yang ditanya
mengangguk. "El, kenalin ini atasan gue yang baru, James." Ia menoleh
pada bosnya dan memperkenalkan Eliana. "Bang, kenalin ini Eliana. Dia
psikiater, lho. Kalo abang ada masalah kejiwaan, bisa konsultasi ke dia. Murah."
Mata James
menyipit. Yang butuh konsultasi itu kamu! teriaknya dalam hati. Tapi ia
tahan karena tidak mau jadi sasaran bacotnya Gabia.
"Wah-wah,
tamu-tamu kehormatan. Sudah dicoba hidangannya?" Tiba-tiba, Aditya
menghampiri mereka berempat untuk menyapa. Ia tentu saja ingin menghampiri
Eliana. Tapi ia juga mengenali presdir Asia Associated Press di situ. Menurut
jadwalnya, ia sudah bersedia diwawancara secara eksklusif oleh pihak Asia
Associated Press sebelum acara dimulai.
Eliana, Gabia,
dan James membalas sapaan bapak gubernur dengan senyuman. Sementara satu
manusia lagi menarik ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman meski matanya
sama sekali tersenyum. Ia terlalu malas menanggapi Aditya dengan jenis respon
apa pun.
"Saya dengar
perusahaan kontraktor yang menerima tender pengadaan taman ini kualitasnya
sangat terjamin ya, Pak?" kata Gabia membuka pembicaraan.
"Pastinya.
Nggak mungkin kan proyek sebesar ini diserahkan ke perusahaan abal-abal?
Ngomong-ngomong kamu..."
"Ah, maaf
saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Gabia," ucap Gabia seraya
menyerahkan kartu namanya. "Saya reporter baru di Asia Associated
Press."
Aditya
mengangguk. "James bisa juga ya nyari reporter yang cantik begini.
Biasanya perwakilan dari Asia Associated Press semuanya bapak-bapak."
James tertawa
garing.
"Mendapat
tender proyek besar bukan hal yang mudah. Apalagi dengan cara-cara yang bersih.
Iya kan, Pak?" Xander tiba-tiba melanjutkan obrolan soal tender dengan
nada sedikit menyindir.
Aditya
memperhatikan Xander. Ia merasa pernah melihat Xander sebelumnya namun tidak
yakin. "Iya, benar. Justru karena tidak mudah, saya yakin mereka akan
berusaha keras membuat proyek ini berhasil," jawabnya dengan tenang dan
diplomatis.
"Memang
jaminan apa yang bisa bapak berikan? Sudah ada dua proyek besar yang mandek di
bawah pimpinan bapak, padahal bapak belum lama menjabat, kan?"
Aditya ingat
sekarang. Xander adalah pengacara yang sempat disewa oleh Pak Kusuma, mantan
gubernur yang ia gantikan posisinya. "Mungkin maksud kamu proyek pengadaan
Rumah Sakit Daerah dan Rumah Susun, ya? Saya bisa saja membela diri dengan
memberikan banyak alasan. Tapi berhentinya dua proyek itu memang fakta—"
'BRUK!'
Tiba-tiba seorang
anak menabrak kaki Xander dan mengotori celana hitam laki-laki itu dengan es
krim vanilla yang ia bawa.
"Tio!"
seru Aditya yang kaget dengan kemunculan anaknya yang tiba-tiba. "Aduh,
maaf ya. Celananya jadi kotor. Tio! cepat minta maaf!"
Anak yang
dipanggil Tio itu menatap Xander dengan wajah sebal. "Week!" Ia
menjulurkan lidahnya lalu kabur.
Aditya salah
tingkah dengan perlakuan anaknya. "Aduh, maaf ya. Anak saya bandel."
"Nggak
apa-apa, cuma celana. Ngomong-ngomong, Pak Aditya ada waktu? Saya ingin bicara
secara pribadi." El angkat bicara.
"Oh, maaf ya
Eliana. Mungkin setelah acara ini selesai. Saya sudah janji wawancara dengan
mereka dulu," jawabnya sembari membuka telapak tangannya pada James dan
Gabia.
Eliana mengangguk
mengerti. "Iya, nggak apa-apa, Pak. Saya tunggu."
Tak lama kemudian
James, Gabia, dan Aditya meninggalkan ruangan untuk melakukan wawancara di
tempat terpisah. James berharap mimpi buruknya tidak jadi kenyataan hari ini.
___
"TOS!
YEAYY!" seru Shania di sudut ruangan.
Tio ikut
merayakan keberhasilannya membalas dendam dengan wajah sumringah. "Om itu
jaat sama Papa. Gak suka!"
"Iya. Papa
kamu memang orang hebat. Pasti banyak yang mau jahat sama dia," jelas
Shania. "Hebat kamu, bisa belain Papa kamu!" ujar Shania bangga.
Meskipun narsis
dan banyak tingkah, Shania tahu persis bahwa Aditya adalah sosok pahlawan bagi
anaknya. Dan demi apa pun, Shania tidak ingin imej itu tercoreng. Sebab, Shania
tahu tidak mudah bagi Aditya untuk menjadi sosok yang bisa selalu dibanggakan
oleh Tio. Terutama karena ia terpaksa ditinggal mati istrinya setelah
melahirkan Tio. Demi anaknya, Aditya berusaha bangkit dari keterpurukan dan
menyimpan kesedihannya dalam-dalam.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar